Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eirene Lamtiur Setyawati
"Skripsi ini membahas mengenai pemutusan perjanjian keagenan secara sepihak di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang sumber datanya adalah data sekunder. Pengaturan perjanjian di Indonesia dianggap sebagai pedoman agar perlindungan dan keadilan terwujud dalam suatu perjanjian, maka diharapkan pelaksanaannya berlangsung secara proporsional dan adil. Maka dari itu, perjanjian keagenan diharapkan dapat berlangsung secara proporsional mewujudkan pertukaran hak dan kewajiban secara adil. Dalam terjadinya kegagalan dalam pelaksanaannya, maka kadar kesalahannya harus diukur berdasarkan asas proporsionalitas, sehingga terhadap hal-hal kecil tidak serta merta mengakibatkan pemutusan kontrak. Mengacu pada analisis putusan-putusan, apabila terjadi sengketa pemutusan perjanjian keagenan secara sepihak, pada prinsipnya para pihak berupaya menempuh mekanisme yang mampu memberikan hasil terbaik bagi mereka. Peran Hakim dalam hal ini adalah sebagai penentu apakah suatu perjanjian keagenan sah atau tidak untuk diputus secara sepihak hakim merujuk pada perjanjian yang disepakati para pihak yang mengatur tentang pemutusan perjanjian keagenan serta pemberian ganti rugi kepada para pihak sebagai perlindungan hak bagi pihak yang dirugikan berdasarkan apa yang sudah diperjanjikan para pihak dalam perjanjiannya.

This thesis provides explanation regarding the unilateral termination of agency contract in Indonesia. This thesis applies a normative legal study, data source is secondary data. Setting agreement in Indonesia is considered as a guideline so that the protection and justice embodied in an agreement, it is expected that the implementation takes place proportionally and fairly. Therefore, the agency contract is expected to take place in proportion to realize the exchange of rights and obligations equitably. In the occurrence of failure in implementation, the levels of guilt should be measured based on the principle of proportionality, so that on the little things did not necessarily lead to termination of contract. The practice of the courts in resolving disputes, the parties seek to adopt a mechanism that is able to provide the fairest decision or the best result for them.  The role of the Judge is to determine whether an agency agreement is allowed or not tobe terminated uniterally. The judge refers to the agreement which regulates termination of the agency agreement and the provision of compensation to the parties as protection of the rights of the injured party based on what the parties have agreed in the agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kirana Dewi Pradjoto
"ABSTRAK
Pengakhiran perjanjian yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) lazimnya membawa akibat hukum yang tidak menguntungkan bagi salah satu pihak dan cenderung menimbulkan penyalahgunaan hak (misbruik van recht) bagi pihak yang lebih dominan.. Keadaan tersebut lebih disebabkan para pihak tidak menyadari akibat hukum dikesampingkannya ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata yang justru akan menimbulkan risiko dalam bentuk pengalihan tanggung jawab atas prestasi tertentu pada pihak lainnya. Dalam pengakhiran perjanjian operasi pengelolaan dan pengoperasian aset Elnusa Fabrikasi jelas hakikatnya termasuk ke dalam perjanjian yang alasan batalnya termasuk ke dalam syarat subyektif, sehingga pemutusannya harus dimintakan kepada hakim. Akan tetapi, perjanjian merumuskan pemutusan perjanjian dapat berakhir dengan otomatis (demi hukum) untuk tiga hal, yaitu (1) usaha patungan telah ditandatangani; (2) salah satu pihak mengundurkan diri dan disetujui para pihak; dan (3) salah satu pihak dibubarkan karena bangkrut atau pailit. Namun, dalam hal syarat kedua tidak otomatis terputus karena salah satu pihak harus memberikan persetujuan. Masalah hukum yang muncul sebagai akibat pemutusan perjanjian ini adalah risiko atas biaya dan pengeluaran yang telah dilakukan, karena kedua belah pihak menyepakati pembagian modal kerja yang jumlahnya ditentukan dalam perjanjian.

