Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nany Rahayu
"Negara didunia saat ini sedang menjalankan pembangunan di segala bidang guna mecapai kesejahteraan rakyatnya. Salah satu upaya dalam mencapai tujuan negara tersebut adalah dengan mengadakan hubungan perdagangan secara Internasional, yaitu membuka hubungan perdagangan dengan negara lain. Perkembangan saat ini, banyak negara-negara membuat perjanjian perdagangan regional, karena bersifat lebih mudah dan aplikatif tidak melibatkan terlalu banyak negara serta kepentingan seperti yang terjadi dalam WTO. WTO telah membuat pengecualian yang membolehkan bagi negara anggota WTO untuk membentuk organisasi-organisasi ekonomi (perdagangan) secara regional bilateral dan tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya. Manfaat yang diharapkan dari integrasi perekonomian adalah terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas. Harmonisasi Standar adalah unsur penunjang pembangunan yang memainkan peran penting terhadap keuntungan ekonomi, karena Harmonisasi Standar berperan penting dalam memastikan keamanan dan kesesuaian tujuan produk yang akan dipasarkan.

Countries in the world is currently running a development in all fields to achieved a welfare for the people. One effort in achieving this goal is to conduct the country for international trade relations, which opened trade relations with other countries. Current progress, many countries make regional trade agreements, because it is much easier and applicable not involve too many countries and interests as occured in the WTO. WTO has made exceptions to allow for WTO member countries to establish economic organizations (trade) for the regional bilateral and not have to give equal treatment to other member countries. Expected benefits of economic integration is the opening of international market opportunities more widely. Harmonization of standards development is the support element that plays an important role for economic gain, because the Harmonization of Standards play an important role in ensuring the safety and suitability purpose of the product to be marketed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30924
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ruhun Sudina
"Indonesia dalam beberapa tahun terakhir intensif melakukan negosiasi perjanjian perdagangan yang tergolong komprehensif yang terlihat dari masuknya kesepakatan terkait investasi, hak kekayaan intelektual, tenaga kerja, dan kompetisi. Beberapa studi menyatakan bahwa kedalaman perjanjian perdagangan dapat meningkatkan partisipasi negara dalam rantai nilai global (GVC). Sepanjang tahun 1995-2020, Indonesia memiliki 12 perjanjian aktif yang seiring berjalannya waktu berkembang lebih komprehensif. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap partisipasi GVC yang justru cenderung melemah sepanjang periode tersebut. Melemahnya GVC berpotensi menurunkan kesempatan Indonesia untuk bisa meningkatkan kontribusi industri manufaktur dalam PDB serta meningkatkan nilai ekspor melalui produksi barang dengan nilai tambah yang tinggi. Berdasarkan persoalan tersebut, penelitian ini menganalisis hubungan antara kedalaman perjanjian perdagangan dengan partisipasi GVC bilateral Indonesia dengan negara partner perjanjian menggunakan model gravitasi dan PPML sebagai estimator. Secara umum, temuan menunjukkan jika pendalaman perjanjian perdagangan berkorelasi positif dengan naiknya nilai partisipasi GVC Indonesia. Manfaat positif tersebut dihasilkan dari pendalaman area kebijakan yang relevan dengan aktivitas perekonomian dibandingkan area lain kurang berkaitan. Berdasarkan temuan ini, pemerintah dapat memanfaatkan perjanjian perdagangan untuk meningkatkan partisipasi dalam GVC guna mendorong perkembangan industri berbasis nilai tambah di Indonesia yang bisa berkontribusi pada peningkatan produktivitas dan pendapatan per kapita

