Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Titi Indriyati
Abstrak :
Pemantauan kualitas hidup pada penderita sindrom metabolik perlu dilakukan secara berkelanjutan, untuk mencapai status kesehatan yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan menilai peran perubahan status sindrom metabolik terhadap kualitas hidup terkait kesehatan (HRQoL). Pendekatan studi menggunakan desain follow up prevalence sebagai turunan dari cross sectional yang merupakan bagian dari studi kohor induk. Diagnosis SM ditegakkan ketika jumlah kriteria SM >3 dari 5 faktor risiko menggunakan data studi kohor faktor risiko PTM yang dikelola oleh Balitbangkes Kemenkes RI di Kecamatan Bogor Tengah dalam 4 periode pemantauan tahun 2011-2018. HRQoL diukur melalui wawancara langsung terhadap 874 responden menggunakan kuesioner SF-36 dan EQ-5D-5L. Perubahan status SM yang dapat diidentifikasi adalah: SM persisten (6,8%); SM memburuk (12,8%), SM membaik (10,3%), dan tidak SM (70,1%). Kriteria SM pada periode pemantauan T4 yaitu: obesitas sentral pada laki-laki 23,2% dan perempuan 78,6%; kadar HDL rendah pada laki-laki 31% dan perempuan 36,4%; hipertensi 35,5%; trigliserida tinggi >150 mg/dl adalah 21,9%; serta gula darah puasa tinggi >100 mg/dl adalah 38,2%. Gambaran HRQoL dari hasil pengukuran kuesioner SF-36 yaitu 50,3% memiliki kualitas hidup baik pada dimensi fisik dan 51% baik pada dimensi mental. HRQoL EQ-5D-5L untuk profil status kesehatan adalah 95,7% tidak bermasalah pada dimensi kemampuan perawatan diri; sedangkan masalah yang paling besar adalah pada dimensi ketidaknyamanan (rasa nyeri) seebanyak 76,8%. Pada skala EQ-VAS responden dengan kategori HRQoL rendah sebanyak 8,5% memiliki nilaidi bawah rerata EQ-VAS orang Indonesia pada umumnya. Ada interaksi dalam hubungan perubahan status SM dengan HRQoL pada dimensi fisik berdasarkan faktor riwayat penyakit penyerta (PTM), Analisis multivariat regresi logisttik ganda membuktikan bahwa perubahan status SM yang berinteraksi dengan riwayat penyakit penyerta (PTM: jantung, strok, DM, kanker) memberikan efek HRQoL rendah pada dimensi fisik sebesar POR (95%CI) = 27,5 (10,3-73,2) dan strata tidak memiliki penyakit penyerta sebesar = 9,2 (5,7 – 15,0) setelah dikontrol oleh umur, status kesehatan mental, perubahan IMT, rutinitas periksa kesehatan dalam setahun, dan pengetahuan. Efek interaksi yang dijelaskan menggunakan nilai rasio peluang disebut interaksi multiplikatif dan ini penting dalam menjelaskan hubungan kausalitas bahwa perubahan status SM yang memburuk sebagai penyebab rendahnya HRQoL dimensi fisik. Rekomendasi mengembangkan upaya sinergi dengan instansi terkait dalam menentukan progam intervensi kesehatan dan Germas yang memungkinkan untuk diintegrasikan dalam studi kohor PTM di Kota Bogor. ......Monitoring the quality of life in patients with metabolic syndrome needs to be carried out on an ongoing basis, to achieve a better health status. This study aims to assess the role of changes in metabolic syndrome status on health-related quality of life (HRQoL). The study approach uses a follow-up prevalence design as a cross-sectional derivative which is part of the main cohort study. The diagnosis of MS is enforced when the total number of criteria for MS >3 from 5 risk factors using a cohort study data of NCD risk factors managed by the Research and Development Center of the Ministry of Health of Indonesia in Central Bogor District in 4 monitoring periods 2011-2018. HRQoL was interviewed with 874 participants using the SF-36 and EQ-5D-5L questionnaires. Changes in MS status that can be identified are: persistent MS (6.8%); worsened MS (12.8%), improved MS (10.3%), and no MS (70.1%). The criteria for MS in the fourth monitoring period were: central obesity in males 23.2% and females 78.6%; low HDL levels in men 31% and women 36.4%; hypertension 35.5%; high triglycerides >150 mg/dl is 21.9%; and high fasting blood sugar> 100 mg/dl is 38.2%. The HRQoL description from the SF-36 questionnaire is 50.3% have a good quality of life on the physical dimension and 51% have a good quality of life on the mental dimension. HRQoL EQ-5D-5L for the health status profile is 95.7% without problems on the dimension of self-care ability; while the biggest problem is the dimension of discomfort (pain) as much as 76.8%. On the respondent's EQ-VAS scale with a low HRQoL category of 