ABSTRACT
Termination of Agreement which is prejudice to the Provision of Article 1266 o Indonesian Civil Code (KUHPerdata) shall commonly result in a legal consequenc which can give an adverse effect on either party and tends to make any right abus (antabrukt van recht) for the more predominant party. Such condition is mostly cause by the such cumstance where the parties do not realize that legal consequence arisin from the ignorance of the provision of Article 1266 of Indonesian Civil Code will jus then result in the risk of transfer of responsibility on a certain achievement to the othe party. In the termination of operation agreement, the management and operation o Elnusa Fabrication's asset, is principally classified into the agreement that the reason o its termination constitutes the subjective requirement, therefore the decision of whic shall be decided by the judge. However, the agreement formulates that the Agreemen can be automatically terminated according to law based on three aspects: namely (1 Joint Venture company has been duly signed, (2) Either party shall resign and suc resignation is agreed by the parties, and (3) either party is dissolved due to bankruptcy or insolvency. However, in the second requirement, it shall not be automaticall terminated because either party must give an approval. Legal problem due to th termination of this Agreement shall constitute the risk and the expense arising from th action which has been committed. Because the Parties agree with the division o working capital, whereby, the amount of which is determined in the Agreement."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2010
S21477
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asyura Triana Arimurti
"Skripsi ini membahas mengenai pemutusan perjanjian pemborongan pekerjaan, yakni karena wanprestasi atau dengan digunakannya hak untuk memutus perjanjian pemborongan pekerjaan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan berdasarkan Pasal 1611 KUHPerdata. Pokok permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana wanprestasi dapat terjadi beserta akibat hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pengaturan pemutusan perjanjian pada perjanjian pemborongan pekerjaan, serta pertimbangan hakim
terkait pemutusan perjanjian secara sepihak pada perjanjian pemborongan pekerjaan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1157 K/PDT/2017. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif menggunakan data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal pihak yang memborongkan menuduh pemborong melakukan wanprestasi tetapi wanprestasi tidak terbukti,
pemutusan perjanjian pemborongan pekerjaan tidak dapat dilakukan berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata. Pemutusan perjanjian tetap dapat dilakukan melalui ketentuan Pasal 1611 KUHPerdata hanya apabila ganti rugi yang dimaksud pasal tersebut telah terpenuhi. Selama ganti rugi yang dimaksud oleh Pasal 1611 KUHPerdata tidak terpenuhi, maka pemutusan perjanjian secara sepihak pada perjanjian pemborongan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak yang memborongkan tidak dapat didasari oleh Pasal 1611 KUHPerdata. Dengan demikian, sepatutnya
hakim lebih cermat dalam menggunakan Pasal 1611 KUHPerdata sebagai dasar pertimbangan.
This thesis discusses the termination of the contracting agreement, namely due to default or the use of the right to terminate the contracting agreement unilaterally by the party who is contracting based on Article 1611 of the Civil Code. The main problem in this research is how default can occur and the legal consequences based on the laws and regulations in force in Indonesia, the arrangement for termination of the agreement in the contract work agreement, as well as the judge's considerations.
regarding the unilateral termination of the agreement on the contract of work in the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 1157 K/PDT/2017. The research method used is juridical-normative using secondary data. The results of this study indicate that in the event that the party who bought the contract accused the contractor of default but the default was not proven, termination of the contract work agreement cannot be carried out based on Article 1266 of the Civil Code. Termination of the agreement can still be carried out through the provisions of Article 1611 of the Civil Code only if the compensation referred to in the article has been fulfilled. As long as the compensation referred to in Article 1611 of the Civil Code is not fulfilled, then the unilateral termination of the agreement on the contracting work agreement carried out by the party who is contracting cannot be based on Article 1611 of the Civil Code. Thus, it should be judges are more careful in using Article 1611 of the Civil Code as a basis for consideration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asyura Triana Arimurti
"Skripsi ini membahas mengenai pemutusan perjanjian pemborongan pekerjaan, yakni karena wanprestasi atau dengan digunakannya hak untuk memutus perjanjian pemborongan pekerjaan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan berdasarkan Pasal 1611 KUHPerdata. Pokok permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana wanprestasi dapat terjadi beserta akibat hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pengaturan pemutusan perjanjian pada perjanjian pemborongan pekerjaan, serta pertimbangan hakim terkait pemutusan perjanjian secara sepihak pada perjanjian pemborongan pekerjaan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1157 K/PDT/2017. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif menggunakan data sekunder.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal pihak yang memborongkan menuduh pemborong melakukan wanprestasi tetapi wanprestasi tidak terbukti, pemutusan perjanjian pemborongan pekerjaan tidak dapat dilakukan berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata. Pemutusan perjanjian tetap dapat dilakukan melalui
ketentuan Pasal 1611 KUHPerdata hanya apabila ganti rugi yang dimaksud pasal tersebut telah terpenuhi. Selama ganti rugi yang dimaksud oleh Pasal 1611
KUHPerdata tidak terpenuhi, maka pemutusan perjanjian secara sepihak pada perjanjian pemborongan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak yang memborongkan tidak dapat didasari oleh Pasal 1611 KUHPerdata. Dengan demikian, sepatutnya hakim lebih cermat dalam menggunakan Pasal 1611 KUHPerdata sebagai dasar pertimbangan.

