Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Misra Dewita
Abstrak :
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang relatif baru di Indonesia. Lembaga yang bersifat independen ini didirikan khusus untuk menangani tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK oleh Undang-Undang diberikan kewenangan untuk melakukan intersepsi atau penyadapan dan merekam pembicaraan. Kewenangan KPK melakukan penyadapan ini bersinggungan dengan butir-butir hak asasi manusia, khususnya hak privasi yang terkait dengan kebebasan berkomunikasi. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tindakan penyadapan oleh KPK ini dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia serta bagaimana regulasi terkait dengan lawful interception di Indonesia. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Data sekunder ini terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan; bahan hukum sekunder berupa buku, majalah ilmiah, artikel surat kabar, karya tulis ilmiah maupun sumber dari internet; dan juga bahan hukum tersier berupa kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran secara jelas mengenai kedudukan hak asasi manusia dalam tindakan penyadapan dalam penanganan tindak pidana korupsi serta bisa menjadi masukan dalam penyusunan Rancangan Undang- Undang terkait tata cara intersepsi dalam rangka penegakan hukum. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyadapan merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Penyadapan terhadap seseorang, baik menggunakan alat sadap maupun penyadapan terhadap alat komunikasinya merupakan tindakan yang telah melanggar hak privasi terkait dengan kebebasan berkomunikasi. Namun hak ini dapat disimpangi oleh negara berdasarkan Undang-Undang karena hak berkomunikasi ini termasuk ke dalam kategori derogable rights. Sebagai bagian dari hak asasi manusia, hak berkomunikasi ini juga diatur dalam instrumen hukum internasional, antara lain dalam International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR). Sebagian negara di dunia telah memiliki Undang-Undang yang secara khusus mengatur penyadapan, sementara hingga saat ini Indonesia belum memilki Undang-Undang sama. Saat ini teknis penyadapan yang dilakukan oleh KPK hanya didasarkan pada peraturan setingkat menteri yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/Per/M.Kominfo/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Untuk operasionalnya, KPK mempunyai SOP penyadapan yang mana setiap penyadapan yang dilakukan harus berdasarkan SOP ini. Untuk menyempurnakan peraturan terkait lawful interception, pemerintah berencana membuatnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 31 ayat (4), namun ditentang oleh banyak pihak. Mahkamah Konstitusi kemudian memutus perkara uji materil terhadap pasal terkait dan menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu, aturan tata cara lawful interception ini hendaknya dibuat dalam bentuk Undang-Undang bukan Peraturan Pemerintah.
Abstract
Indonesia. This independent institution is specially established to handle corruption crime. In implementing its investigation and prosecution, the KPK is authorized by law to use interception and/or wiretapping. The authority of KPK to conduct this interception is contradict to the elements of human rights especially privacy right which related to freedom of communication. A subject of discussion in this research is how interception conducted by KPK viewed from human rights perspective and how the related regulation with interception in Indonesia. This thesis writing using librarian research method with secondary data as the resource. This secondary data consist of primary law material consist of regulations and court verdict; secondary law material consist of books, scientific magazine, news paper article, scientific paper and internet resources as well; also tertiary law material consist of grand dictionary of Bahasa Indonesia and legal dictionary. The expected result of this research is to obtain a clear position about human rights perspective in the implementation of interception in handling corruption crime and to provide suggestion in the drafting of law related to interception method as well in the frame of legal enforcement. In short, the research can be concluded that principally an interception is contradict with human rights. An interception to a person whether using interception device or interception toward his communication device is contradict to the privacy rights which related to freedom of communication. However, this privacy right may be overrided by state based on the law because the right of communication in considered as derogable rights. As a part of human rights, the freedom of communication is also governed by international law instrument among others International Covenant on Civil and Political Rights. Some of the states in the world has owned the laws which govern specifically about interception, while Indonesia, has not yet govern the specific law on interception. At this moment, the technical method of interception conducted by KPK is only based on the regulation in the ministerial level namely Ministry of Communication and Information Decree Number 11/Per/M.Kominfo/02/2006 concerning Technical Interception Toward Information. For the operational purpose, KPK has their own standard operational procedure (SOP) where all interception should be conducted based on this SOP. To the perfection of regulation related to lawful interception, the government has planned to enact a government regulation as mandated by law on Information and Electronic Transaction Article 31 paragraph (4), but this plan has been argued by many parties. The Constitution Court has decided the judicial review on the related article and stated that the said Article is contradict to the UUD and has no legal force. Therefore, the provision on the lawful interception is suggested to be made in the form of law (undang-undang) not in the form of government regulation.
