Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Czaczkes, J.W.
New York: Bruner Mozer, 1978
617.461 059 CZA c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
New York : Massen, 1981
617.461 059 CAP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Zulkifli Jacoeb
Jakarta: Universitas Indonesia, [date of publication not identified]
R 618.14 TEU f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Budi Irawati
"Latar Belakang : Kanker ovarium adalah kanker ketiga terbanyak yang ditemukan pada perempuan di Indonesia. Pada saat diagnosis ditegakkan, sebagian besar pasien mencapai stadium III atau IV dengan penyebaran tumor ke rongga peritoneum dan organ-organnya. Perluasan peritoneal karsinomatosis dapat dinilai melalui Peritoneal Carcinomatosis Index (PCI). Perluasan peritoneal karsinomatosis pada lokasi kritikal seperti mesenterium usus halus atau lapisan serosa usus halus dapat menjadi faktor penyebab pasien mendapatkan tatalaksana optimal maupun suboptimal debulking. Sehingga, nilai PCI dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi resektabilitas tumor. MRI sebagai modalitas non- invasif dapat menjadi alternatif dalam menentukan tatalaksana debulking.
Tujuan : meningkatkan peranan MRI dalam menilai perbedaan antara nilai PCI, nilai ADC tumor dan nilai ADC peritoneal karsinomatosis pasien kanker ovarium dengan asites untuk memprediksi tatalaksana optimal maupun suboptimal debulking.
Metode : Penelitian dilaksanakan dengan desain penelitian perbandingan potong lintang. Didapatkan 23 sampel MRI abdomen dalam rentang waktu bulan September 2020 hingga Juni 2023.
Hasil : Pada uji Mann Whitney didapatkan nilai P 0,688 pada hubungan antara nilai ADC tumor dengan tatalaksana debulking, sementara pada hubungan antara nilai ADC peritoneal karsinomatosis dengan tatalaksana debulking didapatkan nilai P 0,450. Didapatkan nilai P 0,000 pada analisisi hubungan antara nilai PCI dengan tatalaksana debulking, dengan titik potong nilai PCI yang optimal sebesar 9 dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 100% untuk menentukan luaran tatalaksana suboptimal debulking.
Kesimpulan : Didapatkan hubungan yang bermakna antara nilai PCI dengan tatalaksana debulking, namun tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara nilai ADC tumor dan nilai ADC peritoneal karsinomatosis dengan tatalaksana debulking.

Background: Ovarian cancer is the third most common cancer found in women in Indonesia. At the time of diagnosis, most patients reach stage III or IV with the spread of tumors to the peritoneal cavity and its organs. The extent of peritoneal carcinomatosis can be assessed using the Peritoneal Carcinomatosis Index (PCI). The expansion of peritoneal carcinomatosis in critical locations such as the mesentery of the small intestine or the serosal layer of the small intestine can be a factor in predicting debulking management. Therefore, PCI value can be one of the factors influencing tumor resectability. MRI, as a non-invasive modality, can be an alternative in determining debulking management.
Objective: To enhance the role of MRI in assessing the differences between PCI values, tumor ADC values, and peritoneal carcinomatosis ADC values in ovarian cancer patients with ascites to predict optimal or suboptimal debulking management.
Method: The study was conducted using a cross-sectional comparative research design. A total of 23 abdominal MRI samples were obtained between September 2020 and June 2023.
Results: The Mann-Whitney test showed a P value of 0.000 was obtained in the analysis of the relationship between the PCI value and debulking management, with an optimal PCI cutoff value of 9, showing 100% sensitivity and 100% specificity in determining the outcome of suboptimal debulking management.
