Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Robby Effendy Thio
"Pendahuluan: Saat ini, pengobatan antiplatelet tunggal menggunakan aspirin atau clopidogrel direkomendasikan untuk pasien penyakit arteri perifer (PAD) pasca-revaskularisasi. Namun, penelitian terbaru menyarankan bahwa kombinasi rivaroxaban dan aspirin lebih menguntungkan. Kami melakukan tinjauan sistematis untuk menentukan efikasi dan keamanan kombinasi rivaroxaban dan aspirin dibandingkan dengan aspirin saja. Metode: Kami melakukan tinjauan sistematis berdasarkan Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA). Pencarian dilakukan di Cochrane, PubMed, Scopus, EBSCOHost, dan Google Scholar menggunakan kata kunci. Kriteria inklusi dan eksklusi diterapkan. Studi yang dipilih dinilai menggunakan Cochrane risk of bias tool versi 2 untuk inklusi. Studi yang terpilih diekstraksi untuk karakteristik dan hasil. Hasil dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Kami menggunakan model efek tetap atau acak untuk menentukan rasio tergabung yang sesuai. Interval kepercayaan 95% dan nilai p kurang dari 0,05 digunakan sebagai indikator signifikansi statistik. Hasil: Dua studi terkontrol acak multicenter dimasukkan setelah pencarian dan penilaian dengan risiko bias rendah. Kedua studi menunjukkan hasil efektivitas primer yang lebih baik dalam kelompok kombinasi dan perbaikan risiko perdarahan mayor. Analisis kuantitatif menemukan tingkat komplikasi PAD yang lebih rendah (OR=0,79; 95% CI=0,66–0,95) termasuk infark miokard, stroke, kematian kardiovaskular, dan iskemia tungkai akut. Kelompok kombinasi memberikan hasil keamanan primer (OR=1,32; 95% CI=1,06–1,67) dan sekunder (OR=1,47; 95% CI=1,19–1,84) yang lebih rendah. Kesimpulan: Kombinasi rivaroxaban dan aspirin memberikan hasil klinis yang lebih baik pada pasien PAD pasca-revaskularisasi. Namun, kombinasi ini harus digunakan dengan hati-hati karena dapat meningkatkan risiko perdarahan pada populasi tersebut.

Introduction: Currently, single antiplatelet treatments using aspirin or clopidogrel were recommended for post-revascularization peripheral artery disease (PAD) patients. However, recent study suggested that combination of rivaroxaban and aspirin was more favorable. We conducted a systematic review to determine efficacy and safety of rivaroxaban and aspirin combination compared to aspirin alone. Method: We conducted a systematic review based on the Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA) statement. Searching was conducted on Cochrane, PubMed, Scopus, EBSCOHost, and Google Scholar using keywords. Inclusion and exclusion criteria were applied. Selected studies were appraised using Cochrane risk of bias tool v.2 for inclusion. Included studies were extracted for characteristics and outcomes. Outcomes were analyzed qualitatively and quantitatively. We used fixed- or random-effect model to determine pooled ratio per appropriate. A 95% confidence interval and p-value of 0.05 and below were used as indicators of statistical significance. Results: Two multicentered, randomized controlled studies were included after searching and appraisal with low risk of bias. Both studies showed greater primary effectivity outcome in combination group and improvements of major bleeding risk. Quantitative analysis found lower PAD complications rate (OR=0.79; 95% CI=0.66–0.95) which including myocardial infarct, stroke, cardiovascular death, and acute limb ischemia. Combination group provided lesser primary (OR=1.32; 95% CI=1.06–1.67) and secondary (OR=1.47; 95% CI=1.19–1.84) safety outcome. Conclusion: Combination of rivaroxaban and aspirin provided better clinical outcome in postrevascularization PAD patients. However, this combination should be used carefully as this yield larger risk of bleeding in the population."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chaerul Achmad
"Latar Belakang. Penyakit arteri perifer terjadi akibat penyempitan pembuluh darah arteri karena proses ateroskierosis. Beberapa studi yang lalu menunjukan bahwa penyakit arteri perifer dihubungkan dengan peningkatan kesakitan dan kematian penyakit kardiovaskular secara signifikan. Deteksi yang mampu menilai darah secara cepat sebelum kejadian nekrosis menunjukan hal yang berharga pada triage pasien dalam menurunkan biaya perawatan. N-terminal albumin yang mengalami kerusakan atau terikat dengan tembaga dinamakan ischemia modified albumin (IMA). Test albumin cobalt binding (ACB) merupakan tes diagnosis kuantitatif yang dapat mendeteksi albumin yang termodifikasi yang terjadi pada saat albumin terekspos jaringan iskernik melalui pengukuran kapasitas ikatan albumin dalam serum atau plasma manusia. Pada studi eksperimental ini, diteliti peningkatan ACB akibat lamanya proses iskernik.
