Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 843 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyah Ida Harnani
Abstrak :
Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila terutama sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mempunyai hubungan erat antar perkawinan dengan agama hal ini disebabkan bukan saja mempunyai unsur jasmani tetapi juga unsur rohani memegang peranan penting. Dalmn perkawinan akan timbul hak dan kewajiban baik suami maupun isteri, diantaranya harus bertanggung-jawab terhadap harta benda. Harta kekayaan dalam Suatu perkawinan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan rumah tangga yang bahagia. Apabila harta kekayaan tersebut baik yang diperoleh selama perkawinan ataupun sebelum perkawinan tidak dapat dipertanggungjawabkan akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Untuk melindungi hak dan kewajiban suami istri khususnya harta benda maka dibuatlah perjanjian Perkawinan. Seringkali pihak ketiga tidak menyadari adanya percampuran harta, dalam pembuatan perjanjian perkawinan juga harus memperhatikan mengenai kecakapan dalam membuatnya yakni pertama akta perjanjian perkawinan mengikat pihak ketiga dalam rangka perjanjian pemberian jaminan kredit perbankan, kedua mengenai syarat-syarat yang dipakai untuk membuat akta perjanjian perkawinan supaya bisa nengikat pahak ketiga, ketiga batas usia yang dipakai oleh notaries untuk dianggap cakap membuat akta perjanjian perkawinan. Metode yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif,tipe penelitian eksplanatoris, data yang digunakan data sekunder, diadakan wawancara dengan notaris di Tangerang, metode analistisnya yaitu metode kualitatif. Perjanjian perkawinan mempunyai bentuk dan isi sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain yang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian perkawinan mempunyai syarat pendaftaran yang didaftarkan pada kantor pencatat perkawinan pada saat dilangsungkan perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga memiliki hubungan hukum dengan kedua belah pihak yang membuatnya. Batas usia seseorang untuk dapat membuat perjanjian perkawinan adalah 21 tahun atau belum 21 tahun tapi sudah menikah. Pihak ketiga adalah bank maka apabila melakukan pengikatan maka hendaknya memeriksanya terlebih dahulu akta perkawinan dari kedua belah pihak.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Abbas Mahmud
Tanjungpinang: Yayasan Payung Negeri, 1999
392.592 5 ABB a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Herma Desfira
Abstrak :
Perkawinan merupakan salah satu cara bagi manusia untuk melanjutkan keturunan. Akan tetapi, perkawinan tidak hanya sekedar suatu hubungan badan, melainkan pula merupakan suatu hubungan perikatan antara suami dan isteri. Dengan adanya hubungan perjanjian perikatan tersebut, maka perkawinan menimbulkan segala akibat hukum di dalamnya. Menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 1, suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya. Kemudian, pada Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, ditentukan bahwa tiap-tiap perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, pencatatan perkawinan tidak menjadi faktor yang menentukan keabsahan perkawinan, melainkan sebagai kewajiban administratif. Meskipun pencatatan perkawinan tidak menjadi faktor yang menentukan keabsahan perkawinan, tetapi kedudukan pencatatan perkawinan di sini memiliki peranan yang sangat penting untuk memberikan kejelasan pada peristiwa perkawinan yang terjadi. Selain itu, pencatatan perkawinan tersebut juga berfungsi sebagai alat pembuktian yang sempurna di hadapan pengadilan. Undang-undang kita memungkinkan dilakukan pembatalan perkawinan dengan alasan-alasan tertentu. Berdasarkan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pada penelitian ini, Penulis hendak meneliti apakah perkawinan yang tidak dicatatkan dapat dijadikan dasar pengajuan permohonan pembatalan perkawinan. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah yuridis-normatif dengan jenis data sekunder. Jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah bahan hukum primer, yaitu KUH Perdata, UU Perkawinan, dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait; dan bahan hukum sekunder, yaitu bukubuku hukum, serta jurnal ilmiah. ......Marriage is one way for humans to continue their offspring. However, marriage is not just a physical relationship, but also an engagement relationship between husband and wife. With the engagement agreement, the marriage has all the legal consequences in it. According to article 2 paragraph (1) of Law no. 1, a marriage is valid if it is carried out according to the laws of their respective religions and beliefs. Then, in Article 2 paragraph (2) of Law no. 1 of 1974, it is determined that each of these marriages must be registered in accordance with the applicable laws and regulations. According to the Constitutional Court Decision No. 46/PUU-VIII/2010, marriage registration is not a factor that determines the validity of