Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fadli Ramadhanil
Abstrak :
Kewenangan penyelesaian sengketa pencalonan adalah hal yang baru oleh lembaga pengawas pemilu. Pada pelaksanannya, terdapat banyak kendala yang muncul, yang salah satunya adalah, akibat sengketa pencalona terjadi penundaan pilkada di lima daerah pada pelaksanaan Pilkada 2015. Padahal, sengketa pencalonan yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan pemilu dan perlindungan hak plih, tak semestinya terjadi kendala seperti itu. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dirumuskan dua masalah, yakni bagaimanakah persoalan peraturan penyelesaian sengketa pencalonan di dalam pelaksanaan Pilkada 2015 dan 2017. Kemudian yang kedua apakah pelaksanaan penyelesaian sengketa pencalonan kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah serentak tahun 2015 dan 2017 telah memenuhi prinsip keadilan pemilu. Pada Pilkada 2015 terdapat 115 perkara sengketa pencalonan yang diajukan ke pengawas pemilu. Kemudian pada Pilkada 2017 terdapat 62 perkara sengketa pencalonan yang diajukan ke pengawas pemilu. Serta terdapat dokumentasi dan pencatatan data sengketa yang tidak lengkap dan rapih di pengawas pemilu. Selain itu, ditemukan tiga persoalan peraturan penyelesaian sengkea pencalona, yakni tidak diaturnya Keputusan KPU sebagai objek sengketa, KPU yang tidak boleh mengajukan upaya hukum terhadap putusan pengawas pemilu, dan tidak sinkronnya pengaturan di UU Pilkada dan Peraturan KPU terkait jadwal penyelesaian sengketa pencalonan.Kemudian dari tiga indikator pemenuhan prinsip keadilan pemilu, ditemukan ketidakpatuhan terhadap waktu penyelesaian dan mekanisme penyelesaian sengketa. Ini terjadi di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, dan Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat. Selain itu terdapat kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa pencalonan, yakni lembaga apa yang berwenang menyelesaikan sengketa pencalonan ketika keputusan diskualifikasi pasangan calon dikeluarkan oleh KPU RI. Sedangkan Bawaslu RI tidak memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa pencalonan pemilihan kepala daerah. Hal ini terjadi di sengketa pencalonan Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian, terkait jaminan pemulihan hak pilih warga negara setelah proses sengketa pencalonan tidak tercapai, karena sengketa pencalonan tidak memulihkan hak pilih pasangan calon kepala daerah, kejadian ini terjadi di Kabupaten Dogiyai, Papua. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini memberikan rekomendasi agar dilakukan perbaikan terhadap dokumentasi dan publikasi data sengketa pencalonan di pengawas pemilu, serta perlu dilakukan perbaikan terhadap UU Pilkada, Peraturan KPU terkait dengan tahapan, program, dan jadwal pilkada, Peraturan Bawaslu terkait penangaan sengketa pencalonan, dan Peraturan MA terkait sengketa tata usaha negara pemilihan kepala daerah. ......The elections monitoring body has recently been granted the authority to adjudicate dispute over candidacy process in elections, and this authority, by all means, is a novelty for the elections monitoring body. However, in practice, many problems occur due to this authority. For example, because of the adjudication process on electoral disputes in 2015 Local Elections, the elections commission had to postpone local elections in five electoral areas. Election adjudication process should have created a free and fair elections, not to postpone the elections and upset the election schedule instead. Therefore, in this research, I would like to address two objectives firstly, how is the regulatory dispute candidacy problem in regional head election 2015 and 2017 and, secondly, to analyze whether the adjudication processes conducted by the elections monitoring body on those disputes have been compliant with the principle of free and fair elections. In 2015 Local Elections, the elections monitoring body handled 115 cases of electoral disputes. In 2017 Local Elections, the body handled 62 cases of disputes. However, it is noteworthy that the elections monitoring body itself fail to make a proper documentations and records on the data regarding electoral dispute cases that they have handled. Based on the adjudication process, we can see that the electoral institutions have many times failed to comply with free and fair elections principle, for