8.5% has a value below the average EQ-VAS of Indonesians in general. There is an interaction in the relationship between changes in MS status and HRQoL on the physical dimension based on the history of co-morbidities (NCD). Low HRQoL in the physical dimensions of POR (95% CI) = 27.5 (10.3-73.2) and without comorbidities of = 9.2 (5.7 – 15.0) after adjusting for age, mental health status, changes in BMI, routine health checks in a year, and knowledge. The effect modifications are explained using the probability ratio is called the multiplicative interaction is important in explaining the causal relationship that worsening MS status changes low HRQoL physical dimension. Recommendations for developing a synergy program with related agencies in determining health and Germas intervention programs that allow them to be integrated into the NCD cohort study in Bogor City.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christi Vidya Mahacintya
Abstrak :
COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 tidak hanya menyerang sistem pernapasan, namun dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah berupa fenomena hiperkoagulasi. Hiperkoagulasi atau disebut dengan pengentalan darah adalah kondisi dimana darah dalam tubuh seseorang cenderung lebih mudah mengalami proses penggumpalan atau pembekuan darah. Hiperkoagulasi pada COVID-19 dapat memperburuk keadaan pasien dengan menyumbat pembuluh darah yang berujung pada kerusakan organ dan kematian. Penelitian ini difokuskan pada perbandingan gambaran profil kondisi hiperkoagulasi pada pasien COVID-19, khususnya pada 663 data pasien yang menjalani rawat inap pada periode Maret 2020 hingga Maret 2021 pada rumah sakit X di Jakarta. Penelitian dilakukan dengan metode Exploratory Data Analysis untuk mendapatkan perbedaan karakteristik pasien serta Kaplan-Meier untuk melihat perbedaan laju perbaikan kondisi pasien. Penelitian ini menemukan bahwa pasien hiperkoagulasi memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami gejala, seperti gejala umum (demam, batuk, lelah) dan serius (sesak napas, nyeri dada, kesulitan bicara atau bergerak), memiliki kecenderungan lebih tinggi ditemukan pada pasien yang memiliki penyakit penyerta hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit penyerta terkait paru, lebih banyak diberikan treatment antivirus berupa remdesivir dan oseltamivir, memiliki kecenderungan yang lebih tinggi pada hemoglobin, hematokrit, trombosit, neutrofil, ddimer, dan fibrinogen, serta berpeluang untuk meninggal 0.233 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pasien non hiperkoagulasi. Secara umum, pasien non hiperkoagulasi mengalami perbaikan kondisi lebih cepat dibandingkan dengan pasien hiperkoagulasi. ......COVID-19 caused by SARS-CoV-2 not only attacks the respiratory system, but can cause damage to blood vessels in the form of hypercoagulation phenomena. Hypercoagulation or so-called blood thickening is a condition where the blood in a person's body tends to be more prone to clotting. Hypercoagulation in COVID-19 can worsen the patient's condition by clogging blood vessels which leads to organ damage and death. This study focused on comparing the profile of hypercoagulable conditions in COVID-19 patients, especially in 663 data of patients who were hospitalized in the period March 2020 to March 2021 at hospital X in Jakarta. The research was conducted using Exploratory Data Analysis method to obtain differences in patient characteristics as well as Kaplan-Meier to see the difference in the rate of improvement of the patient's condition. This study found that hypercoagulable patients had a higher tendency to experience symptoms, such as general symptoms (fever, cough, tiredness) and serious symptoms (shortness of breath, chest pain, difficulty speaking or moving), had a higher tendency to be found in patients who have comorbidities of hypertension, diabetes mellitus, and comorbidities related to the lung, more given antiviral treatment in the form of remdesivir and oseltamivir, had a higher tendency for hemoglobin, hematocrit, platelets, neutrophils, ddimer, and fibrinogen, and and had a 0.233 times greater probability of death when compared to non-hypercoagulable patients. In common, non-hypercoagulable patients improved faster than hypercoagulable patients.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library