Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Intan Novita Isyannalia
"Secara das sollen, hibah tanah harus dilakukan dengan akta hibah yang dibuat oleh PPAT. Namun, secara das sein dikenal adanya perjanjian pengikatan hibah tanah. Permasalahan hukum muncul manakala perjanjian tersebut tidak segera ditindaklanjuti dengan pembuatan akta hibah, sedangkan obyek hibah sudah digunakan oleh penerima hibah, seperti dalam kasus Perjanjian Pengikatan Hibah Tanah antara PT. A (penerima hibah) dan PT. B (pemberi hibah). Dalam hal penerima hibah hanya mempunyai bukti berupa perjanjian pengikatan hibah, perlu dilakukan analisis yuridis mengenai kedudukan dan fungsi perjanjian pengikatan hibah atas obyek hak atas tanah sebagai perjanjian obligatoir serta keabsahan dan akibat hukum Perjanjian Pengikatan Hibah Tanah antara PT. A dengan PT. B yang sudah daluarsa. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang sifatnya deskriptif analitis dan menggunakan data sekunder yang dianalisis dengan teknik pendekatan kualitatif. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa kedudukan perjanjian pengikatan hibah atas obyek hak atas tanah sebagai perjanjian obligatoir termasuk kedalam perjanjian bantuan berupa perjanjian pendahuluan yang berfungsi untuk mempersiapkan perjanjian pokoknya yaitu akta hibah yang dibuat oleh PPAT. Perjanjian ini hanya melahirkan hak dan kewajiban para pihak, tetapi belum memindahkan hak milik. Keabsahan Perjanjian Pengikatan Hibah Tanah antara PT. A dengan PT. B adalah tidak sah karena perjanjian tersebut secara yuridis telah berakhir dengan lewatnya jangka waktu pembuatan akta hibah berikut dokumen tanah lainnya yang menjadi obyek perikatan sebagaimana kesepakatan para pihak. Untuk itu, perlu adanya pembatasan jarak antara pembuatan akta hibah setelah ditandatanganinya perjanjian pengikatan hibah dan pencantuman pelimpahan wewenang dalam perjanjian pengikatan hibah apabila pemberi hibah meninggal dunia.
In das sollen, land grants must be carried out with a grant deed made by PPAT. However, it is basically known that there is an Agreement on Binding of Land Grants. Legal problems arise when the agreement is not immediately followed up with the making of a Grant Deed, while the object of the grant has been used by the recipient of the grant as is the case in the Agreement on Binding of Land Grants between PT. A as the recipient of the grant and PT. B as the grantor. In the event that the recipient of the grant only has evidence of transfer of rights in the form of a Grant Engagement Agreement, it is necessary to do a juridical analysis of the position and function of the Grant Engagement Agreement on the object of land rights as a legal agreement and legal and legal agreement between the PT. A with PT. B that has expired. This study uses a normative juridical method that is descriptive analytical and uses secondary data analyzed by qualitative approach techniques. From the results of the study, it was found that the position of the Grant Engagement Agreement on the object of land rights as an obligatory agreement was included in the assistance agreement in the form of a preliminary agreement which served to prepare the main agreement namely the Grant Deed made by PPAT. This agreement only gives birth to the rights and obligations of the parties, but has not transferred ownership rights. The validity of the Agreement on Binding of Land Grants between PT. A with PT. B is invalid because the agreement has legally ended with the passing of the period of making the grant certificate and other land documents which become the object of the engagement as agreed by the parties. The suggestion from the author is that there is a need to limit the distance between the making of a grant deed after the signing of a binding agreement on the grant and the inclusion of delegation of authority in the binding agreement of the grant if the grantee dies.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53762
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Arum Sekar Ayurani
