Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sitorus, Timion Melinda
"Dalam masyarakat yang masih heteronormatif, bentuk ekspresi androgini masih belum umum. Namun beauty influencer @yudhistirawr mengkespresikan sifat androgininya sebagai bentuk identitasnya di media sosial. Penulis ingin memahami bagaimana Yudhistira menegosiasikan identitas gendernya dengan merek yang ia wakili dalam konten endorsement-nya dengan menggunakan konsep performativitas gender. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Data diperoleh melalui studi pustaka dan observasi terhadap akun Instagram @yudhistirawr. Konten yang dianalisis terdiri dari dua konten non-endorsement dan dua konten endorsement paling populer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Yudhistira berhasil mengekspresikan sifat androgini sebagai identitasnya melalui konten-konten Instagram, termasuk konten endorsement bersama merek yang bekerja sama dengannya.

In a heteronormative society, androgynous forms of expression are still not common. However, beauty influencer @yudhistirawr expresses her androgynous characteristics as a form of identity on social media. The author wants to understand how Yudhistira negotiates his gender identity with the brand he represents in his endorsement content using the concept of gender performativity. This research uses a qualitative approach with a case study method. Data was obtained through literature study and observation of @yudhistirawr's Instagram account. The analyzed content consists of two most popular non-endorsement contents and two most popular endorsement contents. The results showed that Yudhistira managed to express his androgynous nature as his identity through Instagram content, including endorsement content with the brands he works with."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sri Warsidah Rahmi
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat proses perubahan identitas tokoh Saidi yang berkaitan dengan konsep gender dalam budaya Bugis Budaya Bugis mengakui keberadaan transgender yang dikenal dengan penyebutan calabai, merujuk laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan, dan calalai merujuk kepada perempuan yang bertingkah laku seperti laki-laki. Selain calabai dan calalai, juga hadir bissu. Bissu adalah transgender yang menempati posisi pemangku adat. Pengakuan masyarakat akan keberadaan bissu terlihat dalam berbagai upacara adat. Permasalahan identitas transgender dalam budaya Bugis, diangkat Pepi Al-Bayqunie dalam Calabai 2016 . Novel Calabai ini mendiskusikan keberadaan bissu yang direpresentasikan melalui tokoh Saidi. Dengan menggunakan teori performativitas, Butler, penelitian ini menganalisis tokoh transgender dalam novel Calabai. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara ruang dan identitas. Perubahan ruang mempengaruhi identitas tokoh Saidi karena setiap ruang yang dihuninya memiliki budaya dan latar sosial yang berbeda. Dari performativitas Saidi sebagai bissu juga diperlihatkan sikap teks terkait kehadiran bissu. Teks memapankan identitas bissu dalam budaya Bugis yang berterima dalam masyarakat Segeri sebagai representasi penerimaan masyarakat Bugis. Di waktu yang bersamaan, teks juga mempertanyakan identitas bissu dalam pandangan Islam. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan perspektif baru menyangkut isu transgender.

ABSTRACT
This study aims to see the process of transformation of Saidi related to the concept of gender in Bugis culture. Bugis culture acknowledge the existence of transgender named calabai, referring to men who behave womanly, while calalai refers to women who behave men look alike. In addition to calabai and calalai, there is an existence of bissu. Bissu is a transgender that occupies the position in tribal council. Public recognition of the existence of bissu is proven in various traditional ceremonies. Problems of transgender identity in Bugis culture is appointed by Pepi Al Bayqunie in Calabai 2016 . This novel discussed the existence of bissu represented through the character Saidi. By using the theory of performativity, this research tried to analyze the transgender character in Calabai novel. The performance analysis showed that there was a connection between sphere and identity. Spatial changes affected the identity of Saidi because every space occupied had a different culture and social setting. Saidi 39 s performance as a bissu also showed the point of view of the text related to bissu as an identity. The text established the identity of bissu regarding to their acceptance in Bugis culture in Segeri society as a representation of Bugis society acceptance as a whole. However, the text actually questioned the identity of bissu in Islam perspective. The results of this study were expected to provide a new perspective on transgender issues. "
2018
T49979
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cazelya Aryaninda Margo Putri
"Pada penelitian ini, penulis menganalisis dua lagu Jerman, yaitu “Vincent” oleh Sarah Connor dan “Queere Tiere” oleh Sookee. Kedua lagu ini dipilih karena dianggap sebagai platform untuk merepresentasikan komunitas homoseksual, yang dapat dibuktikan dari performativitas gender pada kedua lirik lagu. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif untuk menganalisis makna kedua lirik lagu. Selain itu, penulis menggunakan Queer theory oleh Judith Butler (1990), didukung dengan konsep gender performativity untuk menjabarkan performativitas gender yang ditampilkan pada kedua lirik lagu tersebut dan menunjukan bagaimana performativitas pada kedua lagu tersebut dapat dikatakan sebagai performativitas homoseksual. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kedua lagu tersebut menunjukkan adanya gender performativity dan performativitas yang ditampilkan pada kedua lirik tersebut membentuk identitas gender seorang homoseksual.

