Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fajar Muhammad Arrofi
Abstrak :
Penelitian menganalisis penerapan ketentuan tie breaker rule yang terdapat pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan Australia atas penentuan status domisili pekerja asing di Indonesia dan permasalahan dalam pelaksanaannya dengan mengambil studi kasus pada Mr. X. Mr. X adalah pekerja asing di Indonesia yang berasal dari Australia yang berdasarkan hukum pajak domestik di Indonesia dan Australia mempunyai status domisili di kedua negara. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Kerangka teori yang digunakan antara lain pajak internasional, yurisdiksi pemajakan, domisili fiskal, penghindaran pajak berganda internasional, perjanjian penghindaran pajak berganda, dan pembagian hak pemajakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan ketentuan tie breaker rule belum dapat memecahkan masalah status domisili ganda pada Mr. X. Solusi yang dilakukan dengan memberikan kredit pajak luar negeri belum tepat karena seharusnya status domisili dapat ditentukan dengan mutual aggeement procedure. Peraturan pelaksanaan mengenai tie breaker rule harus dibuat agar lebih jelas. ...... The research analyzes the application of the provisions tie breaker rule in tax treaty between Indonesia and Australia for the determination of resident of foreign workers in Indonesia by taking case study on Mr. X. Mr. X is foreign worker in Indonesia from Australia and based on domestic tax laws in Indonesia and Australia have resident status in both countries. Collecting data through in-depth interviews and literature study. Framework theory used are international taxation, tax jurisdiction,tax treaty, and division of right to tax. The result of the research are application of provisions tie breaker rule has not solved problems double status domicile on Mr. X. Solutions that done by giving a tax credit has not been right because status domicile can be determined with mutual aggreement procedure. Regulations of tie breaker rule implementation should be made to make it more clear.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nastiti Tri Sandy
Abstrak :
ABSTRAK
Salah satu permasalahan kependudukan rangkap terjadi apabila seorang Wajib Pajak Luar Negeri menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dalam satu tahun pajak. Mr. X adalah seorang warga negara Malaysia yang memperoleh keuntungan atas penjualan saham PT A yang tidak diperdagangkan di bursa non-listed company sehingga dikenakan pajak penghasilan atas keuntungan tersebut di Indonesia. Namun, pajak penghasilan tersebut dihitung berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi Wajib Pajak Dalam Negeri sehingga menimbulkan pajak kurang bayar dalam SPT Tahunan Mr. X Tahun Pajak 2010. Atas ketidaksesuaian pengenaan pajak penghasilan yang tertuang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2010, maka perlu dilakukan penelitian untuk menentukan status residensi Mr. X yang sebenarnya agar pajak yang dikenakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi dirinya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik analisis data kualitatif. Hasil penelitian ini adalah Mr. X terbukti sebagai Wajib Pajak Luar Negeri berdasarkan pengujian atas ketentuan tie breaker rule dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda P3B antara Indonesia dengan Malaysia. Kemudian, atas keuntungan penjualan saham non bursa efek yang diterima Mr. X dari Indonesia hanya dikenakan pajak penghasilan di Malaysia sesuai dengan hukum domestik perpajakan Malaysia. Saran yang dapat diberikan adalah diperlukan pemahaman akan P3B atau tax treaty bagi pemeriksa pajak, terutama mengenai kewajiban perpajakan untuk WPLN. Selain itu, Mr. X dapat mengajukan pencabutan Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP agar ia hanya menjadi residen di 1 satu negara saja.
