Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sander Sasmita
Abstrak :
[ABSTRAK
Cahaya dinyatakan pada penglihatan manusia melalui interaksi dengan material, ketika material itu sendiri hanya hadir secara visual dengan kehadiran cahaya. Cahaya mengacu pada kualitas yang secara dikotomi hadir dalam wujud materiil atau yang dapat terbentuk dalam interioritas subyek, kondisi imateriilnya. Dekonstruksi pemahaman cahaya adalah untuk membongkar konstruksi konsep cahaya yang telah dimaknai dari basis scientific, dengan melihat pemaknaannya berdasarkan sifat atau dampaknya.

Ruang yang terdefinisi dengan konsep kecahayaan, mengisyaratkan bahwa dimensi ketiga pembentuknya merupakan dampak dari representasi cahaya terhadap suatu medium. Mengangkat istilah ?kecahayaan? berupaya untuk mengungkap konsepsi alternatif yang terlebih bersumber pada sifat-sifat cahayanya, agar tidak terjebak pada batas kebendaan (noun) dari kata ?cahaya?. Dialog mutual antara ruang dan cahaya, memposisikan kehadiran arsitektur sebagai ruang perantara yang menghadirkan permutasi cahaya, ketika arsitektur itu pun hanya hadir dan bertransformasi dengan kehadiran cahaya. Perancangan arsitektur di sini mengungkap keterhubungan antara sifat materiil dan imateriil cahaya, yaitu bagaimana pencerapan pengalaman subyek yang bersumber dari sifat imateriil cahaya sebagai konsep dapat diterjemahkan menyentuh kondisi materialitasnya sebagai kehadiran.
ABSTRACT
Light, revealed as visions through interaction with materials, as materials themselves are revealed visually in the presence of light. It may appear as a divine phenomenon in its materiality, as well as something that may be formed in the interiority of a human mind, its immaterial state. Deconstructing the understanding of light was to reconsider its definition that has much been explained through scientific means, by reviewing its meaning qualitatively according to its characteristics.

Space that has now been framed in the concept of light, indicates that the third-dimension of its forming relates to the effects of light?s representations on the face of a medium. A mutual dialogue between space and light situates the presence of architecture as an intermediary, of which accomodates the permutations of light, while architecture itself would be revealed and be transformed in the play of light. The design process uncovers the interconnections between material and immaterial qualities of light, that is to say, how a subject?s perceptual experience that emerged from the immaterial state of light as a concept could be rendered into its material form as a presence.;Light, revealed as visions through interaction with materials, as materials themselves are revealed visually in the presence of light. It may appear as a divine phenomenon in its materiality, as well as something that may be formed in the interiority of a human mind, its immaterial state. Deconstructing the understanding of light was to reconsider its definition that has much been explained through scientific means, by reviewing its meaning qualitatively according to its characteristics. Space that has now been framed in the concept of light, indicates that the third-dimension of its forming relates to the effects of light?s representations on the face of a medium. A mutual dialogue between space and light situates the presence of architecture as an intermediary, of which accomodates the permutations of light, while architecture itself would be revealed and be transformed in the play of light. The design process uncovers the interconnections between material and immaterial qualities of light, that is to say, how a subject?s perceptual experience that emerged from the immaterial state of light as a concept could be rendered into its material form as a presence., Light, revealed as visions through interaction with materials, as materials themselves are revealed visually in the presence of light. It may appear as a divine phenomenon in its materiality, as well as something that may be formed in the interiority of a human mind, its immaterial state. Deconstructing the understanding of light was to reconsider its definition that has much been explained through scientific means, by reviewing its meaning qualitatively according to its characteristics. Space that has now been framed in the concept of light, indicates that the third-dimension of its forming relates to the effects of light’s representations on the face of a medium. A mutual dialogue between space and light situates the presence of architecture as an intermediary, of which accomodates the permutations of light, while architecture itself would be revealed and be transformed in the play of light. The design process uncovers the interconnections between material and immaterial qualities of light, that is to say, how a subject’s perceptual experience that emerged from the immaterial state of light as a concept could be rendered into its material form as a presence.]
