Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agustinus Jarona
Abstrak :
ABSTRAK Setiap kelompok etnis mempunyai konsepsi atau pandangan yang berbeda terhadap suatu obyek tertentu. Obyek tersebut diperlakukan sesuai dengan pandangan yang dimilikinya untuk memenuhi berbagai tujuan atau kebutuhan hidup. Salah satu tujuan atau kebutuhan hidup paling mendasar yang ingin dipenuhi manusia, adalah kebutuhan akan makan. Tidak semua makanan yang tersedia dalam jumlah yang banyak dimakan semuanya atau setiap saat dimakan, karena kebudayaan kolektif masing-masing sangat menentukan. Orang Salim di Desa Jiwika Kecamatan Kurulu Kabupaten Jayawijaya memenuhi kebutuhan makan dengan mengusahakan kebun ubi jalar dan ternak babi. Bagaimana kedua obyek tersebut, yaitu ubi jalar dan babi diperlakukan dalam kehidupan Orang Balim secara utuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup dibahas dalam tesis ini. Kebutuhan dasar tersebut dipenuhi lewat berbagai arena kehidupan, terutama arena upacara, karena kedua obyek tersebut dianggap segala-galanya dalam kehidupan Orang Balim. Mereka menganggap tiada kehidupan tanpa ubi jalar dan babi atau tiada kehidupan tanpa upacara. Ubi jalar dalam kehidupan sehari-hari dianggap profan, sedangkan dalam kehidupan adat maupun keagamaan (upacara) ubi jalar bersama babi dianggap sakral. Hasil kajian yang dilakukan terhadap 55 keluarga atau rumahtangga pada 10 kampung atau ukul terpilih dengan menggunakan metode atau pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif-analitik menunjukkan bahwa ada dua pola atau kebiasaan makan yang dikenal Orang Balim, yaitu: (1) pola atau kebiasaan makan sehari-hari dengan ubi jalar dominan dan (2) pola atau kebiasaan makan upacara dengan babi dan ubi jalar dominan. Cara dan tempat masak kedua pola ini pun berbeda, yaitu untuk pola makan sehari-hari dilakukan di dalam dapur atau hunila dengan cara masak dalam abu panas atau werago; sedangkan pola makan upacara dilakukan di halaman silimo atau sili dengan cara masak menggunakan batu panas atau iyago. Jenis makanan lain yang terdapat di sana dianggap sebagai makanan tambahan, sehingga Orang Balim belum merasa puas atau kenyang kalau belum mengkonsumsi ubi jalar. Proses pengolahan dan pemanfaatan kedua jenis makanan (ubi jalar dan babi) dominan dilakukan oleh perempuan atau para isteri. Kecuali pemanfaatan hasil ternak babi untuk kepentingan upacara dapat dilakukan oleh laki-laki atau para suami yang dapat menaikan status atau wibawanya sebagai seorang ap kain kalau mampu menyembelih babi dalam jumlah yang banyak. Hubungan antara manusia (terutama wanita), ubi jalar, babi, dan upacara merupakan suatu mata rantai kehidupan yang dapat mewujudkan suatu pola kebudayaan, terutama pola atau kebiasaan makan ubi jalar dan babi dalam kehidupan Orang Balim. Kajian ini juga menunjukkan bahwa, pola atau kebiasaan makan sehari-hari lebih menonjol dalam keluarga anti poligini pada tingkat silimo, sedangkan pola atau kebiasaan makan upacara lebih menonjol dalam kelompok klen pada tingkat ukul maupun konfederasi. Gejala ini secara tidak langsung menggambarkan struktur sosial Orang Salim dan fungsi sosial maupun budaya dari ubi jalar dan babi, yaitu dapat mempererat dan memperluas hubungan kekerabatan, mewujudkan rasa solidaritas kelompok dan jiwa gotong-royong, serta menjalin kembali hubungan dengan leluhur. Keseimbangan hubungan secara horizontal dengan sesama kerabat dan secara vertikal dengan leluhur memenggambarkan sistem sosial Orang Balim yang dapat dipahami dan dijelaskan melalui ubi jalar dan babi sebagai fokus kebudayaan mereka. Ternyata, faktor sosial budaya atau kebudayaan sangat mempengaruhi kebiasaan makan suatu kelompok masyarakat, termasuk masalah selera dan rasa (faktor psikologi), di samping faktor lingkungan fisik yang memungkinkan kedua jenis bahan makanan (ubi jalar dan babi) tetap diusahakan atau dibudidayakan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainudin
Abstrak :
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat dan cenderung semakin luas wilayah penyebarannya sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Timbulnya penyakit DBD merupakan kontribusi spasial sebagai faktor risiko seperti perubahan iklim, topografi, cakupan program, dan perilaku. Besamya faktor risiko tersebut berperan terhadap bertambahnya populasi nyamuk Aedes aegypli sebagai vektor penyakit DBD. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan kontribusi spasial dengan kemungkinan terjadinya penyakif DBD selama 60 bulan (1997-2001), gambaran kepadatan jentik dan perilaku pengelola tempat-tempat umum (TTU) di Kota Bekasi. Disain penelitian adalah studi korelasi. Untuk mengetahui gambaran kepadatan jentik dan perilaku dilakukan survai dengan junilah sampel 292 TTU yang diperoleh secara sistematik random sampling. Data dianalisis untuk mengetahui distribusi frekuensi (univariat) dan hubungan antar variabel (bivariat) dengan menggunakan uji korelasi Product Moment Pearson dan uji anova. Variabel independen penelitian adalah curate hujan, suhu udara, kelembapan, pengelompokan wilayah, cakupan PSN-DBD, dan perilaku. Pengolahan data spasial dan pemetaan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pergeseran waktu penyebaran penyakit DBD memiliki sildus empat tahunan yang temp dan selama lima tahun terakhir diketahui pusat penyebaran penyakit berada di dua kelurahan yaitu Jati Waringin dan Jaka Sempurna. Hasil survai menunjukkan bahwa angka bebas jentik (ABJ) di TTU barn sebesar 72,60% dan proporsi pengelola TTU yang berpartisipasi dalam PSN-DBD kurang dari separuhnya (43,49%). Analisis bivariat menunjukkan curah hujan, suhu udara, kelembaban, dan cakupan PSN-DBD selama lima tahun secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna untuk terjadinya penyakit DBD p=0,111, p'J,486, dan Hubungan yang bermakna hanya terlihat antara suhu udara dengan kejadian penyakit DBD pada tahun 1998 (p O,002). Analisis bivariat antara pengelompokan wilayah dengan kejadian penyakit DBD juga menunjukkan hubungan yang bermakna (p),000), yang berarti terdapat perbedaan kejadian penyakit DBD di wilayah perkotaan, peralihan dan perdesaan. ABJ tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan curah hujan, suhu udara, kelembapan, dan cakupan PSN-DBD (p-0,760, p=0,214, p 0,616, dan p-A),283). Untuk mewaspadai siklus empat tahunan dan dalam rangka meneegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB) DBD, disarankan perlu adanya petugas lapangan (Jura Pemeriksa Jentik) di setiap Puskesmas Pembantu (DesalKelurahan) yang akan melakukan pemeriksaan jentik di rumah penduduk di bawah koordinasi Puskesmas, meningkatkan kemampuan petugas puskesmas dalam mengelola wilayah kerjanya untuk mengurangi wilayah endemis, kegiatan PSN-DBD agar diprogramkan secara rutin (terjadwal) dalam ekstra kurikuler sekolah, dan perlu meningkatkan upaya penyuluhan kepada masyarakat melalui media cetak maupun elektronik. Daftar Pustaka: 54 (1987-2003)
A Spatial Analysis of DHF Incidents in An Urban Setting of Bekasi 2003 Dengue hemorrhagic fever (DHF) is a public health problem and tends to spread out by the increasing mobility and density of people population. The emergence of DHF disease is a spatially contributed from several risk factors such as climate changes, topography, coverage programs, and people's habit. The magnitude of the risk factors is responsible for the increasing of Aedes Agepty population as a vector DHF disease. The main objectives of this research are to find out the relationship between a spatial contribution and the possibility of DHF incident within 60 months period from 1997 to 2001, the illustration of mosquito larva density and the behavior of sanitation authority of public places in Bekasi. The model use in this study is a correlation study. The surveys are done in 292 public places by a systematic random sampling method to illustrate Aedes larva density and people behavior in that area. Data are analyzed to find the frequency distribution (univariat) and intervariable correlation (bivariat) by using Product Moment Pearson correlation test and Analysis of Varian test. The independent variables are the amount of rainfall, temperature, relative humidity, regional zoning, management of source reduction campaign of DHF, and the behavior of sanitation authority. Analyzing spatial data and mapping utilize the geographical information system (GIS). The result shows that a shifting time of DHF distribution is observed in a regular four-year cycle, and in the last five years it has been known that the central of disease distribution can be found in two district areas, Jati Waringin and Jaka Sampuma. The result also shows that the larva free index (ABJ) in public places is 72,60% and a proportion of management public places in source reduction campaign DHF is less than a half of it (43,49%). Bivariat analysis shows that a rainfall amount, temperature, relative humidity, and management of source reduction campaign DHF in statistics have no correlation with DHF disease incident within the last five years (p=. 772, p 0.111, p'O. 486, p=0.266. A significant correlation can be proven between temperature and DHF disease incident in 1998 (p4l.002). The bivariat analysis between several regions and DHF disease incident shows a significant correlation (p=x.400), so there are different DHF disease incidents among rural, transition and urban areas. ABJ does not show a significant correlation with rainfall amount, temperature, humidity, and management of source reduction campaign DHF (p=-0.760, 170.214, p=0.616 and p=0.283). To increase an awareness of the four-year cycle and to prevent the outbreak of DHF disease incident, firstly, staff that examine larva should be positioned in each public health center (Puskesmas) in the village. This staff is obliged to periodically examine larva in every house within his area and coordinates with the Puskesmas officers within his district. Secondly, the knowledge of district area public health staff should be improved to manage his region in minimizing the regional endemic. Thirdly, the source reduction campaign of DHF must be done periodically at schools and mass media.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11246
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library