ABSTRACT
One of the dual residence problems occurs when a Foreign Tax Payer receives or obtains income from Indonesia within one tax year. Mr. X is a Malaysian citizen who gains a capital gain on the sale of PT A rsquo s non trading shares in stock exchange non listed company so that the income tax is imposed on such profits in Indonesia. However, the income tax is calculated based on the applicable tax law for Domestic Tax Payers, thereby incurring the underpayment tax in Mr. X rsquo s Annual Income Tax Return for Tax Year 2010. On the inconsistency of the imposition of income tax as stated in Tax Assessment Letter Income Tax Year 2010, it is necessary to conduct research to determine the status of residency of Mr. X in order that the taxes imposed in accordance with the provisions that apply to him. This research uses descriptive qualitative method with qualitative data analysis technique. The results of this research are Mr. X is proven as a Foreign Tax Payer based on the test of the provision of tie breaker rule in Tax Treaty between Indonesia and Malaysia. Then, the profit of the sale of non stock exchange shares received by Mr. X from Indonesia is only subject to income tax in Malaysia in accordance with Malaysian domestic tax law. The suggestions to be given are the need of understanding of P3B or tax treaty for tax inspector, especially regarding tax obligation for foreign taxpayer. In addition, Mr. X may apply for deregistration of Taxpayer Identification Number NPWP so that he will only be a resident in 1 one country only.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muslim Ansori
Abstrak :
Dua model tax treaty yang banyak digunakan sebagai acuan oleh berbagai negara (acceptable) adalah UN Model dan OECD Model. Kedua model tersebut selaju dikembangkan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Salah satu perkembangan OECD Model adalah asimilasi pasal 14 tentang independent personal Services ke dalam pasal 7 tentang business profit. Beberapa argumentasinya antara lain tidak ada perbedaan antara karakteristik penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana diatur dalam pasal 14 dengan penghasilan Wajib Pajak Badan yang diatur dalam pasal 7, pasal 14 tidak memberikan batasan yang jelas jenis kegiatan apa saja yang termasuk dalpjn pengertian pemberian jasa profesional, pasal 14 tidak jelas untuk individu atau juga dapat diberlakukan kepada badan, dan tidak ada perbedaan antara konsep permanent eslablishment yang digunakan sebagai kriteria pemajakan pada Pasal 7 dengan fixed base yan.% digunakan sebagai alat uji pemajakan pada Pasal 14. Mengingat OECD Model merupakan salah satu acuan penting yang digunakan oleh banyak Negara dalam membuat tax treaty dengan negara lain, maka penulis meagangap perlu untuk melakukan kajian terhadap revisi OECD Model Tahun 2000 tersebut. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah apakah karakteristik penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai mana diatur dalam pasal 14 sama dengan penghasilan Wajib Pajak Badan yang diatur dalam pasal 7 OECD Model. Kemudian apa implikasinya terhadap hak pemajakan Indonesia jika tax treaty Indonesia mengikuti revisi OECD Model tersebut di atps. Metodologi yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini adalah studi literatur. Berdasarkan hasil pembahasan, maka disimpulkan bahwa karakteristik penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dengan Penghasilan Wajib Pajak Badan seperti diatur dalam PasaJ 7 OECD Model memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya secara hakekat ekonomi merupakan peningkatan kemampuan ekonomi. Namun terminologi penghasilan digunakan untuk orang pribadi sedangkan terminologi laba digunakan untuk badan atau perusahaan. Dari aspek fax treaty, hak pemajakan negara sumber diuji melalui fixed place dan fixed base. Perbedaanya yang terjadi hanyalah perbedaan aspek teknis seperti atas nama pembayaran jasa, independensi pemberi jasa, dan lain-lain. Pengaruh asimilasi Pasal 14 tentang independent personal Services ke dalam Pasal 7 tentang business profit menguntungkan bagi hak pemajakan Indonesia. Karena hak pemajakan menjadi lebih luas melalui alat uji BUT yang lebih variatif dan pemenuhan kewajiban perpajakan BUT di Indonesia yang disamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri memberikan keuntungan bagi Indonesia dari aspek administratif dan dari aspek perluasan cakupan pajak yang dapat dikenakan. Alternatif lain, jika diterapkan dalam tax treaty Indonesia dapat dilihat berdasarkan ketentuan yang ada dalam Pasal independent personal Services dan Pasal furnishing of Services. Ketentuan tersebut dapat berbentuk time tesi, maupun persentase tertentu. Dampaknya bagi hak pemajakan Indonesia bisa menguntungkan, sama saja, dan merugikan. ......Two tar treaty models, which various countries use as a reference, are the UN Model and OECD Model. Both models are always developed and improvedfrom time to time. One of the improvements is the assimilation of Article 14 op Independent Personal Service into Article 7 on Business Profit. Some arguments are as followings: there is no difference between the characteristics of “income” earns by a Person, as stated in Article 14, with “income” earns by Company, as stated in Article 7; Article 14 does not provide a clear limit on what type of activities included in the definition of professional Services; Article 14 is not clear to the individual or can it also be applied to Company, and there is no difference between the concept of Permanent Establishment, which is used as tar criteria in Article 7 with the Fixed Base concept which is used as a tarlool test