"Proses Hibah orang tua terhadap anak seharusnya dilakukan secara itikad baik agar menghindari konsekuensi peluang penarikan hibah. Adanya peluang penarikan kembali hibah membuat tidak adanya kepastian hukum terhadap penerima hibah. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai analisis pertimbangan hakim dalam permohonan pembatalan akta pengikatan hibah orang tua terhadap anak berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu Nomor 25/Pdt.G/2019/PTA.Bn dan perlindungan bagi penerima hibah akibat kelalaian notaris dalam akta pengikatan hibah orang tua terhadap anak. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif dengan Tipologi penelitian berupa penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah Majelis hakim tingkat banding untuk tidak membatalkan seluruhnya putusan hakim tingkat Pertama dan cukup memperbaiki putusan yang kurang tepat dengan memberikan 1/3 harta kepada penerima hibah dan sisanya dikembalikan kepada pemberi hibah sesuai dengan Pasal 210 KHI. Perlindungan hukum penerima hibah dalam perjanjian pengikatan hibah orang tua terhadap anak dengan membuat akta hibah oleh pejabat yang berwenang dengan besarannya sesuai dengan Pasal 210 KHI. Apabila penerima hibah merupakan anak di bawah umur maka pengurusannya dapat dilakukan melalui perwakilan orang tua atau perwalian. Selain itu, penerima hibah dapat mengajukan gugatan ke pengadilan atas dibatalkannya akta hibah. Adapun saran yang dapat diberikan bahwa Hibah tidak mengenal adanya pengikatan, penulis menyarankan kepada majelis hakim untuk memerintahkan kepada para pihak segera membuat Akta Hibah. Orang tua yang ingin melakukan hibah kepada anaknya sebaiknya memahami tujuan dari hibah agar tidak terjadi penarikan hibah. Notaris dalam membuat akta hendaknya mengikuti ketentuan yang berlaku karena akta autentik yang dibuat sangat berpengaruh kepada berbagai pihak.
The process of parental grants to children should be carried out with good intention in order to avoid the possible consequences of withdrawing the grant. The existence of the opportunity to withdraw the grant creates no legal certainty for the recipient of the grant. The problem in this research is concerning the analysis of the judge's consideration in the cancellation application of the parental grant binding deed to the child based on the Bengkulu Religious High Court Decision Number 25/Pdt.G/2019/PTA.Bn and the legal protection for the grant recipient due to the notary’s negligence in the parental grant binding deed to the children. To answer the problems, normative legal research method is used with explanatory typology. The analysis result is that the panel of appellate degree judges does not completely cancel the decision of the first-degree judge and simply corrects the inaccurate decision by giving 1/3 of the assets to the grant recipient and returned the rest to the grantor in accordance with Clause 210 of the KHI. Legal protection of grant recipients in the agreement to bind parental grants towards the children by making a grant deed by an authorized official with the determined amount according to Clause 210 of the KHI. If the grant recipient is a minor, the arrangement can be done through parent's representative or guardian. In addition, the grant recipient could file a lawsuit to the court for the cancellation of the grant deed. As for the suggestions that can be given are that the Grant is not bindable, the author suggests to the panel of judges to order the parties to immediately make a Grant Deed. Parents who want to make grants to their children should understand the purpose of a grant so that there won’t be a withdrawal of the grant. The notary, in making a deed, should follow the applicable regulations because the making of an authentic deed is very influential to various parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Afifah Nabila Putri
"Tulisan ini menganalisis mengenai keabsahan Akta Pengikatan Hibah berdasarkan perpektif hukum Islam dan dampak yang mungkin terjadi sebelum dibuatkan Akta Hibah oleh PPAT. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode doktrinal. Akta Pengikatan Hibah dibuat dihadapan Notaris ditujukan sebagai alat bukti perjanjian para pihak dalam melaksanakan hibah dikemudian hari. Saat ini, belum ada pengaturan mengenai Akta Pengikatan Hibah yang membuat ambiguitas dikalangan masyarakat. Akta Pengikatan Hibah Nomor 7 yang dibuat dihadapan Notaris di Kota Bandung terdapat beberapa kejanggalan. Berdasarkan perspektif Hukum Islam, Akta Pengikatan Hibah dinilai melalui prinsip akad dan wa’ad. Akta Pengikatan Hibah berdasarkan prinsip akad dapat dipersamakan seperti Akta Hibah. Sedangkan, Akta Pengikatan Hibah berdasarkan prinsip wa’ad dipersamakan dengan Akta Pengikatan Hibah. Meskipun keabsahan penghibahan secara Hukum Islam belum dapat menjadi alat bukti pengalihan hak atas tanah berdasarkan yuridis di Indonesia. Dalam hal belum sempat dibuatkannya Akta Hibah, jika terdapat salah satu pihak meninggal dunia secara prinsip akad tidak membatalkan penghibahan. Namun, berdasarkan prinsip wa’ad, Akta Pengikatan Hibah dapat dijadikan bukti untuk melakukan mediasi kepada ahli waris penghibah. Apabila terjadi ingkar janji atau perizinan tidak bebas, pihak yang dirugikan dapat melakukan upaya penetapan pengadilan, meminta ganti rugi, atau pembayaran denda.