Universitas Indonesia, 2011
T29317
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizvan Imanuddin
Abstrak :
Perdagangan orang mengakibatkan korban mengalami penderitaan baik fisik, psikis, ekonomi dan sosial. Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO), diharapkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang dapat lebih efektif. Konsep pertanggung jawaban ganti kerugian juga telah diatur sebagai aspek penting dalam penegakan hukum. Namun dalam prakteknya, putusan (vonis) perkara tindak pidana perdagangan orang jarang memuat restitusi. Hal ini dipengaruhi oleh belum jelasnya prosedur pengajuan restitusi bagi korban tindak pidana perdagangan orang dan beberapa faktor kendala lainnya. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis-empiris. Dalam memperoleh data, dilakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dalam bentuk wawancara dengan informan. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa prosedur pengajuan restitusi pada perkara tindak pidana perdagangan orang diatur secara tersendiri dalam UUPTPPO dan juga mengacu kepada KUHAP kecuali ditentukan lain oleh UUPTPPO. Kendala-kendala dalam pendayagunaan lembaga restitusi pada perkara tindak pidana perdagangan orang dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu : a. faktor peraturan perundang-undangan; b. faktor sumber daya manusia (SDM) para penegak hukum; dan c. faktor kesadaran hukum korban. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mendayagunakan lembaga restitusi pada perkara tindak pidana perdagangan orang yaitu: ketentuan mengenai restitusi pada UUPTPPO perlu direvisi, dibuatkan peraturan-peraturan pelaksanaan mengenai prosedur pengajuan restitusi oleh masing-masing lembaga penegak hukum, peningkatan kualitas SDM para penegak hukum, koordinasi dan kerjasama yang baik dengan negara tempat tujuan perdagangan orang, sosialisasi kepada masyarakat terutama para korban mengenai tindak pidana perdagangan orang dan masalah restitusi, peran serta masyarakat dalam memberikan bantuan hukum kepada korban dan pengawasan kepada para penegak hukum. ...... Trafficking in Person has caused the victims to suffer physically, psychologically, economically, and socially. After the effectiveness of the Law No. 21 of the year 2007 on Combating against the Criminal Acts of Trafficking in Person (UUPTPPO), it is expected that the law enforcement towards the criminal acts of Trafficking in Person can be more effective. The concept of compensation liability has also been governed as an important aspect in law enforcement. However in the practice, the decision (the verdict) of the Trafficking in Person criminal act case rarely contains restitution. This is caused by the unclear procedure to file restitution for the victims of Trafficking in Person ciminal acts and other obstacles. This research used the judicial-empirical research. In obtaining data, library research and field research in a form of interview with informants have been conducted. From the research results obtained, it is concluded that the procedure of filing restitution in the case of Trafficking in Person criminal acts is governed separately in UUPTPPO and also refers to KUHAP (Penal Code) except otherwise determined by UUPTPPO. The obstacles in the empowerment of the restitution institution in the case of Trafficking in Person criminal acts could be classified in 3 (three) groups: a. laws and regulations factor; b. human resources of law enforcers factor; and c. victims? legal consciousness factor. The efforts which must be done to empower the restitution institution in the case of Trafficking in Person criminal acts are to revise the provisions on restitution in UUPTPPO, to make the implementation regulations on the procedure of filing restitution by each law enforcement institution, to increase the human resources quality of the law enforcers, to coordinate and cooperate well with the country destination of the Trafficking in Person, to introduce the Trafficking in Person criminal acts and restitution issues to the society, especially the victims, and to involve the society in giving legal aids to the victims and in supervising the law enforcers.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29315