In this research, writers analyzed two German songs "Vincent" by Sarah Connor and "Queere Tiere" by Sookee. These two songs were chosen because they are considered as platforms to represent the homosexual community, which can be proven from the gender performativity in both song lyrics. In this research, the author uses descriptive analysis method to analyze the meaning of both song lyrics. In addition, writers use Queer theory by Judith Butler (1990), supported by the concept of gender performativity to describe the gender performativity displayed in both song lyrics and show how the performativity in both songs can be said to be homosexual performativity. From this research, it can be concluded that both songs show the existence of gender performativity and the performativity displayed in both lyrics forms the gender identity of a homosexual."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Maharani
"Anime Kuragehime (2010) karya Akiko Higashimura merupakan adaptasi dari manga yang sebelumnya telah ditulis oleh penulis yang sama. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis identitas gender pada karakter Kuranosuke Koibuchi dalam anime Kuragehime dan respon yang diterima olehnya dari lingkungan sekitar. Dalam penelitian ini, teori performativitas gender oleh Judith Butler (1999) dan metode penelitian semiotika Charles Sanders Pierce digunakan sebagai landasan teoritis dan metodologis. Hasil analisis ditemukan bahwa elemen-elemen seperti pakaian, gaya rambut, dan ekspresi wajah Kuranosuke membentuk makna mendalam terkait identitas gender karakter tersebut. Perubahan penampilan Kuranosuke seperti layaknya seorang wanita menjadi representasi dinamika performativitas gender. Temuan penelitian ini menegaskan bahwa identitas gender bukanlah entitas statis, melainkan konstruksi sosial yang terus berubah melalui tindakan performatif yang berulang dan dinamis.

The anime Kuragehime (2010) by Akiko Higashimura is an adaptation of a manga previously written by the same author. This research aims to analyze the gender identity of the character Kuranosuke Koibuchi in the anime Kuragehime and the responses received from his surrounding environment. In this study, the theoretical framework and methodology involve Judith Butler's (1999) gender performativity theory and Charles Sanders Pierce's semiotic research method. The analysis results indicate that elements such as clothing, hairstyle, and facial expressions of Kuranosuke form profound meanings related to the gender identity of the character. Kuranosuke's changes in appearance, resembling that of a woman, serve as a representation of the dynamics of gender performativity. The research findings affirm that gender identity is not a static entity but a social construction that continually evolves through repeated and dynamic performative actions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Debby Novitadewi Susanto
"Masuknya budaya populer Korea, terutama musik pop, memunculkan fenomena baru yang lain yaitu roleplay di kalangan para penggemarnya. Roleplay merupakan permainan peran, baik memainkan peran karakter fiksi maupun publik figur di kehidupan nyata. Setiap orang dibebaskan memainkan karakter yang mereka inginkan dan mendorong pemain untuk memainkan karakter dengan identitas yang berbeda, salah satunya identitas gender. Dari sinilah muncul fenomena gender swap. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dengan metode observasi dan wawancara mendalam secara daring untuk menyesuaikan dengan pandemi COVID-19. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana seseorang mengonstruksikan identitas gender yang berbeda dan kaitannya dengan stereotip gender yang berlaku. Hasil dari penelitian ini adalah informan mengonstruksikan identitas gender yang berbeda dengan tindakan performatif yang dilakukan secara berulang-ulang melalui tampilan akun, typing, dan interaksi sosial. Dalam mengonstruksikan identitas gendernya, informan melanggengkan dan menentang stereotip gender secara bersamaan.

