Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edith Rina Aditya
"Untuk mengimbangi la.ncarnya roda perekonomian dan teknologi dibutuhkan kecepatan dan ketepatan waktu, karena itu peranan perhubungan adalah sangat penting khususnya angkutan udara, maka diadakanlah pengangkutan udara oleh PT. Garuda Indonesian Airways. Dimana didalamnya terdapat perjanjian pengangkutan udara.
Yang menjadi obyek dari perjanjian pengangkutan udara ini adalah fasilitas angkutan udara dengan pesawat udara oleh penumpang dan biaya angkutan yang di tetapkan oleh Garuda. Melihat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian angkutan udara tersebut, terlihat bahwa kedudukan penumpang lebih lemah dibandingkan kedudukan Perusahaan Garuda (pengangkut). Keadaan demikian diciptakan demi terselenggaranya kepentingan umum.
Dari hubungan ini terdapat kemungkinan timbulnya kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan melanggar hukum maupun karena wanprestasi. Untuk menghindari kesimpangsiuran, maka dalam penuntutan ganti rugi harus jelas dasar penuntutan ganti rugi tersebut. Demikian pula perlu dipikirkan tentang perlindungan terhadap konsumen, agar para pemakai jasa angkutan udara mengetahui hak-haknya."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, James
"Semakin pesatnya kemajuan teknologi dengan segala fasilitas-fasilitas yang disediakannya membawa pengaruh besar dalan membantu kelancaran serta mempercepat komunikasi antar manusia yang berada dalam. wilayah yang berjauhan. Salah satu dari teknologi yang perkenbangannya pada saat ini sangat pesat sekali adalah sarana transportasi yang berupa Pengangkutan Udara yang dilayani oleh Perusahaan-perusahaan Penerbangan Konersial. Sarana transportasi ini sangat penting artinya bagi kepentingan perekonomian, karena merupakan salah satu kunci utama dari penggerak roda pembangunan suatu bangsa, terutama dalan rangka memperlancar arus barang/jasa dan manusia dari suatu tempat ke tempnt lain. Dalam kegiatan penerbangan akan ditemui juga berbagai resiko, baik yang disengaja maupun karena kelalaian salah satu pihak. Resiko yang demikian tersebut akan membawa kerugian baik yang berbentuk kerugian immaterial maupun materiil bagi para pihak yang terlibat di dalamnya seperti misalnya penumpang yang menggunakan jasa penerbangan tersebut. Sebagai hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa sampai saat ini belum ada kepastian hukum bagi para pemakai jasa angkutan udara dalam hal mereka menderita kerugian akibat kesalahan pengangkut. karena peraturan yang dipakai dalam menetapkan besarnya ganti rugi sudah tidak sesuai lagi dengan nilai mata uang sekarang. Untuk itu disarankan, alangkah baiknya bila pihak yang berwenang dalam hal ini Pemerintah tentunya mengadakan peninjauan kembali terhadap peraturan ganti rugi bagi para pemakai jasa angkutan udara sehingga mereka merasa lebih terjamin keamanan dan keselamatannya dalam menggunakan jasa angkutan udara."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuke Putri Amalia
"Dengan wilayah teritorial Indonesia yang luas dan terdiri atas lebih dari enam belas ribu pulau, membuat distribusi barang dagang memerlukan sarana yang mumpuni untuk menunjang kegiatan perdagangan. Saat ini, sudah banyak berdiri perusahaan jasa pengangkut barang yang bertanggung jawab atas proses pemindahan barang dagang. Penggunaan jasa pengangkutan ini menggunakan perjanjian pengangkutan sebagai dasar kerjasama. Perjanjian pengangkutan diatur dalam KUHPerdata, KUHD dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Walaupun perjanjian pengangkutan tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, pembuatan perjanjian pengangkutan mengikuti syarah sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pemenuhan prestasi perjanjian dapat terjadi suatu keadaan tidak terduga yang tidak dapat dicegah dan memengaruhi proses pemenuhan perjanjian atau dapat disebut keadaan memaksa. Seperti yang termuat dalam kasus Putusan Nomor: 67/Pdt.G/2020/PN Pbr diajukan gugatan wanprestasi terhadap Tergugat yang ditolak oleh Majelis Hakim karena adanya keadaan memaksa. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas mengenai tanggung jawab pengangkut atas wanprestasi yang terjadi akibat keadaan memaksa dalam perjanjian pengangkutan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang memilki pendekatan melalui peraturan perundang-undangan dan studi kasus. Dari penelitian ini dapat ditemukan bahwa dalam pemenuhan prestasi perjanjian pengangkutan dalam perkara ini terdapat wanprestasi yang disebabkan oleh keadaan memaksa sehingga tanggung jawab ganti rugi dari pengangkut dihapuskan.