Indonesia in recent years has been intensively negotiating trade agreements that are classified as comprehensive, as evidenced by the inclusion of provisions related to investment, intellectual property rights, labor, and competition. Some studies suggest that the depth of trade agreements can increase a country's participation in global value chains (GVCs). During 1995-2020, Indonesia had 12 active agreements that over time became more comprehensive. However, this raises questions about its impact on GVC participation, which has tended to weaken over the period. The weakening of GVCs has the potential to reduce Indonesia's opportunity to increase the contribution of the manufacturing industry in GDP and increase the value of exports through the production of goods with high added value. Based on these issues, this study analyzes the relationship between the depth of trade agreements and Indonesia's bilateral GVC participation with agreement partner countries using gravity models and PPML as estimators. In general, the findings show that the deepening of trade agreements is positively correlated with an increase in the value of Indonesia's GVC participation. The positive benefits result from deepening policy areas that are relevant to economic activity compared to other areas that are less relevant. Based on these findings, the government can utilize trade agreements to increase participation in GVCs to encourage the development of value-added industries in Indonesia that can contribute to increased productivity and per capita income."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Sunarty
"Berbagai mekanisme perlindungan global safeguards dalam WTO Agreement dan Free Trade Agreement (FTA) seperti pada Bilateral Trade Agreements (BTA) dan Regional Trade Agreements (RTA) didasarkan pada alasan-alasan yang berbeda, fungsi yang berbeda, juga memiliki mekanisme safeguards yang berbeda. Fungsi utama global safeguards sebagai instrumen sementara untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius disebabkan adanya lonjakan impor, sebagai akibat disepakatinya tingkat tarif liberalisasi perdagangan diantara Negara-negara Anggota WTO. Sehingga Negara-negara anggota WTO dapat menikmati fleksibilitas kebijakan tingkat tarif tertentu atas liberalisasi perdagangan. Pembebasan penerapan global safeguards antar pihak FTA tidak konsisten dengan WTO Agreement khususnya tidak sejalan dengan prinsip non-diskriminasi (Most-Favoured-Nation). Namun, pada prakteknya dibenarkan asalkan kondisi paralelisme terpenuhi. Pihak FTA juga dapat mengambil perlindungan bilateral safeguards dan regional safeguards terhadap pihak lain asalkan tingkat pembatasan tarif tidak membahayakan persyaratan yang terkait dengan menghilangkan hambatan sehubungan dengan substansial semua perdagangan. Mekanisme Bilateral safeguards dan regional safeguards di bawah FTA dirancang menyesuaikan laju liberalisasi lebih lanjut setelah pihak FTA melaksanakan rencana penghapusan tarif sebagaimana kesepakatan dalam BTA dan RTA. Karena fungsi mendasar ini, persyaratan substansial semua perdagangan berdasarkan ketentuan FTA dalam Pasal XXIV GATT 1994 merupakan satu-satunya ketentuan yang relevan terkait ketentuan bilateral safeguards dan regional safeguards. Diterapkan di FTA selama periode penghapusan tarif dan dalam batas tingkat tarif MFN, yang konsisten dengan aturan WTO. Pemberlakuan ketentuan global safeguards, bilateral safeguards, dan regional safeguards memiliki mekanisme persyaratan substantif dan prosedural dalam penerapannya. Mengingat kemungkinan banyak bentuk penerapan safeguards yang tumpang tindih, negosiator FTA dapat mengambil solusi legislatif yang efektif yang memasukkan ketentuan FTA yang secara eksplisit melarang bentuk-bentuk tertentu jika terjadi penerapan tumpang tindih yang tidak diinginkan. Tesis ini mengungkapkan bagaimana penerapan global safeguards dibandingkan dengan bilateral safeguards dan regional safeguards tersebut, juga akan memberikan preskripsi tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam menerapkan ketentuan bilateral safeguards dan regional safeguards antar negara-negara anggota BTA dan RTA yang juga merupakan Negara-negara anggota WTO yang menerapkan ketentuan global safeguards.