Metode. 10 hewan kelinci dengan jenis kelamin jantan dari ras New Zealand White (NZW) usia 5 bulan mengalami perlakuan iskemia total pada tungkai kin. ACB serum darah diukur sebelum dilakukan iskemi tungkai dan ini dilihat sebagai kontrol. Pengukuran dilanjutkan pada menit ke-15 dan menit 150 secara berurutan. Analisis statistik menggunakan program SPSS versi 11,5 dengan menggunakan tes general linear models (GLM) repeated measured.
Hasil. Nilai rerata ACB sebelum iskemia adalah 48,30 + 5,95 u/ml dan nilai reratanya meningkat menjadi 103,43 ± 13,67 u/ml pada 15 menit sesudah mengalami iskernia. Terjadi peningkatan delta sebelum iskemia dan 15 menit setelah iskemia sebesar 55,13 u/mL. Terdapat perbedaan yang signifikan kadar ACB pada menit ke-15 setelah iskemia dengan sebelum iskemia. Nilai rerata ACB menit ke-150 setelah iskernia adalah 155,42 ± 22,87 u/ml. Terdapat peningkatan kadar ACB antara sebelum iskemia, 15 menit, dan 150 menit setelah iskemia masing-masing sebesar 51,98 dan 107,12 ulmL.
Kesimpulan. Kadar ACB meningkat pada kelinci yang mengalami iskemia tungkai dan peningkatan kadar ACB sesuai dengan lamanya iskemia.
Kata kunci: Penyakit arteri perifer, ischemia modified albumin, albumin cobalt binding.

Background. Peripheral arterial diseases (PAD) commonly result from progressive narrowing of arteries due to atherosclerosis. Previous studies have shown that PAD associated with a significantly elevated risk of cardiovascular disease morbidity and mortality. A rapid blood test capable of detecting prior to necrosis would prove invaluable in patient triage and in reducing health care cost. Albumin in which the N-terminus is either damaged or bound to copper is termed ischemia modified albumin (IMA). The albumin cobalt binding (ACB) test is quantitative diagnostic test that detect modification to albumin that occur when albumin is exposed to ischemic tissue by measuring the cobalt binding capacity of albumin in human serum or plasma.
In this experimental study, the increase of ACB was observed with induced by duration of ischemia.
Methods. Ten male New Zealand White Rabbits aged 5 months experienced total ischemia of the left limb. Blood serum ACB was measured before performing ischemia of the left limb as a control. Fifteen minutes and 150 minutes after ischemia blood serum ACB as secondary and thirdly measurement were measured. Statistical analysis program SPSS version 11.5 by using General linear Model (GLM) repeated measure test.
Results. The mean value of ACB before ischemia was 48.30 1 5.95 u/ml and increased mean value of ACB 103.43 13.67 u/ml in 15 minutes after ischemia. There was increasing delta before ischemia and 15 minutes after ischemia was 55.13 u/ml. There were significant differences of ACB level in the 15 minutes after ischemia compared with before ischemia. The mean level of ACB 150 minutes after ischemia was 155.42 ± 22.87 u/ml. There were increasing level ACB before compared to 15 minutes and 150 minutes after ischemia (51.98 and 107.12, respectively).
