Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anisya Ramdlonaning
Abstrak :
Over kapasitas Lapas di Indonesia menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Data Kemenkumham bahwa 51% penghuninya adalah kasus narkotika dan 90% dari kasus narkotika tersebut hanya penyalah guna narkotika bagi diri sendiri. Pemidanaan merupakan hasil dari peradilan pidana. Dalam peradilan pidana terdiri dari penyidik, JPU dan hakim sebagai aparat penegak hukum (APH). Dalam penelitian ini akan menganalis implementasi ambang batas dan persyaratan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika yang tertuang dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010. Jenis penelitian kualitatif dengan tipe penelitian analisis kebijakan menggunakan metode Multiple Perspective Analysis yang mengambil 3 perspektif yaitu dari kebijakan publik (UU Narkotika dan SEMA Nomor 4 Tahun 2010), Pelaku Kebijakan (penyidik,jaksa dan hakim) dan lingkungan kebijakan (dampak implementasi). Hasil penelitian bahwa ambang batas bukanlah tolak ukur APH dalam melakukan pemidanaan/rehabilitasi. Akan tetapi semua penyalah guna berapapun barang buktinya akan ditangkap. APH baik penyidik, jaksa dan hakim tidak melaksanakan perintah UU Narkotika dan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 yaitu merehabilitasi penyalah guna narkotika bagi diri sendiri. Adanya kewenangan yang besar yang diberikan kepada penyidik untuk dapat menempatkan penyalah guna ke tempat rehabilitasi akan tetapi tidak dilaksanakan. Justru terjadi penyalahgunaan kewenangan dengan menangkap dan menahan penyalah guna narkotika bagi diri sendiri. Selain itu JPU meneruskan dengan menggunakan pasal pengedar didalam UU Narkotika (pasal 112) untuk semua penyalah guna agar bisa ditahan. Dan hakim tidak ada yang berani memutus rehabilitasi apabila JPU tidak menuntut rehabilitasi. Hakim sebagai penerjemah keadilan didalam masyarakat pada akhirnya juga tidak melaksanakan kewajibannya (pasal 127 ayat 2) dan kewenangannya (pasal 103). Tidak adanya kolaboratif diantara APH dalam sistem peradilan pidana yang seharusnya terpadu. APH memiliki pemahaman dan kepentingan sendiri. Filosofis tujuan dibentuknya UU Narkotika dan SEMA Nomor 4 tahun 2010 yaitu kesehatan untuk penyalah guna tidak dilaksanakan. Sedangkan putusan yang muaranya di pengadilan nyatanya bergantung dari pemberkasan, penyidikan di kepolisian dan kejaksaan. ......Over-capacity of prisons in Indonesia is an unresolved problem. Data from the Ministry of Law and Human Rights shows that 51% of residents are narcotics cases and 90% of these narcotics cases are only narcotics abusers for themselves. Punishment is the result of criminal justice. In criminal justice, it consists of investigators, prosecutors and judges as law enforcement officers (APH). This research will analyze the implementation of thresholds and rehabilitation requirements for narcotics abusers as stipulated in SEMA Number 4 of 2010. This type of qualitative research with the type of policy analysis research uses the Multiple Perspective Analysis method which takes 3 perspectives, namely from public policy (Narcotics Law and SEMA Number 4 of 2010), Policy Actors (investigators, prosecutors and judges) and the policy environment (implementation impact). The results of the study show that the threshold is not a benchmark for APH in carrying out punishment/rehabilitation. However, all abusers regardless of the evidence will be arrested. APH, both investigators, prosecutors and judges, did not carry out the orders of the Narcotics Law and SEMA Number 4 of 2010, namely to rehabilitate narcotics abusers for themselves. There is great authority given to investigators to be able to place abusers in rehabilitation places, but this is not implemented. In fact, there is abuse of authority by arresting and detaining narcotics abusers for themselves. In addition, the prosecutor continued to use the drug dealer article in the Narcotics Law (Article 112) for all drug users to be arrested. And no judge has the courage to decide on rehabilitation if the prosecutor does not demand rehabilitation. Judges as interpreters of justice in society ultimately do not carry out their obligations (article 127 paragraph 2) and their authority (article 103). There is no collaboration between APHs in the criminal justice system which should be integrated. APH has its own understanding and interests. The philosophical aim of establishing the Narcotics Law and SEMA Number 4 of 2010, namely health care for abusers, was not implemented. Meanwhile, decisions that end in court depend on filings, investigations by the police and the prosecutor's office.
