Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1444 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Silmi Kaffa
Abstrak :
Novasi atau pembaharuan utang adalah salah satu cara berakhirnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Terdapat 3 (tiga) jalan dalam melakukan novasi, yaitu pergantian perikatan lama dengan perikatan baru (novasi objektif), pergantian kreditur lama dengan kreditur baru (novasi subjektif aktif), dan pergantian debitur lama dengan debitur baru (novasi subjektif pasif). Perjanjian alih debitur merupakan salah satu contoh peristiwa novasi subjektif pasif karena adanya pergantian antara debitur lama menjadi debitur baru. Selain harus memenuhi syarat-syarat perjanjian, dalam peristiwa novasi subjektif pasif ini juga harus memenuhi syarat-syarat lain agar novasi dapat dikatakan telah terjadi dan sah. Salah satunya terkait adanya persetujuan dari kreditur bahwa kerditur telah menyetujui dan membebaskan debitur lama dari kewajiban utangnya yang digantikan oleh debitur baru. Penelitian ini membahas suatu kasus terkait keabsahan suatu perjanjian alih debitur Kredit Pemilikan Rumah di bawah tangan tanpa sepengetahuan pihak bank selaku kreditur dalam Putusan Pengadilan Negeri Cirebon Nomor 64/Pdt.G/2018/PN.Cbn. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa perjanjian alih debitur di bawah tangan yang dibuat oleh debitur lama dengan debitur baru tanpa diketahui dan disetujui oleh bank selaku kreditur dapat dikatakan tidak sah karena tidak memenuhi syarat terjadinya novasi subjektif pasif dengan sempurna, sehingga keberlakuannya dapat dinyatakan batal demi hukum. ......Novation or renewal of debt is one way to end an agreement as regulated in Article 1381 of the Civil Code. There are 3 (three) ways to novation, namely the replacement of old engagement with new engagement (objective novation), the replacement of old creditors with new creditors (active subjective novation), and the replacement of old debtors with new debtors (passive subjective novation). Debtor transfer agreement is an example of a passive subjective novation event because there is a change between old debtors to become new debtors. In addition to meeting the conditions of the agreement, in the event of passive subjective novation, it must also fulfill other conditions so that novation can be said to have happened and is valid. One of them relates to the approval of the creditor that the creditor has approved and freed the old debtor from the debt obligations which were replaced by the new debtors. This study discusses a case related to the validity of an agreement over the ownership of a mortgage under the hand without the knowledge of the bank as a creditor in the Cirebon District Court Decision Number 64/Pdt.G/2018/PN.Cbn. The research method used is normative juridical analytical descriptive. The result of this study is the under the hand debtor over agreement made by the old debtor with the new debtor without being known by the bank as the creditor can be said to be invalid because it does not meet the requirements of passive subjective novation perfectly, so that its validity can be declared null and void by law.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Hapastian
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam hidup dan kehidupan masyarakat sehari- hari, tentulah tiap-tiap warga masyarakat itu saling mengadakar hubungan atau interaksi satu sama lainnya sebagai mahluk sosial guna memenuhi bermacam-macam kepentingannya yang sifatnya beraneka ragam, seperti ekonomi,sosial budaya, politik, dan hukum, Karena hal ini merupakan kebutuhan manusia didalam kehidupannya sehari-hari sebagai anggota masyarakat, Didalam memenuhi kepentingannya yang beraneka ragam tersebut, sering terjadi perselisihan-perselisihan, sebagai akibat adanya perbedaan-perbedaan mengenai apa yang dianggap benar ataupun tidak. benar, pantas atau tidak pantas. Salah. satu cara memenuhi kebutuhan hidup tersebut adalah dengan mengadakan perjanjian, dimana salah satu pihak harus memenuhi isi atau transaksi yang telah diperjanjikan. Akan tetapi tidak semua transaksi suatu perjanjian dapat dipenuhi oleh pihak yang harus memenuhnya, kadangkala pihak tersebut terhalang atau tidak dapat memenuhi isi perjanjian tersebut karena sesuatu hal yang memaksanya. Dapat saja ia dipaksa untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah diperjanjikan tersebut akan tetapi ia akan menghadapi sesuatu yang akan merugikan dirinya. Dalam keadaan yang begini pihak tersebut berhadaan dengan suatu keadaan yang dalam ilmu hukum perdata lazim disebut Keadaan Memaksa (Overmacht), dalam hal seperti ini hukum memberikan perlindungan bagi pihak yang berhadapan dengan situasi tersebut. Tentu tidak semua keadaan dapat dikatakan suatu pihak dihadapkan dengan keadaan memaksa ada syarat—syarat atau kondisi kondisi yang harus dipenuhi serta kriteria- kriteria tertentu yang menurut ilmu hukum khususnya hukum perdata harus dipenuhi, contohnya ; inflasi, pemotongan nilai uang, Peraturan Pemerintah,keamanan,wabah penyakit, yang dapat menghalangi terpenuhinya prestasi dari suatu perjanjian. Dan yang terpenting dari itu semua sampai dimana itikad baik masing-masing pihak da lam suatu perjanjian.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Burr, Andrew
