Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Engkesman R. Hillep
"Tesis ini merupakan hasil penelitian menggunakan metoda kualitatif dalam bentuk studi kasus, dengan pendekatan manajemen, yuridis dan psikologis dalam membahas proses pengambilan keputusan para agen yaitu Pimpinan dan para Penyidik Bareskrim Polri, yang memiliki kapasitas bertindak kreatif, sebagai respon terhadap aturan dan sumber daya organisasi (struktur) dalam penyidikan terhadap para Tersangka Perwira Tinggi Polri.
Permasalahan pokok dan tesis ini adalah mempertanyakan apakah para agen mampu menerapkan kapasitas bertindak kreatif yang mereka miliki sehingga dapat mempertahankan jati diri sebagai penegak hukum yang jujur, adil dan tidak diskriminatif, sertal tidak menyalah gunakan wewenangnya ketika menyidik sesama anggota Polri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami proses, bentuk, pola, kemungkinan penyebab dan pengaruh dari keputusan para agen khususnya para Penyidik dalam mengunakan kapasitas bertindak kreatif ketika menyidik sesama anggota Polri, dalam hal ini para Perwira Tinggi Polri.
Secara umum penelitian menunjukan bahwa, kapasitas bertindak kreatif yang mendasari keputusan penyidik untuk memberiakukan atau tidak memberiakukan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan undangundang atau ketentuan lainnya yang berlaku dalam organisasi kepolisian, terhadap tersangka yang adalah atasan atau senior mereka, dipengaruhi oleh persepsi Penyidik yang lahir dari budaya kepolisian yang mereka anut. Kadar rasa hormat dan loyalitas kepada atasan maupun senior memegang peranan dominan terhadap penilaian subyektif penyidik dalam bertindak sehingga aspek etika dalam bentuk sikap yang penuh sopan santun, manusiawi, dan empati sangat ditonjolkan, Iebih-lebih kepada para Tersangka yang dinilai sebagai senior yang memiliki kepribadian yang balk oleh para penyidik.
Meskipun demikian, prinsip-prinsip dan kebijaksanaan yang telah digariskan pimpinan untuk menuntaskan kasusnya, sebagai wujud tanggung jawab terhadap tugas dan byalitas kepada institusi tetap dipertahankan, sehingga seluruh prosedur dan tahapan penyidikan sesuai ketentuan dapat dipenuhi dan kasusnya dapat diteruskan sampai pada tingkat peradilan dan penjatuhan hukuman.
Kesimpulan dan hasil penelitian memperlihatkan, pertama, para agen sesuai dengan tingkat kekuasaan dan wewenang mereka di dalam organisasi dengan kreasi dan kapasitas bertindak atas penilaian sendiri itu memberi kontribusi pencapaian tujuan penyidikan tanpa menimbulkan konflik yang berarti. Kedua, pada level pengambil keputusan, melalui tindakan kreatifnya mampu mengeliminir tekanan struktur yang lebih tinggi dan berskala strategis, bahkan berhasil mereproduksi struktur Baru dalam bentuk Keputusan Menkumham RI yang menetapkan rumah tahanan Polri sebagai Lapas bagi Terpidana Polri. Dan ketiga, hasii dari tindakan-tindakan kreatif pada level pelaksana, temyata memperlihatkan diskriminasi perlakuan yang dapat dikiasifrkasikan sebagai penyimpangan ringan namun dapat memberi implikasi yuridis bila terekspos ke depan publik hukum.
Wujud dari tindakan kreatif para agen yang diskriminatif menunjukan pola sebagai berikut :Terdapat perlakuan yang berbeda yang ditampilkan Penyidik (agen) dalam penyidikan terhadap Tersangka sipil dan tersangka anggota Polri. Perlakuan terhadap Tersangka Pain umumnya lebih longgar dan semakin tinggi tingkat kepangkatan Tersangka Polri yang disidik, semakin tinggi pula tingkat kelonggaran yang diberikan. Perlakuan yang sangat khusus diberikan pada Tersangka berpangkat Perwira Tinggi Polri.
Sesuai dengan tujuan tesis, rekomendasi yang diajukan adalah perlunya menetapkan dan merumuskan secara lebih jelas dan tepat konsep diskresi untuk Polri agar keragaman pemahaman dapat dicegah; penyusunan petunjuk yang jelas tentang prosedur pemenksaan pelanggaran disiplin, kode etik Polri dan pelanggaran pidana oleh anggota Polri berikut sistem pengawasannya; Berta penyusunan prosedur tetap penyidikan terhadap anggota Polri yang diproses karena pelanggaran pidana.

