Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Albertus Harsawibawa
"Tujuan penelitian ini adalah memberikan insight atas sesuatu yang terjadi di dalam diri pengamat ketika ia berhadapan dengan sebuah Objek estetis. Kejadian itu disebut pengalaman estetis. Dengan menggunakan perspektif dan metode yang agak berbeda dengan pada umumnya, penelitian ini berhasil mendapatkan wawasan baru atas pengalaman estetis.
Ada sejumlah pemikiran dari para filsuf besar mengenai pengalaman estetis: Pengalaman estetis merupakan pengalaman yang berbeda dengan pengalaman biasa (Dewey). Dalam kejadian itu subjek-pengamat mengalami keadaan yang "tidak wajar" (Aritstoteles, Aquinas dan Schoggnhnuer); di dalam dirinya terjadi perubahan tertentu dimana objek biasa rnenjadi objek estetis (Bullough). Dan semua itu dimungkinkan karena di dalam dirinya ada fakultas tertentu yang "menjelaskan" apa yang dihadapinya itu (Kant).
Walaupun pengalaman estetis sifatnya sangat subjektif tetapi ia tidak dapat dilepaskan dari "dunia luar" (Beardsley). Itulah sebabnya untuk menghasilkannya objek harus dipandang sebagai sesuatu yang memiliki "wajah- wajah" tertentu (Aristoteleg, Aguinas, Q; dan QL), dan objek yang hadir di dalam diri kita dipandang secara virtual (Langer).
Perspektif yang penulis gllilakan dalam penelitian ini adalah kesadaran - dalam hal ini adalah phenomenal consciousness. Dengan perspektif ini berhasil dikuaklah aspek terdalam dari pengalaman estetis; dengan sifamya yang menunjuk pada "what-it-is-like" dari sesuatu yang dialami oleh seseorang, ia berhasil menunjukkan bahwa pengalaman estetis memiliki segi-segi: unity, intensionalitas, struktur Gestalt, perbedaan antara the Centre dan the Periphery, mood, qualitativeness dan pleasurel unpleasure.
Dengan menggunakan phenomenal consciousness sebagai perspektif maka dibutuhkanlah sebuah metode yang juga agak berbeda dari yang umum dikenal. Pandangan umum mengatakan bahwa Fenomenologi adalah metode yang paling pantas untuk menelaah pengalaman estetis, dan penelitian ini menunjukkan bahwa Fenomenologi memang mampu untuk menguak apa yang terjadi di dalam pengalaman estetis. Tetapi ia tidak berhasil menunjukkan bagaimana semua itu bisa terjadi. Untuk itu dibutuhkanlah Heterofenomenologi.
Dengan Heterofenomenologi sebagai prinsip dan dibantu dalam tataran implementasi oleh "Model Teater" dari Baars (1997) berhasil ditunjukkanlah bahwa di dalam pengalaman estetis terdapat "titik berangkat" (berbicara mengenai proses "penangkapan" objek estelis), (berbicara mengenai realitas baru [di dalam diri pengamat] yang dihasilkan oleh objek estetis), "pemain di panggung" (berbicara mengenai sumber-sumber pengalaman estetis, yaitu: indera, ide, tatanan [cerita dan bunyi], imaji, pleasurel displeasure dan feeling), "sportlight of attention" (berbicara mengenai arah perhatian nada sam tink di dalam menghadapi objek estetis), "konteks di belakang panggung" (berbicara mengenai "dunia" dalam Fenomenologi), dan "penonton" (berbicara mengenai permainan hal-hal tertentu di otak pengamat dalam membangun pemahamannya mengenai objek esetis)."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D1592
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Hawa
"Penelitian ini membahas penyelidikan black humour sebagai pengalaman estetis. Pada umumnya black humour hanya dianggap sebagai sesuatu yang sekedar menimbulkan tawa semata serta tidak dilihat sebagai sesuatu yang layak untuk dibahas dalam dunia akademis karena sifatnya yang dianggap hanya sebagai suatu yang `main-main` atau tidak serius. Jarang adanya penyelidikan filosofis terkait black humour, padahal black humour merupakan fenomena yang dekat dengan kehidupan manusia dan kita dapat menemukannya dimana-mana. Penulis melihat bahwa black humour memiliki makna yang lebih luas untuk digali secara filosofis. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini diantaranya, apa definisi dari black humour dan bagaimana black humour dapat dikatakan sebagai pengalaman estetis. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis menggunakan metode kualitatif berupa analisis kritis sebagai alat untuk menganalisis secara kritis pemikiran para pemikir yang tertuang di dalam beberapa sumber bacaan. Hasil analisis ditemukan bahwa black humour dapat menghasilkan pengalaman estetis yang unik bagi penikmatnya lewat penyajian suatu topik tabu yang dikemas dalam suatu lelucon dengan cara menentang logika berpikir umum, dimana pengalaman estetis yang ditimbulkan dapat  merangsang kita untuk memperkaya pandangan kita terhadap dunia. 