Conclusion: There is a significant relationship found between PCI value and debulking management. However, no significant relationship was found between the tumor ADC value and the peritoneal carcinomatosis ADC value with debulking management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rayhana Fakhira Miftahulfizahraa
"Transfeksi merupakan metode penghantaran gen menggunakan vektor nonviral dalam terapi genetika. Kitosan merupakan senyawa alami polimer kationik yang dapat membentuk ikatan ionik dengan molekul DNA yang merupakan polimer anionik sehingga dapat digunakan sebagai penghantar materi genetik. Pada penelitian ini kitosan digunakan sebagai agen penghantar gen pengkode Green Fluorescence Protein (GFP) dari plasmid pCSII-EF-AcGFP yang ditransfeksikan pada sel primer peritoneal, sel splenosit, serta galur sel HEK293T. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemampuan kitosan dalam mengompleks dan melindungi DNA terhadap degradasi enzim DNAse. Selain itu, uji transfeksi dan uji sitotoksisitas kitosan dilakukan untuk mengetahui sifat dan kemampuan kitosan sebagai agen penghantar pada sel peritoneal, sel splenosit, dan galur sel HEK293T. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitosan mampu mengompleks dan melindungi DNA terhadap degradasi enzim DNAse. Hasil uji sitotoksik menggunakan MTT (3-[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5 diphenyl tetrazolium bromide) terhadap sel peritoneal, sel splenosit, dan galur sel HEK293T relatif tidak toksik, pada konsentrasi kitosan 8 g/L menunjukkan viabilitas sel berturut-turut sebesar 64% (sel peritoneal), 80% (sel splenosit), dan 70% (galur sel HEK293T). Kitosan secara kualitatif dapat memfasilitasi ekspresi gen pengkode Green Fluorescent Protein (GFP) pada galur sel HEK293T, meskipun intensitas ekspresi gen GFP tidak lebih terang daripada agen transfeksi komersil Lipofectamine® 3000. Akan tetapi, pembanding Lipofectamine maupun kitosan belum berhasil memfasilitasi ekspresi gen GFP yang ditunjukkan dengan tidak adanya pendaran cahaya pada sel peritoneal dan sel splenosit meskipun rasio perbandingan massa kitosan dan Lipofectamine telah ditingkatkan dari 1:2 menjadi 1:4 selama inkubasi 2x24 jam. Modifikasi struktur atau formulasi kitosan yang tepat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan senyawa kitosan dalam memfasilitasi ekspresi gen GFP pengkode plasmid pCSII-EF-AcGFP ke dalam sel peritoneal dan splenosit.

Transfection is a gene delivery method using nonviral vectors in genetic therapy. Chitosan is a natural cationic polymer compound that can form ionic bonds with DNA molecules which are anionic polymers so that it can be used as a conductor of genetic material. In this study, chitosan was used as a delivery agent for the gene encoding Green Fluorescence Protein (GFP) from the pCSII-EF-AcGFP plasmid which was transfected on peritoneal primary cells, splenocytes, and HEK293T cell lines. The purpose of this study was to determine the ability of chitosan to form complexes and protect DNA against DNAse enzyme degradation. In addition, chitosan transfection and cytotoxicity tests were carried out to determine the nature and ability of chitosan as a conducting agent in peritoneal cells, splenocytes, and HEK293T cell lines. The results showed that chitosan was able to complex and protect DNA against DNAse enzyme degradation. The results of the cytotoxic test using MTT (3[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5 diphenyl tetrazolium bromide) against peritoneal cells, splenocytes, and HEK293T cell lines were relatively non-toxic, at a concentration of 8 g/L chitosan showed cell viability was 64% (peritoneal cells), 80% (splenocyte cells), and 70% (HEK293T cell line). Chitosan can qualitatively facilitate the expression of the gene encoding Green Fluorescent Protein (GFP) in the HEK293T cell line, although the intensity of GFP not brighter than that of the commercial transfection agent Lipofectamine® 3000. However, neither Lipofectamine nor chitosan comparisons have been GFP showing the absence of light luminescence in peritoneal cells and splenocytes cells although the ratio of mass ratio of chitosan and Lipofectamine has been increased from 1:2 to 1:4 during 2x24 hours incubation. Modification of the structure or proper formulation of chitosan is needed to increase the ability of chitosan compounds to facilitate the expression of the GFP encoding the plasmid pCSII-EF-AcGFP into peritoneal cells and splenocytes."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Zulkifli Jacoeb
"Fertililas pada seorang wanita selain dipengaruhi oleh usia, juga bergantung pada keseimbangan dan keserasian kerja aneka faktor intrinsik di dalam organ tubuhnya. Gangguan pada salah satu atau beberapa faktor tersebut dapat menjadi penyebab timbulnya infertilitas.
