Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Neng Tasih
"Penelitian ini bertujuan menggambarkan kebijakan pengendalian pemanfaatan air tanah di Kabupaten Sukabumi dan kendala yang dihadapi dalam melakukan pengendalian. Penelitian kualitatif ini menggunakan pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan studi dokumen. Hasil penelitian ini menemukan bahwa Pemerintah Kabupaten Sukabumi mengeluarkan tiga kebijakan terkait pengendalian pemanfaatan air tanah. Kebijakan pertama adalah Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No 14 Tahun 2010 Tentang Air Tanah. Bagian penting dari peraturan daerah tersebut adalah perizinan, kegiatan pengendalian dan pengawasan. Kebijakan kedua adalah Peraturan Bupati No 28 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Perhitungan Nilai Perolehan Air (NPA) yang di dalamnya mengatur denda bagi pemegang izin yang menggunakan air tanah melebihi debit yang diizinkan. Kebijakan ketiga adalah Keputusan Bupati No 546.2/Kep.430- DPESDM/2013 Tentang Harga Air Baku (HAB) yang menetapkan kenaikan HAB, dan kendala yang dihadapi dalam melakukan kebijakan tersebut adalah perubahan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang berdampak pada hilangnya kewenangan Kabupaten Sukabumi dalam melakukan pengendalian air tanah.

This study describes about the policy of controlling the use of groundwater in Sukabumi and its obstacles. This study using qualitative method by in-depth interviews and literarure study. The results of this study found that the Government of Sukabumi issued Results of the study found that the Government of Sukabumi issued three related policies controlling the use of groundwater. The first policy is Local Regulation No 14 Year 2010 about Groundwater. An important part of the local legislation is the licensing, monitoring and control activities. The second policy is the Regent Regulation No 28 Year 2011 about Procedure for Calculating the Value of Acquisition of Groundwater (NPA) in which set fines for license holders who use groundwater exceed the permitted discharge. The third policy is the Regent Decree No546.2/Kep.430-DPESDM /2013 about Standard Water Price (HAB) which sets the rise of HAB, and the obstacles encountered in conducting the policy is a change of Law No. 32 of 2004 into Law No. 23 of 2014 which impact to the loss of authority in Sukabumi Regency to control groundwater.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Omar Mohtar
"Penelitian ini membahas perkembangan rancang bangun Bendung Katulampa yang ada di Buitenzorg pada 1910 hingga 1912. Sebelum tahun 1911, Bendung Katulampa dibangun dari bahan yang mudah rusak, sehingga Departemen BOW (Burgerlijke Openbare Werken) kerap melakukan perbaikan terhadap bangunan bendung. Pada 1905 hingga 1910, departemen BOW melakukan perbaikan menggunakan usulan dari Ir. P.L. van Blanken dan Ir. van Rossum yang memperkuat struktur bendung dengan keranjang besi yang diperkuat dengan bebatuan. Meskipun sudah diperkuat, bendung kembali rusak pada tahun 1910. Ir. Herman van Breen kemudian mengusulkan pembangunan Bendung Katulampa yang baru dengan menggunakan campuran batu dan semen atau beton yang dilengkapi dengan pintu air untuk mengatur aliran Sungai Ciliwung. Setelah disetujui oleh pemerintah, Departemen BOW memulai pembangunan dengan dana 66.200 gulden yang dikerjakan pada April 1911 hingga Oktober 1912. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengapa Pemerintah Hindia Belanda kemudian memutuskan untuk membangun ulang Bendung Katulampa. Dari permasalahan tersebut muncul beberapa pertanyaan penting yang diajukan, yaitu apa faktor-faktor yang membuat Bendung Katulampa dibangun ulang oleh Departemen BOW? dan bagaimana perkembangan rancang bangun Bendung Katulampa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, digunakan metode sejarah. Dari hasil analisis, Bendung Katulampa yang baru dibangun karena kenaikan debit air Sungai Ciliwung dan bahan bendung yang tidak dapat bertahan lama. Bahan awal yang menggunakan keranjang dan bebatuan kemudian berkembang dan digantikan dengan beton.

