Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rima Agristina
"Pemanfaatan sistem elektronik yang semakin meluas, meningkatkan kebutuhan pengaturan perlindungan privacy dan data pribadi yang lebih lengkap dan menyeluruh, khususnya mengenai tanggung jawab penyelenggara jasa sistem elektronik atas pemanfaatan data pribadi. Pengkajian yang dilaksanakan mencakup praktek pengaturan perlindungan yang dilaksanakan di USA, Uni Eropa, APEC, serta di Indonesia.
Penelitian menyimpulkan adanya urgensi penyusunan suatu UU perlindungan privacy dan data pribadi yang menyeluruh, yang mensinergikan pendekatan subyektif, pendekatan obyektif dan peran dari institusi profesional yang independen, dengan berdasarkan kepada Konstitusi.Disarankan agar selama UU mengenai Perlindungan Privacy dan Data Pribadi belum tersedia, pengaturan dalam PP No.82 tahun 2012 digunakan secara lebih optimal.

Utilization of electronic systems increasingly widespread, increasing the need for a privacy protection and personal data regulation which is more complete and thorough, especially regarding responsibility of service provider of electronic systems for the utilization of personal data. The scope of analysis include the protection regulation practices conducted in the USA, EU, APEC, as well as in Indonesia.
The study concludes that there is urgency of drafting a complete law on protection of privacy and personal data, which synergize subjective approach, objective approach and the role of independent professional institutions, based on constitution. Highly recommended to use the article on Government Regulation (PP) No.82 Year 2012 optimally while the Law on the Protection of Privacy and Personal Data are not yet available.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurlailatul Qodriyah
"ABSTRAK
Pertumbuhan e-commerce di Indonesia sangat pesat dan beragam jenis. Salah satu jenis e-commerce adalah yang berbentuk user generated content. Jenis ecommerce ini seringkali disalahgunakan oleh pedagang yang dapat mengunggah langsung konten/barang dagangannya, sehingga mengakibatkan penyelenggara sistem elektronik turut bertanggungjawab. Menanggapi hal ini pemerintah melalui kementerian komunikasi dan informatika mengeluarkan SE Menkominfo No. 5 Tahun 2016 tentang batasan dan tanggung jawab penyedia sistem elektronik dan pedagang merchant . Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan meninjau kesesuaian antara isi surat edaran dengan hukum perlindungan konsumen Indonesia. Kebijakan ini diperlukan guna memenuhi asas-asas dalam hukum perlindungan konsumen. Beberapa e-commerce yang berbentuk UGC di Indonesia juga menerapkan kebijakan ini pada syarat dan ketentuannya. Namun, surat edaran tidak dapat dijadikan dasar pembatasan tanggung jawab pelaku usaha. Penyelenggara sistem elektronik dan pedagang tetap harus bertanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kepastian hukum sangat penting sehingga peraturan mengenai batasan dan tanggung jawab lebih baik diakomodir dengan peraturan menteri.

ABSTRACT
The growth of e commerce in Indonesia is very rapid and varied. One type of ecommerce is user generated content. This type of e commerce is misused by merchants who can upload their content merchandise directly, thus the electronic systems provider should take responsibility. Responding to this, the government, through the ministry of communication and informatics, issued circular letter no. 5 2016 about the limits and responsibilities of electronic providers and merchants. This study requires normative juridical with readiness between the contents of the circular with the formal law of Indonesian consumers. This policy is required to meet the principles in law. Some e commerce, in the form of UGC in Indonesia, also applied this policy in its terms and conditions. However, a circular letter cannot be the basis of responsibility. Electronic systems provider and sellers must remain responsible for the legislation in Indonesia. Legal certainty is very important, so regulations about limits and responsibilities are better accommodated by ministerial regulations. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik terhadap kesalahan nominal harga yang ditawarkan pada konsumen. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan keseluruhannya dilakukan dengan metode penelitian kualitatif. Penilitian ini menunjukan bahwa dengan adanya pembatasan tanggung jawab tidak membatasi penyedia Platform untuk bertanggung jawab terhadap pengawasannya, dimana penyedia Platform memiliki kewajiban untuk memonitori dan melakukan pengawasan pada sistem perdagangan yang dipegangnya, hasil penelitian menyarankan bahwa pemerintah, penyelenggara, pelaku usaha, dan konsumen harus secara bersama-sama menciptakan perdagangan secara elektronik dengan aman yang dapat digunakan oleh siapapun.