2015
T43442
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Telaumbanua, Yamofozu
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang delik suap seringkali dilakukan dalam bentuk mata rantai yang panjang dengan menggunakan penghubung atau perantara sebagai penghubung dalam mewujudkan terjadinya suap yang mengakibatkan sulitnya mengkualifikasikan kedudukan perantara itu sebagai pemberi atau penerima suap. UNCAC telah mengatur tentang penyertaan dalam delik suap. Namun, konsep tersebut belum jelas untuk dapat diberlakukan dalam kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sehingga menimbulkan permasalahan dalam pertanggungjawaban pidana terhadap perantara delik suap, khususnya mengenai pembuktian dan pemidanaan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach) untuk mengetahui konsep penyertaan delik suap pada tindak pidana korupsi di Indonesia, pengaturan penyertaan delik suap yang diatur dalam UNCAC, dan pertanggungjawaban pidana perantara delik suap dalam putusan pengadilan di Indonesia. Hasil penelitian ini menyimpulkan perantara suap yang tidak memiliki kualitas yang dirumuskan dalam rumusan delik tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, sehingga dengan konsep penyertaan yang digunakan bersama pasal suap, perantara dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. This thesis discusses bribery offense is often done in the form of a long chain by using a liaison or intermediary as a liaison in creating the occurrence of bribery which makes it difficult to qualify the position of the intermediary as the bribe giver or receiver. UNCAC has regulated the complicity in bribery offenses. However, the concept is not yet clear to be applied in corruption cases in Indonesia. Giving rise to problems in criminal liability for intermediaries in bribery offenses, especially regarding proof and conviction. This study uses a descriptive normative juridical research method using the statue approach and conceptual approach to determine the concept of complicity of bribery offense on corruption in Indonesia, the regulation of complicity of bribery offense regulated in UNCAC, and criminal liability intermediary offense bribery in a court decision in Indonesia. The results of this study conclude that bribe intermediaries who do not have the quality formulated in the offense formula cannot be held liable for criminal liability, so that with the concept of inclusion used with the bribery article, intermediaries can be called for liability.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54854
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Yenni Agustryani
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S20537
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryani Damayanti
Abstrak :
Dalam menjalankan tugas jabatannya seorang Notaris harus senantiasa selaras dengan ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Penawaran jasa Notaris oleh pedagang perantara jasa hukum secara online muncul sebagai suatu dinamika dalam masyarakat akibat perkembangan teknologi. Pedagang Perantara jasa hukum secara online hadir dengan mengusung konsep marketplace untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang hukum. Penelitian ini mengkaji mengenai pengaturan hukum perdagangan di Indonesia mengenai kegiatan pedagang perantara jasa hukum secara online serta jika Notaris menjalankan tugasnya melalui komunikasi secara elektronik/online dan jasa hukum Notaris yang diperantarakan oleh pedagang perantara jasa hukum online ditinjau dari Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis normatif, yang mana metode ini dilakukan dengan tolok ukur norma tertentu untuk mendapatkan data sekunder, dan didukung dengan melakukan wawancara kepada narasumber untuk mendapatkan data primer. Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif dan dijabarkan secara deskriptif. Di dalam pengaturan hukum perdagangan belum diatur secara spesifik mengenai kegiatan pedagang perantara jasa hukum secara online sehingga mengenai produk jasa hukum tersebut kembali lagi kepada pengaturan mengenai profesi dari jasa hukum mengenai dapat atau tidaknya diperdagangkan oleh pedagang perantara jasa hukum secara online. Undang-Undang Jabatan Notaris telah membuka celah bagi Notaris untuk dapat menjalankan tugas jabatannya secara elektronik/online tetapi sampai saat ini masih terbatas pada hal yang bersifat administratif. Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris belum membuka peluang untuk diperantarakannya jasa Notaris karena Notaris terikat dengan serangkaian kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.