The entry of Korean pop culture, especially pop music, has led to another new phenomenon, namely roleplay among fans. Roleplay is a role-playing game, both playing the role of fictional characters and public figures in real life. Everyone is free to play the character they want and encourages players to play characters with different identities, one of which is gender identity. This is where the gender swap phenomenon emerges. This study uses an ethnographic approach with online observation and in-depth interviews to adapt to the COVID-19 pandemic. The purpose of this study is to see how a person constructs a different gender identity and its relation to prevailing gender stereotypes. The results of this study are informants construct different gender identities with performative actions that are carried out repeatedly through account display, typing, and social interaction. In constructing their gender identity, informants perpetuate and oppose gender stereotypes simultaneously."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debby Novitadewi Susanto
"Masuknya budaya populer Korea, terutama musik pop, memunculkan fenomena baru yang lain yaitu roleplay di kalangan para penggemarnya. Roleplay merupakan permainan peran, baik memainkan peran karakter fiksi maupun publik figur di kehidupan nyata. Setiap orang dibebaskan memainkan karakter yang mereka inginkan dan mendorong pemain untuk memainkan karakter dengan identitas yang berbeda, salah satunya identitas gender. Dari sinilah muncul fenomena gender swap. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dengan metode observasi dan wawancara mendalam secara daring untuk menyesuaikan dengan pandemi COVID-19. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana seseorang mengonstruksikan identitas gender yang berbeda dan kaitannya dengan stereotip gender yang berlaku. Hasil dari penelitian ini adalah informan mengonstruksikan identitas gender yang berbeda dengan tindakan performatif yang dilakukan secara berulang-ulang melalui tampilan akun, typing, dan interaksi sosial. Dalam mengonstruksikan identitas gendernya, informan melanggengkan dan menentang stereotip gender secara bersamaan.

The entry of Korean pop culture, especially pop music, has led to another new phenomenon, namely roleplay among fans. Roleplay is a role-playing game, both playing the role of fictional characters and public figures in real life. Everyone is free to play the character they want and encourages players to play characters with different identities, one of which is gender identity. This is where the gender swap phenomenon emerges. This study uses an ethnographic approach with online observation and in-depth interviews to adapt to the COVID-19 pandemic. The purpose of this study is to see how a person constructs a different gender identity and its relation to prevailing gender stereotypes. The results of this study are informants construct different gender identities with performative actions that are carried out repeatedly through account display, typing, and social interaction. In constructing their gender identity, informants perpetuate and oppose gender stereotypes simultaneously."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatma Dyah Savira
"Fandom sebagai ruang yang didominasi perempuan seringkali dianggap lebih ramah gender. Melalui berbagai aktivitas, seperti menulis fanfiksi, menggambar fan art, dan mengonsumsi juga membagikan karya pengemar lain, serta membangun jejaring sesama penggemar, para penggemar perempuan dapat berkegiatan dengan relatif lebih bebas, tanpa batas-batas yang ditetapkan lelaki. Penelitian ini bertujuan untuk mencaritahu cara-cara penggemar perempuan dapat mengeksplorasi dan mengekspresikan dirinya di fandom, dan bagaimana kegiatan mereka dalam ruang penggemar dapat berkelindan dengan hal tersebut. Melalui pendekatan etnografi, dengan metode observasi partisipan dan wawancara mendalam secara daring, studi ini juga menggunakan studi pustaka untuk memperkaya analisa. Hasilnya menunjukkan bahwa informan dapat mengeksplorasi dan mengekspresikan gender mereka melalui berbagai kegiatan penggemar, termasuk terlibat dalam, atau sekadar memperhatikan, diskursus yang sering muncul dalam fandom. Sekalipun ruang fandom masih heteronormatif, informan dapat menentukan sendiri pendekatan mereka pada fandom, termasuk dalam menghadirkan diri mereka.

Fandom as a female-dominated space is often considered more gender-friendly. Through various activities, such as writing fan fiction, drawing fan art, consuming and sharing the fan works of other fans, as well as building networks with fellow fans, female fans can carry out their activities relatively freely, without scornful limitations imposed by men. This research aims to find out the ways female fans can explore and express themselves in fandom, and how their activities in the fan space can be related to this. Through an ethnographic approach, with participant observation methods and online in-depth interviews, this study also uses literature research to enrich the analysis. The results show that informants can explore and express their gender through various fan activities, including engaging in, or simply paying attention to, discourses that often arise in fandom. Even though the fandom space is still heteronormative, informants can determine their own approach to fandom, including in presenting themselves."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina Theresia Indirastuti
"ABSTRAK
Penelitian ini mempelajari bagaimana calabai, istilah Bugis untuk waria atau
transgender woman, menegosiasikan subjektivitas gendernya agar dapat
memperoleh posisi dalam masyarakat Bugis masa kini. Eksistensi dan peran
calabai telah diakui dalam tradisi Bugis selama beratus tahun. Perubahan sistem
sosial dalam masyarakat Bugis, terutama masuknya Islam dengan sistem seks/
gender yang dikotomis, pendidikan modern dan berubahnya sistem politik
membawa perubahan mendasar dalam konteks hidup calabai. Sebagian calabai
bertahan pada peran tradisionalnya, sedangkan lainnya memasuki peran nontradisional
dalam konteks sosial dengan sistem gender yang lebih dikotomis.
Penelitian kualitatif ini mempelajari kehidupan 12 calabai dalam beragam peran.
Dengan mengadopsi sudut pandang Michel Foucault mengenai sistem kuasa,
Judith Butler tentang performativitas gender, serta Patricia Hill Collins tentang
opresi interseksional, ditemukan bahwa subjektivitas gender dinegosiasikan secara
cair sepanjang hidup calabai. Negosiasi subjektivitas gender calabai memiliki
bentuk yang sangat beragam, tidak kaku dan linier tetapi cair dan berubah-ubah
dalam konteks hidup yang berkelindaan relasi kuasa yang beragam serta terus
terjadi dalam tahapan hidup yang berbeda-beda. Subjektivitas gender calabai
dibangun dengan tujuan yang beragam, tidak ada satu tujuan yang ideal dan stabil,
namun berwarna-warni.