Jakarta: Sekolah Kajian dan Stratejik Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwin Herwina
Abstrak :
Saat ini Methamphetamine (shabu) menjadi tren narkotika di Indonesia, menggantikan heroin (putauw). Gejala psikiatri umum ditemukan pada pecandu dengan penggunaan methamhetamine (shabu), gejala afektif berupa depresi dan kecemasan. Terapi yang saat ini dianggap cukup baik secara umum adalah Therapeutic Community yang terdiri dari beberapa tahapan rehabilitasi. Salah satunya adalah tahap Primary, pada tahap ini seluruh tools of Therapeutic Community digunakan. Namun angka drop out pada tahap ini cukup tinggi yaitu 49,5%. Depresi yang terjadi pada saat mengikuti program rehabilitasi mengakibatkan pelaksanaan terapi adiksi kurang maksimal. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pengumpulan data secara random sistematik. Jumlah sampel sebanyak 120 residen (penyalah guna methamphetamine) diambil dari tiap - tiap Primary. Primary Hope, Primary Faith, Primary HOC, dan Primary Care masing - masing sebanyak 30 residen. Selanjutnya dilakukan penyebaran kuesioner dengan menggunakan kuesioner kesehatan pasien PHQ-9. PHQ -9 merupakan instrumen untuk membuat kriteria diagnosis depresi berbasis DSM - IV yang telah di validasi. Data yang diperoleh di lapangan kemudian di sajikan secara analisis deskriptif dengan melakukan uji frekuensi dan chi - square untuk melihat hubungan antara program rehabilitasi dengan metode Therapeutic Community dan tingkat depresi pada penyalah guna Methamphetamine (shabu) menggunakan software SPSS versi 17.00. Hasil penelitian ini menunjukkan dari 120 residen yang merupakan pengguna methamphetamine (shabu) didapati sebanyak 3 orang residen (2,5 %) yang mengalami depresi minimal, sebanyak 49 orang residen (40,8%) mengalami depresi ringan, sebanyak 39 orang residen (32,5 %) mengalami depresi sedang, sebanyak 23 orang residen (19,2 %) mengalami depresi cukup berat dan sebanyak 6 orang residen (5,0 %) mengalami depresi parah. Dengan melihat hasil ini, dapat dikatakan terdapat hubungan antara program rehabilitasi dengan metode Therapeutic Community dan tingkat depresi pada penyalah guna Methamphetamine (shabu). Untuk itu sudah saatnya bagi Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido untuk membuat arah kebijakan yang baru terkait program rehabilitasi khususnya untuk pengguna Methamphetamine (shabu). Karena penyakit jiwa atau depresi meskipun minimal akan dikaitkan dengan retensi dan tidak selesainya program rehabilitasi. ......Currently Methamphetamine (shabu) into drug trends in Indonesia, replacing heroin (putauw). Common psychiatric symptoms in addicts with the use methamhetamine (methamphetamine), affective symptoms such as depression and anxiety. Therapies that are currently considered to be quite good in general is a Therapeutic Community is comprised of several stages of rehabilitation. One is the Primary stage, at this point all the tools of Therapeutic Community is used. But the dropout rate at this stage is quite high at 49.5%. Depression that occurs during the rehabilitation program resulted in the implementation of addiction therapy is less than the maximum. This study uses a quantitative method with random systematic data collection. The total sample of 120 residents (methamphetamine abuser) taken from each Primary. Primary Hope, Primary Faith, Primary HOC, and Primary Care each about 30 residents. Furthermore, the distribution of the questionnaire by using the patient health questionnaire PHQ-9. PHQ-9 is an instrument to make the criteria for a diagnosis of depression based on DSM - IV which has been validated. The data obtained in the field later served as a descriptive analysis with frequency test and chi - square to see the relationship between rehabilitation program with Therapeutic Community method and the rate of depression in abusers of Methamphetamine (shabu) using SPSS software version 17.00. The results showed that a residents of 120 methamphetamine users (shabu) found as many as 3 people resident (2.5%) were depressed at a minimum, as many as 49 people resident (40.8%) resident suffered minor depression, as many as 39 people resident (32.5 %) had moderate depression, as many as 23 people resident (19.2%) had depression severe enough and as many as 6 people resident (5.0%) had severe depression. By looking at these results, it can be said there is a relationship between a rehabilitation program with the Therapeutic Community method and the rate of depression in abusers of Methamphetamine (shabu). It is time for the Lido BNN Rehabilitation Center to create a new policy direction related to the rehabilitation program, especially for users of Methamphetamine (shabu). Because of mental illness or depression although minimal would be associated with the retention and completion of rehabilitation programs.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thourow Matthew Nissiel