ABSTRACT
This thesis discusses about the responsibility of Electronic System Organizers to nominal price errors that offered to the consumers. The type of research that be used is juridical normative with qualitative research method. This research shows that, with the ldquo existence rdquo of providers to be responsible for its supervision, in which the Platform provider has a liability to monitor and supervise in trading system, and the result of this research suggests the government, organizers, businessmen, and consumers should jointly create secure electronic commerce that anyone can use."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savana Orcaputri
"Media sosial merupakan wadah komunikasi baru bagi masyarakat, untuk bisa saling berinteraksi dan bertukar informasi dengan menggunakan sistem elektromagnetik. Namun, dengan meningkatnya jumlah pengguna media sosial, hal tersebut juga diikuti dengan berkembangnya tindak kejahatan pornografi dengan menyalahgunakan media sosial yang ada. Maka dari itu, media sosial sebagai salah satu penyelenggara sistem elektronik (PSE) di Indonesia, dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum atas tindak pidana pornografi yang difasilitasi dalam sistem elektroniknya. Fokus penelitian ini, akan membahas lebih mendalam mengenai aplikasi TikTok, dan menguraikan secara akademis tentang (i) bagaimana kewajiban media sosial TikTok sebagai PSE dalam mematuhi norma kesusilaan berdasarkan hukum positif di Indonesia; (ii) bagaimana media sosial TikTok mengatur pembatasan muatan seksual yang dilarang untuk disiarkan; (iii) bagaimana pertanggungjawaban media sosial Tiktok terhadap konten pornografi yang ditayangkan pada sistem elektroniknya dalam fitur live streaming. Metode penelitian yang digunakan penulis ialah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan sumber penelitian pustaka, serta dengan sifat penelitian yang analitis dan berbagai jenis data sekunder yang mendukung. Dasar hukum utama yang mengatur mengenai media sosial sesuai dengan hasil analisis penulis ialah, UU ITE, UU Pers, serta UU Penyiaran. Namun penulis akan memfokuskan pembahasan kepada TikTok sebagai PSE resmi di Indonesia, yang diatur oleh peraturan turunan UU ITE, yakni Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019, dan Peraturan Menteri No. 5 Tahun 2020. Penelitian penulis juga ditinjau dari dasar hukum utama mengenai pornografi, yakni pada UU Pornografi dan KUHP. Pada dasarnya, ketentuan diatas telah memuat hak dan kewajiban TikTok sebagai PSE, yang dimana salah satunya untuk tidak menyebarkan informasi/dokumentasi elektronik yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dalam praktiknya, TikTok masih menyebarkan konten pornografi, sehingga badan usaha asing tersebut wajib mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum dalam hal belum terpenuhi secara lengkap kewajibannya, sebagai PSE berdasarkan peraturan perundangundangan.