Various mechanisms of global safeguards in the WTO Agreements and the Free Trade Agreement (FTA) such as the Bilateral Trade Agreements (BTA) and Regional Trade Agreements (RTA) is based on different reasons, different functions, also has a different mechanism of safeguards. The main function of global safeguards as a temporary instrument to protect domestic industry from serious injury or threat of serious injury caused by a surge in imports, as a result of the agreement on the level of tariff liberalization of trade between Member States of the WTO. So WTO member countries enjoy a certain level of policy flexibility tariff on trade liberalization. The mutual exemption of the global safeguards application among FTA parties is not inconsistent with the WTO Agreement in particular are not in line with the principle of non-discrimination (Most-Favored-Nation), provided that the parallelism condition is met. An FTA party may also take safeguards against another party as long as the restriction level from those safeguards does not harm the requirement associated with eliminating barriers with respect to substantially all trade. Bilateral and regional safeguards under the FTA are designed to be mechanism for adjusting the pace of further liberalization once FTA parties implement the tariff elimination plan as an agreement in BTA and RTA. Because of this fundamental function, the substantially all trade requirement under FTA provisions in the Article XXIV of GATT 1994 represent was the only relevant provisions of the relevant provisions under which bilateral and regional safeguards measures are disciplined. Any bilateral safeguards, which are applied to sector subject to FTA tariff elimination during the tariff elimination period and within the limits of the MFN tariff rate, which is consistent with WTO Agreement. Enforcement of global safeguards provisions, bilateral safeguards, and regional safeguards have substantive and procedural requirements mechanism in its application. Given the many possibilities for the application of safeguards, which forms overlap, FTA negotiators can take effective legislative solutions that incorporate the provisions of the FTA, which explicitly prohibits certain forms in case of adoption of unwanted overlap.
This thesis reveals how the global application of safeguards in comparison with bilateral and regional safeguards such safeguards, will also provide prescriptions about things to do in implementing the provisions of bilateral and regional safeguards between countries BTA and RTA member who is also the Member States WTO provisions which apply global safeguards.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
S7974
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Baihaqi
"Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memutuskan perjanjian internasional mengenai perdagangan senjata di seluruh dunia, atau lebih dikenal dengan Arms Trade Treaty (ATT) pada tanggal 2 April 2013. Tujuan dibentuknya ATT adalah untuk meregulasi dan membatasi perdagangan senjata internasional, mulai dari senjata ringan hingga senjata berat, seperti tank tempur, kapal perang dan lain sebaagainya. Tidak kurang dari 154 negara menyatakan mendukung, tiga negara menolak perjanjian tersebut, dan 23 negara menyatakan abstain. Dan Iran adalah salah satu yang menyatakan menolak ATT. Menariknya adalah sikap Iran yang sejak awal mendukung dan terlibat dalam perumusan ATT, pada akhirnya beda sikap ketika mau disetujui (voting).
Dengan pendekatan kualitatif dan mengadopsi penelitian model studi kasus ini, hasilnya adalah diketahui bahwa penolakan Iran atas ATT berkaitan dengan keberlangsungan keamanan serta kepentingan nasional Iran di kawasan Timur Tengah dan terancamnya kebijakan transfer senjata Iran jika diberlakukan ATT, melalui pasal-pasal yang dianggap merugikan Iran, merupakan alasan Iran menyatakan menolak menandatangani perjanjian tersebut.
Traktat Perdagangan Senjata memberikan regulasi yang menyeluruh untuk menghentikan seluruh transfer senjata dari Iran mengingat traktat tersebut memperkuat keputusan embargo yang telah dikeluarkan Dewan Keamanan PBB. Iran dilarang mentransfer dan menerima transfer senjata dari negara manapun. Lebih lanjut, hampir seluruh mitra utama Iran di Timur Tengah dilarang menerima transfer senjata dari Iran akibat permasalahan embargo, terorisme, dan HAM yang mereka alami.