In carrying out their duties a Notary must based on the provisions of the Notary Law and Notary Code of Ethics. Offering services of Notaries from intermediary trader of legal services by online emerge as a dynamic in society due to technological developments. Intermediary trader of legal services by online comes with the marketplace concept to meet the needs of society in the field of law. This research examined the regulation of the Trade Law in Indonesia on the activities of online intermediary trader of legal services, Notaries who perform tasks by electronic, and legal services of a Notary which is mediated by an online intermediary trader based on the Notary Law and the Notary Code of Ethics. This research is a juridical normative research, which means this method is done by a certain norm benchmarks to obtain secondary data, and supported by the resource person interviews to obtain primary data. The data is then analyzed qualitatively and described descriptively. In the regulation of the Trade Law has not been specifically regulated on the activities of online intermediary trader of legal services so the products of legal services are back to the regulation of the profession of legal services on whether can or can not to be traded by online intermediary traders. The Notary Law has opened the gap for Notaries to be able to carry out their duties electronically online but until now still limited to the administrative matters. The Notary Law and Notary Code of Ethics have not opened the opportunity for the notarization of Notary services because the Notary is bound by an obligations and restrictions which the Notary must comply with in performing his her duties.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Sulistyo Budi Ambarini
Abstrak :
Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian hukum non doktrinal yang menggunakan pendekatan socio legal research. Peran pedagang perantara dalam bisnis perikanan sangat penting. Satu sisi sebagai perantara dan di sisi lain memberikan modal kepada nelayan dan/atau pengolah ikan. Hubungan tersebut menimbulkan ketidakseimbangan dilihat dari perspektif hukum perjanjian karena posisi pedagang perantara sebagai pemilik modal lebih kuat, sehingga asas keseimbangan diantara para pihak tidak terpenuhi. Dalam praktik dari sudut pandang hukum lokal hal tersebut bukan merupakan ketidakseimbangan karena kontribusi pedagang perantara tidak hanya dalam hubungan bisnis tetapi juga hubungan sosial. Walaupun demikian untuk mengembangkan asas keseimbangan hukum dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha perikanan diperlukan campur tangan negara untuk mengatur.
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2018
340 JHP 48:4 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bethsyanna Putri Supriadi
Abstrak :
Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pejabat umum memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik. Dalam melaksanakan jabatannya Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah harus menjunjung tinggi harkat dan martabatnya dengan selalu berpedoman kepada Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan Kode Etik Jabatan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pada kenyataannya terdapat Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melanggar Peraturan Perundang-Undangan dan Kode Etik Jabatannya, sehingga, Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah tersangkut masalah, salah satunya tindak pidana penggelapan uang jual beli tanah yang dilakukan oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bertindak selaku perantara dalam jual beli. Maka dengan latar belakang tersebut, penulis merumuskan permasalahan dalam tesis ini yaitu mengenai 1. Bagaimana akibat hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak dapat dilanjutkan kedalam Akta Jual Beli akibat uang jual beli tidak diserahkan oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 771 K/Pid/2018? 2.Bagaimanakah tanggung jawab Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah selaku perantara dalam jual beli tanah yang tidak menyerahkan uang jual beli sehingga Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak dapat dilanjutkan ke dalam Akta Jual Beli. Bentuk penelitian yang dipakai adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif analitis. Perbuatan yang dilakukan oleh Notaris/Pejabat pembuat Akta Tanah tidak menimbulkan akibat hukum terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuatnya, sedangkan terhadap para pihak akibat hukumnya adalah jual beli batal sehingga tidak terjadi perpindahan hak dari penjual kepada pembeli. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melakukan tindakan tidak menyerahkan uang jual beli tersebut terdapat tiga pertanggungjawaban yang dapat dikenakan terhadap Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu pertanggungjawaban secara pidana, perdata dan administratif. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam melaksanakan jabatannya tidak melebihi batas kewenangannya, dalam hal ini sebagai perantara jual beli.
