Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hongky Juanda
Abstrak :
Rumah Detensi Imigrasi Jakarta adalah salah satu yang menjadi barometer bagi Rumah Detensi Imigrasi lainnya selain memang lokasinya di Ibukota Negara, wilayah kerjanya pun paling banyak dibanding dengan Rumah Detensi lain. Namun berdasarkan data yang ada bahwa tingkat penurunan penghuni bisa di bilang kurang signifikan sepanjang tahun 2007 hanya terjadi penurunan sebanyak 33 orang Deteni sehingga dipertanyakan oleh peneliti bagaimana dengan kuantitas pendeportasiannya. Dari hasil penelitian dan wawancara dengan para informan dalam pelaksanaan tugas tersebut dilapangan ada beberapa kendala yang menghambat suksesnya upaya deportasi pertama adalah biaya dan kedua peraturan. Faktor biaya memang adalah alasan yang paling klasik namun pada kenyataannya memang Deteni maupun kedutaannya sebagai stakeholders yang menurut peraturan bertanggung jawab untuk menyediakan biaya sering sekali tidak dapat menyediakannya, sehingga akhirnya harus mencari donatur. Sedangkan faktor peraturan adalah tidak adanya aturan yang jelas mengenai klasifikasi orang asing yang dapat didetensikan dan dideportasi. Kenyataan lapangan Rumah Detensi Imigrasi Jakarta selain fungsinya menampung orang asing yang terkena tindakan keimigrasian yaitu tindakan administratif, ternyata juga menampung orang asing dengan kualifikasi orang asing yang tidak dapat dideportasi, yang tentunya tidak terakomodir di dalam peraturan. Kendala ini secara langsung berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dari Rumah Detensi Imigrasi untuk meningkatkan kuantitas deportasi karena ukuran tingkat efektifitas pendeportasian adalah tingkat pencapaian tujuan dari hasil pendeportasian tersebut. Kesimpulan yang didapat dari hasil wawancara dan studi dokumen serta analisa peneliti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh Kepala Rumah Detensi Imigrasi yaitu peningkatan kuantitas pendeportasian tidak tercapai walaupun sepanjang tahun 2007 itu jumlahnya relatif banyak namun ternyata yang masuk pun tidak kurang banyaknya. Saran yang diberikan agar ada kajian terhadap kemungkinan penambahan status Rumah Detensi Imigrasi di tambah menjadi cabang Rumah Tahanan Negara sehingga dapat mengakomodir Deteni di luar klasifikasi yang telah ditentukan atau masukan aturan yang mengatur deteni diluar klasifikasi yang telah ditentukan tersebut. Untuk dana atau biaya memang tidak ada jalan lain selain pemerintah memang harus mengusahakan anggaran untuk dana deportasi atau pemulangan, karena memang pada akhirnya prioritas kepentingan tersebut lebih banyak di sisi Pemerintah Indonesianya karena dapat dibayangkan jika Deteni tidak dapat dideportasikan selama 1 (satu) tahun saja, biaya hidup Deteni tersebut yang ditanggung Pemerintah Indonesia jauh lebih besar dari biaya tiket pesawat.
The Jakarta Immigration Detention House is one of benchmarks for other Immigration Detention Houses not only because it is located in the capital city but also it covers the most operating area compared to others. However, the existing data indicates that there is an insignificant decline on the number of the detainees held there throughout the year 2007. There is only a slight decline of 33 detainees in that year that the researcher questions the quantity of the deportation. Based on the result of the research and the interview with the sources performing the duty on the field, several hindrances that hamper the success of deportation have been identified, namely the cost and the regulation. The cost factor is indeed one most classic reason, yet the fact remains that both the detention house and the embassies as stakeholders which are responsible in financing the house as determined by the regulation often fail to provide it; as a result, donation must be sought elsewhere. On the other hand, the regulation factor refers to the absence of clear regulation regarding the classification of expatriates who can be either detained or deported. In reality, the Jakarta Detention House whose function is to hold expatriates subjected to Immigration act-which is administrative act in this case- in fact also holds expatriates who are qualified as cannot be deported; and this is surely not accomodated in the regulation. This hindrance directly affects the goal attainment of the Detention House which is to increase the quantity of deportation because the effectiveness level of deportation is determined by the level of the goal attainment in that deportation effort. The conclusion gained from the result of the interview, document study as well as the researcher?s analysis is that the goal set by the head of Jakarta Immigration Detention House, which is to increase the quantity of deportation, was not achieved ; despite the fact that throughout 2007 the number of the deported are quite many, those entering the House are also relatively similar in number. It is recommended that there be an analysis on the possibility of adding (more) status to Imigration Detention House as a branch of State Detention House so that it can accomodate the detainees outside the already determined classification. As for the financing problem, there is actually no other way but for the government to set a budget for deportation and extradition, since at the end the priority is more for the sake of Indonesian government as it is unimaginable if the detainees cannot be deported, let us say, for 1 (one) year alone.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25350
