Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Regina Riva
"Pada tahun 2003, pemerintah Indonesia mencanangkan Program Pendidikan Inklusi yang memungkinkan anak penyandang cacat untuk belajar bersama anak non penyandang cacat di sekolah umum/inklusi. Dengan adanya stigma dan labeling negatif terhadap kelompok penyandang cacat selama ini, banyak kalangan yang mengkhawatirkan bahwa akan sulit bagi anak penyandang cacat untuk beradaptasi dan diterima di sekolah inklusi.
Namun berdasarkan pengamatan peneliti, ternyata banyak juga anak penyandang cacat yang tidak mengalami hambatan berarti ketika mereka belajar bersama dengan anak non penyandang cacat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana proses adaptasi antarbudaya anak penyandang cacat yang bersekolah di sekolah inklusi dan menemukan hal-hal apa yang melatarbelakangi kelancaran proses adaptasi tersebut.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis, pendekatan kualitatif, strategi fenomenologi, serta sifat penelitian deskriptif. Wawancara mendalam dilakukan terhadap 3 informan yang dipilih secara purposeful dengan teknik snowball. Unit analisis adalah siswa penyandang cacat yang bersekolah di sekolah inklusi. Untuk memperkaya data, siswa penyandang cacat terdiri dari yang cacat sejak lahir dan yang cacat saat dewasa.
Peneliti menggunakan model Proses Adaptasi Antarbudaya Daniel J. Kealey dan konsep diri untuk menganalisa dan menginterpretasi data yang terkumpul. Dari hasil penelitian terungkap bahwa secara umum proses adaptasi antarbudaya yang dialami oleh anak penyandang cacat di sekolah inklusi memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang ada dipengaruhi oleh tiga aspek berikut: (1) latar belakang kecacatan, (2) hubungan keluarga, dan (3) konsep diri masing-masing anak penyandang cacat.
Di samping itu, hasil penelitian juga mengungkap bahwa keberhasilan proses adaptasi antarbudaya dipengaruhi oleh aspek-aspek berikut: (1) dukungan dan didikan keluarga inti dan lingkungan sosial terdekat anak penyandang cacat, (2) role model yang mampu memotivasi anak penyandang cacat untuk berkembang, dan (3) konsep diri yang positif.

In 2003, the Government of Indonesia initiatied to implement inclusive education program that enables the handicapped children learn in the regular/inclusive school with the non handicapped children. However, negative stigma and labeling on the handicapped have made many people concern that the handicapped can not adapt well and are accepted in the inclusive school.
But based on my general observation, there are many of these children did not find such difficulties. The aim of this research is to study the process of intercultural adaptation of the handicapped in the inclusive school and to find the backgrounds that can smoothen the adaptation process.
This research used a constructivist paradigm, qualitative approach, fenomenology strategy and descriptive dispotition. In collecting data, three informans were selected purposefully through a snowball technique. The analysis units were the handicapped children enrolled in the inclusive schools.
To enrich the research, informans were differentiated by children who born handicapped and children who became handicapped when they were grown up. To analyse and interpret the data, this research used the process of intercultural adaptation theory created by Daniel J. Kealey and self concept.
The research concluded that in general the process of intercultural adaptation of the handicapped in the inclusive school were varied one another. This differences were influenced by three aspects: (1) the background of their disability, (2) relationship within family, and (3) their self concept.
This research also found out that a succesful intercultural adaptation of the handicapped in inlcusive schools were influenced by the following aspects: (1) the support of direct family and the closest social environment, (2) role model as a motivator for the handicapped, (3) a positive self concept."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Kurniawati
"Pendidikan inklusif tidak semata berhubungan dengan placement atau penempatan di mana anak mendapatkan kursi di sekolahnya dan duduk belajar di samping teman sebayanya. Menurut Mitchell (2015) pendidikan inklusif adalah multifaceted concept sehingga tidak lagi sesuai jika pemangku kebijakan, peneliti, dan tenaga profesional lain hanya membahasnya dari satu konsep saja. Sejalan dengan Kuper et al. (2018), saya berpendapat bahwa upaya mendukung dan mendorong inklusi anak berkebutuhan khusus sebaiknya ditujukan untuk mengatasi kendala/tantangan yang ada pada level yang berbeda, yaitu system (kebijakan dan legislasi), sekolah (pelatihan pendidik yang lebih komprehensif), keluarga (dukungan finansial, keterlibatan di sekolah), dan semua peserta didik (dukungan teman sebaya)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
PGB-Pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Harwintha Yuhria Anjarningsih
Depok: Sanga Sanga Grup, 2019
371.9 HAR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sangayu Piwulang Sae
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pergeseran paradigma dalam studi mengenai autisme yang memuat perubahan definisi autisme dari defisit kognitif menjadi pengalaman ketubuhan. Berangkat dari hal tersebut, penulis menelaah bagaimana autisme dipahami dalam pendidikan inklusi di Indonesia dan bagaimana pendidikan tersebut dilakukan secara umum. Di Indonesia, pendidikan inklusi bagi anak dengan autisme dijalankan sesuai dengan rancangan yang berdasarkan hasil asesmen individual dan berisi capaian kompetensi sesuai dengan kemampuan anak (kurikulum terpersonalisasi). Tujuan dari penelitian ini adalah mengangkat pembahasan mengenai relasi antara guru dengan murid autistik, agar mendapat perhatian yang sama paralel dengan capaian kompetensi yang digaungkan dalam kurikulum terpersonalisasi. Penulis menggunakan landasan filosofis Maurice Merleau-Ponty untuk mengusulkan relasi yang lebih empatik dalam pendidikan inklusi. Empati dalam pengertian fenomenologi Merleau-Ponty adalah rekognisi terhadap tubuh sebagai subjektivitas yang berbeda. Selanjutnya, penulis membahas tentang kesadaran akan pengalaman interkorporealitas atau relasi ketubuhan yang bersifat timbal balik antara persepsi dan aksi. Artikel ini mengajukan usulan untuk mengakui relasi tersebut sebagai suatu hal yang penting di antara guru dengan murid autistiknya, paralel dengan capaian kompetensi yang menjadi ekspektasi dari pendidikan inklusi di Indonesia.

