Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irvani Imbiri
Abstrak :
Pasien sebagai salah satu subjek dalam hukum kesehatan memiliki hak dan kewajiban. Salah satu hak yang dimiliki oleh pasien adalah hak untuk menolak tindakan medis. Walaupun penolakan tindakan medis merupakan sebuah hak, tetapi ketika hak tersebut digunakan maka menimbulkan suatu akibat bagi pasien. Namun dalam praktiknya, masih banyak pasien yang belum memahami akibat dari penggunaan hak untuk menolak tindakan medis. Dalam penelitian ini, fokus permasalahan yang akan dibahas adalah mengenai pengaturan hak terhadap pasien yang menolak tindakan medis di rumah sakit dan implikasi hukum terhadap pasien yang menolak tindakan medis di rumah sakit dengan menganalisis Putusan Pengadilan Nomor 182/Pdt.G/2016/PN JKT.TIM dan Putusan Nomor 624/PDT/2019/PT.DKI. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan metode kualitatif yang mana pembahasan akan bersumber pada studi kepustakaan serta wawancara dengan narasumber. Pengaturan terhadap hak pasien yang menolak tindakan medis di rumah sakit diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 52 huruf d Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, 32 huruf k Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Pasal 17 huruf k Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien, dan Pasal 18 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Implikasi hukum terhadap pasien yang menolak tindakan medis di rumah sakit, yaitu segala konsekuensi yang timbul setelah pasien menolak akan menjadi tanggung jawab pasien dan pihak dokter maupun rumah sakit tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila pasien mengalami kerugian. ......Patients, as one of the subjects in health law, have rights and obligations. One of the rights that patients have is the right to refuse medical treatment. Although refusal of medical treatment is a right, when the right is used, it causes consequences for the patient. However, in practice, many patients still do not understand the consequences of exercising their right to refuse medical treatment. In this study, the focus of the problems to be discussed is on regulation of the rights of patients who refuse medical treatment in hospitals and the legal implications for patients who refuse medical treatment in hospitals by analyzing Court Verdict Number 182/Pdt.G/2016/PN JKT. TIM and Verdict Number 624/PDT/2019/PT. DKI. The research method used in this study is normative juridical research with qualitative methods, in which the discussion is sourced from literature studies and interviews with experts. The rights of patients who refuse medical treatment in hospitals are regulated by Article 56 of Law Number 36 of 2009 concerning Health, Article 52 letter d of Law Number 29 of 2004 concerning Medical Practice, Article 32 letter k of Law Number 44 of 2009 concerning Hospitals, Article 17 letter k of the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 4 of 2018 concerning Hospital Obligations and Patient Obligations, and Article 18 paragraph (1) of the Regulation of the Minister of Health Number 290/MENKES/PER/III/2008 concerning Approval of Medical Treatment. The legal implications for patients who refuse medical treatment at the hospital, namely all the consequences arising after the patient’s refusal will be the responsibility of the patient and the doctor or hospital cannot be held liable if the patient suffers losses.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Ananda Putri
Abstrak :
Penolakan tindakan medis pada dasarnya adalah hak asasi seseorang untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya sendiri. Penolakan tindakan medis sama pentingnya dengan persetujuan tindakan medis, namun belum banyak orang yang memahaminya karena hanya terfokus pada persetujuan tindakan medis saja. Skripsi ini meneliti mengenai pengaturan penolakan tindakan medis, tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit terhadap pasien jika terdapat penolakan tindakan medis di rumah sakit serta pengaturan dan tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit terkait penolakan tindakan medis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada hukum positif yaitu UU No. 36 Tahun 2009, UU No. 29 Tahun 2004, UU No. 44 Tahun 2009 dan PERMENKES No. 290 Tahun 2008. Di RSCM, ketentuan penolakan tindakan medis mengacu pada hukum positif tersebut dan diatur pula dalam peraturan internal yaitu Keputusan Direktur Utama KEPDIRUT RSCM Nomor HK 02.04/XI.3/0015/2017 dan petunjuk pelaksanaan atas peraturan internal tersebut yaitu KEPDIRUT RSCM Nomor HK 02.04/XI.3/20341/2015 dan Standar Prosedur Operasional Penolakan Tindakan Kedokteran No. Dokumen 55/TU.K/79/2012. Tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit terhadap pasien yang melakukan penolakan tindakan medis gugur sepanjang pasien tersebut sebelumnya sudah sepenuhnya memahami penjelasan dokter mengenai tindakan medis tersebut. Di akhir penelitian ini, penulis menyarankan bahwa pemerintah perlu menetapkan batas usia dewasa bagi pasien yang dapat melakukan penolakan tindakan medis yaitu 18 tahun ke atas dan penolakan tindakan medis seharusnya juga dapat dilakukan dengan advance care directive, RSCM perlu mengganti penggunaan frasa ldquo;tingkat keberhasilan tindakan kedokteran supaya tidak bertentangan dengan makna perjanjian terapeutik, serta Majelis Kehormatan Etik Kedokteran MKEK sebaiknya lebih sering melaksanakan seminar, simposium, pelatihan maupun penyuluhan untuk membuat para dokter lebih memahami substansi Kode Etik dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hukum Kesehatan. Selain itu, dokter juga sebaiknya selalu berusaha untuk memperbaharui ilmu pengetahuan yang dimilikinya yakni dengan cara rajin mengikuti seminar, simposium, pelatihan maupun penyuluhan yang dibuat oleh MKEK tersebut. ......Informed refusal in fact is human rights of someone to determine what will be done to themselves. Informed refusal is as important as informed consent, nonetheless not a lot of people really understand about such concept because they only focus to informed consent. This thesis examines the regulation of informed refusal, legal responsibility of the doctor and the hospital if there are some informed refusals that are done in the hospital and the regulation and legal responsibility of the doctor and the hospital related to informed refusal in Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM . The research method is normative juridical which is based on the positive norms which are UU No. 36 Tahun 2009, UU No. 29 Tahun 2004, UU No. 44 Tahun 2009 and PERMENKES No. 290 Tahun 2008. In RSCM, informed refusal is based on those positive norms and is also regulated in the internal regulation which is Keputusan Direktur Utama KEPDIRUT RSCM Nomor HK 02.04 XI.3 0015 2017 and the operational guidelines of the internal regulation which are KEPDIRUT RSCM Nomor HK 02.04 XI.3 20341 2015 and Standar Prosedur Operasional Penolakan Tindakan Kedokteran No. Dokumen 55 TU.K 79 2012. The doctor and the hospital will no longer be legally responsible of the patient who has done an informed refusal, as long as earlier the patient has understood very well the informed of the medical treatment. By the end of this research, the writer suggests that the government should regulate that the legal age of a patient who will do an informed refusal is 18 years old and informed refusal should also be able to be done by advance care directive, RSCM needs to change the use of the phrase 'the successful rate of the medical treatment' so it won rsquo t be against the definition of Therapeutic Contract, and Honorary Council of Medical Ethics MKEK should hold a seminar, simposium, training or counseling session more often to make the doctors more aware of the substance of Code of Ethics and the regulations of Health Law. Besides, the doctors should also make effort to update their knowledges by attending some seminars, symposiums, trainings or counseling sessions held by MKEK.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathalia Michelle
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan tanggung jawab hukum dokter terkait pelaksanaan perintah jangan lakukan resusitasi dengan melakukan studi perbandingan tiga negara, yaitu Indonesia, Belanda dan Uni Emirat Arab. Hal-hal yang dibahas dalam skripsi ini terdiri dari: (1) perbandingan regulasi perintah jangan lakukan resusitasi di Indonesia, Belanda, dan Uni Emirat Arab, (2) perbandingan regulasi tanggung jawab dokter yang melaksanakan penolakan tindakan medis di Indonesia, Belanda, dan Uni Emirat Arab, (3) perbandingan regulasi tanggung jawab dokter yang melaksanakan perintah jangan lakukan resusitasi di Indonesia, Belanda, dan Uni Emirat Arab. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan sumber data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan wawancara. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa perintah jangan lakukan resusitasi diakui di Indonesia, Belanda, maupun Uni Emirat Arab. Dokter tidak bertanggung jawab atas akibat atau efek samping yang ditimbulkan dari pelaksanaan penolakan tindakan medis dan perintah jangan lakukan resusitasi baik di Indonesia, Belanda, maupun Uni Emirat Arab. Penulis berpendapat perlu adanya pengaturan yang lebih komprehensif mengenai batas usia kompeten pasien yang dapat mengajukan penolakan tindakan medis, praktik jangan lakukan resusitasi, dan dokter penilai. Selain itu, Indonesia dapat mencontoh praktik jangan lakukan resusitasi di Belanda yang lebih efisien. ......This study aims to explain the physicians' liability regarding the implementation of the do not resuscitate order by conducting a comparative study of three countries, which include Indonesia, the Netherlands, and the United Arab Emirates. The subjects discussed in this thesis consist of: (1) comparison of regulations on the do not resuscitate order in Indonesia, the Netherlands, and the United Arab Emirates, (2) comparison of the regulations on physicians' liability who carry out informed refusal in Indonesia, the Netherlands, and the United Arab Emirates, (3) comparison of the regulations on the physicians’ liability who carry out the do not resuscitate order in Indonesia, the Netherlands, and the United Arab Emirates. The research method used in this study is normative juridical with data sources obtained from literature study and interview. The results of the study show that the do not resuscitate order is recognized in Indonesia, the Netherlands, and the United Arab Emirates. The physician is not liable for the consequences or side effects arising from the implementation of the informed refusal and the order do not resuscitate order either in Indonesia, the Netherlands, or the United Arab Emirates. In the author's opinion, more comprehensive regulation is needed regarding the age limit for patients who can submit informed refusals, the practice of do not resuscitate, and the assessing physician. Furthermore, Indonesia can follow the more efficient do not resuscitate practice in the Netherlands.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library