Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endang Partrijunianti Gularso
Abstrak :
ABSTRAK
Pada tahun 1981, Pemerintah membentuk Kota Administratif Depok berdasarkan Peraturan Pemerintah No.43 th 1981, dan dalam kurun waktu 18 tahun, Depok menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 1999 berdasarkan UU No 15, atas dasar tuntutan dan aspirasi masyarakat maka Kotif Depok diangkat menjadi Kodya Daerah Tk II Depok dan ditetapkan pada tgl 20 April 1999.Perkembangan kota Depok semakin pesat dan meluas ke wilayah-wilayah lain di sekitarnya.Pembangunan perumahan, pembangunan perkantoran, pembangunan pusat-pusat perbelanjaan, pembangunan pasar tradisional semi modern, dan bermacam-macam pembangunan pelayanan umum dilaksanakan hampir di seluruh wilayah secara bersamaan. Dengan semakin meluasnya perkembangan pembangunan di segala bidang, sudah barang tentu membutuhkan lahan untuk mengaktualisasikannya.Lahan penduduk kampung yang semula merupakan lahan pertanian, dan perkebunan buah-buahan, menjadi menyusut karena dijual untuk kepentingan tersebut.Kondisi ini berdampak pada terjadinya suatu perubahan di berbagai aspek kehidupan penduduk kampong Rawakalong yang mengaku dirinya sebagai orang Betawi di wilayah Kodya Depok. Mereka kemudian mengubah pekerjaannya semula sebagai petani, menjadi pekerjaan lain di sector informal seperti bekerja sebagai tukang ojek, srabutan, tukang bangunan, dan pemilik rumah petak yang disewakan. Pekerjaan di sector informal tidak memberikan penghasilan tetap dan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga, dan mereka merespons kondisi ini dengan cara adaptif dimana para suami mengijinkan isteri mereka untuk bekerja di luar rumah dengan beberapa syarat yang tidak jauh menyimpang dari kebudayaan mereka. Dan pekerjaan yang banyak dilakukan oleh para perempuan di kampung ini adalah sebagai pekerja rumahtangga. Bentuk respons lainnya terjadinya konflik antara pasangan suami dan isteri karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Konflik yang berkepanjangan bisa berakhir dengan suatu perceraian, dan kemudian terjadi perkawinan baru dengan perempuan lain. Oleh karena itu kawin?cerai menjadi suatu hal yang biasa terjadi di kampong ini. Untuk memperoleh data penelitian dilakukan penelitian kualitatif, terhadap beberapa orang informan yang bisa mencakup berbagai usia dan status perkawinan dengan cara observasi, wawancara mendalam dan menggunakan pengalaman hidup mereka (life history method).
ABSTRACT
In 1981, the government established the Administrative Town of Depok through Government Decree No.43 of 1981, and within 18 years, Depok showed considerable development. In 1999, based upon Legislation No.15 as well as the aspirations of its citizens, the Administrative Town of Depok was elevated to the Regional Municipality of Depok on April 20, 1999. The rate of development of Depok increased and spread to the surrounding areas. The development of housing, office complexes, retail centers, semi-modern traditional markets, and other public service facilities went underway almost at once throughout the area. The increase in growth and development in every area required space. Land held by kampong residents that was previously utilized as farmland and orchards decreased in area through their sale for development projects. The impact took the form of change in many aspect of life among the people of the kampong of Rawakalong,who identify themselves as Betawi of the Municipality of Depok. The people left their farmwork for other occupations in the informal sector, such as motorcycle taxis (ojek ), construction work, and tenement leasing. Work in the informal sector does not provide a steady income, nor does it cover family needs, and their response is adaptive. Husbands allow their wives to takes jobs outside the home, under certain conditions that do not break from their cultural norms. The job must often sought by the women of the kampong is as domestic help. Another response involves conflict between spouses, due to an inability to adapt to the changes occurring . A prolonged conflict may end in divorce, which may lead to re-marriage. Thus divorce and re-marriage has become common in this kampong. Data was collected through qualitative research among informant of varying age and marital status, with observation, in-depth interviews and the use of the life-history method.