a marriage, but as an administrative obligation. Although marriage registration is not a factor that determines the validity of a marriage, marriage registration has a very important role in determining a marriage event that occurs. In addition, the registration of the marriage also serves as a perfect means of proof before the court. Our law supports marriage for certain reasons. Based on Article 22 of Law no. 1 of 1974, a marriage can be annulled if the parties do not meet the requirements to enter into a marriage. In this study, the author wants to examine whether unregistered marriages can be used as the basis for submitting a marriage application. The research method used is juridical-normative with secondary data types. The types of secondary data used in this study are primary legal materials, namely the Civil Code, Marriage Law, and several related laws and regulations; and secondary legal materials, namely books law, and scientific journals.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Yustisiani Riaji
Abstrak :
Pembatalan perkawinan yang telah dilangsungkan masih banyak terjadi dalam masyarakat, hal itu disebabkan karena perkawinan yang dilangsungkan tersebut cacat hukum. Pembatalan perkawinan tersebut didasarkan karena adanya syarat-syarat perkawinan yang tidak dipenuhi sehingga menyebabkan perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum yang berlaku. Salah satu contohnya yaitu dalam putusan Pengadilan Agama Banda Aceh Nomor 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna yang latar belakang pengajuan pembatalan perkawinannya disebabkan karena perkawinan dilangsungkan dengan berwalikan calon mempelai perempuan sendiri dan adanya pemalsuan identitas. Dari uraian tersebut timbulah pertanyaan apakah putusan Pengadilan Agama Banda Aceh Nomor 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna bertentangan dengan Peraturan dalam Undang?Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, kemudian bagaimana status terhadap suami isteri, harta bersama dan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang telah dibatalkan. Untuk dapat mencari jawaban masalah ini, penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari kepustakaan dan didukung dengan wawancara kepada nara sumber. Dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna perkawinan dibatalkan karena adanya wali nikah yang tidak sah dan pemalsuan identitas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap dasar pertimbangan Hakim Majelis pada putusan tersebut telah tepat sesuai dengan hukum Islam dan peraturan perundang?undangan yang berlaku khususnya mengenai perkawinan, hanya saja hakim kurang menambahkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang?Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan untuk merujuk pada Pasal 71 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan yaitu segala hak dan kewajiban antara suami isteri menjadi tidak ada, dan keputusan pembatalan tersebut tidak berlaku surut terhadap anak?anak yang dilahirkan dari perkawinan dan anak tetap menjadi anak yang sah serta terkait harta bersama pembagiannya diserahkan kepada masing?masing pihak sesuai dengan kesepakatan. ...... Most of the marriage in the community is annulled due to invalidity. The annulment of marriage is resulting from the failure to the terms of marriage thereby making the marriage invalid according to the applicable regulation. One of the examples is judgment of Banda Aceh Religious Court Number Nomor 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna that annulled a marriage because the guardian is the bride herself and because of falsification of identify. From the description, there is a question, does the judgment of Banda Aceh Religious Court Number 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna contravene the Law Number 1 Of 1974 and the Compilation of Islamic Law?, and then what is the status of the married couple, mutual property and children born from the marriage so annulled?. To answer the question, the writer uses juridical and normative research method by using secondary data from the literature supported with the interview with the resources persons. In the Judgment of the Religious Court Number 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna, the marriage is annulled due to invalid status of the guardian and falsification of identity. The research to the consideration basis of the Council of Judges indicates that the Judgment is not in contravention of the applicable legislation, particularly that on marriage, but the judges lacks the Article 2 paragraph (1) of Law Number 1 Of 1974 on Marriage to refer to Article 71 point (e) Compilation of Islamic Law. Legal consequences of the annulment of marriage are all rights and obligations of the married couple become non-existing, and the judgment of annulment is not retroactive to the children born from the marriage and the children remain being legitimate children and the division of mutual property is submitted to the respective parties in accordance with the agreement.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefani Agustina