This research examines about the investigation of black humour as aesthetic experience. In general, black humour is only regarded as something that causes laughter and is not seen as something that deserves to be discussed in the academic world because of its nature which is considered only as a "playful" or not serious. There is rarely a philosophical investigation related to black humour, even though black humour is a phenomenon that is close to human life and we can find it everywhere. The author sees that black humour has broader meaning to be explored philosophically. Questions to be answered in this study include, what is the definition of black humour and how black humour can be said to be aesthetic experience. To answer this question the writer uses qualitative methods in the form of critical analysis as a tool to critically analyze the thoughts of thinkers contained in several reading sources. The results of the analysis found that black humor can produce a unique aesthetic experience for the audience through the presentation of a taboo topic that is packaged in a joke by opposing the logic of general thinking, where the aesthetic experience that is generated can stimulate us to enrich views we are towards the world."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rezkita Gustarachma Astari Suhendar
"Dalam konteks perkembangan industri media massa, tantangan para fotografer (fotojurnalis) di era digital berhadapan dengan tuntutan nilai objektivitas dan proses manipulasi visual jurnalisme. Representasi pada fotojurnalisme terkandung dalam salah satu bentuk dari estetika jurnalisme. Penulis memandang bahwa hasil karya fotojurnalisme dapat mengupayakan cara para fotografer memilih untuk menggunakan fotografi sebagai 'a different way of seeing'. Tulisan ini menawarkan pentingnya meninjau kembali terhadap membangun sikap intensional dalam proses penciptaan fotografi jurnalistik. Melalui metode distingsi konseptual, tulisan ini menawarkan bagaimana nilai fotojurnalisme tidak terlepas dari pengalaman estetis fotografer dengan melibatkan peran emosi dan narasi dalam sebuah fotografi. Lebih lanjut, tulisan ini akan bertumpu pada pemikiran Mikel Dufrenne mengenai The Phenomenology of Aesthetic Experience sebagai teori utama. Kemudian dengan metode fenomenologi digunakan untuk memperlihatkan bagaimana proses performatif pada karya fotojurnalisme ini dipengaruhi oleh kemampuan seseorang mengeksplorasi gestur secara intensional, diikuti dengan pengalaman estetis sebagai Welstanchauung seorang fotografer. Alhasil, tulisan ini berusaha untuk mengartikulasi peran pengalaman estetis subjektif terlibat dalam membentuk representasi fotojurnalisme yang bekerja secara intersubjektif.