Depok: 2012
D1305
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Villa Jabbar
Abstrak :
Tulisan ini akan menggambarkan bentuk-bentuk perubahan sosial budaya yang terjadi pada Orang Papua pasca lebih dari 10 tahun proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) diimplementasikan di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Perubahan sosial budaya yang terjadi berawal dari proses adaptasi yang dilakukan oleh Orang Papua Asli ketika menanggapi ancaman proyek MIFEE. Proses adaptasi tersebut dilakukan melalui mengenal dan mempraktikkan cara-cara bertani sebagai upaya untuk menjaga eksistensi mereka disaat hutan dideforestasi dan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian. Analisis yang akan dilakukan akan melihat relevansi antara proses adaptasi yang orang Papua lakukan dengan kemungkinan terjadinya perubahan sosial budaya dalam kehidupan mereka. Tulisan ini akan menggunakan studi data dokumen sebagai basis analisis dan penulisan untuk melihat bagaimana proyek pembangunan yang dilakukan secara masif, perubahan lingkungan alam, serta sistem pertanian sebagai suatu “penemuan” bagi orang Papua dapat mendorong mereka beradaptasi dan menimbulkan perubahan sosial budaya bagi kehidupan mereka. Dari studi ini telah ditemukan bahwa bentuk perubahan sosial yang terjadi pada orang Papua di Kabupaten Merauke meliputi perubahan sektor perekonomian dengan timbulnya keberagaman mata pencaharian, perubahan pada sistem pangan lokal, dan perubahan pada pola pikir yang transaksional. ......This paper will describe the forms of socio-cultural change that have occurred to Papuans after more than 10 years of the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) project being implemented in Merauke Regency, Papua Province. The socio-cultural changes that occurred began with the adaptation process carried out by indigenous Papuans when responding threats from the MIFEE project. The adaptation process is carried out through recognizing and practicing of farming methods as an effort to maintain their existence when the forest is deforested and converted into agricultural land. The analysis will look at the relevance of the Papuans adaptation process to the possibility of socio-cultural change in their lives. This paper will use document data studies as the basis for analysis and writing to see how massive development projects, changes in the natural environment, and agricultural systems as an "invention" for Papuans can encourage them to adapt and cause socio- cultural changes in their lives. From this study, it has been found that the forms of socio-cultural changes that occur to Papuans in Merauke Regency include changes in the economic sector with the emergence of livelihood diversity, changes in the local food system, and changes in transactional mindsets.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lain di Indonesia, pemahaman mengenai aspek sosial dan budaya masyarakat Timor-Timur dapat dikatakan masih belum memadai karena keterbatasan data etnografis yang tersedia hingga sekarang. Ditinjau dari perspektif disiplin ilmu antropologi, masyarakat Timor Timur terdiri dari sejumlah kelompok etnik yang berarti pula memiliki keragaman kebudayaan. Penelitian-penelitian antropologis maupun kajian-kajian mendalam mengenai keanekaragaman kebudayaan masyarakat Timor Timur, dalam kenyataannya belum banyak dilakukan oleh para ahli ilmu sosial khususnya ahli antropologi Indonesia sejak proses integrasi tahun 1976. Masyarakat dan kebudayaan orang Dawan adalah salah satu diantaranya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami secara mendalam kebudayaan orang Kemak yang menjadi salah satu segmen masyarakat Timor Timur. Pemahaman tersebut dilakukan melalui proses identifikasi aspek sosial dan budaya kelompok etnik tersebut, dalam bentuk sejumlah