New York NY : Informa Law from Routledge, 2017
343.078 BUR i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Smit, C.
[place of publication not identified]: Exfress Gondomanan, 1975
346.02 SMI m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
New York: United Nations, 1953
341.2 UNI l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya R. Fadjraa
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S24952
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Medavita Hakim
Abstrak :
Perjanjian baku dalam penjanjian kredit bank mencantumkan klausul-klasusul yang cenderung baku sehingga debitur hanya disuguhi dua pilihan yaitu menolak atau menerima pernjanjian baku tersebut. Masalah yang dikaji penulis dalam penelitian ini adalah; Bagaimana bentuk dan isi perjanjian baku yang selama diterapkan oleh tiga Bank yaitu Bank Mega, Bank Mandiri serta HSBC, apakah perjanjian perjanjian baku yang diterapkan dalam perjanjian kredit ketiga bank di atas bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta bagaiama praktek dan implementasi perjanjian baku ketiga bank tersebut. Dengan pendekatan yuridis normative, dimana penulis menitikberatkan penelitiannya pada hukum positif dan data kepustakaan disertai teknik pengumpulan data dengan cara wawancara yang dilakukan oleh penulis di Tiga Bank yaitu Bank Mega, Bank Mandiri serta HSBC, maka penulis menganalisis data di atas dengan menggunakan analisis kualitatif yaitu penulis menguraikan data dalam bentuk uraian dan konsep hukum dalam prosentase ataupun angka. Setidaknya ada dua kegunaan dalam penelitian ini secara praktis yakni memebrikan masukan kepada lembaga-lembaga terkait seperti, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan secara teoritis yaitu sebagai koreksi perihal berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam penelitian ini penulis mendapati bahwa Perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank mencantumkan klausul-klausul yang isinya sebagai pengalihan tanggung jawab bank kepada debitur, sehingga memberatkan debitur, karenanya bertentangan dengan Pasal 18 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T15419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valdy Adha Fireza
Abstrak :
Telemarketing menjadi suatu hal yang penting dalam dunia bisnis, termasuk dalam bidang asuransi. Telemarketing dalam bidang asuransi selain memasarkan produk asuransi, juga melakukan hubungan hukum (perjanjian) kepada tertanggung, hal ini telah memudahkan perusahaan asuransi dalam menjalankan usahanya namun disisi lain praktik perjanjian asuransi yang dilakukan secara lisan melalui telemarketing menuai banyak permasalahan dan kelemahan, seperti Surat Permohonan Asuransi Jiwa yang di gantikan dengan Voice Recording System atau Rekaman telepon yang bentuknya tidak tertulis, selain itu juga terdapat permasalahan bahwa telemarketer tidak memberikan informasi mengenai syarat dan ketentuan secara jelas, lengkap dan rinci juga permasalahan mengenai perbedaan antara syarat dan ketentuan dalam perjanjian asuransi dengan polis, sedangkan terdapat ketentuan dalam Pasal 258 Ayat (1) dan Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang bahwa pembuktian adanya perjanjian Asuransi juga pembuktian adanya perbedaan antara syarat dan ketentuan dalam Perjanjian Asuransi dengan Polis harus dibuktikan dengan adanya bukti tertulis. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan hukum perjanjian asuransi yang dilakukan secara lisan melalui telemarketing mengikat para pihak dan untuk mengetahui perlindungan terhadap tertanggung yang mengikatkan diri terhadap Perjanjian Asuransi yang dilakukan secara lisan melalui telemarketing. Hasil dari Penelitian ini adalah bahwa Perjanjian Asuransi keabsahannya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan perjanjian asuransi yang dilakukan secara lisan melalui telemarketing  tidak memenuhi syarat sah perjanjian yang pertama (Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata) yaitu kesepakatan para pihak karena adanya penyalahgunaan keadaan ketika membentuk perjanjian asuransi, selain itu juga tidak memenuhi asas konsensualisme, itikad baik dan kepastian hukum sehingga tidak memiliki kekuatan hukum secara sempurna karena dapat dibatalkan. Selain itu perjanjian asuransi yang dilakukan secara lisan melalui telemarketing juga tidak memenuhi hak dari konsumen yaitu mengenai hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dan rekaman telepon (VRS) tidak dapat dijadikan alat bukti karena adanya ketentuan Pasal 258 Ayat (1) dan (2) KUHD dan juga VRS tersebut tidak dimiliki oleh tertanggung sehingga membuat posisi tertanggung lemah ketika terjadi sengketa.<
The Telemarketing is an important things in the business nowadays, including in the Insurance field. Besides promoting the product of the insurance, Insurance telemarketing also make an legal relation (agreement) on behalf of Insurance company to the insured. On the other hand, the practice of Insurance Agreement which conducted verbally through The Telemarketing triggered many problems and weaknesses, such as insurance agreement (written form) has replaced by the voice recording system that is unwritten form, moreover, there are some issue regarding the telemarketer do not provide or give the information about the terms and condition clearly, completely and detailed and also regarding the differences terms and condition between insurance agreement and the insurance policy, whereas Article 258 Paragraph (1) and Paragraph (2) in Indonesian commercial code stated that the proof of the existence of the insurance agreement and differences of terms and conditions between Insurance agreement and Insurance policy should be proven by written evidence. The purpose of this research is to find out the force of law of Insurance agreement conducted verbally through the telemarketing bounds the parties and to find out the protection of the insured who binds to the Insurance agreement conducted verbally through the telemarketing. The result of the research are that the validity of the Insurance Agreement is regulated in Indonesian Civil Code, and the Insurance agreement conducted verbally through the telemarketing do not fulfill the first requirments of valid agreement (Article 1320 Paragraph (1) in Indonesian Civil Code) since the telemarketer do a circumstance abuse when issuing the agreement. The telemarketing insurance practice also does not fulfill the principle of consensualism, good faith and legal certainty. Consenquently the insurance agreement do not have a perfect force of law since it voidable. Furthermore, telemarketing insurance practice do not fulfill the right of consumers regarding the right to get an information correctly, clearly, and honestly concerning the condition and the guarantee of goods and/ or services and regarding the Voice Recording system (VRS), it can not be used as evidence according to the Article 258 Paragraph (1) and (2) Indonesian Commercial Code. Further, the VRS is not owned by the insured, hence positioning the insured weaker when a dispute arises.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53926
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>