Conclusions. ACB level increased in rabbits with acute limb ischemia, where increasing level ACB parallel with length of occlusion.
Key words: Peripheral artery disease, ischemia modified albumin, albumin cobalt binding.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Nugroho Danang Puruboyo
"Latar belakang. Salah satu komplikasi paling umum dari diabetes mellitus (DM) adalah penyakit arteri perifer (PAD). Diperkirakan PAD mempengaruhi sebanyak 20% orang di atas 65 tahun. Banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya PAD. Golongan darah merupakan faktor risiko yang dikatakan mempengaruhi keparahan PAD namun belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan golongan darah ABO dengan derajat keparahan PAD pada pasien DM tipe II.
Metode. Studi cross-sectional dilakukan pada pasien DM tipe II yang didiagnosis dengan PAD dan datang ke Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo, Indonesia selama periode Januari 2022 hingga Juni 2022. Diagnosis PAD didasarkan pada pengukuran indeks pergelangan kaki-brakialis. (ABI). Tingkat keparahan PAD dikelompokkan menjadi PAD ringan (ABI 0,7-0,9) dan PAD sedang-berat (ABI <0,7). Pasien dikategorikan menurut golongan darah ABO menjadi golongan darah O dan golongan darah non-O (A, B, dan AB).
Hasil. Sebanyak 366 subjek dilibatkan dalam penelitian ini (A = 108, B = 52, AB = 12, O = 194). Tidak ada perbedaan kejadian PAD pada pasien PAD golongan darah O dan non golongan darah O (p = 0,780). PAD lebih parah pada golongan darah non-O (p = 0,041). Faktor risiko PAD yang lebih berat adalah periode diabetes yang lebih lama (OR 10,325 (95% CI 5,108-20,871), p < 0,001) dan hipertensi (OR 4,531 (95% CI 1,665-
12,326), p < 0,003).
Kesimpulan. Golongan darah ABO tidak berhubungan dengan terjadinya PAD. Golongan darah non-O dikaitkan dengan PAD yang lebih buruk di antara pasien DM tipe II. Faktor risiko lain untuk PAD yang lebih parah adalah periode diabetes dan hipertensi yang lebih lama.

Introduction. One of the most common complications of diabetes mellitus (DM) is peripheral artery disease (PAD). It is estimated that PAD affects as many as 20% of people over 65 years. Many factors are associated with the occurrence of PAD. Blood type is a risk factor that is said to influence the severity of PAD but has not been widely studied. This study aims to evaluate the relationship between ABO blood group type and the severity of PAD in DM type II patients.
Method. A cross-sectional study was performed on DM type II patients who was diagnosed with PAD and came to Cipto Mangunkusumo National Hospital, Indonesia during the period of January 2022 to June 2022. The diagnosis of PAD was based on the measurement of ankle-brachial index (ABI). The severity of PAD was grouped into mild PAD (ABI 0.7-0.9) and moderate-severe PAD (ABI <0.7). The patients were categorized according to the ABO blood group into O blood type and non-O (A, B, and AB) blood type
Results. A total of 366 subjects were included in the study (A = 108, B = 52, AB = 12, O= 194). There was no difference of PAD occurrence in O blood type and non-O blood type PAD patients (p = 0.780). The PAD was more severe in non-O blood type (p = 0.041). The risk factors of more severe PAD were longer period of diabetes (OR 10.325 (CI95% 5.108-20.871), p < 0.001) and hypertension (OR 4.531 (CI95% 1.665-12.326), p
< 0.003).