With Indonesia's vast territorial territory consisting of more than sixteen thousand islands, distribution of trade goods requires adequate facilities to support trade activities. Currently, many goods carrier service companies have been established which are responsible for the process of moving merchandise. The use of this transportation service uses a transportation agreement as the basis for cooperation. Transportation agreements are regulated in the Civil Code, Commercial Code and other relevant laws and regulations. Even though transportation agreements are not specifically regulated in the Civil Code, the making of transportation agreements follows the legality of agreements as stated in Article 1320 of the Civil Code. In fulfilling the performance of an agreement, an unexpected situation may occur which cannot be prevented and affect the process of fulfilling the agreement or can be called a force majeure. As stated in case Decision Number: 67/Pdt.G/2020/PN Pbr, a lawsuit for breach of contract was filed against the Defendant which was rejected by the Panel of Judges due to compelling circumstances. Therefore, this research will discuss the carrier's responsibility for defaults that occur due to force majeure in the carriage agreement. This research is normative juridical research which has an approach through statutory regulations and case studies. From this research it can be found that in fulfilling the performance of the transportation agreement in this case there was a default caused by compelling circumstances so that the responsibility for compensation from the carrier was abolished.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman Mador M. O. S.
"UU No.13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian telah memberikan kewenangan untuk melakukan monopoli di sektor angkutan kereta api kepada suatu badan penyelenggara. PT KA dalam hal ini merupakan satu-satunya badan penyelenggara yang didirikan untuk dapat menjalankan kewenangan badan penyelenggara tersebut. Sebagai satu-satunya operator kereta api di Indonesia, PT KA memiliki keunggulan ekonomis, yaitu posisi monopoli terhadap penyediaan jasa angkutan kereta api tersebut, dibandingkan dengan badan usaha lain yang mempergunakan jasa angkutan kereta api tersebut. Dengan kondisi yang tidak seimbang tersebut, badan usaha lainnya yang memilih kereta api sebagai satu-satunya altematif yang paling tepat untuk tujuan pengangkutan, tetap mengadakan hubungan perjanjian dengan PT KA tersebut. Kondisi yang tidak seimbang dalam penutupan perjanjian tersebut melahirkan klausula-klausula yang memberatkan bagi pengguna jasa angkutan dan tidak sesuai dengan kepatutan. Suatu kondisi tidak adanya keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur, adalah tidak sesuai dengan falsafah Pancasila. KUHPER, yang menganut asas kebebasan berkontrak, dengan ketiadaan keseimbangan kondisi ekonomis pada waktu penutupan perjanjian tidaldah rnembuat perjanjian tersebut menjadi langsung tidak sah dan tidak mengikat, akan tetapi dengan adanya akibat pelaksanaan prestasi yang berat sebelah dan tidak sesuai kepatutan oleh pengguna jasa angkutan kereta api tersebut, membuat perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim. Berdasarkan praktek yurisprudensi di Indonesia, hakim dapat saja mencari perjanjian yang dimintakan pembatalannya tersebut, dengan membatalkan klausula yang tidak sesuai dengan kepatutan tersebut dan mengubahnya sesuai rasa keadilan hakim yang paling baik (ex aqua et bona) ataupun membatalkan perjanjian tersebut secara keseluruhan.