example when the elections monitoring body did not resolve a dispute case on time or according with the proper mechanism. Such failure happened, among others, in Aceh Tamiang, Aceh, Pematang Siantar, North Sumatera, and Fak Fak. In addition, the adjudication process also created a legal vacuum because they did not specify what institution has the authority to resolve the candidacy disputes when the Elections Commission KPU has issued the decision to disqualify a certain candidate. The Elections Monitoring Body, at that time, did not have the authority resolve such case in local elections. This legal vacuum especially happened in Central Kalimantan. Also, the adjudication process on electoral disputes have failed to protect the voting right of candidates because the adjudication process did not restore the right after the trial has completed. This is especially happened in Dogiyai Regency in Papua. Therefore, in this research I conclude that it is necessary to make a reform and improvement on the Local Elections Law, KPU Regulations on elections stages, programs, and schedule, Bawaslu rsquo s Regulations on candidacy disputes, and Supreme Court rsquo s Regulations on state administrative disputes in local elections.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susilo Yanuardi
Abstrak :
Sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP) adalah sebuah dewan etik independen yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan memutuskan ada atau tidaknya dugaan pelanggaran kode etik, berikut memberikan sanksi atau rehabilitasi. Dalam prakteknya, DKPP tidak hanya membuat keputusan terkait dengan etika pelanggaran, sanksi, dan rehabilitasi tetapi juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah untuk meninjau ulang atau mengubah Keputusan tentang penetapan peserta pemilukada, sementara kewenangan untuk meninjau ulang atau mengubah susbstansi keputusan tata usaha Negara oleh KPUD adalah Pengadilan Tata Usaha. Fokus tesis ini adalah pemilihan gubernur di Provinsi Jawa Timur sebagai contoh dimana Putusan DKPP memerintahkan KPUD untuk mengubah keputusan mereka terkait penetapan peserta pemilukada yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi peserta pemilukada oleh KPUD. Perintah DKPP semacam ini tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Putusan DKPP tidak mengubah prinsip-prinsip dan mekanisme pengujian sebuah keputusan tata usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang TUN. Mekanisme penyelesaian sengketa TUN terkait pemilukada di PTUN yang tidak sejalan dengan proses dan tahapan pemilukada telah mengakibatkan DKPP menjadi pilihan bagi calon peserta pemilukada untuk mendapatkan keadilan. Dari sudut pandang penulis, perlu dibentuk suatu mekanisme khusus penyelesaian sengeketa TUN terkait pemilukada di lingkungan peradilan TUN yang sejalan dengan keberadaan, tugas, dan kewenangan DKPP. ...... In accordance with Law No. 15 Year 2011 on the General Election Implementers, Election Organizers Ethics Council is an independent ethic council that has authority to investigate and decide on complaints of alleged violations of code of conduct,which include sanctions or rehabilitations,committed by election organizers (included in the governor/regional elections). In practice, DKPP not only make decisions related to ethic violations, sanctions, and rehabilitations but also order the election organizers to review and/or change the Regional Election Commission decision. Whereas reviewing and changing KPUD decisions is Administrative Court authority. This thesis focus on governor election in East Java Province as an example area which DKPP verdict compelled KPUD to alter their decision related to electoral candidates, who previously ruled ineligible, could participate in the election. This mechanism is not in line with Law No. 15 Year 2011. DKPP verdict should not change the principles and mechanisms of test administrationin Administrative Court asstipulatedin Administrative law. Mechanism of election dispute in PTUN is not in line with election process in the regional level. Therefore, DKPP be a favourable option for election candidates to gain justice. From author perspective, it is necessarry to establish special administrative resolution mechanisms in administrative court which it should be along with the existence of DKPP.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library