Sebagian besar faktor telah dapat dijelaskan sebagai penyebab dari infertilitas pada wanita. Secara khusus, faktor peritoneum menunjukkan angka yang cukup tinggi (35-60%). Sedangkan sekitar 10-25%,meski dengan usaha pemeriksaan yang intensif dan penanganan yang sungguh-sungguh, masih merupakan faktor penyebab yang belum dikelahui (idiopalik) dan perlu digali lebih jauh.
Seringkali dijumpai bahwa seorang wanita tidak berhasil hamil padahal faktor peritoneumnya normal dan bagian-bagian lain genitalia secara fungsional juga normal. Namun sebaliknya meski faktor peritoneumnya abnormal, tetapi fertilisasi dan kehamilan normal dapat terjadi.
Dipikirkan bahwa dalam hal ini sesungguhnya ada faktor lain yang berperan, antara lain faktor lingkungan-mikro di dalam rongga peritoneum yang diwakili oleh zalir peritoneal.
Faktor peritoneum dalam infertilitas wanita mencakup infeksi, perlekatan, dan endometriosis, baik secara tersendiri maupun dalam bentuk kombinasi. Keadaan patologis tersebut dapat mcngganggu suasana yang serasi di dalam zalir peritoneal. Pada keadaan dengan faktor-faktor untuk terjadinya fertilisasi itu normal, termasuk faktor ovulasi dan juga faktor suami, maka gangguan oleh faktor peritoneum ini dapat menjadi salah satu atau bahkan satu-satunya penyebab gagalnya fertilisasi.
Kegagalan dan keberhasilan fertilisasi mungkin berhubungan dengan beberapa faktor, seperti perubahan-perubahan tertentu pada fase dini dari endometriosis, gangguan ovulasi, dan infeksi pelvik subklinis. Hasil pemeriksaan dasar infertilitas, analisis hormonal serum dan bahkan endoskopi pelvik yang normal sekalipun belum seluruhnya dapat menyingkirkan kemungkinan adanya patologi pada fase dini tersebut. Sehingga tetap disalah-tafsirkan sebagai infertilitas idiopatik.
Pada dasarnya setiap penyebab infertilitas memang harus dicari dan ditemukan, karena faktor-faktor yang sudah nyata itu akan memberikan arahan penanganan dan pengobatan yang lebih jelas. Untuk itu berbagai cara pendekatan perlu dipilih guna mempelajari faktor-faktor yang terlibat.
Teknik diagnostik terhadap faktor peritoneum dahulu digunakan histerosalpingografi (HSG), tetapi ternyata nilainya masih terbatas. Kini laparoskopi telah lebih menambah fungsi diagnostik makroskopik terhadap faktor peritoneum itu. Namun keunggulan diagnostik yang dimiliki oleh laparoskopi inipun ternyata masih mempunyai keterbatasan karena masih dijumpai kesenjangan antara temuan laparoskopik dan kemungkinan fertilisasi.
Menjadi pemikiran bahwa dengan mengikutsertakan penilaian lingkungan-mikro zalir peritoneal dalam pemeriksaan infertilitas wanita, nilai diagnostik klinis dari pemeriksaan itu akan ditingkatkan. Dengan demikian ketimpangan yang ditemukan itu akan dapat diterangkan.
Perubahan di dalam lingkungan-mikro zalir peritoneal tidak dapat diketahui dengan teknik pemeriksaan yang sederhana. Dengan demikian diperlukan beberapa cara pendekatan objektif yang lebih maju dan telah ditunjukkan bermanfaat oleh para peneliti, seperti teknik teraradioimunologik (TRI), teraimunoenzimatik (TIE), dan pemeriksaan sitologis.
2. Perubahan Berbagai Komponen Biokimiawi, Imunologis Dan Seluler Di Dalam Lingkungan-Mikro Zalir Peritoneal Berhubungan Dengan Gangguan Ovulasi, Endometrlosis Dan Infeksi Subklinis Sehingga Berpengaruh Terhadap Fisioiogi Reproduksi.