The General Assembly of the United Nations (UN) has launched an international treaty on the arms trade worldwide, or known as the Arms Trade Treaty (ATT) on April 2, 2013. The purpose of the ATT is to regulate and restrict the arms trade international, ranging from small arms to heavy weapons, such as battle tanks, warships and so on. No less than 154 countries expressed support, three countries rejected the agreement, and 23 countries abstained. And Iran is one of the states refused ATT. Interestingly, Iran's position from beginning to support and be involved in the formulation of a different attitude when eventual ATT will be approved (voting).
With qualitative approach and adopting a model case study, the result is known that Iran's refusal on ATT relating to the sustainability of Iran's security and national interests in the Middle East region and threatened Iranian arms transfer policy if applied ATT, through clauses that are considered harming Iran, is the reason for refusing to sign the agreement.
Arms Trade Treaty give a thorough regulation to stop all arms transfers from Iran considering the the treaty's decision strengthens the embargo that has been issued by the UN of Security Council. Iran is prohibited to transfer and accept transfering of weapons from any country. Further, almost all of the major partners of Iran in the Middle East are prohibited receiving arms transfers from over the issue of the embargo, terrorism, and human rights that they have experienced.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yubiwini
"ABSTRAK
Berdasarkan analisis data perdagangan antara Indonesia dan Singapura pada tingkat klasifikasi enam digit, kami menemukan bukti penggelapan pajak impor: ekspor dari Singapura ke Indonesia kurang dilaporkan pada Bea dan Cukai Indonesia, dan penghindaran pajak meningkat seiring dengan naiknya tarif. Yang menarik, penghindaran tampaknya lebih berkaitan dengan pajak pertambahan nilai yang dikenakan pada hampir semua barang impor. Makalah ini juga menguji apakah diskriminasi tarif di bawah perjanjian perdagangan bebas dapat menghasilkan lebih banyak barang dari negara lain yang diimpor melalui Singapura dan kemudian diekspor ke Indonesia, dan karenanya berpotensi melanggar aturan asal ROO . Yang terakhir, kehadiran hambatan non-tarif yang dirancang untuk melindungi industri nasional juga dapat memotivasi penyelundupan.

ABSTRACT
Based on the analysis of trade data between Indonesia and Singapore at the six digit level of classification, we find evidence of import tax evasion exports from Singapore to Indonesia are under reported in Indonesian customs, and the evasion increases with the tariff. Interestingly, evasion seems having more to do with value added tax imposed on almost all imported goods. This paper also examines whether tariff discrimination under free trade agreements can result in more goods from other countries being imported via Singapore and then re exported to Indonesia, and hence potentially violating the rules of origin ROO . Finally, the presence of non tariff barriers designed to protect national industries may also motivate smuggling. "
2018
T49975
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilim Mario Zega
"Implementasi perjanjian perdagangan dapat mempengaruhi perdagangan melalui dua efek yaitu trade creation dan trade diversion. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek trade creation dan trade diversion dari implementasi ASEAN +1 FTA terhadap perdagangan bilateral Indonesia dengan 25 negara mitra dagangnya pada periode 2000-2019 yang mana perdagangan bilateral ini menggunakan data ekspor dan impor Indonesia. Metode estimasi menggunakan model gravitasi dengan menambahkan dummy anggota dan bukan anggota. Dengan menggunakan fixed effect time, hasil penelitian ini menemukan adanya trade creation, dan tidak ditemukan trade diversion. Pengaruh implementasi ASEAN +1 FTA ternyata sama-sama meningkatkan ekspor dan impor Indonesia dengan negara anggota dan bukan anggota.

Free Trade Agreement implementation can affect trade through two effects: trade creation and trade diversion. This study aims to analyze the effects of trade creation and trade diversion from the implementation of the ASEAN+1 FTA on Indonesia's bilateral trade with 25 of its trading partner countries in the 2000–2019 period, where this bilateral trade uses Indonesian export and import data. The estimation method uses a gravity model by adding dummy members and non-members. By using the fixed effect time, the results of this study found trade creation and no trade diversion. The effect of implementing the ASEAN +1 FTA turned out to be that both member and non-member countries increased Indonesia's exports and imports."