This writing analyzes the validity of the Deed of Gift Agreement from the perspective of Islamic law and the potential impacts that may arise before the creation of a Deed of Gift by a Land Deed Official (PPAT). The study employs a doctrinal method. The Deed of Gift Agreement, made before a Notary, serves as evidence of the agreement between the parties to carry out the gift in the future. Currently, there are no specific regulations regarding the Deed of Gift Agreement, which has created ambiguity among the public. Deed of Gift Agreement Number 7, drawn up before a Notary in Bandung, contains several irregularities. From the perspective of Islamic law, the Deed of Gift Agreement is assessed through the principles of akad (contract) and wa’ad (promise). Based on the akad principle, the Deed of Gift Agreement is comparable to a Deed of Gift. Meanwhile, based on the wa’ad principle, the Deed of Gift Agreement is considered equivalent to a promise of a gift. Although the validity of gifting under Islamic law does not yet serve as legal evidence for the transfer of land rights under Indonesian jurisdiction, it can still have implications. If a Deed of Gift has not yet been created and one of the parties passes away, the gifting process, under the akad principle, remains valid and is not annulled. However, under the wa’ad principle, the Deed of Gift Agreement can be used as evidence to mediate with the heirs of the donor. In cases of breach of promise or lack of free consent, the aggrieved party may pursue legal measures, such as a court ruling, compensation, or penalty payment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ametia Rahma Badiamurni
"
ABSTRAK Sejatinya sebuah Pengikatan tidak dilarang dalam Hukum di Indonesia namun yang menjadi pertanyaan siapakah yang berhak atau berwenang untuk membuat sebuah Akta Pengikatan Hibah apakah Notaris atau PPAT, karena mengingat bahwa Menurut Pasal 15 ayat 2 huruf f UU No. 30 tahun 2004, seorang Notaris berwenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan akta-akta pertanahan. Sebaliknya di RUU Perubahan Jabatan Notaris, pasal 15 ayat 2 huruf f dihapuskan. Jadi, Notaris tidak berwenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan akta yang berkaitan dengan pertanahan. Perubahan ini dibuat untuk mencegah ketidak pastian status hukum. Oleh sebab itu, Apakah Hukum di Indonesia memperbolehkan pembuatan akta Perjanjian Pengikatan Hibah? Siapakah pejabat yang berhak membuat akta Pengikatan Hibah? Bagaimanakah bentuk akta pengikatan hibah serta upaya yang harus diperhatikan Notaris/ PPAT untuk memenuhi kepentingan para pihak dalam pembuatan Akta Pengikatan Hibah? Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil Penelitian, yaitu Perjanjian Pengikatan Hibah dapat digunakan dalam Peralihan Hak Benda Tidak Bergerak maupun Benda Bergerak apabila memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu, Persyaratan Perjanjian yang tertera dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pejabat yang berhak membuat Perjanjian Pengikatan Hibah adalah Notaris Karena subjek dalam Perjanjian Pengikatan Hibah berisi mengenai Perjanjian Pendahuluan yang berisi mengenai pengikatannya saja bukan mengenai Objek Peralihan atas suatu Hak, dan Upaya yang harus di lakukan oleh Notaris dalam Pembuatan Perjanjian Pengikatan Hibah adalah Notaris tidak boleh membela hanya satu pihak karena Notaris adalah Pejabat Umum yang bertugas melayani masyarakat.