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai permasalahan harta benda dalam perkawinan campuran dengan membuat perjanjian kawin. Yang menjadi permasalahan adalahBagaimana pengaturan harta benda yang didapat dalam suatu perkawinan campur yang membuat perjanjian kawin dan apa akibat hukum terhadap harta benda yang didapat dalam suatu perkawinan campur dengan perjanjian kawin.Penulis menggunakan metode penelitian yuridis empiris dalam penulisan ini.Pada umumnya masyarakat yang melakukan perkawinan campuran tidak memperhatikan dan mengetahui hal-hal yang harus dilakukan sebelum mereka melakukan perkawinan campuran terutama hal-hal yang menyangkut mengenai harta bersama yang diperoleh sepanjang perkawinan mereka. Pada dasarnya seseorang yang melakukan perkawinan campuran tidaklah dapat secara bebas untuk membeli hak-hak atas tanah di Indonesia dikarenakan pasangannya yang berkewarganegaraan asing tetap mempunyai hak tersebut karena adanya harta bersama. Hal ini karena adanya pembatasan hak kepemilikan tanah yang diatur dalam hukum pertanahan Indonesia pasal 1 jo pasal 21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 yang berazaskan kebangsaan.Seseorang yang melakukan perkawinan campuran harus membuat perjanjian kawin diluar persekutuan harta dan benda sebelum melakukan perkawinan serta didaftarkan agar dapat mengikat pihak ketiga serta adanya kepastian hukum. Hal ini agar tidak terdapat persatuan harta dan benda dalam bentuk apapun antara suami dan istri tersebut sesuai yang diatur dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 139 Kitab Undang- undang Hukum Perdata. Pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang melakukan perkawinan campuran dengan tidak membuat perjanjian kawin diluar persekutan harta dan benda karena unsur ketidaktahuan atau tidak adanya budaya membuat perjanjian kawin dalam perkawinan di Indonesia. Sehingga dalam pelaksanaannya sering terjadi penyelundupan hukum.
This thesis considers topics related to legal ownership of assets in mixed nationality marriages and the relevance of pre-nuptial agreements. The author considers the relevant legal regulations, in particular in relation to ownership of land acquired during the marriage of a couple of mixed nationality. The topic is further considered with juridic empirical research. Forigen land ownership is restricted, as set out in the Indonesian land law article 1 and article 21 of Law No. 5 of 1960. Parties who enter mixed nationality marriages are not eligible to (jointly) own free hold property in Indonesia, as this would imply (part) property ownership rights could vest with a foreign nationality spouse. In the context of these articles,anyone entering a mixed nationality marriage must create and register a pre-nuptial agreement (prior to marriage) ensuring separation of assets,in order that the rights of free-hold land ownenerhip be enforceable. In this way, the Indonesian spouse can acquire and solely own rights over Indonesian free-hold land within the duration of the marriage, Article 29 of Act No. 1 of 1974 in conjunction with Article 139 Code of Civil Law allowed to separates the parties? joint assets. Based on the empirical findings, it was observed in general that the parties considered were not particularly well informed prior to the marriage, especially in matters relating to the how the ownership of joint property acquired throughout their marriage would be considered on legal grounds. In fact, there were many couples surveyed, who, having entered a mixed nationality marriage, without a prenuptial agreement, nonetheless acquired freehold property without the knowledge that this contravened land rights regulations and may ultimately result in the unenforceability of theirostensible land rights.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T42918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauziah Amatul Chairanni
Abstrak :
Perjanjian perkawinan merupakan suatu persetujuan yang dibuat oleh calon suami-isteri untuk mengatur akibat-akibat yang timbul terhadap harta kekayaan perkawinan mereka. Di dalam ketentuan Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembuatan perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan. Perkembangan yang terjadi di masyarakat, beberapa perjanjian perkawinan pembuatannya dilakukan oleh pasangan suami-isteri sesudah perkawinan dilangsungkan dengan cara mengajukan mengajukan permohonan penetapan pemisahan harta ke Pengadilan Negeri. Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif, dimana Penulis dalam meneliti mengacu pada aturan-aturan yang ada untuk kemudian menjawab permasalahan yang timbul secara deskriptif. Melalui penelitian ini Penulis menemukan jawaban bahwa pembuatan perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan dan dalam hal pengajuan permohonan pemisahan maka unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata harus terpenuhi terlebih dahulu.