Depok: Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raja Sawery Gading Dzetaj Notonegoro
"Sejak pertengahan 1990-an, semakin banyak negara berkembang yang menempuh Integrasi Ekonomi Regional (REI) dengan negara maju melalui Perjanjian Perdagangan Regional (RTA). Negara anggota perjanjian tersebut memberikan perlakuan yang lebih menguntungkan terhadap satu sama lain daripada terhadap mitra dagang lainnya yang bukan negara anggota. Perlakuan diskriminatif ini jelas tidak konsisten dengan kewajiban perlakuan Most Favoured Nation (MFN) WTO. Meskipun kewajiban perlakuan MFN merupakan prinsip dasar, namun WTO memperkenankan anggotanya untuk mengesampingkan prinsip tersebut dan menempuh REI berdasarkan Pasal XXIV GATT 1994 untuk RTA, Pasal V GATS untuk Perjanjian Integrasi Ekonomi (EIA) dan Klausul Enabling. Penelitian ini menganalisa mengapa WTO memberikan pengecualian tersebut. Selain itu, penelitian ini mengeksplorasi kecenderungan di kalangan negara berkembang menempuh REI dengan negara maju serta meneliti bagaimana negara berkembang dapat mengambil keuntungan tanpa mengucilkan sistem perdagangan multilateral WTO.
Berdasarkan analisis hukum, REI sangat bermanfaat bagi negara berkembang WTO. Penelitian ini mendesak KTT APEC ke-21 dan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali untuk digunakan sebagai kesempatan untuk menunjukkan peran aktif dari masing-masing negara berkembang terutama tuan rumah, Indonesia, dalam mempromosikan liberalisasi perdagangan dan investasi secara regional dan global. Penelitian ini menyimpulkan bahwa REI diperlukan untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam mewujudkan tujuan WTO untuk menciptakan perdagangan yang bebas dan adil. Selain itu, negara berkembang disarankan untuk menggunakan REI sebagai pilihan kebijakan terbaik kedua dan terus menempatkan prioritas tertinggi pada WTO dengan berkomitmen terhadap modus operandi WTO.

Since mid-1990s, developing countries are increasingly pursuing Regional Economic Integration (REI) with developed countries through Regional Trade Agreements (RTA). In this case, the parties to such agreements offer each other more favourable treatment than they offer to other trading partners that are nonparties. Clearly, such discriminatory treatment is inconsistent with the Most Favoured Nation (MFN) treatment obligation of the WTO. Although MFN treatment obligation is a fundamental principle, the WTO does allow WTO members to set aside the principle and pursue REI under Article XXIV of the GATT 1994 for RTA, Article V of the GATS for Economic Integration Agreement (EIA) and the Enabling Clause. With that being said, this research analyses why does the WTO provides such exception. In addition, it explores the tendency among developing countries to pursue REI with developed countries and and examines how can those developing countries benefit from their pursuit without undermining the multilateral trading system of the WTO.
Based on a legal analysis, this research argues that REI will be highly beneficial for developing countries of the WTO. Furthermore, the research urges the 21st APEC Summit and the 9th Ministerial Conference of the WTO in Bali to be used as an opportunity to demonstrate an active role of each developing economy especially the host, Indonesia, in promoting regional and global trade and investment liberalisation. This research concludes that REI is necessary to take further steps towards realising the goal of the WTO to have a fair and freer trade. Moreover, developing countries are recommended to consider REI as the second best policy option and continue to place the highest priority on the WTO by committing to modus operandi of the WTO.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46843
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Narulita Yutiningsari
"Dengan menggunakan  Global Trade Analysis Project (GTAP) CGE model ekonomi global, penelitian ini menganalisis tingkat keuntungan yang diperoleh Indonesia dengan tiga mitra dagangnya—Tiongkok, Jepang, dan Amerika—dari perjanjian perdagangan antara Indonesia dengan negara mitra tersebut. Selain itu, termasuk dalam lingkup penelitian ini adalah analisis terhadap perjanjian unilateral di Indonesia untuk digunakan sebagai pembanding liberalisasi kebijakan bilateral. Penelitian ini dilakukan dengan mensimulasikan akibat yang mungkin terjadi dari setiap kebijakan penghapusan tarif barang impor. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan akibat yang terjadi dari setiap kebijakan liberalisasi perdangan, namun manfaat ekonomi terbesar dapat diperoleh dari kebijakan unilateral. Namun, tingkat keuntungan maksimal dimungkinkan tidak diperoleh karena keunikan kebijakan ROO dari masing-masing negara partner—yang mengakibatkan berkurangnya keuntungan sebesar kurang lebih 25%.