Fertilisasi alamiah memerlukan suasana, lingkungan-mikro serta medium yang sesuai dan normal pula. Medium tersebut merupakan hasil sekresi alamiah zalir tubuh dari saluran maupun organ reproduksi wanita, terutama ovarium (folikel matang), tuba, dan peritoneum.
Tetapi tak semua zalir itu sesuai sebagai medium fertilisasi maupun untuk perkembangan dini embrio. Untuk itu perlu dipenuhi syarat-syarat tertentu, seperti pH, viskositas, unsur-unsur nutrien, suhu, bebas kuman, dan tak mengandung zat-zat yang bersifat toksik terhadap garnet maupun embrio dini. Keunggulan zalir peritoneal dibandingkan dengan zalir tubuh lainnya ialah mengandung unsur hormon yang cukup besar. Unsur ini dibutuhkan untuk memelihara maturasi ovum segera setelah ovulasi eksternal.
Hingga kini sebagian besar ahli masih beranggapan bahwa fertilisasi in vivo yang normal terjadi di ampula tuba Falloppii. Tetapi akhir-akhir ini, dipertanyakan di manakah tempat yang sebenarnya dari proses fertilisasi itu : di ampula tuba, di bagian distal tuba, ataukah di rongga/zalir peritoneal. Hal ini didasarkan pada kenyataan-kenyataan klinis dari kehamilan yang terjadi maupun pada bukti-bukti laboratoris pada hewan percobaan.
Percobaan fertilisasi dan biakan embrio di dalam kamar mikrodifusi yang dilakukan oleh Jewgenow pada tahun 1984 misalnya, telah membuktikan bahwa zalir peritoneal berperan sebagai medium yang penting untuk fertilisasi.
Beberapa peneliti lain telah mengungkapkan pula betapa pentingnya peran zalir peritoneal dalam fertililas dan proses fertilisasi. Di sini sekurang-kurangnya lingkungan-mikro zalir peritoneal berfungsi sebagai medium hantaran awal gamet maupun sebagai medium fertilisasi dan pembelahan, baik ketika di rongga peritoneal (kavum Douglas) maupun ketika telah terisap ke dalam tuba Falloppii. Dengan demikian peranan zalir peritoneal dalam kegagalan fertilisasi perlu mendapat perhatian yang lebih bcsar.
Zalir peritoneal merupakan lingkungan-mikro yang senantiasa membasahi tuba maupun ovarium dan mengandung aneka unsur biologis. Dengan demikian zalir ini bertindak sebagai zona dinamik dari interaksi garnet. Dikarenakan sifatnya yang peka, maka setiap pengaruh patologis mampu memberikan dampak negatif terhadap proses reproduksi. Pengaruh patologis tersebut adalah gangguan ovulasi, infeksi dan endometriosis. Pada keadaan ini terjadi perubahan fisis, biokimiawi, imunologis, dan seluler lingkungan-mikro zalir peritoneal. Pengaruhnya tampil sebagai: (a) perubahan volume zalir peritoneal sepanjang siklus haid pada pasien-pasien dengan dan tanpa endometriosis; (b) perubahan konsentrasi steroid seks ovarium misalnya 17β-estradiol dan progesteron, steroid adrenal (kortisol dan DHEAs), hormon lain seperti (6-k-PGF1 dan TxB, (c) pengaruh endometriosis terhadap berjenis senyawa tersebut; (d)perubahan dari unsur-unsur seluler, beberapa imunoreaktan, enzim, pelanda keganasan, beberapa protein spesifik, elektrolit, serta (e) gangguan migrasi spermatozoa ke rongga peritoneal.
Perubahan kadar beberapa hormon zalir peritoneal juga dipengaruhi oleh siklus haid dan ada atau tiadanya ovulasi.24 Seringkali gangguan ovulasi yang ditetapkan dengan pemeriksaan kadar progesteron serum lase luteal madya, tidak sesuai dengan kenyataan yang ditemukan secara laparoskopis. Sedangkan temuan bintik ovulasi per laparoskopi pun tidak lagi dapat dipakai sebagai pegangan tunggal untuk memastikan ovulasi yang disertai dengan terbebasnya ovum keluar dari folikel yang malang.