Social media is a new communication platform for the public, to be able to interact and exchange information using electromagnetic systems. However, with the increasing number of social media users, this is also followed by the development of pornography crimes by abusing existing social media. Therefore, social media as one of the organizers of the electronic system (PSE) in Indonesia, can be held legally responsible for pornography crimes facilitated in its electronic system. The focus of this research, will go deeper into the TikTok app, and elaborate academically on (i) how TikTok’s as a social media comply with obligations as a PSE in based on moral norms positive law in Indonesia; (ii) how TikTok's as a social media regulates restrictions on sexual content that is prohibited from being broadcast; (iii) how Tiktok's as a social media is responsible for pornographic content that is aired on its electronic system in the live streaming feature. The research method used by the author is normative juridical research, using literature research sources, as well as with the analytical nature of research and various types of supporting secondary data. The main legal basis governing social media in accordance with the results of the author's analysis is the ITE Law, the Press Law, and the Broadcasting Law. However, the author will focus the discussion on TikTok as an official PSE in Indonesia, which is regulated by derivative regulations of the ITE Law, namely Government Regulation No. 71 of 2019, and Ministerial Regulation No. 5 of 2020. The author's research is also reviewed from the main legal basis regarding pornography, namely the Pornography Law and the KUHP. Basically, the provisions have contained the rights and obligations of TikTok as a PSE, one of which is not to disseminate electronic information/documentation that is prohibited by laws and regulations. In practice, TikTok still spreads pornographic content, so the foreign business entity is obliged to legally responsible its actions based on the law, in terms of they have not fully fulfilled their obligations as a PSE based on laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Azzahra Edwin
"Seiring perkembangan zaman dan teknologi, maka berkembang juga juga ancaman yang lahir dari perkembangan teknologi tersebut. Salah satu ancaman yang terjadi akibat perkembangan zaman yang terjadi adalah pembobolan data. Pembobolan data sering terjadi terhadap penyelenggara sistem elektronik. Salah satu penyelenggara sistem elektronik yang mengalami kebocoran data di Indonesia adalah Tokopedia dan Bukalapak. Pada kasus tersebut, mereka tidak melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada pemilik data mengenai kebocoran data. Padahal seharusnya bahwa penyelenggara sistem elektronik memiliki kewajiban untuk melakukan notifikasi secara tertulis kepada pemilik data apabila terjadi kebocoran data. Sedangkan apabila dibandingkan dengan kasus kebocoran data yang terjadi di Hongkong, tindakan yang dilakukan oleh pengguna data yang mengalami kebocoran adalah melakukan notifikasi terhadap pemilik data serta tindakan lebih lanjut yang bisa dikatakan lebih baik dibandingkan Indonesia karena terdapat sanksi pidana serta terdapat peraturan lebih rinci mengenai tindakan apa yang harus dilakukan setelah notifikasi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normantif dengan bahan hukumnya Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem Elektornik, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 20 Tahun 2016, Personal Privacy Data Ordinance, serta teori lainnya untuk menjawab permasalahan yang telah diungkapkan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa notifikasi terhadap kebocoran data di Hongkong lebih baik dibandingkan Indonesia dari segi penanganan oleh lembaga yang berhak menanganinya, ketentuan serta penanganan dari penyelenggara sistem elektronik. Sedangkan mengenai saran dari penulis adalah harus segera disahkannya RUU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia agar terdapat sanksi pidana yang mengatur.

Along with the development of the times and technology, the threats that arise from these technological developments also develop. One of the threats that occur due to the development of the times is data breaches. Data breaches often occur against electronic system operators. One of the providers of electronic systems that experienced data leakage in Indonesia is Tokopedia and Bukalapak. In that case, they did not give written notification to the data owner regarding the data leak. Whereas the electronic system operator should have an obligation to provide written notification to the data owner in the event of a data leak. When compared to the data leak case that occurred in Hong Kong, the actions taken by data users who experienced a leak were to notify the data owner, as well as further actions that could be said to be better than Indonesia, and there were more detailed regulations regarding what actions to take. . what to do after notification. This study uses a normative juridical method with the legal material being Government Regulation No. 71 of 2019 concerning Electronic System Operators, Minister of Communication and Information Technology Regulation No. 20 of 2016, Personal Privacy Data Ordinance, and other theories to answer the questions that have been asked. The conclusion of this study is that notification of data leaks in Hong Kong is better than Indonesia in terms of handling by institutions that have the right to handle it, provisions and handling of electronic system operators. Meanwhile, the suggestion from the author is that the Data Protection Bill Draft should be immediately ratified in Indonesia so that there are no regulated sanctions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Azka Raihan Baladika
"Pedulilindungi sebagai aplikasi untuk membantu menghentikan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dikabarkan mengalami kebocoran data pada sekitar pertengahan hingga akhir tahun 2021. Hal ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi, turunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terganggunnya ketertiban umum, dsb, sehingga berpotensi menjadi isu keamanan nasional. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berupa tinjauan atas keamanan penyelenggaraan sistem elektronik di Indonesia, kewajiban hukum Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Pedulilindungi dalam menangani insiden siber, dan pertanggungjawaban para pihak PSE Pedulilindungi dalam merespon kebocoran data. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan bahan hukum utamanya fokus pada ketentuan yang terkait penyelenggaraan sistem elektronik seperti Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE), dsb. Adapun selain peraturan perundang-undangan, juga dipakai prinsip keamanan dalam Pasal 15 ayat (1) UU ITE, dan teori pertanggungjawaban administrasi negara untuk menjawab permasalahan yang telah diungkapkan. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa vendor (pembuat aplikasi) dan operator selaku PSE aplikasi Pedulilindungi tidak menjalankan salah satu kewajiban dalam ketentuan terkait. Apabila dilihat dari pertanggungjawaban administrasi negara, maka organ/badan yang bertanggung jawab atas insiden dalam kedua organisasi tersebut dapat dikenakan sanksi administratif. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan sistem elektronik agar setiap PSE dapat memaksimalkan pengamanan sistem informasi dan mematuhi hukum terkait untuk terhindar dari insiden.

