Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Jakarta: Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Pembangunana Nasional, 2004
345.023 IND c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Tatanusa, 2006
346.048 HIM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
KAJ 9:3 (2004) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Apria Ivoni Suci
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan dari Pengadilan Niaga dalam memutus Perkara Klaim Penjaminan Simpanan sebagaimana putusan Nomor 05/Gugatan Lain-lain/2011/PN.NIAGA.JKT.PST. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundang-undangan dan buku. Hasil dari penelitian ini diperoleh kesimpulan yang menjawab permasalahan, yaitu bahwa Pengadilan Niaga berwenang untuk mengadili perkara klaim penjaminan simpanan, namun sebelum menentukan apakah Pengadilan Niaga berwenanag atau tidak perlu diteliti lebih dalam lagi apa saja dasar yang menjadikan Pengadilan Niaga berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara dan selain itu pihak Majelis Hakim dalam kasus ini juga harus lebih memperkaya pengetahuannya dalam memutus perkara, karena perkara klaim penjamina simpanan tidak termasuk ke dalam perkara yang pembuktiannya sederhana seperti yang umum ditemui apabila berpekara di Pengadilan Niaga, oleh karena itu inia dalah tantangan tersendiri bafi Majelis Hakim yang menjalaninya. ...... This study aims to determine the authority of the Commercial Court in deciding Deposit Insurance Claim Case No. 05/Gugatan Lain-lain/2011/PN.NIAGA.JKT. PST as the verdict. This research is a normative juridical law using secondary data, such as legislation and books. The results of this study concluded that answered the problem, namely that the Commercial Court is authorized to hear the case of deposit insurance claims, but before the Commercial Court the authority to determine whether or not needs to be investigated more deeply what makes the foundation of the Commercial Court is authorized to examine and rule on cases and other than that the judge in this case should also be enriched his knowledge in deciding the case, because the case of deposit insurance claims do not belong to a simple proof in cases such as commonly encountered when litigating in the Commercial Court, therefore this is a challenge for the judges who live it.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45888
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Saptiana Dewi
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang bagaimana suatu perdamaian yang disahkan oleh pengadilan niaga mengikat kepada para pihak yang tidak ikut menyetujui perdamaian tersebut, utamanya terhadap kreditor separatis yang tidak hadir dalam rapat pembahasan dan pengambilan keputusan perdamaian, serta terhadap pemegang saham debitor. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan hasil penelitian deskriptif-analitis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perdamaian yang disahkan oleh pengadilan niaga seharusnya tidak mengikat bagi kreditor separatis yang tidak hadir dalam rapat pembahasan dan pengambilan keputusan perdamaian, namun bersifat memaksa mengikat pemegang saham dalam kaitannya dengan pemberian persetujuan RUPS.
ABSTRACT
This thesis provides an overview of how reorganization plan approved by the commercial court, binding to the parties who have not acceded the plan, primarily to secure creditors who have not attended the discussion meeting and decision making of the plan, as well as the debtor?s shareholders. This research is a qualitative with result of descriptive-analytical research. The result of this research shows of how the reorganization plan approved by the commercial court should not be binding to the secure creditors who have not attend the discussion meeting and decision making of the plan, but it is forced to bind shareholders approval on General Meeting of Shareholders.
2013
S47340
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Pratama
Abstrak :
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama merupakan satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah secara litigasi. Hal ini juga didukung dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Namun demikian, terdapat ketidakpastian hukum mengenai kewenangan penyelesaian perkara kepailitan yang timbul dari kegiatan ekonomi syariah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang merupakan produk hukum Mahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, menyatakan bahwa kewenangan untuk menjatuhkan putusan pailit/taflis, sebagai kewenangan Pengadilan/Mahkamah Syar'iyah dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan kepailitan itu sendiri sejatinya secara tegas dinyatakan sebagai kewenangan Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. Sehingganya, perkara-perkara kepailitan yang timbul dari kegiatan ekonomi syariah, sampai saat ini diadili di Pengadilan Niaga. Adapun pengaturan kepailitan yang digunakan untuk menyelesaikan perkara di Pengadilan Niaga, hingga saat ini tidak memperhatikan prinsip-prinsip syariah yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dengan demikian, sangatlah diperlukan pengaturan kepailitan ekonomi syariah yang secara tegas mengatur tata cara penyelesaian perkara ini sesuai dengan prinsip syariah serta pengadilan yang berwenang menyelesaikannya. ......Law of The Republic of Indonesia Number 3 of 2006 on Amendment to Law Number 7 of 1989 on Religious Courts, states the religious court as the only judiciary institution with exclusive jurisdiction to litigate sharia economic based cases. This provision also supported by Regulation of The