The thesis is a result of a research employing qualitative method in a form of a case study. The thesis also employs management, juridical and physiological approach in discussing the process of making decision made by some agents; that is, the administrators and investigators of Criminal Investigation Department (CID) of Indonesian National Police (INP) who have the capability to act creatively as a response to regulations and the organization's human resources in investigating high-rank police officers.
The capability to act creatively as the base of the investigators' decision as the agents of enforcing or not enforcing regulations stated in laws or other rules that prevail in police organization to the suspects who are actually the investigators' superiors or seniors, is influenced by the investigators' perception which comes from the police culture. The degree of respect and loyalty of the investigators to their superiors or seniors plays dominant roles in their subjective assessment so that ethical aspects in the forms of respect, humanity, and empathy strongly dominate such assessment. This is especially true in investigating suspects who are their senior that are regarded by the investigators to have good personality. Nevertheless, principles and policies that are underscored by their chief as a form of responsibility to the duties and loyalty to the institution are still maintained so that all procedures and steps of investigation can be fulfilled. In addition, the case can be forwarded to the level of trial and punishment.
The result of the research reveal some points: First, the agents, in accordance with their level of authority in their organizations and with their capability and creativity have given contribution in order to achieve the goals of investigation without causing significant conflict; Second, at the level of decision maker the investigators, using their creative action, are able to eliminate higher structural pressure as well as strategic pressure and they even succeeded to struggle for a new structure in a form of a decree of the Minister of Law and Human Rights which determines the prison of INP members as the penitentiary for convicted from INP members; and Third, the results of creative action at the level of implementation, in fact, show that discriminative treatment that can be classified as minor deviances but such deviances can give juridical implication if they are exposed to the public.
The shape of creative action of the discriminative agents shows the following patterns: there are different treatments done by the agents (investigators) in investigating civilian suspects and suspects belong to INP. Treatments to suspects belong to INP are generally laxer and the higher of the rank of the suspect the laxer of the treatment given. There are even extremely specific treatments given to suspects who are high-rank police officers.
In accordance with the aim of the thesis, the author recommends that it is necessary to determine and to formula a clearer and more precise concept of police discretion so that various and ambiguous understanding can be avoided. In addition, the author suggests formulating a clearer direction on the procedure of investigating discipline violation, Polri code of ethic and criminal act as well as the supervision of the implementation. Finally, the author also suggests formulating a fixed procedure about the investigation of Polri members who are processed because of criminal violation."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T20683
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Soenari
"ABSTRAK
Tesis ini merupakan tinjauan analisis organisasi penyidikan pada Direktorat Jenderal Pajak, sebagai organisasi yang mempunyai potensi sumbangan yang besar terhadap pengembangan kepatuhan pemenuhan ketentuan perundang-undangan perpajakan Penulisan secara diskriptif mengemukakan fakta keadaan organisasi, dengan meneliti sikap pihak yang berhubungan dengan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Alat analisis yang dipakai adalah teknik wawancara menggunakan questionnaire dan data literatur. Berdasarkan basil pengumpulan data dan pendapat dari pihak yang berkaitan dengan penyidikan, ditemukan bahwa tujuan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan belum dinyatakan dengan jelas, baik tujuan resmi maupun operasional. Pernyataan misi yang dapat menjawab pertanyaan mengapa organisasi penyidikan ada belum disiapkan. Responden juga berpendapat bahwa peraturan-peraturan baik berupa undang-undang maupun peraturan pelaksanaan sudah cukup jelas, sedang struktur organisasi penyidikan perlu perubahan untuk menampung tugas-togas lintas sektoral departemen dan agar dapat menjalankan kebijakan yang mandiri, yaitu dengan meningkatkan kedudukannya menjadi setingkat direktorat pada level nasional. Sumber daya manusia yang merupakan sumber daya inti ternyata dalam sikapnya masih banyak yang tidak siap untuk melakukan penyidikan dan jumlah yang enggan berhubungan dengan masalah penyidikan cukup signifikan. Sarana penunjang yang menjadi pendukung pelaksanaan togas masih kurang memadai dan secara jelas tidak ada responden yang menyatakan bahwa sarana penunjang cukup memadai. Selain itu secara umum responden menyatakan bahwa penyididkan tindak pidana di bidang perpajakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan jika dilaksanakan dengan memadai. Sejalan dengan upaya meningkatkan penerimaan pajak yang kuncinya adalah kepatuhan, sudah waktunya peningkatannya dilakukan melalui penegakan hukum dengan meningkatkan kegiatan penyidikan dan untuk itu perlu perbaikan organisasi dengan langkah reorganisasi dan revitalisasi sumber daya manusia."