Conclusion. The ABO blood type was not associated with the occurrence of PAD. The non-O blood type was associated with worse PAD among DM type II patients. Other risk factors of more severe PAD were longer period of diabetes and hypertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendri
"Latar Belakang: Tindakan revaskularisasi menjadi hal yang penting dalam penyembuhan ulkus kaki diabetikum dengan penyakit arteri perifer, karena berperan dalam merestorasi fungsi perfusi jaringan tungkai. Selain itu, beberapa studi juga melaporkan bahwa tindakan ini juga dapat mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular. Namun, belum ada penelitian di Indonesia yang secara ekslusif membahas efektivitas revaskularisasi pada pasien ulkus kaki diabetik dengan penyakit arteri perifer. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan tingkat kesembuhan ulkus kaki diabetik dengan penyakit arteri perifer terhadap pasien yang dilakukan revaskularisasi maupun yang tidak dilakukan revaskularisasi.
Metode: Penelitian ini berlangsung dari Januari hingga Mei 2023, di RSUPN Cipto Mangunkusumo, dengan desain kohort retrospektif.
Hasil: Jumlah sampel pada masing-masing tindakan adalah 23 pasien. Tingkat kesembuhan pasien ulkus kaki diabetik dengan penyakit arteri perifer yang mendapatkan tindakan revaskularisasi adalah 78,3% (18 pasien), sementara yang tidak mendapatkan tindakan revaskularisasi 26,1% (6 pasien). Pasien yang menjalani tindakan revaskularisasi memiliki peluang 14,944 (1,102–202,692) kali lebih tinggi untuk mengalami kesembuhan luka dibandingkan pasien ulkus kaki diabetik dengan penyakit arteri perifer yang tidak mendapatkan tindakan revaskularisasi (p < 0,01). Setelah mengontrol faktor perancu, tindakan revaskularisasi tetap ditemukan berpengaruh terhadap kesembuhan pasien dengan WIfI stadium 2-3 memiliki peluang 11,926 (1,438–98,883) untuk mengalami penyembuhan luka dibandingkan pasien dengan WIfI stadium 4.
Kesimpulan: Tingkat kesembuhan pasien revaskularisasi lebih tinggi dibandingkan non-revaskularisasi. Selain itu, keparahan luka berdasarkan WIfI juga berpengaruh pada kesembuhan luka pasien.

Background: Revascularization is important in the healing of diabetic foot ulcers with peripheral arterial disease, because it plays a role in restoring the perfusion function of the leg tissues. In addition, several studies also report that this action can also reduce the risk of cardiovascular complications. However, there is no study in Indonesia that exclusively discusses the effectiveness of revascularization in diabetic foot ulcer patients with peripheral arterial disease. This study aims to compare the healing rates of diabetic foot ulcers with peripheral arterial disease in patients who underwent revascularization and those who did not undergo revascularization.
Methods: This study was conducted from January to May 2023, at Cipto Mangunkusumo General Hospital, with a retrospective cohort design.
Results: The number of samples in each group was 23 patients. The healing rate for diabetic foot ulcer patients with peripheral arterial disease who received revascularization was 78.3% (18 patients), while those who did not receive revascularization was 26.1% (6 patients). Patients who underwent revascularization had a 14.944 (1.102–202.692) times higher chance of getting their wound healed than patients with diabetic foot ulcers with peripheral arterial disease who did not receive revascularization (p <0.01). After controlling for confounding factors, revascularization was still found to have an effect on healing. Patients with WIfI stage 2-3 had a 11,926 (1,438–98,883) chance of experiencing wound healing compared to patients with stage 4 WIfI.