Pada sindroma LUF (Lureinized Unruptured Follicle Syndrome), misalnya, dapat dijumpai ovulasi secara klinis dan laboratoris serta korpus luteum pada laparoskopi. Tetapi perubahan hormonal di dalam zalir peritonealnya memperlihatkan adanya ovulasi yang diikuti dengan terperangkapnya ovum diantara sel-sel granulosa. Sindroma LUF yang terjadi berulang-ulang merupakan pencetus timbulnya endometriosis pelvik akibat memburuknya suasana di dalam zalir peritoneal.
Lebih lanjut, sekalipun lesinya sangat minimal, adanya endometriosis akan meningkatkan kadar prostaglandin dan prostanoid zalir peritoneal sehingga meninggikan motilitas tuba. Hipermotilitas tuba yang terjadi itu dapat mengganggu migrasi spermatozoa maupun pengangkutan ovum atau zigot.
Kegagalan fertilisasi dapat pula ditimbulkan oleh perubahan seluler dalam lingkungan-mikro zalir peritoneal. Pada keadaan normal zalir peritoneal?."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
D154
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayi Dwina Bilianti Susanto
"Latar belakang: Interpretasi cairan peritoneum yang tepat secara sitopatologi sangat mempengaruhi tatalaksana dan prognosis pasien, padahal pemeriksaan sitopatologi cairan peritoneum masih memiliki nilai negatif palsu dan positif palsu yang cukup tinggi, dan hingga saat ini penelitian tentang arsitektur sitopatologi maupun penanda sitomorfologi yang mengarahkan pada adanya sel neoplasma di cairan peritoneum masih menunjukkan hasil yang beragam.
Bahan dan cara kerja: Penelitian potong lintang dengan data sekunder berupa slaid dan formulir sediaan sitopatologi cairan peritoneum yang memiliki data berpasangan dengan diagnosis histopatologi. Diagnosis klinis berupa neoplasma epitelial ovarium. Slaid dan formulir diambil dari arsip Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM tahun 2011 - 2012, dilakukan pembacaan ulang semua slaid sitopatologi dengan diagnosis akhir dikategorikan sebagai positif atau negatif, peneliti membaca pula sediaan histopatologi untuk mengetahui morfologi sel pada lesi, kemudiaan dilakukan penilaian terhadap arsitektur sitopatologi berupa: selularitas, sel berkelompok, struktur papiler, intercelular windows, group contours, jisim psamoma, dan penanda sitomorfologi berupa: atipia inti, inti bertumpuk, anak inti, rasio inti:sitoplasma, ukuran inti, dan ukuran sel.
Hasil penelitian: Sampel penelitian sejumlah 47 sediaan sitopatologi dengan diagnosis sitopatologi akhir 34 kasus (72.3%) negatif, 13 kasus (27.7%) positif. Terdapat perbedaan bermakna arsitektur sitopatologi berupa: selularitas (p = 0.017), sel berkelompok (p = 0.001), intercellular windows (p = 0.00), group contours (p = 0.00), dan gambaran sitomorfologi berupa: atipia inti (p = 0.00), inti bertumpuk (p = 0.001), anak inti (p = 0.001), rasio inti:sitoplasma (p = 0.00), ukuran inti (p = 0.00), ukuran sel (p = 0.00) antara cairan peritoneum positif dan negatif. Melalui uji multivariat didapatkan penanda yang paling berpengaruh terhadap diagnosis sitopatologi positif atau negatif yaitu: intercellular windows, atipia inti, dan selularitas.
Kesimpulan: Terdapat tiga penanda yang paling berpengaruh terhadap diagnosis positif ditemukannya sel neoplasma ganas dalam cairan peritoneum pada kasus dengan lesi ovarium, secara berturut - turut yaitu: tidak ditemukannya intercellular windows pada kelompokan sel, sel memiliki atipia inti sedang hingga berat, dan selularitas lebih dari 20 kelompok dari keseluruhan sediaan apus.