This thesis explains the termination of the construction agreement due to breach of contract or the use of the right to terminate the construction agreement unilaterally pursuant to Article 1611 of the Civil Code. The main problem of this thesis are how the breach of contract could have occurred along with its legal consequences based on laws in Indonesia, the regulation of a termination of the construction agreement, and the judge's consideration of the unilateral termination of the construction agreement in the Supreme Court’s Decision Number 1157 K/PDT/2017. The research method used is normative juridical, which is using secondary data. Based on the research, in the event that the principal accuses the constructor of the breach of contract but he cannot prove it, the termination of the construction agreement cannot be done under the provisions of Article 1266 of the Civil Code. The termination of the construction agreement can be done under the provisions of Article 1611 of the Civil Code only if the compensation in that article has been fulfilled. If compensation intended by Article 1611 of the Civil Code are not fulfilled, the unilateral termination of the construction agreement is cannot be based on that article. Thus, the judge should be more careful in using Article 1611 of the Civil Code as a basis for consideration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dahliana Indah Yustikarini
"Tesis ini meneliti dan mengkaji pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan dengan tidak berdasarkan pada itikad baik. Itikad baik adalah salah satu asas klasik dalam hukum perjanjian yang terkandung pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Asas itikad baik harus diterapkan sejak tahap prakontraktual sampai dengan pascakontraktual. Di dalam tahap prakontraktual, kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta material yang terkait dengan pembuatan perjanjian. Dalam hal suatu ketiadaan itikad baik pada tahap pembuatan perjanjian telah membawa para pihaknya dalam suatu hubungan kontraktual yang diikat dengan perjanjian, maka jelas bahwa dikemudian hari perjanjian tersebut senantiasa dapat dibatalkan. Kecakapan bertindak seseorang dalam suatu perjanjian adalah hal yang harus diteliti sebelum ditandatanganinya suatu perjanjian. Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang mengacu kepada kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Pelanggaran asas itikad baik dalam tahap pembuatan perjanjian menjadi suatu hal yang sulit untuk dibuktikan, oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang tegas untuk mewajibkan pihak-pihak dalam perjanjian untuk menjelaskan dan meneliti fakta material yang terkait dengan perjanjian. Hal ini dimaksudkan agar terpenuhinya syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Pemutusan perjanjian secara sepihak yang memenuhi unsur perbuatan melawan hukum diharapkan dapat menciptakan kekonsistenan hakim dalam menerapkan hukum. Hal ini agar tercipta kejelasan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian agar selalu beritikad baik dalam menjalankan suatu perjanjian baik dalam tahap prakontrak, pelaksanaan kontrak maupun pascakontrak.

This thesis examines and assesses unilateral termination of the agreement which is not based on good faith. Good faith is one of the classic principles of contract law also contained in Indonesian Civil Code. The principle of good faith should be applied since pre-contractual phase until post-contractual. In the pre-contractual phase, both parties have an obligation to explain and examine the material facts related to the making of the agreement. In the case of an absence of good faith in the pre-contractual phase has brought the party in an contractual relationship which bound to the agreement, then obviously that the agreement in the future can always be canceled. The ability of a person in an agreement is something that should be examined before signing of the agreement. This type of research is normative juridical, which refers to the rules or norms of law contained in regulations. Violation of the principle of good faith in the process of making the agreement becomes a difficult thing to prove, and therefore required a strict regulation to require the parties to the agreement to explain and examine the material facts relating to the agreement. This meant that the conditions are met the legitimate agreement as provided for in article 1320 of the Indonesian Civil Code. Unilateral termination of the agreement which meets the elements of the tort is expected to create the consistency of judges in applying the law. It is to create the clarity and legal certainty for the parties involved in an agreement to always have a good faith in carrying out an agreement in the pre- contract phase, contractual phase and post-contract phase.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inneke Kusuma Dewi
"Skripsi ini membahas mengenai notulen rapat yang dijadikan dasar dalam pemutusan perjanjian sepihak antara PT. Haseda Remindo dengan PT. Caltex Pacific Indonesia. Notulen rapat tersebut seolah-olah dianggap sebagai addendum perjanjian pemberian jasa-jasa pengangkutan darat. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah kekuatan hukum notulen rapat sebagai perjanjian dalam hukum Indonesia dan tepatkah hakim memutuskan dalam perkara pemutusan perjanjian sepihak tersebut. Bentuk penelitian yag digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah yuridis-normatif. Pemutusan perjanjian merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang karena salahnya merugikan orang lain serta bertentangan dengan undang-undang. Namun, apabila pemutusan perjanjian tersebut didasarkan pada suatu perjanjian maka perlu dilihat dulu keabsahan dan kekuatan hukum dari perjajian tersebut. Jika perjanjian tersebut sah dan memiliki kekuatan hukum maka tindakan pemutusan perjanjian tersebut bukanlah suatu perbuatan melawan hukum sehingga tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas kerugian yang ditimbulkan.