1999
T16701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tiyas Widiarto
"Ketentuan undang-undang mensyaratkan perlu adanya ijin dari pejabat yang berwenang sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat negara tertentu. Latar belakang dan pertimbangan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang ijin pemeriksaan diantaranya adalah untuk menjaga kewibawaan, martabat dan kedudukan pejabat negara dalam menjalankan tugasnya. Ketentuan ini memberikan perlakuan yang berbeda (diskriminasi) antara pejabat negara tertentu dan warga negara biasa, sehingga tidak sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan didepan hukum (equality before the law) dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta ketentuan perundang-undangan lain. Prinsip ini mengharuskan negara tidak melakukan diskriminasi terhadap warga negaranya, baik dalam proses peradilan maupun pemerintahan. Ketika pejabat negara harus berhadapan dengan proses hukum, baik sebagai saksi ataupun sebagai tersangka, dia wajib diperlakukan sama, tanpa melihat status ekonomi, kedudukan maupun jabatannya. Ketentuan ini juga tidak sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat dan sederhana. Seseorang yang diduga terlibat tindak pidana harus segera mendapat pemeriksaan guna memberikan kepastian hukum terhadap yang bersangkutan, dan penyidikan terhadap kasus tersebut berjalan dengan lancar. Sampai scat ini belum ada penolakan secara formal dari pejabat yang berwenang terhadap ijin yang diajukan oleh penyidik. Bentuk penolakan pemberian ijin dilakukan dengan tidak mengeluarkan ijin pemeriksaan dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa alasan yang jelas. Lamanya tenggang waktu keluarnya ijin tanpa limitasi waktu yang pasti dan panjangnya alur birokrasi pengajuan ijin pemeriksaan berpengaruh terhadap jalannya penyidikan tindak pidana korupsi. Tertundanya pemberian ijin dari pejabat yang berwenang mengakibatkan tertundanya juga pemeriksaan terhadap yang bersangkutan, sehingga pada akhirnya penyelesaian terhadap kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tersebut juga tertunda atau bahkan "mandek". Namun khusus pemeriksaan terhadap kepala daerah, dapat dilakukan tanpa menunggu ijin dari Presiden, karena menurut pasal 36 ayat (2) UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tetap dapat dilakukan, apabila ijin pemeriksaan tersebut tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan.

The regulation set out the requirements of permit from authorized governmental officer prior to inspect any certain state officer. Consideration background of rules regulating regarding inspection permit, among other thing to maintain authority, prestige and position of such state officer in running his/her duties. It had resulted in the discrimination treatment among his/her with other large public citizens, and it had contradicted with principle of equality before the law and with Constitution 1945 as well as other legislations. Those principles had not discriminated among any citizen with Others either in judicature or governmental process.. When any state officer should present before the court either as witness or prosecuted then, she/he should be treated equally, without considering his/her economic status, position and others. Also it had not been suitable with principle of fast and simple judicature. Any person who had become involved in criminal case presumably, immediately, he/she should be inspected or investigated in order to give legal certainty with his/her, and such case investigation may be proceed fluently. To date the formal refusal from authorized governmental officer filed by investigator had never been found. The refusal of giving permit no conducted by issuing inspection permit for long enough period and without the real arguments. The length both of period to issue permit by unlimited time and bureaucracy process it had influenced the process of corruption commitment investigation. The postponement of giving permit from authorized governmental officer, also it had resulted in the cancellation of such person case, subsequently, the case of supposed corruption commitment of such person is cancelled or even stagnant. Nevertheless, specially, for case of Local Governmental Head, it may be conducted without waiting permit from President, because, according to Article 36 paragraph (2) UU.No.32 year 2004 on Local Government, inspection and investigation process to Head/Vice of Local Government it may be realized provided that such inspection permit no given by President at least sixty (60) days calculated since the receipt of application."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kasmanto Rinaldi
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25172
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agustine Rosmaulina
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
S10616
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiandriatmoko
"Dalam suatu proses penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, fase penanganan awal merupakan fase yang paling krusial, karena merupakan fase yang sangat penting dalam menentukan “nasib” tersangka, apakah akan ditahan, direhabilitasi atau dibebaskan. Pada fase ini juga terjadi penggunaan diskresi yang paling intensif oleh Penyidik Polri, yaitu ketika Penyidik Polri menggunakan kewenangannya untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab atau bertindak menurut penilaiannya sendiri sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian. Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama dengan menggunakan metode survei terhadap 124 Penyidik Polri, diketahui bahwa Penyidik Polri memang masih tidak konsisten dalam penggunaan kewenangan diskresinya. Setelah dilakukan penelitian tahap kedua dengan menggunakan metode empiris, diketahui bahwa penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri hanya mempedomani ketentuan yang tertulis dalam KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian, dan kurang mempedomani teori dasar diskresi sebagaimana dikemukan oleh para ahli hukum yang pada intinya menegaskan bahwa diskresi adalah merupakan ide atau gagasan tentang moral, yang letak kedudukannya ada pada zona abu-abu antara hukum dan moral, dalam penggunaan diskresi semestinya lebih mengutamakan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum, dan harus mendasarkan pada akal sehat serta itikad baik. Akibatnya, penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri cenderung lebih mengejar kepastian hukum dari pada mewujudkan keadilan, lebih mengutamakan pertimbangan hukum dari pada pertimbangan moral, dan cara berpikirnya lebih berorientasi pada hukum positif dari pada hukum alam. Hal itulah yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kelebihan hunian di Rutan dan Lapas di seluruh Indonesia. Ketika hasil penelitian empiris dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan metode normatif, diketahui bahwa pengunaan diskresi oleh Penyidik Polri dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari aspek hukum atau perundang-undangannya, aspek aparat penegak hukumnya, sarana pendukung penegakan hukumnya, maupun kondisi masyarakat dan budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, agar penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika menjadi lebih baik, maka perlu dilakukan upaya penataan ulang terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi tersebut.

In the process of investigating crimes of narcotics abuse, the initial handling phase is the most crucial phase, because it is a very important phase in determining the "fate" of the suspect, whether they will be detained, rehabilitated or released. In this phase, the most intensive use of discretion by the Indonesian National Police Investigators also occurs, namely when the Indonesian National Police Investigators use their authority to carry out other actions according to the law that are responsible or action according to their own judgment as regulated in the Criminal Procedure Code and the Police Law. Based on the results of the first stage of research using a survey methode of 124 National Police Investigators, it is known that Indonesian National Police Investigators are still inconsistent in the use of their discretionary authority. After carrying out the second stage of research using empirical methods, it was discovered that the use of discretion by Indonesian National Police Investigators only guided the provisions written in the Criminal Procedure Code and the Police Law, and did not follow the basic theory of discretion as put forward by legal experts who essentially emphasized that discretion is moral ideas, which are located in the gray zone between law and morals, in the use of discretion should prioritize moral considerations over legal considerations, and must be based on common sense and good faith. As a result, the use of discretion by Indonesian National Police Investigators tends to pursue legal certainty more than realizing justice, prioritizes legal considerations over moral considerations, and their way of thinking is more oriented towards legal positivism than natural law. This is thought to be one of the causes of excess in detentions and prisons throughout Indonesia. When the results of the empirical research were analyzed further using normative methods, it was discovered that the use of discretion by Indonesian National Police Investigators was influenced by various factors, such as legal or statutory aspects, aspects of law enforcement officers, supporting facilities for law enforcement, or the condition of society and the culture of the community. Therefore, in order for the use of discretion by Indonesian National Police Investigators in investigating crimes of narcotics abuse to be better, efforts need to be made to reorganize the various factors that influence this."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Nugroho W.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S22005
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Anung Kurniawan
"Dalam Tesis ini membahas mengenai hambatan yang terjadi dalam penyidikan tindak pidana cybercrime pada Ditreskrimus Polda Metro Jaya. Bahasan utama dalam Tesis ini adalah mengenai tidak dapat diterapkannya pasal-pasal pidana dari Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada perkara-perkara cybercrime. Sehingga perkara-perkara tersebut dituntut dan diadili dengan pasal pidana umum (KUHP) saja.