This research is motivated by a paradigm shift in the study of autism, transitioning from defining autism as a cognitive deficit to understanding it as a bodily experience. Based on this shift, the author examines how autism is understood within inclusive education in Indonesia and how such education is generally implemented. In Indonesia, inclusive education for children with autism is carried out through an individually tailored design based on assessment results and includes competency targets suited to the child's abilities (a personalized curriculum). The aim of this research is to bring attention to the relationship between teachers and autistic students, ensuring it receives equal focus alongside the competency targets emphasized in the personalized curriculum. The author employs the philosophical framework of Maurice Merleau-Ponty to propose a more empathetic relationship in inclusive education. Empathy, in Merleau-Ponty's phenomenological understanding, is the recognition of the body as a distinct subjectivity. Furthermore, the author discusses the awareness of intercorporeal experiences or reciprocal bodily relations between perception and action. This article suggests recognizing such relationships as essential in the interactions between teachers and their autistic students, alongside the competency targets expected in inclusive education in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Ekapuri
"Perilaku bekeijasama merupakan salah satu konstruk penting dalam mengembangkan keterampilan sosial anak (Chen, Liu dan Li, 2000). Perilaku bekeijasama yang dimaksud merupakan bentuk dari perilaku prososial yang menunjukkan kesediaan dan kemampuan individu untuk bekeija bersama orang lain (Wrightsman dan Deaux, 1978).
Perkembangan perilaku bekeijasama mengalami peningkatan yang signifikan ketika anak memasuki masa usia sekolah (Retnaningsih, 2004). Perkembangan perilakunya tersebut dapat diketahui melalui pola interaksi anak dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Hal tersebut digolongkan oleh Nugroho (1999) menjadi lima bagian, yaitu: pola interaksi apatis, pola interaksi other-oriented pasif atau self-centered aktif (OP/SA), pola interaksi other-oriented aktif atau self-centered pasif(OA/SP), pola interaksi keijasama pasif dan pola interaksi kerjasama aktif.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di SDN Gedong 04 Pagi Jakarta, ditemukan bahwa tidak semua siswa usia sekolah (khususnya siswa reguler) di kelas 3 B dapat mengembangkan perilaku bekeijasama dalam situasi lingkungan kelas yang menerapkan model pendidikan inklusi. Oleh sebab itu, dilakukan penelitian tindakan kelas yang sifatnya kualitatif. Tindakan yang diimplementasikan dalam situasi kelas tersebut berbentuk program kelompok belajar terpadu (KBT).
Progam KBT merupakan suatu program yang dapat memfasilitasi perkembangan perilaku bekeijasama siswa reguler dengan siswa autisma melalui situasi pembelajaran kelompok kecil dan menerima berbagai bentuk tugas di bawah arahan instruktur atau pendamping. Sementara, kelompok yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari dua siswa reguler dan satu siswa autisma.
Hasil observasi menemukan bahwa para siswa reguler telah dapat menampilkan pola interaksi keijasama aktif dengan temannya yang autisma. Meskipun masih ada satu siswa yang memunculkan adanya pola interaksi other-oriented pasif. Ditemukan pula bahwa munculnya keijasama aktif pada siswa reguler teijadi karena adanya peran instruktur atau pendamping dalam memberikan bimbingan kepada mereka untuk dapat bekeija bersama dengan temannya yang autisma. Adanya hasil penelitian tersebut maka perlu adanya tindak lanjut program KBT melalui penerapannya dalam situasi kegiatan belajar-mengajar di sekolah inklusi guna mencapai perkembangan perilaku bekeijasama yang optimal bagi para siswa reguler."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T37913
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library