This thesis discusses the notilen is used as a basis for termination agreement between PT. Haseda Remindo with PT. Caltex Pacific Indonesia. Notilen as if it is considered as the addendum agreement giving shore transportation services. The problems in this thesis are the force of law notilen in Indonesian Law and the exact of judge decided in the termination agreement by one party case. Form of research used in conducting this research is the juridical-normative. Termination of the agreement is a tort for actions that harm others and contrary to law. However, if the termination is based on an agreement it is necessary to be seen after the validity and legal force of the agreement. If the agreement is valid and enforceable severance agreement then this action is not an unlawful act which can not be responsible for losses incurred."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S65
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fahira Zahara Ghassani
"Sebelum menjalankan bisnis waralaba, para pihak harus membuat perjanjian waralaba dalam bentuk tertulis yang bertujuan untuk melindungi kepentingan para pihak dan dapat digunakan sebagai alat bukti apabila para pihak adan yang melakukan wanprestasi. Namun, masih terdapat pelaku usaha waralaba yang membuat perjanjian dalam bentuk tidak tertulis atau lisan, meskipun PP 42/2007 dan Permendag 71/2019 menghendaki perjanjian dalam bentuk tertulis. Hal inilah yang menjadi pertentangan diantara franchisor dan para franchisee yang terlibat dalam bisnis waralaba sebagaimana hal tersebut dituangkan dalam Putusan No. 52/Pdt.G/2019/Pn. Jkt. Pst jo. Putusan No. 396/PDT/2021/PT DKI. Selain itu, perjanjian waralaba tersebut melibatkan pihak asing sebagai franchisor dan pihak di Indonesia sebagai franchisee. Akan tetapi selama kegiatan usaha waralaba berlangsung, para pihak juga telah membuat suatu perjanjian term sheet yang hanya ditulis dalam bahasa Inggris, meskipun hal tersebut bertentangan dengan UU 24/2009. Hal inilah yang memicu pertentangan mengenai keabsahan dari perjanjian waralaba dan perjanjian yang hanya dibuat dalam bahasa asing. Selain itu, franchisor dalam kasus ini melakukan pemutusan kerjasama secara sepihak tanpa meminta pembatalan melalui permohonan di pengadilan yang merugikan franchisee . Oleh karena itu, perlu meneliti mengenai keabsahan perjanjian waralaba yang menjadi dasar bagi perlindungan hukum franchisor dan franchisee.

Franchising is a business system that makes it easy for entrepreneurs to expand their marketing. Therefore, before running a franchise business, the parties must make a franchise agreement that aims to protect the interests of the parties properly. A franchise agreement made in written form can be the basis or evidence if one of the parties defaults. However, there are still franchise businesses that make agreements in the form of unwritten or verbal actors, even though PP 42/2007 and Permendag 71/2019 require written agreements. This is what becomes between the franchisor and the franchisees involved in the franchise business as stated in verdict No. 52/Pdt.G/2019/Pn.Jkt.Pst jo. verdict No. 396/PDT/2021/PT DKI. In addition, the franchise agreement involves a foreign party as the franchisor and a party in Indonesia as the franchisee. However, during the franchise business activity, the parties have also made a term sheet agreement which is only written in English, even though this is contrary to Law 24/2009. This only applies to the validity of agreements and agreements made in foreign languages. In addition, the franchisor in this case terminates the cooperation unilaterally without asking for a request through the court which is detrimental to the franchisee. Therefore, it is necessary to examine the validity of the franchise agreement which is the basis for the legal protection of franchisors and franchisees."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library