Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aya Sofia
Abstrak :
Harta benda dalam perkawinan dibagi menjadi dua bagian yaitu harta bersama dan harta pribadi. Apabila terdapat pihak yang ingin melakukan tindakan hukum atas harta bersama tersebut, baik oleh suami maupun istri, maka ia haruslah mendapatkan persetujuan dari pasangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”). Tidak terdapat ketentuan lebih rinci yang mengatur sejauh apa persetujuan pasangan harus disyaratkan. Tidak adanya ketentuan tersebut membuat praktik yang dilakukan oleh notaris terkadang berbeda-beda dalam mengklasifikasikan transaksi yang membutuhkan persetujuan pasangan dan mana yang dianggap tidak perlu membutuhkan persetujuan, khususnya mengenai transaksi yang tidak mengakibatkan peralihan kepemilikan atas harta bersama. Berdasarkan latar belakang tersebut, dibuatlah penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana akibat akta sewa menyewa terhadap objek yang merupakan harta bersama yang dibuat tanpa persetujuan pasangan, dengan studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1111/K/Pdt/2018. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian, dalam melaksanakan ketentuan Pasal 36 UU 1/1974, hakim mensyaratkan adanya persetujuan pasangan bagi suami atau istri yang ingin menyewakan harta bersamanya berupa tanah dan bangunan kepada pihak lain. Persetujuan pasangan ini tetap diperlukan walaupun transaksi tersebut tidak disertai dengan beralihnya kepemilikan harta bersama tersebut. Apabila akta sewa menyewa dibuat tanpa disertai dengan persetujuan pasangan, maka tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 36 ayat (1) UU 1/1974 sehingga akta perjanjian sewa menjadi batal demi hukum dan notaris yang membuat akta tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata berupa pembayaran ganti rugi. ......Marital property is divided into joint assets and seperate assets. The definition of joint assets is refered to an asset acquired during the course of a marriage. The consequences as the joint assets, both husband and wife who bring the joint assets as the object of any transaction are obliged to obtain the consent of their spouse as regulated under Article 36 paragraph (1) Law Number 1 Year 1974 regarding Marital Law (“Law 1/1974”). However, there is no definitif regulation which specifically explain to what extend the spousal consent is required. The absent of such regulation resulting different practices by notaries. As the result, we can find for a similar transaction, one notary required a spousal consent while another notary does not. In accordance to those background, the writer makes this research with the aim is to find the legality of deed of lease upon marital property which executed without spousal consent and the responsibility of the notary who made the deed (Case Study: Verdict of Supreme Court Number: 1111/K/Pdt/2018). In this study, the author uses the normative juridical research method using secondary data. Based on the results of the study, the judge required a spousal consent for lease transaction of land and bulding under joint assets conducted by husband or wife. This spousal consent is still required even though there are no transfer ownership in such transaction. In the event that the deed was executed without spousal consent, the deed is become null and void due to the breach of Article 36 paragraph (1) Law 1/1974 and the notary who made the deed may be responsible for indemnity payment.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Argo Wibowo
Abstrak :
Dalam kehidupan sehari-hari Bank sebagai suatu lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat merupakan suatu bagian penting dari roda perekonomian. Penilaian tingkat kesehatan suatu bank menjadi sangat penting, baik bagi pengelola bank, pemegang saham, penyimpan dana ataupun bagi pengawas jasa keuangan di Indonesia. Atas hal tesebut diperlukan transparansi perhitungan risiko-risiko yang mungkin akan diterima oleh bank dalam rangka melakukan usaha dan sebagai dasar evaluasi atas tingkat kesehatan bank itu sendiri. PT. Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk., (BTPN) selama ini melaksanakan penanda tanganan perjanjian kredit pensiun dengan nasabah peminjam tanpa persetujuan pasangan nasabah peminjam. Timbul risiko hukum, perjanjian kredit tersebut dapat dibatalkan oleh pasangan dari nasabah peminjam pada saat nasabah peminjam meninggal dunia. Namun risiko hukum pada BTPN terhitung rendah, dengan menimbang bahwa risiko hukum itu sendiri menjadi rendah karena telah dimitigasi oleh rendahnya risiko operasional. Berdasarkan ketentuan Peraturan Bank Indonesia No. 