Background : Peritoneal fluid cytopathology interpretation profoundly influences patients management and prognosis, however this practice still has high false positive and false negative value, and until now research concerning the architectural and cytomorphology features for detecting malignant cells in peritoneal fluid still has various result.
Materials and Methods : Cross sectional study using secondary data of peritoneal fluid cytopathology and histopathology slides and form, from patients with clinical diagnosis of ovarian epithelial neoplasm. The data was taken from the archive of Anatomical Pathology Department Cipto Mangunkusumo Hospital 2011 - 2012. The researchers examined the cytopathology slides and also examined the histopatology slide for morphology comparison, and then make a final cytopathological diagnosis of positive peritoneal fluid containing neoplastic cells or negative. Architectural features including: cellularity, cells grouping, papillary structure, intercellular windows, group contours, psamoma bodies, and cytomorphology features including: nuclear atypia, overlapping nuclei, nucleoli, nuclei : cytoplasm ratio, the dimension of the nuclei and cells were also examined.
Result : There were 47 samples with final cytopathology diagnosis: 34 cases (72.3%) negative for neoplastic cells in the peritoneal fluid and 13 cases (27.7%) positive. There were significant differences in cytopathology architectural including cellularity (p = 0.017), cells grouping (p = 0.001), intercellular windows (p = 0.00), group contours (p = 0.00) and cytomorphology features including nuclear atypia (p = 0.00), overlapping nuclei (p = 0.001), nucleoli (p =0.001), nuclei : cytoplasm ratio (p = 0.00), the dimension of nuclei (p = 0.00), the dimension of cell (p = 0.00) between the positive and negative peritoneal fluid cytopathology. Using multivariate analysis there were 3 cytological features that have the strongest association with positive or negative peritoneal cytopathology diagnosis, they were: intercellular windows, nuclear atypia, and cellularity.
Conclusion: In peritoneal fluid cytopathology for examining ovarian lesion there were 3 cytological features that have the strongest association with finding neoplastic cells in peritoneal fluid, they were: the absent of intercellular windows, moderate to severe cytological atypia, and cellularity more than 20 groups in all smear preparation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
Ta-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Caesario
"ABSTRAK
Latar belakang : Dialisis peritoneal (DP) merupakan modalitas terapi pengganti ginjal utama pada pasien bayi yang menjalani operasi jantung kongenital. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi DP pascaoperasi serta menilai pengaruh karakteristik lama penggunaan mesin pintas jantung paru, kompleksitas operasi, usia, dan berat badan terhadap kejadian dialisis peritoneal pascaoperasi pada pasien bayi yang menjalani operasi jantung kongenital dengan mesin pintas jantung paru.
Metode : Dilakukan suatu studi cross sectional pada pasien bayi yang menjalani operasi koreksi penyakit jantung kongenital di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dalam periode 1 Januari hingga 31 Desember 2018. Analisis statistik dilakukan pada faktor lama penggunaan mesin pintas jantung paru, kompleksitas operasi menurut kategori Risk Adjustment for Congenital Heart Surgery, usia, dan berat badan untuk menilai pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kejadian DP pascaoperasi.
Hasil : Sebanyak 181 pasien dilibatkan sebagai sampel penelitian. DP pascaoperasi dilakukan pada 13 (7,2%) pasien. Kelompok pasien yang menjalani DP memiliki median lama penggunaan mesin pintas jantung paru yang lebih tinggi (155 (44 - 213) vs 95,5 (13 - 279) menit; p = 0,008), rerata usia yang lebih muda (53 ± 54,79 vs 162 ± 88,59 hari; p < 0,001), serta median berat badan yang lebih rendah (3,6 (2,8 -4,5) vs 4,65 (2,6 - 11) kg; p < 0,001). Sebaran kompleksitas operasi antar kelompok yang tidak dilakukan DP dan kelompok yang dilakukan DP tidak berbeda bermakna (p = 0,11). hanya faktor lama penggunaan mesin pintas jantung paru > 90 menit yang secara bermakna memengaruhi kejadian DP (rasio odds 5,244 (1,128 - 24,382); p 0,02).