This research discusses the design development of the Katulampa Weir in Buitenzorg from 1910 to 1912. Before 1911, the Katulampa Weir was built from materials that were easily damaged, so the BOW Department (Burgerlijke Openbare Werken) often made repairs to the weir building. In 1905 to 1910, the BOW department made improvements using design from Ir. P.L. van Blanken and Ir. van Rossum by strengthening the weir structure with iron baskets reinforced with rocks. Even though it had been strengthened, the weir was damaged again in 1910. Ir. Herman van Breen then suggested that the new Katulampa Weir built using a mixture of stone and cement or concrete equipped with a sluice to regulate the flow of the Ciliwung River. After being approved by the government, the BOW Department started construction with funds of 66,200 guilders which was carried out from April 1911 to October 1912. The problem discussed in this research is to know why the Dutch East Indies Government decide to rebuild the Katulampa Weir. From these problems a number of important questions emerged, namely what were the factors that caused the Katulampa Weir to be rebuilt by the BOW Department? and how is the development of the Katulampa Weir? To answer this question, the historical method is used. From the results of the analysis, the newly built Katulampa Weir was due to an increase in the water discharge of the Ciliwung River and the materials of the weir could not last long. The initial material that used baskets and rocks then developed and was replaced with concrete."
Depok: Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya Universitas Indonesia;, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Aulia Rakhman
"ABSTRAK
Penataan ruang kota berperan dalam upaya pengendalian pemanfaatan air
bawah tanah yang dilakukan guna menghindari terjadinya kerusakan kuantitas
dan kualitas air bawah tanah akibat pemanfaatan air bawah tanah yang tidak
terkendali. Penataan ruang di Kawasan Bandung Utara (KBU) seharusnya
disertai dengan aspek pengawasan yang berfungsi untuk mengendalikan dan
menjaga agar pelaksanaannya sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Pengendalian penataan ruang kota yang akan berpengaruh kepada pemanfaatan
air bawah tanah dilakukan untuk menjaga kelestarian, kesinambungan,
ketersediaan, daya dukung, fungsi air tanah, serta mempertahankan keberlanjutan
pemanfaatan air tanah.
Dalam pelaksanaannya, implementasi Peratuan Daerah Provinsi Jawa
Barat Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan
Bandung Utara (KBU) sebagai pengendalian pemberian perizinan pengelolaan air
bawah tanah di Kawasan Bandung Utara (KBU), Jawa Barat belum berjalan
seperti sebagaimana yang diharapkan, dalam proses pengendalian perizinan
masih terdapat kendala-kendala yang menyebabkan proses pengendalian
perizinan ini belum dapat berjalan dengan baik, kendala tersebut selain berasal
dari pihak pemerintah, juga disebabkan oleh kurang pahamnya masyarakat
tentang pentingnya pelestarian sumber air baku air bawah tanah.

ABSTRACT
City spatial planning plays a role in efforts to control the use of
underground water in order to avoid damage to the quantity and quality of
groundwater due to uncontrollable utilization of underground water. Spatial
planning in the area of North Bandung Area (KBU) should be accompanied by
monitoring aspect that serves to control and keep the implementation in
accordance with applicable laws. Control of the city spatial planning that will
affect the utilization of underground water to maintain the preservation,
continuity, availability, carrying capacity, soil water function, as well as
maintain the sustainability of groundwater utilization.
The implementation of the Norm of West Java Province No. 1 of 2008 on
Control of Land Use in North Bandung Area ( KBU ) as granting permit control
the management of underground water in the area of North Bandung Area ( KBU
), West Java as not running as expected , in the process of permit control, there
are many obstacles that cause the permit control process can not run well. The
constraints, beside from government, is also caused by lack of understanding of
the public about the importance of conservation of underground water resources."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library