in Article 14. Given the OECD Model is one of the important references used by many countries in making tax Treaty with other countries, the authors perceive the need to study the revision of the Year 2001 OECD Model. The objective is to find out whether the characteristic of Personal Income, stated in Article 14, is the same characteristic of Corporate Income, stated in Article 7. Then what would be the implication if Indonesia applied the tar treaty of revised OECD Model. The methodology that will be used in this research is the study of literature. The result shows that there similarity and differences in the characteristics of Income. Both are essentially consideredas the increase of wealth. It use the terminology of Income for individual and Profit for corporate. From the tar Treaty aspect, the State has the rights to exercise through Fixed Place and Fixed Base. Other differences are more in to technical aspects such as differences in the name pf payment Services, independence of Service providers, etc. The assimilation of Article 14 to the Article 7 gives Indonesia the advantages in exercising its rights, because it gives more rights and it does not recognize the tar-protected corporate income. If the tar treaty is applied in Indonesia, we have other alternatives stated in Independent Personal Services Article and Furnishing of Services Article. These provisions can be in the form of time test and percentage.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T25783
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agustine Rarahere Noach
Abstrak :
Dewasa ini, dengan adanya perkembangan teknologi dan akses internet, dunia digital telah menjadi aspek penting dalam kehidupan sehari-hari manusia. Untuk mengikuti perkembangan zaman tersebut, Indonesia kemudian membuat suatu peraturan perundang-undangan untuk memfasilitasi perdagangan melalui sistem elektronik. Adapun pengaturan tersebut dituang di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, yang kemudian telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Di dalam menerapkan pemungutan pajak transaksi elektronik tersebut bagi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, Pemerintah Indonesia juga harus memperhatikan pengaturan mengenai Perjanjian Penghindaran Pajak berganda (P3B) yang berlaku di antara Indonesia dan negara-negara lain yang telah bersepakat. Penelitian ini membahas permasalahan-permasalahan yang mungkin terjadi apabila aturan ini diadakan. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah terkait status Pajak Transaksi Elektronik di dalam pengaturan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan kedudukan Pajak Transaksi Elektronik dalam taxes covered yang dimaksudkan di dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Penelitian ini menggunakan tipologi penelitian eksploratif dengan bentuk penelitiannya normatif dengan tujuan untuk memperoleh data awal tentang pengetahuan baru ini melalui penelitian kepustakaan.  ......Nowadays, with the development of technology and internet access, the digital world has become an important aspect of people's daily lives. To keep up with the times, Indonesia then made laws and regulations to facilitate trade through electronic systems. The regulation is stated in the Government Regulation in Lieu of Law Number 1 of 2020 concerning State Financial Policy and Financial System Stability for Handling Pandemic Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) and/or in the Context of Facing Threats Endanger the National Economy and/or Financial System Stability, which has subsequently been ratified as Law Number 2 of 2020. In implementing the electronic transaction tax collection for foreign companies in Indonesia, the Indonesian Government must also pay attention to the regulations regarding the Multiple Tax Avoidance Agreement (P3B) in effect in between Indonesia and other countries that have agreed. This study discusses the problems that might occur when this rule is implemented. These problems are related to the status of Electronic Transaction Tax in the regulation of Electronic Trading and the position of Electronic Transaction Tax in “taxes covered” as referred to in the Double Taxation Avoidance Agreement (P3B). This study uses a typology of exploratory research with a normative form of research in order to obtain preliminary data about this new knowledge through library research.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jita Shofiyani
Abstrak :
Sebagai negara yang terlibat dalam pembentukkan BEPS Action Plan 14, atas implementasi MAP di Indonesia dinilai sesuai standar dalam BEPS Action Plan 14. Agar semakin baik, Pemerintah juga mengatur MAP dalam Pasal 27C UU HPP. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis penerapan BEPS Action Plan 14 pada kebijakan MAP di Indonesia, menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi Wajib Pajak untuk mengajukan atau tidak mengajukan MAP di Indonesia, dan menganalisis dasar pertimbangan dicantumkannya klausul MAP dalam UU HPP. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi MAP di Indonesia menunjukkan hasil yang baik karena telah mengadopsi sebanyak 18 rekomendasi BEPS Action Plan 14. Adapun, faktor-faktor yang melatarbelakangi Wajib Pajak untuk mengajukan MAP diantaranya kesempatan menghilangkan double tax, pembaharuan MAP, dapat mengajukan MAP bersamaan dengan domestic remedies, dan lainnya. Sedangkan faktor yang melatarbelakangi untuk tidak mengajukan MAP antara lain hasil keputusan berupa agree to disagree, jangka waktu penyelesaian keberatan dan banding bisa lebih cepat dibandingkan MAP, mutasi pegawai DJP, transparansi DJP dalam proses perundingan, dan lainnya. Selanjutnya, pertimbangan dicantumkannya klausul MAP dalam UU HPP disebabkan terdapat tiga isu yaitu isu administratif, kedudukan MAP dalam hukum pajak di Indonesia, dan permasalahan apabila MAP diajukan bersamaan dengan upaya hukum domestik. ......As a country involved in the formation of BEPS Action Plan 14, implementing MAP in Indonesia is assessed based on the BEPS 14 Action Plan standards. To improve the implementation of MAP, the Government also ratified Article 27C of the HPP Law. This research aims to analyze the implementation of BEPS Action Plan 14 on MAP policy in Indonesia, the factors behind taxpayers applying or not applying for MAP in Indonesia, and the reason the MAP clause regulates in the HPP Law. This research uses a qualitative approach with qualitative data collection techniques. The results show that the implementation of MAP in Indonesia has shown good results because it has adopted as many as 18 BEPS Action Plan 14 recommendations. Meanwhile, the factors behind taxpayers submitting a MAP are the opportunity to eliminate double taxation, renewal of MAP, MAP can be submitted together with judicial remedies, etc. Meanwhile, the factors behind not submitting the MAP are the results of the decision agreeing to disagree, the time for resolving objections and appeals can be faster than MAP, employee mutations in the DGT, DGT transparency in the negotiation process, etc. In addition, the basis for considering the inclusion of the MAP clause in the HPP Law is due to three issues: administrative issues, the position of MAP in tax law in Indonesia, and problems if the MAP is filed together with domestic legal remedies.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratyan Noer Hartiko
Abstrak :
Perekonomian global dan arus investasi lintas batas negara semakin berkembang dengan sangat pesat. Pesatnya arus investasi lintas batas negara membawa keuntungan sekaligus ancaman. Dalam hal perpajakan, investasi lintas batas negara bisa menyebabkan pemungutan pajak berganda oleh dua negara terhadap objek pajak yang sama. Hal ini dikarenakan yuridiksi negara dalam memungut pajak atas warga negara yang berada di negara asing untuk berinvestasi dan warga negara asing yang berinvestasi di negara tersebut. Keadaan ini menyebabkan satu objek pajak dikenakan pajak yang sama oleh kedua negara. sehingga pelaku bisnis mencoba untuk melakukan penghindaran pajak berganda. Hal ini menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak sebuah negara. Salah satu solusi menghadapi permasalahan ini adalah dengan membuat perjanjian penghindaran pajak berganda antar dua negara. Dalam perjanjian penghindaran pajak berganda biasanya mengikuti model yang telah ada dan dipakai luas di dunia seperti OECD model (model yang dikembangkan Organization for Economic Cooperation and Development) dan UN model (model yang dikembangkan United Nations). Masing-masing model memiliki perbedaan terutama dalam hak menarik pajak oleh negara. Namun semua kembali kepada negosiasi antara kedua negara dalam menentukan isi pasal dalam perjanjian penghindaran pajak berganda mereka. Indonesia sendiri telah melakukan negosiasi pertama mengenai perjanjian penghindaran pajak berganda dengan Belanda dimulai tahun 1970-an dan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda ini selain sebagai perjanjian untuk menghindarkan pajak berganda, juga sebagai upaya Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain. Semakin berkembangnya perekenomian global, perjanjian penghindaran pajak berganda ini diamandemen beberapa kali hingga tahun 2002. Namun renegosiasi ini belum selesai dan akan terus terjadi, selama perekonomian global terus berkembang dan undang-undang pajak penghasilan terus berubah menyesuaikan kondisi masing-masing negara. ......Global economic and transnational of investment flows growing very fast. The rapid grow of transnational of investment flows bring both benefits and. In term of taxation, transnational investment could lead to double tax collection by both of the countries to same tax object. This is due to jurisdiction of the country in collecting taxes on citizens residing in foreign countries to invest and foreign citizens who invest in the country. This situation led to an same tax object of is taxed by both countries. So business people trying to do the avoidance of double taxation. This can lead to loss of potential tax revenues of a country. One of the solutions to this problem is to make a tax treaty between two countries. In the tax treaties typically follow a model that already exist and are used widely known in the world such as the OECD model (model developed by the Organization for Economic Cooperation and Development) and UN model (model developed by the United Nations). Each of model has its differences, especially in the right to tax by the country. But all returned to the negotiation between the two countries in determining the content of articles in their tax treaty. Indonesia itself has been negotiated the first tax treaty with the Netherlands began in the 1970s and within tax treaty is in addition to a treaty to avoid double taxation, as well as Indonesia's efforts to gain recognition from other countries. The continued development of global economies, this double taxation avoidance agreement was amended several times until 2002. However, renegotiation is not completed and will continue to occur, as long as the global economic continues to grow and the income tax law continue to change adjusting the conditions of each countries.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1330
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library