Simpulan : Prevalensi DP pascaoperasi adalah 7,2 %. Kelompok pasien yang menjalani DP pascaoperasi memiliki usia yang lebih muda, berat badan yang lebih rendah, dan lama penggunaan mesin pintas jantung paru yang lebih lama dibanding kelompok pasien yang tidak menjalani DP pascaoperasi. Penggunaan mesin pintas jantung paru > 90 menit memengaruhi kejadian DP pascaoperasi secara bermakna.

ABSTRACT
Introduction: Peritoneal dialysis (PD) is the method of choice for renal replacement therapy in babies underwent congenital heart surgery. This study aimed to asses the prevalence of postoperative PD and to examine the influence of cardiopulmonary bypasss (CPB) time, surgical complexity, age, and body weight to the occurence of postoperative PD among babies underwent congenital heart surgery with CPB.
Method: a cross sectional study was done on babies underwent congenital heart surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita from January 1st until December 31st 2018. Statistical analysis was done to CPB time, surgical complexity as classified according to Risk Adjusment for Congenital Heart Surgery categories, age, and body weight in order to asses the influence of those factors to the occurence of postoperative PD.
Results: one hundred and eighty one patients were included in the study. Postoperative PD was done in 13 (7,2%) patients. Postoperative PD group showed longer median CPB time (155 (44 - 213) vs 95,5 (13 - 279) minutes; p = 0,008), younger mean age (53 ± 54,79 vs 162 ± 88,59 days; p < 0,001), and lower median body weight (3,6 (2,8 -4,5) vs 4,65 (2,6 - 11) kg; p < 0,001). Distribution of surgical complexity between postoperative PD group and no postoperative PD group was not differ significantly (p = 0,11). Only CPB time > 90 minutes that significantly affect the occurence of postoperative PD (odds ratio 5,244 (1,128 - 24,382); p 0,02).
Conclusion: The prevalenve of postoperative PD was 7,2%. Patients underwent postoperative PD tend to be younger, had lower body weight, and had longer CPB time compared to those who did not underwent postoperative PD. CPB time > 90 minutes significantly affect the occurence of postoperative CPB."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58875
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuswinda Kusumawardhani
"Disfungsi seksual merupakan salah satu komplikasi dari penyakit gagal ginjal terminal. Pada pria yang menjalani CAPD, masalah pemenuhan kebutuhan seksual dipengaruhi oleh banyak faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor paling dominan yang mempengaruhi disfungsi seksual pria yang menjalani CAPD. Desain penelitian ini adalah analisis cross sectional dengan jumlah sampel 70 pria CAPD melalui teknik pengambilan sampel purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara usia (p=0,024), ureum (p=0,018), dan albumin (p=0,001) dengan kejadian disfungsi seksual. Faktor yang paling dominan mempengaruhi adalah albumin, dimana pasien yang memiliki kadar albumin < 3,5 g/dL berisiko untuk mengalami disfungsi seksual 9,3 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan kadar albumin 3,5-5 g/dL setelah dikontrol oleh variabel usia. Rekomendasi dari penelitian ini adalah asupan protein sebanyak 1,2-1,5 g/kg berat badan setiap hari dengan setidaknya 60% berupa protein dengan nilai biologis tinggi serta evaluasi kemampuan perawatan dan penggantian CAPD di rumah.

Sexual dysfunction is a complication of terminal kidney failure. The problem of fulfilling sexual needs in men undergoing CAPD is influenced by many factors. This study aimed to find out the most dominant factor affecting man sexual dysfunction who undergo CAPD. The design of this study was cross sectional analysis with a sampel of 70 CAPD man using purposive sampling technique. The results showed there was a relationship between age (p=0,0024), urea (p=0,018), and albumin (p=0,001) with the incidence of sexual dysfunction. The most dominant factor affecting is albumin, where patients who have albumin levels < 3.5 g/dL are at risk of experiencing sexual dysfunction 9.3 times greater than patients with albumin levels 3.5-5 g/dL after being controlled by age variables. The recommendation of this study are protein intake of 1.2-1.5 g/kg body weight with at least 60% of protein with high bological value and evaluation of the ability of care and replacement of CAPD at home."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>