Supreme Court Number 14 of 2016 on sharia economic cases settlement procedures and Circular Letter of The Supreme Court Number 2 of 2019 on Enactment of 2019 Supreme Court Chamber Plenary Meeting Results as The Guidelines for Court Duties Implementation. However, there is some uncertainty regarding competence or jurisdiction over bankruptcy cases that stemmed from sharia economic activities. The Sharia Economic Law Compilation which is a product of the Supreme Court Regulation, stipulates that the Religious Courts has the authority to issue sharia economic based bankruptcy judgement/Taflis. On the other hand, Law of the Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations and Book II of Implementation of Court Duties and Administration Guidelines, explicitly states that bankruptcy itself is a part of commercial court jurisdiction. Thus, bankruptcy cases that stemmed from sharia economic activities are being settled in commercial court. For that matter, the set of laws that are implemented in commercial court to settle those kinds of bankruptcy cases, are not specifically sharia compliant. Therefore, it is urgent that a sharia compliant law which specifically provides the procedures on these kinds of bankruptcy cases be enacted.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Annas Syahdio
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai kewenangan Pengadilan Niaga dalam kepailitan asuransi syariah menurut UU 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan PKPU yang menjadi sebuah diskursus tersendiri dalam paradigma perluasan kewenangan Pengadilan Agama serta ketentuan kepailitan syariah (taflis) dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Utang menurut hukum kepailitan di Indonesia didefinisikan secara luas mencakup setiap kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, dan utang menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga setiap kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang. Berbeda dengan asuransi konvensional di mana pertanggungan terjadi antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis, dalam asuransi syariah pertanggungan terjadi di antara para pemegang polis dengan perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola dana tabarru'. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan atas akibat dan penyelesaian perbedaan arti utang secara konvensional dan syariah. Pertanyaan tersebut pernah dihadapi oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan kepailitan terhadap PT Asuransi Syariah Mubarakah yang akan diulas dalam penelitian ini. ......This study discusses about the Commercial Court's competence in sharia insurance bankruptcy according to UU 37 of 2004 which has become a discussion under the expansion of Religious Court's competence and sharia bankruptcy (taflis) terms under Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Debt under the Indonesian Bankruptcy Law is defined broadly to include any obligation that is or can be stated in monetary amount, and under Sharia Economic Law Compilation debt is also defined as any obligation that is or can be stated in monetary amount. Contrary to Conventional Insurance where insurance occurs between the policy holder and the Conventional Insurance Company, Sharia Insurance occurs between the policy holder themselves with Sharia Insurance Company acts as the administrator of tabarru' fund. It raises questions as to the implication and adjudication of conventional and sharia debt differences. That question was faced by the Commercial Court at Central Jakarta District Court who checks and decides the bankruptcy of PT Asuransi Syariah Mubarakah which will be further discussed in this study.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Unique Putrinda
Abstrak :
Para pelaku usaha semakin banyak melakukan transaksi dagang yang sifatnya lintas batas negara atau dikenal dengan perdagangan internasional. Salah satu bentuk transaksi dagang yang dilakukan pembiayaan usaha dagang yang dituangkan dalam perjanjian utang-piutang. Perbedaan yuridiksi hukum tidak membatasi dilaksanakannya suatu perjanjian, yaitu perjanjian yang dilakukan diantara diantara Badan Hukum Indonesia dan Badan Hukum Asing. Adanya perbedaan yuridiksi tersebut menimbulkan permasalahan, yaitu hukum mana yang mengatur serta forum mana yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak, dimana masing-masing negara memiliki aturan hukumnya sendiri. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi bila salah satu pihak mengajukan upaya hukum penyelesaian sengketa melalui permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga. Permasalahan timbul karena terdapat dua kewenangan pengadilan niaga dari dua negara berbeda untuk mengadili perkara kepailitan, dimana Debitur merupakan Badan Hukum Asing yang memiliki yuridiksi hukum di luar negeri dan tidak memiliki kegiatan usaha yang dilakukan di suatu kantor pusat di Indonesia. Sementara di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak mengatur mengenai dengan jelas permasalahan kepailitan antara negara tersebut atau yang dikenal dengan kepailitan lintas batas negara. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini akan dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa berdasarkan asas kebebasan berkontrak para pihak dapat menentukan sendiri isi perjanjian, seperti memasukan ketentuan mengenai pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum). Hal ini menjadikan Pengadilan Niaga Indonesia memiliki kewenangan untuk mengadili dan memutus perkara kepailitan berdasarkan penunjukan hukum dan yuridiksi Indonesia yang dituangkan oleh para pihak di dalam klausula perjanjian. ......Business actors increasingly carry out trade transactions that are cross-border in nature or known as international trade. One form of trade transactions conducted trade business financing as outlined in the debt-receivable agreement. Differences in legal jurisdiction do not limit the implementation of an agreement, that is, an agreement between the Indonesian Legal Entities and Foreign Legal Entities. The difference in jurisdiction raises problems, namely which laws govern and which forums are authorized to resolve disputes between parties, where each country has its own legal rules. This also relates to the condition if one party submits a legal remedy for dispute resolution by requesting a bankruptcy statement at the Commercial Court. The problem arises because there are two commercial court authorities from two different countries to adjudicate bankruptcy cases, where the Debtor is a Foreign Legal Entity that has legal jurisdiction abroad and does not have business activities conducted at a head office in Indonesia. While Law No. 37/2004 does not clearly regulate bankruptcy issues between these countries or known as cross-border bankruptcy. To answer these problems, this research will be conducted using the normative juridical research method. From this study it can be concluded that based on the principle of freedom of contracting the parties can determine their own contents of the agreement, such as entering provisions regarding choice of law and choice of forum. This makes the Indonesian Commercial Court have the authority to try and decide bankruptcy cases based on the appointment of Indonesian law and jurisdiction as outlined by the parties in the agreement clause.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tampubolon, Yosua Mahendra
Abstrak :
Penyelesaian sengketa melalui mekanisme Kepailitan di Pengadilan Niaga adalah merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa melalui Pengadilan untuk menyelesaikan sengketa utang piutang yang efektif mengingat jangka waktu penyelesaian melalui Pengadilan Niaga yang relatif cepat dimana putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pernyataan pailit didaftarkan. Untuk dapat dinyatakan pailit harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) yaitu Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam hal terjadi suatu sengketa dalam bidang jasa konstruksi yang mana pihak Bouwheer selaku Pemberi Kerja tidak melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran kepada Kontraktor yang membentuk Joint Operation selaku Penerima Kerja, maka pihak Kontraktor tersebut dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga. Namun demikian agar pihak Bouwheer dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka dalam hal Bouwheer tidak memiliki kreditor lain, maka Kontraktor yang membentuk Joint Operation tersebut harus membuktikan di depan Persidangan, bahwa Kontraktor yang membentuk Joint Operation tersebut dapat memenuhi unsur yang ditetapkan dalam Pasal 2 UU Kepailitan dan PKPU. Selain daripada itu, di dalam hal Bouwheer telah dinyatakan pailit oleh Putusan Pernyataan Pailit, UU Kepailitan dan PKPU tetap memberikan kesempatan kepada para pihak yang bersengketa untuk melakukan perdamaian yang waktunya ditentukan oleh UU Kepailitan dan PKPU. Oleh karena itu dalam penelitian ini Penulis berupaya untuk mengkaji apakah Kontraktor yang membentuk Joint Operation termasuk dalam kreditor yang dapat memenuhi syarat-syarat dalam kepailitan dan apakah upaya perdamaian tetap dapat dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa meskipun jangka waktu yang ditetapkan dalam UU Kepailitan dan PKPU telah terlampaui. ......Dispute settlement through bankruptcy mechanism in Commercial Court is one of the most effective alternative dispute resolution through the courts to resolve disputes of debts considering the period of completion through commercial court which relatively fast where the verdict of bankruptcy declaration petition shall be made at the latest 60 (sixty) days since the date of bankruptcy declaration petition has been registered. To be declared bankrupt must fulfill the elements which mentioned in Article 2 of Law No. 37 of 2004 about Bankruptcy (Bankruptcy Law) that is Debtor who has two or more one debt which maturity and billable. In the case of disputes in the field of construction services which Bouwheer (Owner) as employer did not fulfill their obligation to make payment to Contractors which make Joint Operation as employer, then the Contractors may submit a bankruptcy declaration petition to Commercial Court. However, in order to the owner can declared bankrupt by Commercial Court, then in terms of the owner did not has another creditors, the creditors which make Joint Operation should prove in front of the court that the contractors which make Joint Operation can comply the elements which mentioned in Article 2 of Bankruptcy Law. Moreover, in term of the owner has been declared bankrupt by the verdict of bankruptcy, the bankruptcy of Law in Indonesia still provide the opportunities to the disputing parties to make settlement or conciliation which the time prescribed by law. Therefore, in this study the author seek to assess whether the contractors which make Joint Operation included in creditors which can fulfill the elements in bankruptcy of law and whether the settlement effort still can be implemented by the disputing parties even though the period which mentioned in bankruptcy of law have been exceeded.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T28855
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>