Abstrak :
Penelitian ini berfokus pada permasalahan kelebihan penghuni pada Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia serta pemenjaraan penyalah guna narkotika yang menghambat tercapainya tujuan pemasyarakatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu reintegrasi sosial. Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk memjelaskan proses hukum yang harus dihadapi seorang penyalah guna narkotika, menjelajahi pemberian pidana penjara (pemenjaraan) bagi penyalah guna narkotika sebagai faktor penghambat tercapainya reintegrasi sosial dan menganalisa penanganan penyalah guna narkotika dalam lembaga pemasyarakatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian socio legal yang melaksanakan studi dokumen dan studi lapangan untuk mencari jawaban atas permasalahan penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat celah hukum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebabkan perbedaan perlakuan bagi penyalah guna narkotika. Lebih lanjut, kondisi sebuah lapas yang kelebihan penghuni dapat menghambat tercapainya reintegrasi sosial serta menghasilkan pola interaksi tidak sehat ketika seorang penyalah guna bertemu dengan pelaku tindak pidana peredaran gelap narkotika ......This research focuses on prison overcrowding issues in correctional institutions in Indonesia and imprisonment for drug abusers which tends to obstruct the aims and purposes of correctional institutions, which is social reintegration. The purposes of this research is to describe the legal process a drug abuser must proceed, explore the imprisonment of drug abusers as hindering factors to achieve social reintegration and to analyze the treatment of drug abusers in correctional institutions. The method used in this research is socio legal research method, which exercises document studies and field studies in order to answer the problem statement or this research. This research discovered that there are loopholes in Law No 35 of 2009 concerning Narcotics which leads to different treatments for drug abusers. Moreover, the overcrowding situation in correctional institutions hinders the pursuit of social reintegration and creates inhealthy interactions among inmates, especailly when drug abusers were put together with narcotics trafficker.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Nova Indradewi
Abstrak :
Jumlah penyalah guna narkotika coba pakai memiliki prevalensi paling besar dari total penyalah guna narkotika pernah pakai (current users) dalam setahun terakhir. Penyalah guna narkotika coba pakai pada tahun 2017 berjumlah 1.908.319 orang dari total 3.376.115 penyalah guna narkotika di Indonesia. Sementara itu, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi konsumsi tembakau (hisap dan kunyah) mengalami peningkatan 1 (satu) persen dari riset sebelumnya menjadi 33,8%. Di Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido pada tahun 2015 hinga 2018, terjadi peningkatan penyalah guna yang kambuh (relapse) dari 5% menjadi 6,3%. Tesis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa pengaruh perilaku merokok sebagai pemicu terhadap kecenderungan relapse pada penyalah guna narkotika di Balai Besar Rehabilitasi Lido. Penelitian tesis ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Sampel penelitian berjumlah 162 responden yang merupakan penyalah guna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan metode Moderate Regression Analyisis menggunakan SPSS 23. Hasil penelitian adalah perilaku merokok dapat menurunkan kecenderungan relapse. Terdapat pengaruh signifikan antara perilaku merokok terhadap kecenderungan relapse penyalah guna narkotika di Balai Besar Rehabilitasi Lido.