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia , 2005
364.15 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya dengan didukung oleh International Organisation for Migration Surabaya Office dan WSM, 2007
364.153 4 SEK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan, Badan Litbang Diklat Kumdil, Mahkamah Agung RI, 2007
364.153 4 NAS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: International Catholic Migration Commission , 2003
364.153.4 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Romli Atmasasmita
Abstrak :
Saat ini, kejahatan transnasional terorganisir berkembang sangat pesat disebabkan adanya liberalisasi perdagangan, perkembangan teknologi komunikasi yang menakjubkan, dan tekanan dari penegakan hukum yang semakin membaik. Hampir di seluruh negara Salah satu kejahatan besar yang perlu mendapat perhatian adalah perdagangan manusia, khususnya wanita dan anak-anak. Unluk menangani jenis kejahatan ini, cara yang paling efektif adalah dengan melakukan kerja sama internasional. Hal inilah yang mendorong dihasilkannya United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Konvensi Palermo) beserta ketiga protokolnya yang menyatakan dengan tegas beberapa kejahatan sebagai kejahatan transnasional. Namun tidak dapat dipungkiri, dalam kerja sama iniernasiona! yang telah terjalin, terhentur pada beberapa permasalahan disamping ditemukan beberapa ketnungkinan yang perlu dijajaki untuk menangani kejahatan ini. Indonesia sebagai salah satu negara yang telah menandatangani Konvensi Palermo dan protokolnya, tengah mempersiapkan instrumen rancangan ratifikasi. Sejauh ini, di Indonesia lerdapat beberapa kasus perdagangan wanita dan anak-anak yang berhasil digagalkan dan diproses hingga ke pengadilan.
2004
JHII-1-4-Juli2004-673
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siprianus Edi Hardum
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016
306.362 598 SIP p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Grennan, Conor
Bandung: Qanita, 2015
362.732 GRE l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Marice Endang B.
Abstrak :
Kejahatan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia semakin meningkat jumlahnya tiap tahun merupakan bentuk-bentuk perbudakan kontemporer (contemporary forms of slavery) yang melanggar Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu diperlukan peranan aparat penegak hukum, salah satunya Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan kembali hukum yang mencerminkan pemajuan dan perlindungan l-[ak Asasi Manusia bagi korban kejahatan perdagangan perempuan dan anak. Penegakan hukum oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap kejahatan perdagangan perempuan dan anak dapat berpedoman pada Protocol to Prevent. Suppress and Punish Trajfcking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol PBB Untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Perdagangan terhadap Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak-anak). Selain itu, khusus untuk anak sebagai korban dapat berpedoman pada Konvensi tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang memberikan kemngka yang komprehensif untuk perlindungan hak dan martabat anak dan termuat didalam Undang-undang Nomar 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tesis ini merupakan hasil penelitian bertujuan untuk menjawab masalah-masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana penegakan hukum oleh Jaksa Penuntut Umum pada tahap penuntutan terhadap perkara kejahatan perdagangan perempuan dan anak? dan (2) Kendala-kendala apakah yang dihadapi oleh Jaksa Penuntut Umum untuk penegakan hukum pada tahap penuntutan terhadap perkara kejahatan perdagangan perempuan dan anak? Kendala-kendala dalam penegakan hukum oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap kejahatan perdagangan perempuan dan anak berkaitan dengan penerapan pasal-pasal peraturan perundang-undangan terhadap tindak pidana yang didakwakan dan pembuktiannya Serta tuntutan pidana terhadap terdakwa. Penelitian ini juga meneliti clan menganalisa bagaimana cara mengatasi kendala-kendala tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16590
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>