Pedulilindungi as an application to help stop the spread of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) is reported to have a data leak incident around mid to late 2021. This matter can cause economic losses, a decrease in public trust to the government, disruption of public order, etc., so that it has the potential to become a national security issue. The problems raised in this study are in the form of review of the implementation of electronic systems in view of security principle in Indonesia, the legal obligations of Electronic System Administrator (PSE) of the Pedulilindungi in handling cyber incidents, and the liability of PSE of the Pedulilindungi parties in responding to data leaks. This study uses a normative juridical method with the main legal material focusing on provisions related to the implementation of electronic systems such as Law No. 11 of 2008 regarding Electronic Information and Transactions as amended by Law No. 19 of 2016 (ITE Law), Government Regulation No. 71 of 2019 regarding Implementation of Electronic Systems and Transactions (PP PSTE), etc. In addition to laws and regulations, the security principle in Article 15 paragraph (1) of the ITE Law, and the theory of state administrative liability are also used to answer the problems that have been raised. The result of this study concludes that the vendor (application maker) and operator that are part of Electronic System Administrator (PSE) of the Pedulilindungi application did not carry out one of the obligations in the relevant provisions. When viewed from state administrative liability, the organ/body responsible for the incident in both organizations can be subject to administrative sanctions. Therefore, in the implementation of electronic systems, each PSE should maximize their security on information system and comply with related laws to avoid incidents."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fianka Aiza
"

Data Pribadi milik seorang mantan pelanggan dalam database perusahaan penyelenggara sistem elektronik seharusnya tidak lagi dapat mengidentifikasi mantan pelanggan tersebut. Hal ini karena mantan pelanggan tidak lagi menggunakan jasa dan/atau layanan yang disuguhkan oleh perusahaan tersebut, sehingga tidak ada kepentingan bagi perusahaan untuk memproses dan mengidentifikasi subjek data. Mantan pelanggan, sebagai seorang yang pernah menggunakan layanan perusahaan dan datanya masih berada dalam kendali perusahaan mempunyai hak sebagai subjek data untuk mengajukan permintaan agar data pribadi miliknya dihapus dan/atau dimusnahkan. Hak subjek data tersebut lebih di kenal dengan terminologi hak untuk dilupakan atau right to be forgotten yang mulanya berkembang di Eropa, dan kemudian konsep tersebut diadopsi oleh negara-negara lain di dunia. Pemerintah menetapkan Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi sebagai payung pelindungan data elektronik maupun non-elektronik di Indonesia. UU PDP mengatur terkait hak subjek data pribadi untuk menghapus, memusnahkan dan/atau menghentikan pemrosesan data pribadinya. Perusahaan penyelenggara sistem elektronik sebagai pengendali data diwajibkan untuk menyelenggarakan hak-hak subjek data dan serangkaian kewajiban lainnya sesuai dengan prinsip pelindungan data pribadi. Terdapat kasus-kasus dimana data mantan pelanggan disalahgunakan sehingga merugikan baik secara materil maupun imateril. Perusahaan Penyelenggara Sistem Elektronik sebagai pengendali data pribadi harus mematuhi UU PDP dalam memproses data pribadi dan menjalankan hak-hak subjek data yang menjadi pengguna dan/atau pelanggan mereka, termasuk menjalankan hak untuk dihapuskan dan dimusnahkan apabila terdapat permintaan dari subjek data pribadi.


Personal Data belonging to a former customer in the electronic system operating company's database should no longer be able to identify the former customer. This is because former customers no longer use the services and/or services provided by the company, so there is no interest for the company to process and identify data subjects. A former customer, as someone who has used the company's services and whose data is still under the company's control, has the right as a data subject to submit a request to have his personal data deleted and/or destroyed. The rights of data subjects are better known as the right to be forgotten, which was originally developed in Europe, and then this concept was adopted by other countries in the world. The government has established Law Number 27 of 2022 concerning Personal Data Protection as an umbrella for the protection of electronic and non-electronic data in Indonesia. Personal Data Protection Law regulates the rights of personal data subjects to delete, destroy and/or stop processing their personal data. Companies operating electronic systems as data controllers are required to carry out the rights of data subjects and a series of other obligations in accordance with the principles of personal data protection. There are cases where former customer data is misused, resulting in material and immaterial losses. Electronic System Operating Companies as personal data controllers must comply with the Personal Data Protection Law in processing personal data and exercising the rights of data subjects who are their users and/or customers, including exercising the right to erasure and destruction if there is a request from the personal data subject.