Law number 13 year of 1992 concerning on Railway provides monopoly authority to a certain coordinator institution in the rail transportation sector. In this case, Railway State-Owned Company (PT KA) is the only institution established in order to maintain the authority. As the only railway operator in Indonesia, PT KA has economical benefit, the monopoly position in providing the railway transportation service, compared to other business entities which also use the railway transportation service. Due to the imbalance position, those business entities, which choose the railway as the only perfect alternative for their transportations, still maintain/is still entitled to maintain their contract with PTKA. The imbalance position in closing the contract has raised severe clauses for the user of the railway transportation, and these are unfair. A condition in which imbalance implementation of the contract's right and obligation exists does not meet the Philosophy of Pancasila. According to the Codification of Civil Law (KUHPER), which consists of the Principle of the Freedom of Contract, the imbalance of economic condition in closing the contract does not make the contract become illegal and invalid, but as the result of the existence of the imbalance in obligation implementation as well as the unfairness raised by the railway transportation user has caused the contract to be terminated by the Judges as long as there is a request to do so. In accordance with the Indonesia Jurisprudence, a Judge could interfere the agreement which has been made by the parties by terminating the unfair clauses and amending them based on the Judge's fairest value (ex aquo et bono), or even completely terminating the contract."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emil Fadjrin
"Dewasa ini angka pertumbuhan penggunaan transportasi udara semakin meningkat setiap tahunnya namun hal tersebut belum diimbangi dengan peningkatan pelayanan oleh badan usaha angkutan udara. Tidak sedikit penumpang yang menggugat badan usaha angkutan udara karena rasa dirugikan akibat pelayanan yang buruk, salah satunya adalah seperti yang akan dibahas dalam skripsi ini mengenai kasus yang terdapat dalam Putusan No. 441/Pdt.G/2013/PN.JKT.PST dimana seorang penumpang menggugat perusahaan Lion Air karena tidak memberitahu mengenai adanya ganti pesawat untuk rute Bali-Lombok, sehingga penumpang tersebut ditinggal oleh pesawat yang seharusnya mengangkutnya, yaitu Wings Air. Penumpang selaku Penggugat mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum karena Penggugat menganggap tindakan Lion Air yang mengganti pesawat tanpa melakukan pemberitahuan merupakan perbuatan yang sewenang-wenang dan telah mengakibatkan kerugian karena akibat kejadian tersebut, Penggugat batal bertemu dengan calon kliennya. Permasalahannya adalah di antara Penggugat dengan Tergugat terdapat hubungan kontraktual berupa perjanjian pengangkutan yang ditandai dengan adanya tiket penerbangan, sedangkan Penggugat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Permasalahan tersebut dibahas dalam penulisan skripsi ini didasarkan pada teori-teori yang ada.

The use of air transportation is increasing every year, but it has not been folowed by increase in service by the airlines. Not a few passengers sue the airline because of their service, one of which is will be discussed in this thesis from the cases contained in Court Decision No. 441 / Pdt.G / 2013 / PN.JKT.PST when one of Lion Air?s passenger sued the company for not informing about change of plane for the route Bali-Lombok, caused the passenger?s left by the plane that should carried him, namely Wings Air. The Passenger as the Plaintiff sued Lion Air based on tort because the Plaintiff said that he had never been informed about change of plane and that has brought the Palintiff in loss as the Plaintiff failed to meet with his client. The problem is there is a contractual relationship between the Plaintiff and the Defendant for transport agreement which is proofed by the ticket, but the Plaintiff sued Lion Air based on tort not breach of contract. It will be discussed in this thesis based on theories.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S61481
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqi Fauzirahman Arsyam
"ABSTRAK
Salah satu kegiatan perdagangan internasional adalah ekspor-impor dimana kegiatan tersebut didasari atas kondisi bahwa tidak ada suatu negara yang benar-benar mandiri karena antara satu negara dengan negara lainnya membutuhkan dan saling mengisi dimana pengangkutan merupakan salah satu sektor penunjang guna terlaksananya kegiatan tersebut. Dalam hal ini, pengangkutan mempunyai peran yang sangat besar dalam kegiatan ekspor-impor. Peran pengangkutan, khususnya pengangkutan laut, dalam ekspor-impor bersifat mutlak karena tanpa pengangkutan, kegiatan ekspor-impor tidak mungkin dapat berjalan. Berbicara mengenai skema pengangkutan dalam perdagangan, Kamar Dagang Internasonal atau The International Chamber of Commerce ICC menerbitkan The International Commercial Terms atau lebih dikenal dengan istilah Incoterms. Ketentuan di dalam Incoterms menjelaskan tanggung jawab penjual dan pembeli untuk mengantarkan barang di bawah perjanjian jual-beli. Ketentuan-ketentuan tersebut menentukan peralihan biaya dan risiko bagi para pihak. Yang menjadi permasalahan adalah, adakah implikasi Incoterms itu sendiri terhadap pihak-pihak diluar dari ketentuan yang diatur dalam Incoterms? Mengingat jalur distribusi barang dalam kegiatan perdagangan tentunya melibatkan pihak ketiga di luar pihak penjual dan pembeli yakni pihak pengangkut. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif, diketahui dalam hasil penilitian ini bahwa meskipun Incoterms hanya mengatur hubungan antara penjual dengan pembeli, namun memiliki keterkaitan dan implikasi yuridis dengan perjanjian pengangkutan dan juga tanggung jawab pengangkut.