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Srinursih
Abstrak :
Sempati Air merupakan salah satu maskapai penerbangan yang ada di Indonesia, yang secara berkesinambungan meluncurkan berbagai macam program pelayanan, dalam rangka memperbaiki kinerja perusahaan, sehingga dapat dapat memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh konsumen. Perbaikan pola layanan ini dilaksanakan untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat, dalam usaha memasuki era globalisasi. Dalam mensosialisasikan program kerja ataupun program pelayanan yang inovatif tersebut dibutuhkan suatu iklim komunikasi yang terbuka. Sehingga semua pihak mengerti dan memahami program kerja tersebut secara rinci. Dengan demikian dapat dicapai kualitas layanan yang lebih baik bagi penumpang Sempati Air. Dalam kenyataannya, Sempati Air mengalami berbagai kendala dalam mengimplementasikan program-programnya, hal ini karena tidak efektifnya program sosialisasi karena tidak adanya iklim komunikasi yang sesuai.Akibatnya pelaksana dilapangan tidak dapat melaksanakan program tersebut secara optimal. Konsep iklim komunikasi mencakup dua pengertian yakni persepsi dan reaksi para karyawan terhadap kualitas organisasi tempatnya bekerja. Dalam penelitian secara empiris konsep iklim komunikasi oleh para Ahli terutama Redding telah dijabarkan mejadi 5 komponen, yaitu : daya dukung, pengambilan keputusan yang partisipatif kepercayaan, percaya diri dan krediabilitas, keterbukaan dan keterusterangan, serta tujuan prestasi yang tinggi. Dari penelitian yang dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap informan kunci dalam perusahaan PT. Sempati Air , yang dianggap mengetahui secara mendalam tentang organisasi dan konsep kerja maupun perilaku segenap karyawannya. Maka dapat disimpulkan komunikasi antara atasan dan bawahan dapat dikategorikan baik , karena bawahan tidak perlu takut-takut untuk mengungkapkan permasalahan yang dihadapinya kepada atasan. Tetapi hal yang ada kaitannya dengan program kerja inovatif masih banyak kurang dipahami oleh karyawan Sempati.Dalam hal ini dikarenakan Top down dilakukan secara lisan , yang sayangnya tidak didukung oleh adanya petunjuk teknis yang dapat digunakan sebagai pegangan dilapangan. Selain itu dalam perkembangnnya penyebaran informasi dari atas tidak dilakukan secara terpadu, sehingga ditemukan banyak masalah dilapangan. Oleh karena itu disarankan : 1. Agar diselenggarakan komunikasi timbal balik antara Top Down dan Button Up maupun komunikasi horizontal dalam pertemuan-pertemuan yang setingkat. 2. Dibuat buku pedoman sebagai petunjuk kerja. 3. Harus ada program khusus untuk pelaksanaan program inovatif tersebut, karena sistem komunikasi dan iklim komunikasi yang ada nampaknya hanya efektif untuk program yang rutin, bukan untuk program inovasi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peni Andayani
Abstrak :
Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional (R-SMA-BI) adalah program pemerintah yang merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan dalam kerangka mempersiapkan sumberdaya manusia yang ada guna menghadapai tantangan global. Program ini sudah berjalan kurang lebih 5 tahun sejak tahun 2006. Penyelenggaraan program rintisan SMA bertaraf internasional menuju SMA bertaraf internasional bertujuan meningkatkan kinerja sekolah dalam mengembangkan situasi belajar dan proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional secara optimal dalam mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, dan memiliki daya saing pada taraf internasional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ketercapaian indikator standar efektifitas kinerja minimal dan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian indikator efektifitas kinerja minimal yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009. Penelitian ini menemukan bahwa tidak semua R-SMA-BI yang dirintis mulai tahun 2006 dan 2007 dapat mencapai semua indikator standar efektifitas kinerja minimal.
Pioneer High School International Standard (R-SMA-BI) Program is a government program which is one of the government efforts in improving the quality of education in order to prepare the existing human resources to face global challenges. This program has been running about 5 years since 2006. Implementation of pioneer high school international pilot programs to an international high school level aims to improve school performance in developing learning situations and learning process to achieve national education goals optimally in developing and pious human who is faithful to the Lord Almighty, noble, healthy, knowledgeable, capable, creative, independent, and become citizens of a democratic then accountable and competitive on an international level. The purpose of this study was to determine the achievement minimum performance effectiveness standard indicators and to identify problems faced in achieving the effectiveness of minimum performance indicators contained in the Minister of National Education number 78 in 2009. This study found that not all R-SMA-BI which pioneered starting in 2006 and 2007 can reach all the minimum performance effectiveness standard indicators.
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T29288
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library