 

"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifan Niffari
"ABSTRAK
Penyelenggara sistem elektronik dalam menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektroniknya memiliki implikasi terhadap penggunanya yang tentunya memanfaatkan barang, jasa, atau fasilitas sistem elektronik tersebut. Implikasi tersebut dapat bersifat positif dan negatif bagi pengguna. Resiko yang mungkin ditimbulkan dapat berupa kerugian atau bahkan mengancam jiwa pengguna sistem
elektronik tersebut. Perizinan menjadi sarana Pemerintah dalam mengendalikan dan mengawasi penyelenggaraan sistem elektronik agar tetap andal, aman dan bertanggungjawab. Dalam pelaksanaan perizinan tersebut, pengendalian oleh pemerintah dilakukan dengan mewajibkan pemenuhan persyaratan dan komitmen bagi penyelenggara sistem elektronik yang akan melakukan aktivitasnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pendaftaran sebagai bagian dari perizinan juga diwajibkan bagi penyelenggara sistem elektronik dengan cara penerbitan tanda daftar apabila penyelenggara sistem elektronik telah memenuhi standar dan persyaratan terhadap sistem elektroniknya. Penulis menelaah sejauh mana perizinan tersebut telah
diterapkan dan efektifitasnya dalam mengendalikan perilaku penyelenggara sistem elektronik melalui pemberian sanksi administratif sehingga patuh pada norma hukum positif.

ABSTRACT
Providers of electronic systems in providing, managing, and / or operating electronic systems have implications for users who naturally utilize the goods, services, or facilities of the electronic system. These implications can be positive and negative for users. Possible risks can be in the form of losses or even life-threatening for electronic system users. Licensing is intended to be a means of the Government in controlling and overseeing the implementation of electronic systems to remain reliable, safe and responsible. In the implementation of these licenses, government control is carried out by requiring the fulfillment of requirements and commitments for electronic system operators who will carry out their activities in accordance with statutory regulations.
Registration as part of licensing is also required for electronic system providers by issuing a registration certificate if the electronic system provider meets the standards and requirements of the electronic system. The author examines the extent to which these licenses have been applied and their effectiveness in controlling the behavior of electronic system providers through administrative sanctions so that they comply with positive legal norms."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tazqia Aulia Al-Djufri
"Fleksibilitas kontenUser-Generated Content (UGC) pada media sosial memungkinkan pesatnya penyebaran informasi di masyarakat. Terlebih, konten UGC mengizinkan pengguna memiliki kebebasan berekspresi melalui berbagai cara untuk saling berbagi, berdiskusi maupun mengungkapkan opini di ruang digital. Namun, pelaksanaan kebebasan berekspresi ini seringkali melanggar hak privasi dan data pribadi. Penelitian ini bertujuan untuk menggali pembatasan hak kebebasan berekspresi jika dikaitkan dengan hak privasi, pengaturan penyebaran data pribadi di media sosial menurut hukum Indonesia, dan kebijakan Twitter sebagai Lingkup Privat UGC dalam melindungi hak individu terkait penyebaran data pribadi di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak kebebasan berekspresi dapat dibatasi sesuai Prinsip Siracusa, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), dan peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”) dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (“Permenkominfo 5/2020”). Adapun Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi memberikan pelindungan hukum yang lebih komprehensif terhadap penyebaran data pribadi dibandingkan UU ITE dan UU Adminduk. UU ITE hanya menekankan persetujuan dari individu terkait informasi yang memuat data pribadi, sedangkan UU Adminduk melarang penyebaran data kependudukan dan data pribadi tanpa hak dengan sanksi pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun dan/atau denda maksimal sejumlah Rp25.000.000,00 di mana sanksi tersebut diatur lebih berat dalam UU PDP, yaitu penyebaran data pribadi diancam hukuman pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp4.000.000.000,00. Dalam melindungi data pribadi, Twitter sebagai PSE Lingkup Privat UGC memiliki kebijakan yang wajib dipatuhi oleh pengguna dalam penggunaan layanannya. Meskipun demikian, terdapat ketidakjelasan prosedur dan kurangnya transparansi penilaian internal Twitter terkait penghapusan konten tweet yang melanggar data pribadi. Oleh karena itu, selain pelaku penyebaran data pribadi, Twitter juga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum berdasarkan Pasal 11 Permenkominfo 5/2020.