Penulis menggunakan metode penelitian secara kualitatif dengan menggambarkan atau mendiskripsikan hasil penelitian, serta dengan melakukan pendekatan secara Yuridis Empiris. Untuk melihat praktik hukum cybercrime yang terjadi secara faktual dengan mengumpulkan data, wawancara serta observasi lapangan di Ditreskrimsus Polda Metro Jaya.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah Laporan Polisi tindak pidana cyber yang dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Tinggi dengan diterapkan pasal pidana UU ITE hanya sekitar 17 persen per tahun. UU ITE sebagai salah satu perangkat yang dianggap mewakili cyber law di Indonesia ternyata belum mampu memberikan jaminan terhadap penegakan hukum cybercrime itu sendiri pada lingkup Polda Metro Jaya. Unsur sumber daya manusia, sarana prasarana, anggaran serta metode yang digunakan Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menjadi salah satu penentu keberhasilan penyidikan di bidang cybercrime. Metode itu sendiri dapat dilihat dari bagaimana manajemen organisasi dapat berjalan terutama dalam perencanaan, pengorganisasian, penggerakan/pelaksanaan, dan pengawasan/pengendalian.
Kekuatan internal dan peluang eksternal yang dimiliki oleh Ditreskrimsus merupakan salah satu modal dasar dalam menekan kelemahan internal serta menangkal ancaman eksternal, sehingga permasalahan penyidikan cybercrime dapat diatasi. Kesepahaman antar criminal justice system diharapkan dapat mendukung pemberkasan perkara cybercrime yang dilaporkan di Polda Metro Jaya, sehingga pasal-pasal pidana UU ITE dapat diterapkan. Kesepahaman tersebut yaitu terkait mengenai ijin pengadilan dalam penggeledahan dan penyitaan, serta pemberitahuan terkait penangkapan dan penahanan tersangka cybercrime. Kajian yang dilakukan pada Tesis ini, memberikan rekomendasi agar jaksa dan hakim khusus cybercrime dibentuk supaya secara khusus berkoordinasi dengan penyidik khusus cybercrime. Sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan cyber secara bersinambungan dapat diwujudkan untuk menjawab tantangan globalisasi informasi dunia.

This thesis discuss about some obstacles occurred in the criminal offense investigation at the Directorate of Special Criminal Investigation of the Jakarta Metropolitan Regional Police Headquarter (Polda Metro Jaya). The main discussion in this thesis is that about the criminal articles from the Law of Electronic Information And Transactions (ITE) that can?t be applied on the cyber crime cases. Therefore, those cases are charged and on trial with the article of general crime (KUHP) only.
The writer used a qualitative research method by illustrating and describing the result of research and by using Empirical and Juridical approach. To see a law practice of cyber crimes occurred factually that was by collecting data, interview, and field observation at the Directorate of Special Criminal Investigation of the Jakarta Metropolitan Regional Police Headquarter (Polda Metro Jaya).
The research result showed that the police report numbers of cyber criminal offense, which was declared complete by office of high prosecutor general with the implementation of criminal article in the Law of Electronic Information and Transactions, is only 17 percents per year. The Law of Electronic Information and Transactions as an instrument that is considered to represent cyber law in Indonesia evidently has not been able to provide guarantees against cyber crime law enforcement itself on the scope of the Jakarta Metropolitan Regional Police Headquarter (Polda Metro Jaya). Elements of human resource, facility and infrastructure, budget and method used by the Directorate of Special Criminal Investigation of Jakarta Metropolitan Regional Police Headquarter (Polda Metro Jaya) to be one determinant of success in the field of cyber crime investigation. The method itself could be seen from how the organization's management can run, especially in planning, organizing, mobilization / implementation, and monitoring / control.
Internal strength and external opportunities owned by the Directorate of Special Criminal Investigation is one of the authorized capital in suppressing internal weakness and warding off external threats so that the problems of cyber crime investigation could be solved. Understanding inter-criminal justice system is expected to support the filing of cyber crime cases reported in the Jakarta Metropolitan Regional Police Headquarter (Polda Metro Jaya) so that the criminal articles of the Law of Electronic Information and Transactions (UU ITE) can be applied. That understanding is related to the court's permission for search and seizure, as well as notification related to the arrest and detention of cyber crime suspects. Study carried out in this thesis provides a recommendation that the special prosecutors and judges of cyber crime was formed specifically to coordinate with special investigators of cyber crime. Therefore the law enforcement against cyber crime can be realized continuously to answer the challenges of the globalization of world's information.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>