data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian antropologis. Deskripsi etnografis ini mencakup sistem mata pencaharian/kehidupan ekonomi, organisasi sosial, sistem kekerabatan, kependudukan dan sistem sosial serta sistem religi. Data etnografis akan dijadikan data dasar untuk merumuskan strategi intervensi bagi program-program pembangunan, dalam hasil penelitian Tahap II. Data kualitatif yang diperoleh dari kegiatan penelitian ini bersumber dari sejumlah informan dan informan kunci (key informant), yang terdiri dari tokoh masyarakat/ tokoh adat / tokoh keagamaan, para warga masyarakat, maupun mereka yang dikategorikan sebagai pemimpin formal yaitu aparat Pemda setempat serta aparat Pemerintah lainnya yang berdinas dalam Kabupaten Ambeno. Selain itu data etnografis juga diperoleh berdasarkan hasil observasi selama kegiatan penelitian berlangsung, balk yang terlibat (participation observation) maupun tak terlibat atau pengamatan sambil lalu dalam berbagai aspek kehidupan. Timor-Timur merupakan suatu wilayah dengan luas kurang lebih 14.609 KM2 yang terdiri atas berbagai macam kelompok etnis, dengan berbagai budaya dan bahasa yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga kadang kadang mereka tidak saling memahami antara satu suku dengan suku lainnya. Oleh karena itu Timor-Timur terdapat 16 bahasa bagi penutur monolingual dan masing-masing bahasa merupakan jenis bahasa yang saling tidak terpahami (mutually unintelligible). Karena keenambelas bahasa itu merupakan rumpun bahasa daerah yang masih memiliki dialek dan subdialek, Dialek yang keseluruhannya berjumlah 36 bahasa. Jumlah bahasa dalam, hal ini kurang lebih sama banyaknya dengan jumlah kelompok etnis. Keanekaragaman tersebut merupakan ciri sosial dan budaya serta heterogenitas etnis di Timor-Timur. Dalam kenyataannya, perbedaan sejarah bahasa, kelompok etnis dan budaya seperti di atas, menunjukkan bahwa terdapat kelompok etnis, bahasa dan budaya suku bangsa tertentu di Timor-Timur hampir punah. Sedangkan suku bangsa lainnya terus berkembang dengan pesat. Hal ini antara lain, ditentukan oleh perkembangan masyarakat pemakai dan/ pemilik bahasa, etnis dan budaya. Adanya migrasi masuk maupun migrasi keluar sangat besar pengaruhnya, maupun kurang adanya perhatian terhadap kelompok etnis. Setiap golongan sosial di Timor-Timur yang menggunakan bahasa yang sama dapat dikatakan sebagai satu suku bangsa. Penggunaan bahasa yang sama ini merupakan salah satu aspek pembeda budaya di Timor-Timur. Kesamaan ini terwujud berdasarkan kesamaan simbol-simbol, kosakata, aturan-aturan, cara melakukan suatu serimoni ritual dan sebagainya yang digunakan bersama-sama oleh anggota masyarakat. Suku bangsa Kemak tersebar di wilayah Kabupaten Ermera, Kabupaten Ainaro, Kabupaten Bobonaro dan Kabupaten Suai itu sendiri. Selain itu suku bangsa Kemak terdapat pula di Kabupaten Belu NTT (Atambua). Walaupun wilayah persebaran kelompok etnis budaya dan bahasa Kemak tersebar di lima kabupaten (NTT dan Timor-Timur seperti di atas, tetapi terdapat keunikan antara sub-sub kelompok etnisnya, seperti Kemak Leosibe (Maliana), Kemak Cailaco (di Kec. Cailaco secara keseluruhan), Kemak Balobo (di Balibo), Kemak Atabai (di Atabai), Kemak Atsabe, Obulo (di Atsabe - Ermera), Kemak Marobo (di Bobonaro), Kemak Hauba (di Bobonaro), Kemak Uskai, Daru (di Ainaro) dan Kemak Mape Zumalain (di Zumalain - Suai Kovalima). Walaupun secara umum, kebudayaan Kemak adalah sama, tetapi masing-masing sub kelompok etnik ini mempunyai keunikan tersendiri. Kenyataan sosial dan budaya seperti tersebut di atas dapat dijadikan acuan untuk menyusun rencana maupun tahapan-tahapan pelaksanaan program pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan strategi intervensi program-program pembangunan itu sendiri.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover