Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siswantari
"Penelitian ini merupakan studi tentang birokrasi pemerintahan Hindia Belanda khususnya membahas tentang jabatan Demang yang merupakan struktur bawah dari birokrasi pemerintahan. Fokus permasalahan penelitian ini adalah bagaimana kehidupan Demang di wilayah Bekasi, dengan mengambil studi kasus Demang Moedjimi yaitu seorang Demang yang memerintah di wilayah Bekasi.
Demang kedudukannya sama dengan kepala distrik yang mempunyai kedudukan dan peran membawahi kepala desa Demang mengawasi tugas dan kewajiban kepala desa Dalam melaksanakan tugasnya ada Demang yang melaksanakan tugasnya secara baik, namun ada juga Demang yang melaksanakau tugasnya yang melakukan tindakan yang menentang atau melanggar- ketentuan yang telah ditetapkan sehingga dia dipecat oleh pemerintah dan diajukan ke pengadilan. Hal ini dialami oleh Demang Moedjimi, dimana dia telah melangar tugasnya dan diajukan ke pengadilan.
Moedjimi bekas Demang Bekasi sangat ditakuti di .jamannya, ketika perkaranya - masih diperiksa oleh polisi, Moedjimi sudah dimasukkan di dalam penjara yaitu dipertempatkan buat sementara waktui di teloek Betoeng, sebab orang kuatir saksi-saksi tidak dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya sebab takut akan pembalasan Moedjimi jika ia mengetahui.
Menurut surat dakwaan pada Moedjimi sudah dipersalahkan menyalahgunakan jabatannya sebagai seorang Demang meskipun ia masih memegang jabatan ambtenaar, kesalahan yang dilimpahkan kepadanya adalah menyalah gunakan jabatannya dengan meminta dan menerima uang dari orang lain yang terlibat dalam kejahatan atau tidak, dengan perjanjian akan dibebaskan dari penjara."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Siswantari
"Penelitian ini membahas tentang birokrasi pemerintahan Hindia Belanda pada tingkat wijkmeester untuk periode abad XIX; yang dikenal oleh masyarakat Betawi (dengan sebutan Bekmeester atau Bek. Kedudukan Wijkmeesters/bek dalam birokrasi pemerintahan menduduki posisi yang paling bawah, yang mempunyai tugas untuk menarik pajak, menjaga keamanan dan ketertiban serta- kebersihan wilayahnya. Dalam posisi demikian Wijkmeesters/bek berperan sebagai perantara yang menjembatani antara pemerintah dengan masyarakat. Seluruh kebijakan pemerintah harus diterjemahkan oleh pejabat ini agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakatnya. Dalam hal wewenang wijkmeesters boleh dikatakan tidak berhak memutuskan suatu kebijakan dari persoalan yang ada di masyarakatnya, setiap persoalan yang ada harus dilaporkan pada pejabat yang berada diatasnya yaitu Ajudan dan Komandan. Mereka inilah yang menentukan keputusan yang harus dilaksanakan oleh Wijkmeesters.
Jabatan wijkmeesters/bek meskipun tidak mendapatkan gaji melainkan hanya mendapatkan 8% dari pajak yang dapat ditarik dari masyarakatnya, cukup banyak diminati oleh masyarakat di Batavia, terbukti dari banyaknya surat lamaran yang diajukan untuk diangkat menjadi wijkmeester oleh pemerintah Hindia Belanda- Posisi jabatan wijkmeester di masyarakat cukup dihormati. umumnya para wijkmeester merupakan orang yang mampu/kaya, hal itu tercermin dari gaya hidup dan rumah tinggalnya. Dalam menjalankan perannya sebagai wijkmeester ada tindakan-tindakan yang menyimpang yang membuat wijkmeester tersebut dilepaskan dui jabatannya. Penyimpangan itu biasanya karena rnengelapkan uang pajaka yang diterimanya, dui tidak mampu mengatur ronda atau menjaga keamanan wilayahnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Mansjur
"Masalah Penelitian
Ada banyak studi antropologi meagenai kehidupan ekonomi masyarakat nelayanl) di berbagai tempat di dunia yang dengan pendekatan ekologi menghasilkan pandangan-pandangan yang memperkuat hipotesa-hipotesa yang dibangun dan dipertahankan oleh sebagian ahli antropologi ekologi tentang hubungan-hubungan yang selalu seimbang antara populasi-populasi dengan lingkungan dan sumber-sumber daya alam di sekelilingnya' (equilibria) dan 'sistem-sistem hubungan timbal balik di antara kedua komponen itu yang dapat mengatur dirinya sendiri' (self-regulating systems). Mereka yang dalam studinya memperkuat hipotesa-hipotesa seperti itu antara lain adalah Gersuny den Poggie, Epple, Smith, Suttles, dan Piddocks (dalam McCay, 1978). Di samping itu, penelitian mereka mengutamakan kelompok-kelompok atau komuniti dan sebaliknya mengabaikan individu-individu. Hipotesa-hipotesa tersebut dinilai ternyata lebih banyak tidak sesuai dengan realitas seperti yang diungkapkan oleh Vayda dan McGay (1975), bahwa manusia hidup secara bersama-sama dalam suatu ruang den menjadi subjek untuk berbagai macam situasi lingkungan dan kendala-kendala eksternal. Mereka (lihat bal. 294) menyebutkan gangguan-gangguan alam seperti banjir, pembekuan salju, angin topan, kekeringan (mengutip para ahli geografi), keadaan iklim, metereologi dan geologi yang ganas (mengutip Bruton dan Hewitt), dan yang mereka kategorikan sendiri seperti keganasan perang, perampasan atau penggerebekan, pemerasan dengan penyerahan upeti dan pajak, aksi-aksi penyiksaan yang berlatarbelakang agama, dan lain-lain. Adalah menjadi realitas juga bahwa manusia, baik sebagai individu-individu ataupun sebagai kelompok-kelompok adalah pembuat keputusan yang rasional dan penyusun strategi-strategi dalam rangka pemecahan masalah-masalah atau kendala-kendala yang dihadapinya.
Dalam kehidupan ekonomi nelayan, masalah-masalah yang ditimbulkan oleh kondisi-kondisi lingkungan merupakan fakta umum. Para ahli antropologi (antara lain yang terpenting adalah Acheson, 1981) menemukan bahwa meskipun laut menyediakan sumber ekonomi yang potensil bagi keberlangsungan hidup manusia, seperti ikan dan biotik laut lainnya yang mempunyai nilai ekonomi (dapat dikonsumsi atau dipertukarkan), namun pekerjaan untuk memperolehnya berlangsung dalam suatu lingkungan yang berbahaya dan penuh ketidakmenentuan. Bahaya dan ketidakmenentuan ini menurut mereka, bukan hanya disebabkan oleh kondisi-kondisi alam den biotik laut serta terjadinya perubahan-perubahan lingkungan fisik tersebut, tetapi juga oleh kondisi-kondiai lingkungan sosial-ekonomi di mana aktivitas penangkapan berlangsung. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, laut penuh risiko bahaya dan ketidakmenentuan. Acheson (cf. Smith, 1977: 2) menggambarkan laut sebagai suatu lingkungan yang sulit dimasuki orang untuk survival karena penuh dengan pukulan badai don ombak yang tak henti-hentinya. Untuk memasuki laut dan memperoleh sumber yang dikandungnya, orang hanya dapat menggunakan perlengkapan buatan seperti kapal2) dan perahu3) dan dengan alat-alat penangkapan ikan seperti net atau jaring, pancing dan lain-lain. Ternyata menurut Acheson, bahwa memasuki laut dengan perlengkapaa dan alat-alat seperti itu hanya dapat dilakukan ketika kondisi-kondisi cuaca di laut mengizinkan. Hilangnya jiwa manusia, perahu dan alat-alat perlengkapan merupakan risiko-risiko aktusl yang ditimbulkan oleh kondisi-kondisi lingkungan fisik laut tersebut. Di daerah-daerah perikanan laut dalam sekitar Massachusetts dan Gloucester (lihat Smith, hat. 8) telah tercatat beribu-ribu nelayan hilang di laut, sedang di Noordzee korban jiwa nelayan Urk (dari Belanda) saja tidak kurang dari 200 orang.4).
Kedua, adanya berbagai macam jenis den pola kebiasaan ikan dan biotik laut lainnya. Laut yang dengan berbagai macam keadaan air dan dasarnya mengandung banyak jenis biotik laut tetapi yang bukan hanya ada hanya secara musiman karena mempunyai pola kebiasaan migraai, tetapi juga ada populasi-populasi ikan yang meningkat atau merosot secara tiba-tiba yang sulit diramalkan oleh nelayan. Kondisi-kondisi sumber laut yang demikian menyebabkan para nelayan sulit mengontrol binatang buruanya di laut seperti halnya para pemburu di darat yang secara relatif bisa mengontrol binatang--binatang buruannya karena mereka tahu dengan pasti kebiasaan-kebiasaan dan atau ke mana bergerak binatang-binatang buruannya itu. Itulah sebabnya menurut Acheson sehingga perlengkapan dan alat-alat yang digunakan oleh para nelayan haruslah sesuai dengan kondisi-kondisi alam dan biotik laut, dan bukannya perlengkapan dan alat-alat yang begitu saja diambil dari darat seperti yang digunakan oleh para pemburu binatang darat.
Ketiga, lingkungan laut yang tampaknya homogen tetapi sebetulnya bersifat mendua. Salah satu aifat laut yang mempersulit operasi para nelayan adalah karena aeluruh bagian permukaannya tampakaya sama saja, tetapi yang sebetulnya menurut Smith (bal. 7) mempunyai si?."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
T3868
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library