Using the Global Trade Analysis Project (GTAP) CGE model of the global economy, this essay analyses how much trade agreements between Indonesia and its top three trading partners-China, Japan, and the USA-could benefit Indonesia and those trading partners. In addition, an analysis of unilateral trade liberalization in Indonesia is included to provide a comparison of alternative trade liberalization policy strategies. The study conducts experiments by simulating the potential effect of the removal tariffs on imported merchandise under each liberalization scenario. Although the impact of trade liberalization is variable between strategies, but the result suggests that the greatest economic benefit is from the unilateral scenario. However, the restrictiveness of preferential RoO would limit the scope for achieving the full benefit projected for the bilateral liberalization scenarios-discount rates of around 25 percent have been suggested."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T52905
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Febrianti Rachmadani
"Dengan adanya tujuan untuk menegaskan kembali komitmen untuk membentuk rezim perdagangan internasional yang liberal, fasilitatif, kompetitif serta dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi global, negara-negara anggota ASEAN bersama dengan Selandia Baru, Australia, China, Jepang dan Korea Selatan menandatangani perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada tanggal 15 November 2019 secara virtual pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-36 yang diselenggarakan di Vietnam. Bersama dengan negara Filipina yang telah resmi bergabung menjadi anggota dan meratifikasi perjanjian RCEP pada tanggal 21 Februari 2023 lalu, perjanjian yang memuat pengaturan mengenai pengurangan pajak tarif kepabeanan ini diharapkan dapat merealisasikan intensi utamanya dalam mengurangi hambatan kegiatan transaksi perdagangan internasional. Keberhasilan eksistensi dari RCEP sangatlah berpangkal pada rincian substansi perjanjian yang ekstensif maupun fasilitatif dan aturan penyelesaian sengketa yang akan ditemui. Sedangkan berbeda dengan perjanjian perdagangan bebas multilateral pada umumnya, RCEP tidak memuat mekanisme penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tujuan investasi (host country). Sebagai perjanjian yang mencakup seperempat dari Foreign Direct Investment (FDI) dunia, pengaturan mengenai investasi asing menjadi penting dan perlu diperhatikan.

With the sole purpose as to reaffirm their commitment to form a liberal, facilitative, and competitive international trade regime that can furthermore contribute in the interest of global economic growth and development, ASEAN member countries along with New Zealand, Australia, China, Japan and South Korea through its delegates signed the Regional Comprehensive Economic Partnership agreement on November 1th 2019 virtually at the 36th ASEAN Summit hosted by Vietnam. Together with the Philippines which has officially joined as a member and ratified the RCEP agreement that covers provisions concerning the reduction of customs tax rates on February 21st 2023, RCEP is expected to achieve its main objective in reducing barriers to international trade. The default of the existence of RCEP is very much based on the details of the substance of the provisions in terms to provide an extensive and facilitative substance of the agreement, as well as the dispute resolution mechanism that will be encountered in the future. Whereas, in contrast to multilateral free trade agreements in general, RCEP does not include a dispute resolution mechanism between investors and host country. As an agreement that covers a quarter of the world’s Foreign Direct Investment (FDI), regulations regarding foreign investment are essential and need to be paid attention to."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>