The flexibility of User-Generated Content (UGC) on social media enables the rapid dissemination of information in society. Moreover, UGC allows users to express themselves freely through various means of sharing, discussing, and expressing opinions in the digital realm. However, the exercise of this freedom of expression often violates privacy rights and personal data. This study aims to explore the limitations of freedom of expression in relation to privacy rights, the regulation of personal data dissemination on social media according to Indonesian law, and Twitter's policies as a Private User-Generated Content Platform in protecting individuals' rights regarding the dissemination of personal data in Indonesia. The research methodology employed is a normative juridical approach with a focus on legal regulations. The findings indicate that freedom of expression can be restricted in accordance with the Siracusa Principles, Law Number 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions (ITE Law), its derivative regulations such as Government Regulation Number 71 of 2019 on the Implementation of Electronic Systems and Transactions (PP PSTE), and the Minister of Communication and Informatics Regulation Number 5 of 2020 on Private Electronic System Operators (Permenkominfo 5/2020). In comparison, the Law Number 27 of 2022 concerning Personal Data Protection (PDP Law) offers more comprehensive legal protection concerning the dissemination of personal data compared to the ITE Law and the Law Number 24 of 2013 concerning Amendments to the Law Number 23 of 2006 on Population Administration (Adminduk Law). The ITE Law emphasizes obtaining consent from individuals regarding information containing personal data, while the Adminduk Law prohibits the dissemination of population and personal data without authorization, punishable by a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a fine of up to Rp25,000,000. In contrast, the PDP Law imposes stricter penalties for the dissemination of personal data, with a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a fine of up to Rp4,000,000,000. Twitter, as a Private User-Generated Content Platform, has policies that users must comply with in using its services to protect personal data. However, there are uncertainties in the procedures and a lack of transparency in Twitter's internal assessment regarding the removal of tweets that violate personal data. Therefore, in addition to holding data disseminators accountable, Twitter can also be held legally responsible under Article 11 of Permenkominfo 5/2020."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela Nauli Christyanti
"Layanan kencan online memberikan kesempatan bagi pengguna untuk bertemu calon pasangan pada aplikasinya. Namun, dengan meningkatnya aktivitas kencan online dalam beberapa tahun terakhir, hal tersebut juga membuka pintu bagi terjadinya berbagai tindak pidana siber yang menargetkan pengguna aplikasi kencan online. Oleh karena itu, layanan kencan online dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum atas tindak pidana siber yang terjadi pada layanannya. Dengan fokus penelitian pada aplikasi kencan online Tinder dan Bumble, penelitian ini akan menguraikan lebih lanjut mengenai (i) bagaimana layanan kencan online sebagai penyelenggara sistem elektronik diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia; (ii) tanggung jawab hukum yang ditanggung oleh layanan kencan online jika terjadinya tindak pidana siber; dan (iii) kepatuhan layanan kencan online terhadap ketentuan yang mengatur penyelenggara sistem elektronik di Indonesia. Dengan metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, ditemukan bahwa layanan kencan online di Indonesia diatur antara lain oleh UU ITE dan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019. Ketentuan tersebut mengatur bahwa layanan kencan online dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas terjadinya tindak pidana siber dalam hal tidak terpenuhinya kewajiban hukumnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tinder dan Bumble, sebagai penyelenggara sistem elektronik asing yang beroperasi di Indonesia, juga ditemukan belum sepenuhnya mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Online dating services provide an opportunity for users to meet potential romantic partners on their platforms. However, with the rise in activity on many online dating applications in recent years, it has also opened the doors to various cybercrimes targeting users on these platforms. Hence, online dating services could be held liable for the occurrence of cybercrimes on their platforms. With a focus on the online dating applications Tinder and Bumble, this research will further elaborate on (i) how online dating services as an electronic system provider are regulated within Indonesian laws and regulations; (ii) the legal liabilities online dating services bear in the occurrence of cybercrimes; and (iii) online dating services’ compliance to provisions governing electronic system providers in Indonesia. With a juridical-normative research method and a qualitative approach, it is found that online dating services in Indonesia are governed among others by the ITE Law and Government Regulation No. 71 of 2019. Such provisions stipulate that online dating services may be held liable for the occurrence of cybercrimes if they have not performed all of their legal obligations provided within the regulations. Tinder and Bumble, as foreign electronic system providers conducting operations in Indonesia, are also found to have not fully complied with Indonesian laws and regulations subjected to them."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library