Notary/Land deed official as a public officials has the authority to make an authentic deeds. In performing their job Notary/Land deed official they must uphold their valence and dignity by always guided upon applied regulations and Code of Ethics of Notary/Land deed official. In fact, there are some Notary/land deed official that violates applied regulations and Code of Ethics of Notary/land deed official, thus, the Notary/land deed official has some issues, one of them is Criminal Act of Embezzlement of Sales and Purchase Money conducted by Notary/land deed official as  Mediator of Land sales and purchase. So with the background of the problem mentioned, the writer formulate the issue in this thesis are about how the legal consequences of the Settled Commitment of Sale and Purchase Agreement Cannot be Executed to be Sales and Purchase Deeds due to Sales and Purchase Money not be given by Notary/land deed official as a Mediator of Land Sales and Purchase according to the Supreme Court Verdict Number 771 K/Pid/2018? How the responsibility of a Notary/land deed official as a Mediator of Land Sales and Purchase who not given the sales and purchase money causing the Commitment of Sale and Purchase Agreement Cannot be Executed to be Sales and Purchase Deeds. The form of research used in this thesis is normative with research typology is descriptive analytical. The action that conducted by Notary/Land deed official not incur legal consequences of the Commitment of Sale and Purchase Agreement, and for the parties is the sale and purchase become null and void so the rights of the land can not be pass from the seller to the buyer. Notary/land deed offcial who conducted the act of not given sales of purchase money are three responsibilities that can be charged to them are criminal responsibility, civil/private responsibility, and administrative responsibility. Notary/land deed official in performing their jobs not exceeding the limits of their authority, in this case as a mediator of land sales and purchase.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54875
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puri Ranggawacana
Abstrak :
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.04/2016 tentang Segmentasi Perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek mengatur segmentasi perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek ke dalam dua bentuk sub perizinan yaitu izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas. Adapun Perantara Pedagang Efek memiliki fungsi selain fungsi pemasaran, yaitu fungsi manajemen risiko, fungsi pembukuan, fungsi kustodian, fungsi teknologi informasi, fungsi kepatuhan dan fungsi riset. Menjadi pertanyaan kemudian mengapa Otoritas Jasa Keuangan hanya mengatur terkait segmentasi pada fungsi pemasaran tetapi tidak pada fungsi manajemen risiko, fungsi pembukuan, fungsi kustodian, fungsi teknologi informasi, fungsi kepatuhan dan fungsi riset. Berdasarkan hasil penelitian penulis, baik yang berasal dari penelaahan peraturan terkait maupun hasil wawancara dengan pejabat Otoritas Jasa Keuangan, tujuan utama diterbikanya peraturan tersebut adalah untuk meningkatkan jumlah tenaga pemasaran bagi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. Berdasarkan fakta, jumlah pemohon izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran memang bertambah cukup signifikan sehingga dapat dikatakan bahwa Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini tergolong efektif. Penetapan peraturan ini berdampak kepada seluruh ketentuan lain yang menyebutkan terkait dengan Wakil Perantara Pedagang Efek harus dimaknai bahwa termasuk di dalamnya pemegang izin Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran, dan Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas. Kedepan, penulis berharap agar Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan segmentasi Wakil Perantara Pedagang Efek pada fungsi selain fungsi pemasaran. ......The Financial Services Authority Regulation No.22/POJK.04/2016 concerning Segmentation of Securities Broker Dealer Representative Licensing arranged the segmentation of Securities Broker Dealer Representative licenses into two sub-licensing forms, namely the Securities Broker Dealer Representative for Marketing license and the Securities Broker Dealer Representative for Limited Marketing license. While the Securities Broker Dealer has other functions besides the marketing function namely the risk management function, bookkeeping function, custodian function, information technology function, compliance function and research function. The question then becomes, why does the Financial Services Authority only regulate segmentation related to the marketing function but not to the risk management function, bookkeeping function, custodian function, information technology function, compliance function and research function. Based on the results of the author's research, both from the review of relevant regulations and the results of interviews with Financial Services Authority officials, the main purpose of the issuance of these regulations is to increase the number of marketers for Securities Companies conducting business activities as Broker Dealer. Based on the facts, the number of applicants for licensing of the Securities Broker Dealer Representative for Marketing license has indeed increased significantly enough so that it can be said that the Application of the Financial Services Authority Regulation is quite effective. The stipulation of this regulation has an impact on all other provisions that related to Securities Broker Dealer Representative must be interpreted as including the holders of Securities Broker Dealer Representative for Marketing license and Securities Broker Dealer Representative for Limited Marketing license. In the future, the authors hope that the Financial Services Authority could segment the Securities Broker Dealer Representative in other than the marketing function.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54855