The number of recreational users has the greatest prevalence of total drugs abusers (current users) in the one year latest. In 2017, amount of recreational users are 1,908,319 people out of a total of 3,376,115 drug abusers in Indonesia. Meanwhile, the results of the Indonesian Ministry of Healths Basic Health Research (Riskesdas) in 2018 showed that the prevalence of tobacco consumption (suction and chewing) increased 1 (one) percent from the previous study to 33.8%. At the Center of Rehabilitation Lido in 2015 until 2018, there was an increase in abusers to relapse from 5% to 6.3%. The aim of this thesis was to discuss and analyze the influence of smoking behaviors on the tendency of relapse in drugs abusers at the Lido Rehabilitation Center. This research use quantitative approach. The sample of this research are 162 respondents who were drug abusers that undergoing rehabilitation. Data was collected by a questionnaire. Data were analyzed by regression analysis using SPSS 23. The results of this study is that smoking behavior can reduce the tendency of relapse. There are significant influence between smoking behavior and relapse tendencies on drug abusers in Lido Rehabilitation Center.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Isnaini
Abstrak :
ABSTRAK
Pengetahuan mengenai kerentanan sosial ekonomi suatu wilayah terhadap penyalahgunaan narkoba dapat digunakan sebagai bahan penyusunan kebijakan pengelolaan risiko penyalahgunaan narkoba yang lebih tepat sasaran, efektif dan efisien.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh kerentanan sosial ekonomi (tingkat pendidikan, tingkat pengangguran, tingkat penghasilan, rasio jenis kelamin, tingkat kemiskinan, dan akses ke pelayanan kesehatan) terhadap prevalensi penyalah guna narkoba ; serta untuk mengetahui indeks kerentanan sosial ekonomi terhadap penyalahgunaan narkoba di setiap provinsi yang kemudian digunakan untuk menganalisis risiko penyalahgunaan narkoba.

Metode yang digunanakan uji statistik regresi linier berganda dan analisis spasial. Hasil penelitian menunjukkan Uji F ke 6 indikator kerentanan sosial ekonomi signifikan terhadap prevalensi dan pada uji t tingkat penghasilan signifikan terhadap prevalensi; Indeks kerentanan sosial ekonomi di Indonesia terdiri dari kelas tinggi dan sedang; risiko penyalahgunaan narkoba di Indonesia terdiri dari kelas tinggi, sedang, dan rendah. Kesimpulannya kerentanan sosial ekonomi di setiap Provinsi di Indonesia mempengaruhi prevalesi dengan tingkat penghasilan yang paling berpengaruh; Indeks kerentanan sosial ekonomi kelas tinggi terdapat di 9 Provinsi dan kelas sedang di 25 Provinsi; risiko penyalahgunaan narkoba kelas tinggi terdapat di 5 Provinsi, kelas sedang di 9 Provinsi dan kelas rendah di 20 provinsi.
ABSTRACT
The Knowledge about socio-economic vulnerability that related to drug abuse in a region can be used for the preparation of risk management policy so it can be more targeted, effective and efficient. The purpose of this study is to determine the effect of socio-economic vulnerability (education level, unemployment rate, income level, sex ratio, poverty level, and access to health) to the prevalence of drug abuse; also to find out the socio-economic vulnerability index that related to drug abuse in each province, then it is used to analyze the drug abuse risk.

Using multiple linear regression test statistic and spatial analysis as the method. The results showed that F test of the 6 socio-economic indicators significant effect the prevalence and the t test show that income level effect the prevalence; The socio-economic vulnerability index in Indonesia consists of high and medium class; The drug abuse risks in Indonesia consist of high, medium, and low class. The conclusions are that socio-economic vulnerability in Indonesia province effect the prevalence of drug abuse with the income level effect the most; High class socioeconomic vulnerability index in 9 Provinces and moderate classes in 25 Provinces; High class of the drug abuse risk is in 5 provinces, middle class in 9 provinces and low grade in 20 provinces.