Conclusion: The wound healing rate for revascularized patients is higher than non-revascularized patients. In addition, the severity of the wound based on WIfI score also affects the patient's wound healing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harbanu Hermawan Mariyono
"ABSTRAK
Latar Belakang: Aterosklerosis merupakan penyakit sistemik, bisa terjadi di seluruh pembuluh darah. Pada arteri karotis terjadi penebalan tunika intima yang dapat dideteksi menggunakan penunjang non invasif yaitu dengan ultasound. Pada tungkai dapat dilakukan pemeriksaan non invasif yaitu Ankle-Brachial Index (ABI) dan Toe-Brachial Index (TBI) untuk mengetahui adanya penyakit arteri perifer, dengan asumsi bahwa adanya penurunan ABI atau TBI menunjukkan sudah ada stenosis. Berdasarkan hal ini diduga terdapat hubungan antara ABI dan TBI dengan Carotid Intima Media Thickness (CIMT). Tujuan: Mendapatkan hubungan antara ABI dan TBI dengan CIMT. Metode: Dilakukan studi potong lintang pada 36 pasien diabetes tipe II. Dilakukan pemeriksaan ABI dan TBI bila memenuhi kriteria Penyakit Arteri Perifer, dilanjutkan dengan pemeriksaan ultrasound untuk mengetahui ketebalan tunika intima karotis. Hubungan antara ABI dan TBI dengan CIMT dihitung dengan Spearman. Hasil: Rerata ABI yang diperoleh adalah 0,97 ± 0,15, rerata TBI 0,56 ± 0,1. Nilai tengah CIMT 0,96 (0,77 - 3,60). Tidak terdapat hubungan antara ABI dengan CIMT (r=-259, p=0,127) dan terdapat hubungan negatif bermakna antara TBI dengan CIMT (r=-0,47, p=0,004). Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara ABI dengan CIMT. Terdapat hubungan negatif bermakna antara TBI dengan CIMT.

ABSTRACT
Background: Atherosclerosis is a systemic disease that can be found in all arteries. Carotid Intima Media Thickness can be measure with ultrasound. Peripheral Artery Disease can be assessed with Ankle Brachial Index (ABI) And Toe Brachial Index (TBI). Low ABI or TBI can detect stenosis on the lower extremity arteries. Objective:To determine correlation between Ankle Brachial Index And Toe Brachial Index With Carotid Intima Media Thickness Methods: A cross sectional study on type II diabetic patients. Peripheral artery were assessed with Ankle Brachial Index and Toe Brachial Index. Carotid Intima Media Thickness measured with ultrasound. Correlation between ABI and TBI with CIMT were calculated with Spearman correlation test. Results: Mean Ankle Brachial Index were 0,97 ± 0,15, mean Toe Brachial Index 0,56 ± 0,1. Median of Carotid Intima Media Thickness 0,96 (0,77 - 3,60). Correlation between ABI with CIMT (r=-259, p=0,127) and TBI with CIMT (r=-0,47, p=0,004) Conclusions:There were no correlation between Ankle Brachial Index with Carotid Intima Media Thickness. There were negative correlation between Toe Brachial Index with Carotid Intima Media Thickness."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55532
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrul Junaidi
"ABSTRAK
Objektif : Penyakit arteri periper PAP atau periperal artery Disease PAD merupakan penyakit obstruktif pda extremitas bawah yang dihubungkan dengan kondisi kritis iskemik exremitas bawah dengan resiko amputasi. Kegagalan pada penyembuhan luka operasi pasca below knee amputasi adalah multi faktorial, salah satunya ditekankan kepada penilaian kualitas aliran darah pada tingkat level amputasi.Ultrasonografi merupakan alat pemeriksaan yang cukup ideal untuk menilai kondisi arteri pada extermitas, oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mencari hubungan antara hasil pemeriksaan ultrasonografi dengan kesembuhan luka operasi below knee amputasi extermitas yang nantinya di jadikan indikator prediktif kesembuhan. Metode : Penelitian ini menggunakan studi case control retrospektif untuk mencari hubungan hasil