Prenuptial agreement is an agreement that was made by the prospective husband and wife to manage the problems that arise related to the possession of property or assets of their marriage. In the provisions of Article 147 of the Indonesian Civil Code and Article 29 of Law No. 1 of 1974 on Marriage, making the prenuptial agreement can only be done prior to or at the time of the marriage. Developments in society, making prenuptial agreements made by the couple after the marriage took place by filing apply for the establishment of the separation of property or assets to the District Court. This study was conducted with normative juridical approach, which the author in researching refers to the rules that are answer the problems that arise later descriptively. Through this study the author found an answer that the prenuptial agreement making only can be done before or at the time of the marriage and in the case of application for separation of property, the elements contained in Article 186 Indonesian Civil Code should be fulfilled first.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Ikhlas Husein
Abstrak :
Perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai harta benda perkawinan suami isteri tidak begitu dikenal oleh masyarakat muslim di Indonesia sebagai subyek hukum yang tunduk pada hukum Islam, sehingga jarang dilakukan karena kurangnya sosialisasi dan pemahaman mengenai hal tersebut. Dalam penelitian tesis ini, dibahas mengenai bagaimana kedudukan hukum perjanjian perkawinan antara subyek hukum beragama Islam menurut hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta bagaimana akibat hukum dari perjanjian perkawinan antara subyek hukum beragama Islam yang tidak didaftarkan terhadap pembagian harta bersama dalam perceraian, dengan menganalisis kasus Putusan Nomor 0502/Pdt.G/2013/PA JS dan kesesuaian putusan tersebut dengan hukum Islam, UU Perkawinan, dan KHI. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Pada prinsipnya, hukum dasar dari membuat perjanjian perkawinan dalam Islam adalah mu?bah (boleh) sepanjang perjanjian tersebut tidak berisi hal-hal yang dilarang atau diharamkan syariat Islam (Surat Al-Maidah ayat 1). UU Perkawinan mengaturnya dalam Pasal 29 dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 45 -52 KHI khusus bagi orang-orang yang beragama Islam (subyek hukum beragama Islam). Pasal 29 UU Perkawinan mengatur bahwa perjanjian perkawinan harus didaftarkan/disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Akibat hukum dari perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan adalah tetap mengikat kedua belah pihak, namun tidak mengikat pihak ketiga. Perjanjian perkawinan tersebut dapat disahkan oleh hakim sepanjang isi perjanjiannya memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan bagi kedua belah pihak perjanjian perkawinan tersebut tetap berlaku sebagai undang-undang (Pasal 1338 KUHPerdata).