ABSTRACTIndeed an Engagement is not prohibited in Law in Indonesia but it is the question of who is entitled or authorized to make a Grant Engagement Deed whether a Notary or PPAT, because remembering that According to Article 15 paragraph 2 letter f Law No. 30 of 2004, a Notary is authorized to make deeds relating to land deeds. On the contrary in the Notary Change of Position Bill, article 15 paragraph 2 letter f is abolished. So, the Notary is not authorized to make deeds relating to deeds relating to land. This change was made to prevent uncertainty of legal status. Therefore, does the law in Indonesia allow for the deed of a Grant Agreement Agreement? Who are the officials who have the right to make a Grant Engagement Certificate? What is the form of the deed of binding of grants and the efforts that must be considered by the Notary / PPAT to fulfill the interests of the parties in making the Grant Engagement Deed? This research is a normative juridical study using secondary data, in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. Research Results, namely the Grant Engagement Agreement can be used in the Transition of the Rights of Immovable Objects and Moving Objects if they meet the applicable laws and regulations in Indonesia, namely the Agreement Requirements stated in Article 1320 of the Civil Code, Officials entitled to make an Engagement Agreement The grant is a Notary because the subject in the Grant Engagement Agreement contains the Preliminary Agreement which contains only its binding not regarding the Transition Object of a Right, and the Efforts that must be made by the Notary in the Making of a Grant Engagement Agreement are not only one party because the Notary is General Officers in charge of serving the community."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51809
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Simarmata, Yustisia Setiarini
"Hibah sejatinya dilakukan saat pemberi dan penerima hibah masih hidup, namun ada kalanya terdapat hambatan untuk membuat akta hibah sehingga dibuat perjanjian pendahuluan hibah, atau biasa dikenal dengan akta pengikatan hibah. Akta pengikatan hibah menjadi masalah ketika pada perjalanannya, penghibah sudah meninggal saat terjadinya hibah. Di lain pihak, akta wasiat merupakan kehendak bebas seseorang terhadap harta peninggalannya ketika ia meninggal kelak. Meski akta wasiat merupakan kehendak bebas dari seseorang, namun undang-undang memberikan batasan-batasan terhadap akta wasiat termasuk kepada istri dari perkawinan kedua. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai kekuatan akta perjanjian pengikatan diri untuk melakukan penghibahan sebagai dasar pembuatan akta hibah apabila penghibah meninggal dunia dan bagaimana kedudukan akta wasiat yang melebihi perolehan istri dari perkawinan kedua. Agar dapat menjawab permasalahan tersebut digunakanlah metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil analisis adalah akta perjanjian pengikatan diri untuk melaksanakan penghibahan tidak dapat dijadikan dasar pembuatan akta hibah setelah penghibah meninggal dunia karena tidak sesuai dengan prinsip hibah itu sendiri dan akta wasiat yang isinya melebihi bagian yang seharusnya diperoleh istri dari perkawinan kedua menjadi tidak dapat dilaksanakan. Hendaknya pihak yang akan melepaskan haknya, atau penghibah, melampirkan surat pernyataan persetujuan dari para ahli waris atas hibah yang dilakukan olehnya. Notaris diharapkan dapat turut aktif memberikan penyuluhan hukum terkait Legitieme Portie dan batasan-batasan dalam pemberian wasiat.
Grants are actually made when the giver and recipient of the grant are still alive, but there are times when there are obstacles to making a grant deed so that a preliminary grant agreement is made, or commonly known as a grant binding deed. The deed of grant binding became a problem when on its way, the grantor had died during the grant. On the other hand, a will is a person's free will for his inheritance when he dies later. Even though a will is the free will of a person, the law places limitations on wills including wives from second marriages. The issues raised in this study are regarding the strength of the deed of binding agreement to make a grant as the basis for making a grant deed if the grantor dies and how the position of the will deed exceeds the acquisition of the wife from the second marriage. In order to be able to answer these problems, normative juridical research methods are used with analytical descriptive research types. The result of the analysis is that the deed of binding agreement to carry out the gift cannot be used as the basis for making the deed of grant after the grantor dies because it is not in accordance with the principle of the grant itself and the will deed whose contents exceed the portion that should have been received by the wife from the second marriage cannot be implemented. The party that will relinquish his rights, or the grantor, should attach a statement of approval from the heirs for the grant made by him. Notaries are expected to be able to actively participate in providing legal counseling related to Legitieme Portie and limitations in granting wills."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library