pemeriksaan ultrasonografi peak systolic, diameter, volume flow, spectral wave arteri poplitea, arteri tibia anterior dan arteri tibia posterior pada pasien yang menderita penyakit arteri periper PAP di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati dan RSUD Tangerang dari tahun 2015-2017 dengan kesembuhan luka operasi below knee amputasi. Hasil : Dari penelitian yang dilakukan pada 58 pasien pada Arteri Poplitea memiliki nilai mean Peak Systolic Velocity PSV 72,22 11,5 cm/s , diameter 0,52 0,008 cm. dan volume flow 109,3 30 ml/min. Arteri Tibia Anterior memiliki Peak Systolic Velocity PSV rata-rata 45,65 3,5 cm/s, diameter 0,25 0,01 cm dan 47,9 5,2 ml/min. Arteri Tibia Posterior memiliki Peak Systolic Velocity PSV rata-rata 42,6 2,76 cm/s, diameter 0,25 0,01 cm dan 34,07 3,7 ml/menit. Semua hasil pemeriksaan ultrasonografi menujukan hasil yang signifikan dengan kesembuhan p ABSTRACT
Objective Peripheral artery disease PAD is an obstructive disease of lower extremity associated with critical ischemic condition of the lower exremitas with the risk of amputation. Failure in wound healing operations after below knee amputation is multi factorial, one of which is emphasized on the assessment of the quality of blood flow at the level of amputation levels. Ultrasonography is an ideal examination tool to assess the condition of the arteries in the extermitas, therefore this study was conducted to find the relationship between ultrasonografy examination results with wound healing operations below knee amputation extermitas which later on make predictive indicator of healing. Metode This study used a retrospective case control study to investigate the relationship of ultrasound examination results peak systolic, diameter, volume flow, spectral wave popliteal artery, anterior tibial artery and posterior tibial artery in patients with peripheral artery disease PAP at RSUPN Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati and RSUD Tangerang from 2015 2017 with wound healing operation below knee amputation. Result From the research conducted on 58 patients in Poplitea Artery has mean value of Peak Systolic Velocity PSV 72,22 11,5 cm s, diameter 0,52 0,008 cm. And the flow volume is 109.3 30 ml min. Anterior Tibia Artery has Peak Systolic Velocity PSV averaging 45.65 3.5 cm s, diameter 0.25 0.01 cm and 47.9 5.2 ml min. Tibia Posterior Artery has Peak Systolic Velocity PSV averaging 42.6 2.76 cm s, diameter 0.25 0.01 cm and 34.07 3.7 ml min. All ultrasound examination results showed significant results with a growth rate of p "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Safitri
"Latar Belakang: Prevalensi penyakit arteri perifer PAP pada pasien dengan penyakit ginjal kronik PGK terlihat meningkat sejak stadium 3. Alat diagnostik nilai indeks ankle brachial ABI cukup akurat dalam mendeteksi PAP pada populasi normal. Pada PGK yang sering terjadi kalsifikasi pembuluh darah dimana nilai ABI dapat menjadi normal atau tinggi meski sudah ada stenosis pembuluh darah. Kalsifikasi pada ibu jari jarang terjadi membuat pemeriksaan nilai indeks toe brachial TBI mempunyai kelebihan dalam menilai PAP pada PGK.
Tujuan: Untuk mendapatkan proporsi PAP berdasarkan nilai ABI dan TBI serta informasi mengenai profil PAP pada PGK predialisis dan faktor yang diduga berhubungan.
Metode: Penelitian potong lintang pada pasien PGK di poliklinik Ilmu Penyakit Dalam, poliklinik Ginjal Hipertensi, poliklinik Kardiologi dan poliklinik Kardiologi Pusat Jantung Terpadu RSCM periode Oktober 2015-Maret 2016. Data didapatkan dari hasil wawancara, pemeriksaan fisik, nilai ABI dan TBI, serta pemeriksaan laboratorium. Studi deskriptif dilakukan dengan melihat proporsi PAP berdasarkan nilai ABI dan TBI, proporsi variabel dan penentuan nilai rerata dan median.