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yandhika Mardi Haposan
Abstrak :
Permasalahan yang diteliti dalam tesis ini adalah untuk mengetahui apakah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 1/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan telah konsisten dengan Peraturan Perudang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait dengan Perlindungan Konsumen, lalu aspek perlindungan apa saja yang diberikan pada Nasabah dalam kegiatan Perantara Pedagang Efek di Indonesia, dan untuk mengetahuiapakah POJK No. 1/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan telah melindungi hak-hak konsumen dalam kegiatan Perantara Pedagang Efek. Peneliti menggunakan metode penelitian hukum normatif sebagai metode untuk melakukan penelitian ini. Penggunaan metode penelitian hukum normatif ini akan dimulai peneliti dengan mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif tertulis, doktrin-doktrin hukum yang berhubungan dengan sistem hukum, perlindungan konsumen, pasar modal, perjanjian serta menganalisis secara singkat pemberlakuannya pada pelaksanaan perlindungan konsumen Perusahaan Efek. Kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa ketentuan-ketentuan yang terdapat pada POJK No. 1 Tahun 2013 dan peraturan-peraturan OJK lainnya yang merupakan turunannya telah konsisten dengan UU Perlindungan Konsumen, kemudian aspek-aspek perlindungan konsumen dalam perdagangan efek di Indonesia yang diatur dalam POJK No. 1 Tahun 2013 antara lain adalah aspek Pencegahan, Penanggulangan, Pengendalian Internal dan Pengawasan. Selanjutnya dapat ditarik kesimpulan bahwa POJK No. 1/2013 secara teoritis juga telah melindungi hak-hak konsumen. ..... This study aimed to find out whether the Financial Services Authority Regulation (POJK) No. 1/2013 on Consumer Protection of the Financial Services Sector has been consistent with the applicable Indonesian Rule and Regulations related to Consumer Protection, then what aspects of protection are provided to the Consumer in the activities of Securities Brokerage in Indonesia, and to find out whether POJK No. 1/2013 on Consumer Protection The Financial Services Sector has protected the rights of consumers in the activities of Securities Brokerage. Researcher use a normative legal research method as a method for conducting this research. The use of this normative legal research method conducted by reviewing the provisions of positive written law, and legal doctrines related to the legal system, consumer protection, capital markets, agreements and briefly analyzing its enforcement on the implementation of consumer protection on Securities Companies. The conclusions are that the provisions contained in POJK No. 1 /2013 and other OJK regulations which constitute its derivatives have been consistent with the Consumer Protection Act, then the aspects of consumer protection in securities trading in Indonesia which regulated in POJK No. 1 /2013 are the aspect of Prevention, Countermeasure, Internal Control and Supervision. Furthermore, it can be concluded that POJK No. 1/2013 theoretically also has protected the rights of consumers.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Jessica Maureen
Abstrak :
Bank Perantara adalah salah satu mekanisme penanganan Bank yang mengalami kesulitan permodalan. Seperti di Amerika Serikat, Bank Perantara berfungsi untuk menjembatani tenggang waktu antara kegagalan suatu Bank dengan ketika otoritas resolusi berhasil melaksanakan pengambil-alihan Bank Gagal tersebut kepada pihak ketiga. Pada masa ini, Bank Perantara melanjutkan kegiatan usaha Bank Gagal guna menjaga rasa kepercayaan masyarakat. Bank Perantara bersifat sementara dan harus segera dibeli atau diambil-alih oleh pihak ketiga. Di Indonesia, mekanisme ini merupakan kewenangan baru Lembaga Penjamin Simpanan yang baru diatur pada Undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Untuk itu, skripsi ini membahas mengenai perbedaan pengaturan Bank Perantara di Indonesia dengan Undang-undang Perseroan Terbatas dan Peraturan Perbankan, serta perbandingan pengaturannya dengan Amerika Serikat. Bentuk penelitian skrispi ini bersifat yuridis normatif yang menghasilkan tipologi penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian ini menemukan beberapa perbedaan pengaturan Bank Perantara dengan ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas dan Peraturan Perbankan dalam hal jumlah pemilik dan/atau pemegang saham, ketentuan modal awal yang mengesampingkan ketentuan modal Bank Umum, materi rencana bisnis Bank Perantara yang lebih spesifik, prosedur Uji Kemampuan dan Kepatutan Pihak Utama yang dipersingkat, dan ketentuan pengakhiran Bank Perantara yang lebih jelas. Pengaturan Bank Perantara di Amerika Serikat jauh lebih jelas dan tegas disertai dengan beragam kasus praktik, sedangkan di Indonesia masih sangat minim dan belum memiliki peraturan teknis dan peraturan pelaksana. Oleh karena itu, terdapat urgensi untuk melakukan penyesuaian pengaturan Bank Perantara dengan iklim hukum dan perekonomian di Indonesia.