In the context of the development of the mass media industry, the challenges of photographers (photojournalist) in the digital age are faced with demands for objectivity and the process of manipulation of visual journalism. Representation of photojournalism is embodied in one form of journalism aesthetics. The author considers that the work of photojournalism can work out the way photographers choose to use photography as "a different way of seeing". This article offers the importance of revisiting towards building intentional attitudes in the process of creating journalistic photography. Through the conceptual distinction method, this article offers how the value of photojournalism is inseparable from the photographer's aesthetic experience by involving the role of emotion and narrative in photography. Furthermore, this article will rely on Mikel Dufrenne's The Phenomenology of Aesthetic Experience as the main theory. Then, the phenomenological method is used to show how this performative process in photojournalism influenced by one's ability to explore gestures intentionally, followed by aesthetic experience as a photographer’s Welstanchauung. As a result, this article seeks to articulate the role of subjective aesthetic experiences involved in forming photojournalism representation that work intersubjectively."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Hanan
"Akses karya seni dalam produksi dan distribusinya sangat mudah di era teknologi massa sekarang ini dengan bantuan komputer, smartphone, dan internet. Mudahnya aksesibilitas terhadap karya seni semakin didukung dengan keberadaan aplikasi seperti Instagram, Twitter, Tiktok, Youtube, dan lain-lain yang berperan sebagai media platform publik bagi masyarakat. Kondisi di mana seni menjadi produk massal dianggap sudah kehilangan aura oleh Walter Benjamin karena keberadaan teknologi massa yang menghilangkan originalitas karya seni. Maka apakah masih ada aura pada karya seni di era kontemporer? Dengan menggunakan metode analisis kritis penulis hendak memaparkan bahwa aura dalam karya seni, penulis menemukan pandangan Benjamin ini condong pada persoalan eksklusivitas, masih dapat hadir pada karya seni era kontemporer. Dalam memaparkannya, penulis akan menggunakan salah satu fenomena karya seni media sebagai konteks seni kontemporer dan menjelaskan konsep aura sebagai aspek nilai yang lahir dari pengalaman estetis subjek. Dilanjutkan dengan penjelasan bagaimana hadirnya pengalaman estetis ketika subjek ‘bertemu’ dengan karya seni media, yang akan dicontohkan dengan fanart sebagai salah satu bentuk seni media. Kemudian penulis akan menggunakan teori filsafat persepsi Bence Nanay untuk membangun argumen dalam menjawab pertanyaan tersebut, di mana ia menekankan pentingnya fokus perhatian subjek ketika bertemu dengan karya seni sehingga dapat menghadirkan pengalaman estetis sebagai aura.

The access to artwork in its production and distribution is very easy in today's era of mass technology with the help of computers, smartphones and the internet. The easy accessibility to artworks is increasingly supported by the existence of applications such as Instagram, Twitter, Tiktok, Youtube, and others that act as a media platform for public. Today’s artworks, when artworks become mass products, is considered to have lost its aura by Walter Benjamin. It is because of the existence of mass technology which eliminates the originality of works of art. Therefore, is there still aura in contemporary artworks? By using a critical analysis method, the author wants to explain that the aura of artwork, the author found that Benjamin's view was leaning towards the issue of exclusivity, can still be present in contemporary artworks. In delivering it, the writer will use media art phenomenon as the context of contemporary art and explain the concept of aura as an aspect of value that is present from the subject’s aesthetic experience. Then proceed with an explanation of how the presence of aesthetic experience when the subject 'meets' with media art, which will be exemplified by fanart as a form of media art. Afterwards, the author will use the theory philosophy of perception by Bence Nanay to build the arguments in answering these questions, where he stresses the importance of focusing the subject's attention when meeting artworks so that it can bring out aesthetic experiences as aura. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novian Tiffany Puspa Arum Dhini
"Pengalaman estetis akan musik tidak selalu mengenai musik yang indah. Luigi Russolo sebagai seorang komposer Futuris abad ke 19 telah membuktikannya dengan berbagai karya noise music dan manifesto berjudul The Art of Noise. Noise music pada abad Kontemporer tumbuh menjadi aliran musik tersendiri yang banyak menuai polemik mengenai status estetisnya. Metafor di sini kemudian dijadikan wahana mensiasati pengalaman estetis intersubjektif dari noise music tersebut. Mengapa metafor dan pengalaman estetis seperti apa yang dimaksudkan? Analisis konseptual terhadap noise serta refleksi filosofis dari pengalaman estetis itu sendiri yang dilakukan dalam penulisan ini, berusaha membuka pemahaman baru mengenai musik serta estetika secara keseluruhan.

Aesthetic experience of music is not only about beautiful music. Luigi Russolo as a Futurist composer in 19th century has proved it with many pieces of noise music and manifesto titled The Art of Noise. In this postmodern era, noise music then grows become a polemic genre on its aesthetic status. Here then, metaphor being mode of inter subjective aesthetic experience from that noise music. Why metaphor and which aesthetic experience means? The conceptual analysis to noise with philosophical reflection from that aesthetic experience itself, due in this writing to try to open a new perception about music also aesthetic as a whole.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library