Hasil: Terdapat 75 pasien yang memenuhi kriteria penelitian. Proporsi PAP berdasarkan nilai ABI dan TBI 60 IK 95 49 -; 71. Nilai ABI. 0,9 dan TBI. 0,7 digunakan sebagai cut off dalam diagnosis PAP. Proporsi PAP pada tiap stadium ginjal mulai terlihat besar. Pasien dengan PAP lebih banyak laki-laki 51,1 dan rerata IMT 23,57 3,5 kg/m2. Median usia pasien 64 tahun 33-74 tahun. Nilai median ABI 1,04 0,7-1,26 dan TBI 0,61 0,31-0,74. Sebagian besar tidak merokok 53,3, mempunyai komorbiditas hipertensi 84, diabetes melitus 64, penyakit jantung koroner 57 dan dislipidemia 40. Nilai median laju filtrasi glomerulus 31,6 6,3-57,6, nilai median albuminuria 153 mg/g kreatinin 7,9-10767,3, nilai median kalsium. mg/dL 7,2-9,8 mg/dL, nilai median fosfat 3,9 mg/dL 1,9-5,7 mg/dL, rerata nilai produk CaxPO4 33,7 6,5 mg2/dL2 dan nilai median hsCRP 1,3 mg/L 0,1-19,19 mg/L. Proporsi pasien dengan hipertensi lebih besar pada pasien dengan PAP. Sementara proporsi DM tidak terkontrol lebih besar dibandingkan yang terkontrol 44. 20.
Simpulan: Proporsi PAP pada pasien PGK predialisis berdasarkan nilai ABI dan TBI sebesar 60. PAP pada PGK predialisis lebih banyak pada subjek dengan komorbiditas, diabetes melitus yang tidak terkontrol, stadium. klasifikasi Fontaine dan kecenderungan albuminuria yang meningkat.

Background The prevalence of peripheral artery disease PAD in chronic kidney disease patients is increasing in CKD stage. or higher. Ankle brachial index is an accurate diagnostic tool in population without CKD. Higher prevalence of arterial calcification in CKD can lead to. normal or high ABI in stenotic vessel. Toe vessels are less susceptible to calcification, therefore toe brachial index TBI measurement can be more useful for PAD assessment in CKD population.
Objectives: The aim of the study is to determine the profile of PAD based on ankle brachial index and toe brachial index in predialysis CKD patients.
Methods: cross sectional study was conducted in outpatient clinics of Dr. Cipto Mangunkusumo hospital from October 2015 to March 2016. The data were obtained by interview, ABI and TBI measurement, and analyzing the laboratories values.
Results: In 75 patients ABI and TBI measurement were conducted simultaneously. ABI 0.9 and or TBI 0.7 had been used as cut off values for diagnosing PAD. PAD proportion based on ABI and TBI in CKD predialysis is 60 IK 95 49 - 71. PAD proportion in every CKD stage are high. Most of the subject are male 51.1 and the mean body mass index value is 23.57 3.5 kg m2. The age median is 64 year old 33 74 year old. The median value of ABI is 1.04 0.7 1.26 and TBI 0.61 0.31 0.74. Most of the patients are non smoker 53.3, had hypertension 84, diabetic 64, coronary artery disease 57 and dyslipidemia 40. Median value of glomerulus filtration rate is 31.6 ml menit 1.73 m2 6.3 57.6 ml menit 1.73 m2, median value of albuminuria 153 mg. kreatinin 7.9 10767.3 median value of calcium. mg dL 7.2 9.8 mg dL, median value of phosphate 3.9 mg dL 1.9 5.7 mg dL, mean value of CaxPO4 product is 33.7 6.5 mg2 dL2 and median value of hsCRP 1.3 mg. 0.1 19.19 mg.. Most patient with PAD had. greater proportion of hypertension. The proportion of uncontrolled diabetes are higher in patient with PAD 44 vs 20.
Conclusion PAD proportion based on ABI and TBI is 60 IK 95 49 - 71. Most of the patients with PAD in CKD predialyis are with uncontrolled diabetes, stage II of Fontaine classification, increased albuminuria.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library