ABSTRACT
One of the activities of international trade is import export which based on the condition that there is not a single country is completely independent due to one country is fulfilled and complented each other country. Regarding the implementation of export import, transportation is one of the supporting sector for the implementation of such activities. In this case, transportation has a massive role in import export activities. Tranportation in import export is essential, especially sea transport, because without transportation, those activities are unable to work. In international scope, the International Chamber of Commerce ICC has published The International Commercial Terms or well known as Incoterms. Incoterms rules define the responsibilites of buyers and sellers for the delivery of goods under contract of sale. They are the authoritive rules for determining how costs and risk are allocated to the parties. The question is, is there any implications to the parties outside the Incoterms rules Considering the third parties are certainly involved in distribution of goods in trade activities, i.e. carrier. The shape of this research is normative juridical which concluded that even though Incoterms are the rule only for seller and buyer, but it has relation and implications to the contract of carriage and also to the carrier liability."
Lengkap +
2017
S69747
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jacklin Praycilia Thomas
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai masalah-masalah hukum penerapan hak subrogasi perusahaan asuransi umum dalam asuransi pengangkutan barang melalui laut. Tesis ini mempunyai 2 dua pokok permasalahan. Pertama, bagaimana penerapan hak subrogasi oleh Perusahaan Asuransi Umum kepada Pengangkut dan keterkaitannya dengan Putusan Mahkamah Pelayaran. Kedua, bagaimana keterikatan Perusahaan Asuransi Umum, PT Asuransi AXA Indonesia, dalam perjanjian Pengangkutan yang dibuat antara Pengangkut dengan Tertanggung. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Tujuan dari hak subrogasi adalah untuk mencegah Tertanggung memperoleh ganti kerugian ganda dan mencegah Pengangkut tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya yang menyebabkan kerugian bagi Tertanggung. Dalam menerapkan hak subrogasinya, Perusahaan Asuransi Umum dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke pengadilan negeri yang berwenang dalam jangka waktu 1 satu tahun setelah penyerahan barang atau setelah hari seharusnya barang muatan itu diserahkan oleh Pengangkut. Penerapan hak subrogasi oleh Perusahaan Asuransi Umum dihambat dengan adanya pandangan dan pendapat mengenai adanya putusan Mahkamah Pelayaran dan keterikatan Perusahaan Asuransi Umum pada perjanjian Pengangkutan. Adanya Putusan Mahkamah Pelayaran dapat menjadi keuntungan dan juga hambatan dalam penerapan hak subrogasi oleh Perusahaan Asuransi Umum. Perusahaan Asuransi Umum tidak terikat pada perjanjian Pengangkutan karena perusahaan asuransi bukanlah pihak dalam perjanjian Pengangkutan yang memberikan janji. Hal ini ditinjau dari asas pacta sunt servanda dan asas kepribadian. Dengan demikian, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 499/PDT.G/2015/PN.JKT.BRT jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 257/PDT/2016/PT.DKI merupakan suatu kekeliruan karena General Average tidak terjadi dan PT Asuransi AXA Indonesia tidak terikat pada Perjanjian Pengangkutan.