The prenuptial agreement governing the property of conjugal marriage is not so well known by the moslems community in Indonesia as subjects of law subject to Islamic law, so it is rarely done due to lack of awareness and understanding on the matter. In the thesis, explained about how the legal position of the prenuptial agreement between the moslems legal subjects according to Islamic law, the law of marriage no. 1/1974 and compilation of Islamic law, as well as how the legal consequences of the prenuptial agreement between the moslems legal subjects which is not registered to the division of joint property in divorce, by analysing the verdict no. 0502/Pdt.G/2013/PA JS and the verdict conformity with Islamic law, the law of marriage no. 1/1974 and compilation of Islamic law. This thesis uses literature research method that is juridical normative. In principle, the basic law of making prenuptial agreement in Islam is mu?bah (allowed) as long as the agreement does not contain things that are prohibited or forbidden by Islamic shariah (Surah Al-Maidah ayah 1). The marriage law set down in Article 29 and further stipulated in Article 45-52 in compilation of Islamic, specifically for moslems (moslems legal subjects). Article 29 of the marriage law stipulates that the prenuptial agreement to be registered/authorized by the marriage registrar employees. The legal consequences of prenuptial agreements that are not registered are still binding on both sides of husband and wife, but does not bind third parties. The prenuptial agreement can be ratified by the judge throughout the content of the agreement meets the provisions of Article 1320 BW and for both sides of the prenuptial agreement is still valid as a law (Article 1338 BW).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44806
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iga Sri W. Gangga DWS
Abstrak :
ABSTRAK
Salah satu bentuk perkawinan yang dikenal dalam masyarakat Hindu-Bali adalah bentuk Perkawinan “Ngerorod”. Perkawinan Ngerorod merupakan bentuk perkawinan lari bersama yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita dikarenakan tidak mendapat restu dari pihak keluarga untuk melangsungkan perkawinan. Permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah mengenai keberadaan Perkawinan Ngerorod menurut Hukum Adat di Bali, Hukum Hindu dan Hukum Perkawinan di Indonesia serta bagaimana apabila Perkawinan Ngerorod dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan menurut Hukum Perkawinan Nasional. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris, yang diperoleh melalui data sekunder berupa studi dokumen dan data primer berupa wawancara kepada narasumber, yang dianalisa secara kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji beberapa kasus Perkawinan Ngerorod yang tidak memenuhi syarat tertentu menurut Hukum Perkawinan Nasional. Pada dasarnya Hukum Pekawinan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang menganggap perkawinan sah apabila telah dilakukan menurut agama dan kepercayaan dari calon mempelai. Jadi selama perkawinan dilakukan menurut Aga ma dan Kepercayaan, perkawinan dianggap sah. Sama halnya dengan perkawinan Ngerorod yang sebenarnya tidak dikenal menurut Hukum Perkawinan Nasional, tetep diakui keberadaannya karena agama Hindu mengakui dan membenarkan jenis perkawinan ini. Sedangkan akibat hukum yang dapat timbul apabila perkawinan Ngerorod tidak memenuhi syarat-syarat tertentu menurut Hukum Perkawinan Nasional antara lain, Perkawinan Ngerorod dapat dicegah apabila perkawinan belum dilaksanakan, Perkawinan Ngerorod dapat dibatalkan apabila perkawinan telah dilaksanakan, Perkawinan tidak dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan tidak bisa mendapatkan Akta Perkawinan. Perkawinan Ngerorod tidak dapat dilaksanakan karena tidak sesuai dengan Hukum Adat, Agama Hindu dan Hukum Perkawinan Nasional dan Pihak laki-laki dapat dikenakan ketentuan pidana.
ABSTRACT
One of well-known marriages in Hindu-Bali people is kind of Marriage “Ngerorod”. Marriage Ngerorod represents a kind of marriage that run together conducted by the man and woman caused by not obtained blessing from family party to held marriage. The problems to be analyzed in this research are about the existence of Ngerorod according to the Balinese Common Law, Hinduism Law, and Marriage Law, as well as the legal consequence of Negerorod that unfulfilling condition as according to National Marriage Law. This research is using a normative law method of research that is described in an explanatory type of research. The data of this research are a secondary data in the form of documents, and a primary data in the form of interview with some resource persons. Both of those data then to be qualitatively analyzed. This research is conducted by investigating some cases of Ngerorod that unfulfilling condition as according to National Marriage Law. As specified in the National Marriage Law, basically, a marriage will be considered lawful if it is conducted in a religious wedding ceremony of one recognized religion that is hold by the brides. In other word, a marriage will be lawful as long as the marriage is conducted in a religious wedding ceremony. Ngerorod is not recognized in National Marriage Law, its existence is recognized only in Hinduism Law and Balinese Common Law. There are some legal consequences of “ngerorod” that not comply with any of requirements in wedding acts, they are; marriage prevention in the case of the marriage is not conducted yet; marriage annulment in the case of the marriage is already conducted; the marriage is not registered in the registration service and not acquiring a certificate of marriage; the marriage cannot to be done if not comply with the marriage requirements in National Marriage Law, Balinese Custom law, and Hinduism Law and a man can be convicted with a criminal law.
2008
T37015
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>