2017
T47749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christiana
Abstrak :
Penyalahgunaan narkotika berkembang menjadi masalah hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia (UNODC, 2021, 2022a).  Dalam skala yang lebih luas penyalahgunaan narkotika merupakan ancaman keamanan negara karena merupakan ancaman eksistensial bagi keamanan baik kemanan manusia, nasional bahkan internasional (Biswas, 2021; Crick, 2012). Menanggulangi potensi ancaman tersebut, pemerintah menyusun kebijakan penanggulangan penyalah guna narkotika dalam UU 35/2009 tentang Narkotika. Kebijakan tersebut mengutamakan pendekatan kesehatan dalam menanggulangi masalah penyalah guna narkotika. Penyalahgunaam dan kecanduan narkotika merupakan penyakit otak yang memerlukan perawatan sehingga undang-undang mewajibkan penyalah guna dan pecandu untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial. Akan tetapi dalam implementasinya, penyalah guna dibayangi ancaman hukuman pidana penjara. Jumlah penyalah guna narkotika yang dipenjara naik 2 kali lipat dari tahun 2015-2021 (Dirjenpas, 2022). Berbagai kajian menyebutkan bahwa implementasi kebijakan penyalah guna narkotika merupakan penyumbang overcrowding Lapas. Padahal menempatkan penyalah guna dalam Lapas tidak menyelesaikan masalah penyalahgunaan narkotikanya. Melihat masalah tersebut maka peneliti melakukan penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis implementasi kebijakan dengan merujuk pada Model Mazmanian dan Sabatier, menganalisis faktor penegakan hukum dan menganalisis dampak pemenjaraan pada penyalah guna narkotika. Penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan penanggulangan penyalah guna narkotika dihambat oleh tujuan yang tidak dirumuskan dengan baik dan konsisten, teori kausal kecanduan narkotika sebagai model penyakit yang tidak tertera dalam kebijakan, hambatan integrasi hierarkis, aturan lembaga pelaksana yang parsial dan terkadang berbenturan, hambatan perekrutan pelaksana, alokasi anggaran, dan kecenderungan kelompok sosial ekonomi rendah yang cenderung menderita dan kepemimpinan. Faktor penegakan hukum seperti undang-undang, aparat penegak hukum dan fasilitas rehabilitasi juga menjadi penghambat. Pemenjaraan tidak menimbulkan efek jera, penyalah guna tetap dapat mengakses narkotika dalam Lapas bahkan mereka dapat meningkat menjadi bagian jaringan peredaran gelap narkotika. ......Drug abuse is a growing problem almost all over the world, including Indonesia (UNODC, 2021, 2022a).  On a broader scale, drug abuse is a threat to state security because it is an existential threat to human, national and even international security (Biswas, 2021; Crick, 2012). In response to this potential threat, the government has developed a policy to tackle drug abuse in Law 35/2009 on Narcotics. The policy prioritizes the health approach in tackling the problem of drug abuse. Drug abuse and addiction are brain diseases that require treatment, so the law requires drug abusers and addicts to receive medical and social rehabilitation. However, in its implementation, drug abusers face the threat of imprisonment. The number of people who use drugs in prison doubled from 2015-2021 (Directorate General of Corrections, 2022). Various studies mention that the implementation of policies on drug abuse is a contributor to prison overcrowding. Even though placing drug abusers in prisons does not solve the problem of drug abuse. Seeing this problem, the researchers conducted qualitative research with a policy implementation analysis approach by referring to the Mazmanian and Sabatier Model, analyzing law enforcement factors and analyzing the impact of imprisonment on drug abusers. This research shows that the implementation of policies to overcome drug abuse is hampered by objectives that are not well formulated and consistent, the causal theory of drug addiction as a disease model that is not stated in the policy, hierarchical integration barriers, partial and sometimes conflicting rules of implementing agencies, barriers to recruitment of implementers, budget allocations, and the tendency of low socio-economic groups who tend to suffer and leadership. Law enforcement factors such as laws, law enforcement officers and rehabilitation facilities are also barriers. Imprisonment does not have a deterrent effect, drug abusers can still access drugs in prison and they can even become part of drug trafficking networks.
Jakarta: Sekolah Kajian dan Stratejik Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library