ABSTRACT
This Thesis discussed legal issues of implementation of the right of subrogation of general insurance company in marine cargo insurance. This thesis has 2 two problems. First, how the impact of the decision of the Admiralty Court against implementation of right of subrogation by General Insurance Company in Marine Cargo Insurance. Second, the linkage of General Insurance Company, PT Asuransi AXA Indonesia on Contract of Carriage made by carrier and insured. This research used in juridical normative. The purposes of the right of subrogation are to prevent the insured get double indemnity and to prevent Carrier from not be responsible for his actions caused the loss for insured. In order to implement the right of subrogation, the General Insurance Company could submit tort lawsuit to the authorized District Court within a period of 1 one year after delivery of goods or after the day should be delivered goods by Carrier. The implementation of right of subrogation inhibited by view and opinion about the existance of the Decision of Admiralty Court and the linkage of General Insurance Company on Contract of Carriage. The Decision of Admiralty Court can be advantage and obstacle to implement right of subrogation by General Insurance Company. General Insurance Company is not bound by the Contract of Carriage because General Insurance Company is not the party of Contract of Carriage. It is based on the principle of pacta sunt servanda and principle of personality. Therefore the Decision of West Jakarta District Court No. 499 PDT.G 2015 PN.JKT.BRT jo. The Decision of DKI Jakarta High Court No. 257 PDT 2016 PT.DKI is a oversight because General Average did not occur and PT Asuransi AXA Indonesia is not bound by Contract of Carriage.Keywords right of subrogation, marine cargo insurance, contract of carriage. "
Lengkap +
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranda Anissa Nurul Aini
"ABSTRAK
Tulisan ini membahas mengenai tanggung jawab kontraktual antara transporter dan shipper dalam Perjanjian Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa terkait dengan asas proporsionalitas khususnya pada klausul ship-or-pay. Penerapan asas proporsionalitas merupakan aspek yang penting agar kedudukan hak dan kewajiban antara shipper dan transporter dapat seimbang. Penulis menganalisa tanggung jawab kontraktual PT. X selaku transporter dan PT. Y selaku shipper. Pembahasan akan permasalahan dilakukan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang gas bumi juga prinsip hukum perjanjian pada umumnya, khususnya terkait asas proporsionalitas. Pada perjanjian ini terdapat kewajiban utama dari transporter, yaitu untuk melakukan jasa pengangkutan gas bumi menggunakan pipa mulai dari titik serah sampai dengan titik terima. Sedangkan shipper memiliki tanggung jawab untuk menyerahkan gas sesuai dengan reserved capacity dan membayar tarif pengangkutan kepada transporter. Apabila shipper tidak dapat menyerahkan gas dalam jumlah minimum di titik serah, maka shipper memiliki kewajiban untuk membayar kepada transporter. Jika tidak dilihat secara teliti maka klausul ship-or-pay yang ada di dalam perjanjian ini akan dianggap tidak memenuhi asas proporsionalitas. Dari hasil analisis terhadap perjanjian tersebut, penulis menyarankan agar i adanya pengaturan BPH Migas terkait make-up gas dan ii penggunaan LNG sebagai opsi bagi pembangkit listrik mesin gas milik shipper.

ABSTRACT
This thesis analyze contractual liability based on principle of proportionality between transporter and shipper in Pipeline Gas Transportation Agreement. The implementation of the proportionality principle is very important to make an equal position of the rights and obligations of the shipper and transporter. The author analyze the contractual liability of PT. X as a transporter and PT. Y as a shipper. This thesis analyze will be referred to the applicable laws in gas sector in Indonesia, the principle of contract law especially regarding the proportionality principle. In this agreement, transporter main obligation is to transport the gas from receipt point to delivery point. On the other side, shipper shall be responsible to deliver gas at receipt point and to pay pipeline tariff to transporter. If the shipper failed to tender a minimum quantity of gas to the transporter at the receipt point, shipper shall have a payment obligation to the transporter as a result of occurrence of the Annual Deficiency Volume. If not reviewed carefully, the ship or pay clause contained in this agreement shall be deemed not meet the proportionality principle. Based on the analysis to this agreement, the author suggest that i BPH Migas shall make a regulation related to the make up gas and ii utilization of small scale LNG as an option for shipper rsquo s gas engine power plant."
Lengkap +
2018
T50946
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library