Bridge Bank is one of mechamisms to resolve Banks'insolvency problem. Similar to that of the United States, Bridge bank is established to bridge the gap between the failure of a bank and the time when the resolution authority can implement a satisfactory acquisition by a third party. During this time, bridge bank maintains the continuation of failed bank's services to maintain public and customer's trust. It has limited time and must be purchased or assumed by the third party as soon as possible. In Indonesia, this mechanism is newly introduced by Law Number 9 Year 2016 on Prevention and Resolution of Financial Crisis System, whch expands Indoneisa Deposit Insurance Corporation authority to also become resolution authority. Therefore, this thesis analyzes the differences of regulation of Bridge Bank in Indonesia with Company Law and Banking Regulations and compares it with Bridge Bank Regulations in the United States. The research uses the normative juridical approach with a descriptive typology. This research discovers that Bridge Bank regulation in Indonesia has some different provisions with Company's Law and Banking Regulations in term of paid up capital that waives Commercial Banks provision, its owners shareholders, more specific Bridge Bank's business plan substance, simple and quick fit and proper test procedure, and clear conditions of Bridge Bank's termination. Brige Bank regulation in the United States is far clearer and assertive with many cases, while Indonesia has not had technical and implementative policies. In conclusion, there is an urgency to adjust Bridge Bank's regulation with Indonesian legal and economic condition.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S65996
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ayu Larasati
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai bagaimana tanggung jawab hukum dari pedagang perantara sebagai penyelenggara sistem perdagangan elektronik khususnya dalam perjanjian konsinyasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan preskriptif-analitis. Penelitian ini meneliti bagaimana perdagangan secara konvensional dan elektronik, serta melihat bagaimana KUHPerdata mengatur mengenai pedagang perantara dan perjanjian konsinyasi. Dalam skripsi ini juga dibahas mengenai bentuk tanggung jawab dari pedagang perantara yang sekaligus penyelenggara sistem elektronik di Indonesia dilihat dari beberapa peraturan yaitu Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Informasi dan Telematika, Peraturan Pemerintah Tahun 2012, dan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informasi No. 5 Tahun 2016. Penelitian ini menemukan bahwa penerapan Tanggung Jawab Pedagang Perantara dalam Konsinyasi melalui E-Commerce adalah sama dengan sebagaimana layaknya tanggung jawab Pelaku Usaha baik merchant maupun provider. Provider dapat membatasi tanggung jawab terhadap pembeli sepanjang jika sudah mencantumkan secara tegas pembatasan itu secara adil, seperti menyediakan sarana notice and take down. ......This thesis discusses how the legal responsibilities of intermediary traders as organizers of electronic trading systems, especially in consignment agreements. This research uses prescriptive analytical approach. This study examines how trade is conventional and electronic, and looks at how the Civil Code regulates brokers and consignment agreements. In this thesis is also discussed about the form of responsibility of intermediary traders and electronic system providers in Indonesia seen from several regulations namely the Consumer Protection Act, Information and Telematics Act, Government Regulation Year 2012, and Circular Letter of the Minister of Communication and Information No . 5 Year 2016. This study finds that the application of liability of intermediate traders in consignment model of business through E Commerce is the same as the responsibility of business actor either merchant or provider. The Provider may limit the liability to the buyer insofar as they have expressly imposed the restriction fairly, such as providing a notice and take down means.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69559
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>