ABSTRACT
The research studied how calabai, the Bugis term for transgender woman,
negotiates her gender subjectivity to own position in the current Bugis society.
Calabai?s existence and roles have been acknowledged in Bugis tradition for
hundreds years. Changes in social system, including the entry of Islam with its
dichotomous sex/gender system, modern education and changing political system
have brought fundamental changes in calabai?s life context. Some calabai hold on
to traditional roles, while others enter non-traditional roles in social context with
stricter gender dichotomy. This qualitative research studied the life of 12 calabai
with diverse roles. By adopting Michel Foucault?s viewpoint on power systems,
Judith Butler?s gender performativity and Patricia Hill Collins? intersection
oppression, the research found that gender subjectivity is negotiated fluidly in a
complex way throughout calabai?s life. Different calabai negotiate her gender
subjectivity in different ways, the process is not rigid and linear but fluid and
changing through different life context that intertwined with power relations and
through life stages. Calabai gender subjectivity is constructed with diverse aim,
there is no ideal and stable aim, but expressed in a colourful ways;"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clarissa Diantha Azzahra
"Penelitian ini bertujuan untuk membahas performativitas gender pada tokoh Nagisa dalam film Midnight Swan (2020) karya Uchida Eiji serta menganalisis pandangan masyarakat Jepang terhadap performativitas gender yang ditampilkan oleh Nagisa dalam film tersebut. Penelitian ini menerapkan dua teori dalam kerangka analisis, yaitu performativitas gender oleh Judith Butler (1990) dan teori kode-kode televisi John Fiske (1999) yang terbagi dalam tiga level, yaitu realitas, representasi, dan ideologi. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis teks dan visual dalam film Midnight Swan. Ditemukan delapan data yang menunjukkan performativitas gender Nagisa dan lima data yang menggambarkan pandangan masyarakat terhadap performativitas gender Nagisa. Temuan ini menunjukkan bahwa tokoh Nagisa tidak hanya ditunjukkan melalui karakternya sebagai transgender, tetapi juga ditunjukkan dengan menjadi seorang ibu dan penari kabaret. Pandangan masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu menerima dan menolak performativitas gender Nagisa. Meskipun penolakan akibat budaya patriarki yang telah terinternalisasi pada masyarakat Jepang kerap ditampilkan dalam film, ada sebagian masyarakat Jepang yang masih memberikan pandangan terbuka terhadap performativitas gender yang ditunjukkan Nagisa. Film Midnight Swan menunjukkan bahwa tidak mudah bagi individu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai transgender untuk menjalani hidup di lingkungan masyarakat yang bersifat heteronormatif dengan beragam perspektif terkait isu gender.

This study aims to discuss the gender performativity on the character Nagisa in Uchida Eiji's film Midnight Swan (2020) and analyze the perception of Nagisa's gender performativity within Japanese society as depicted in the movie. This study utilizes two theories in the analytical framework: Judith Butler's concept of gender performativity (1990) and John Fiske's theory of television codes (1999). Fiske's theory is further categorized into three levels: actuality, representation, and ideology. The research method used is text analysis and visual analysis in the Midnight Swan movie. A total of eight data points were identified to assess Nagisa's gender performativity, while five data points were used to analyze society's perspectives on Nagisa's gender performativity. These findings show that Nagisa's character is not solely defined by her transgender identity but also shown through her roles as a mother and cabaret dancer. Society's perspectives on Nagisa's gender performativity can be categorized into two distinct groups: accepting and rejecting Nagisa's gender performativity. Despite the frequent rejection portrayal of internalized patriarchal culture in the film, liberal society nevertheless maintains an open perspective towards Nagisa's gender performativity. The Midnight Swan movie portrays the challenges faced by people who identify themselves as LGBT, including those who are transgender to live their lives in a society with diverse perspectives regarding gender issues."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>