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, risiko hukum BTPN tidak dapat dinilai rendah dan mitigasi risiko operasional dengan klaim Asuransi Jiwa dari nasabah peminjam yang meninggal dunia dimana klaim Asuransi Jiwa yang diterima akan digunakan untuk melunasi hutang. Penulis membahas pelaksanaan dari ketentuan PBI diatas di BTPN dan risiko hukum yang tinggi atas perjanjian kredit tanpa disertai persetujuan pasangan nasabah peminjam. ...... In everyday life Bank as a financial institution to collect public savings is an important part of the economy. The soundness rating of a bank is very important, both for bank managers, shareholders, depositors or to the supervisor of financial services in Indonesia. In this matter required proficiency level of transparency calculations risks that may be received by the bank in order to do business and as a basis for evaluation of the soundness of the bank itself. PT. Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN), in the signing process of an agreement of pension credit to borrowers without the consent couples borrowers. Legal risks incurred, the credit agreement may be canceled by couples of borrowers when borrowers die. However, the Bank's legal risk is low, given that the law itself is a risk to be low because it has been mitigated by the low rating of operational risk. Based on Bank Indonesia Regulation. No 13/1/PBI/2011 regarding the Rating System for Commercial Banks, the Bank's legal risk can not be mitigate in operational risk by having Life Insurance claims from borrowers who died where Life Insurance claims received will be used to pay off debt. The author discusses the implementation of the above provisions in the Bank Regulation and legal risks are calculated as high in such credit agreement without the approval of borrower couples.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Paramita Johan
Abstrak :
Guna menjamin suatu kredit, jaminan kebendaan memiliki posisi yang lebih kuat dan strategis bagi penyaluran kredit Bank, khususnya tanah, karena selain memberikan kedudukan sebagai kreditur preferen, secara ekonomis tanah juga mempunyai prospek yang menguntungkan karena harganya yang terus meningkat. Dalam penjaminan suatu benda, harus diperhatikan kewenangan bertindak yang dimiliki penjamin atas benda tersebut, maka dalam pembuatan perjanjian penjaminan, Notaris harus memperhatikan status perkawinan penghadap terkait dengan pemilikan benda agar terjamin keabsahan akta perjanjian penjaminan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis. Simpulan penelitian menyatakan bahwa penjaminan atas harta bersama harus dilakukan dengan persetujuan pasangan nikah untuk sahnya perjanjian tersebut dan Notaris yang membuat akta perjanjian penjaminan harta bersama tanpa persetujuan pasangan nikah penghadap dapat dikenakan sanksi sebagai pertanggung jawabannya. Hasil penelitian menyarankan bahwa Notaris harus bertindak cermat dan profesional agar pembuatan aktanya dapat dipertanggung jawabkan kepada semua pihak yang berkepentingan. ......In order to guarantee a credit, collateral has a stronger and strategic position for Bank as the creditor, particularly in the form of land, because aside from giving the title of creditor as a preferred creditor, land economically also has profitable prospects because the price tends to increase over time. Making an object as collateral must consider the authority of guarantor, then for the making of mortgage agreement deed, a Notary must consider the appearer’s marital status associated with the ownership in order to be assured of the validity of the mortgage agreement deed according to the applicable legislation. This research uses the juridical normative method. The data obtained were analyzed using qualitative methods that produce descriptive analytical data. A summary of the research states that the guarantee of joint marital property must be done with spouse consent to legitimate that agreement and the Notary who made mortgage agreement deed of joint marital property without appearer’s spouse consent could be penalized as a form of responsibility. Results of the study suggests that the Notary must act meticulously and professionally in order to make accountable deeds to all parties concerned.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library