Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nofi Aesti Alba
Abstrak :
ABSTRACT
Suatu ikatan perkawinan yang pada dasarnya bertujuan membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal dapat putus karena beberapa sebab, yang salah satunya adalah perceraian. Perceraian dapat berakibat buruk terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinannya, yaitu mengenai siapa yang berhak untuk memelihara, mendidik anak dan mempertahankan harta bendanya. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemeliharaan anak akibat putusnya perkawinan karena perceraian di Pengadilan Agama Bekasi dan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menentukan hak asuh anak yang diberikan kepada ayah, apakah pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi dan Jakarta Selatan dalam Putusan No.345/Pdt.G/2007/PA.Bks, Putusan No. 878/Pdt.G/2005/PAJS dan Putusan No. 904/Pdt.G/2007/PAJS telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder yang bersifat yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang berlaku dan mengikat kehidupan masyarakat. Di dalam Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi perceraian maka dibedakan antara pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) dengan anak yang sudah mumayyiz. Hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz diserahkan pada ibu, sedangkan anak yang sudah mumayyiz berhak memilih salah satu dari kedua orang tuanya, apakah akan ikut ibunya atau ayahnya. Faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menentukan hak asuh anak yang diberikan kepada ayah yaitu jika di dalam persidangan terbukti ibunya tidak lagi memenuhi syarat-syarat untuk melakukan pemeliharaan anak (hadhanah), seperti tidak cakap memelihara anak, mempunyai moral dan tingkah laku yang tidak baik, murtad, pemboros, pencuri, tidak mempunyai waktu untuk memelihara anak serta keberadaannya tidak diketahui oleh para pihak keluarga (Ghoib). Putusan Pengadilan Agama Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks, Nomor: 878/Pdt.G/2005/PAJS dan Nomor: 904/Pdt.G/2007/PAJS telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yaitu berdasarkan kepada Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam.
ABSTRACT
Basically aims at to make a happy and last family, marriage can be separated caused by several reasons, one of them is the divorce. Divorce may have bad consequences to the child who was born from their marriage, that is about who will have to nurture, to educate the child and maintain their community property. The main issues in this research is how to maintenance of the child resulted from the marriage severance because of the divorce at Bekasi Religious Court and at Southern Jakarta Religious Court, what factors which become a judge’s cogitation in determining the child nurture gave to the father, was the consideration of Justice at Bekasi Religious Court and Southern Jakarta in the Verdict Number 345/Pdt.G/2007/PA.Bks, Verdict Number 878/Pdt.G/2005/PAJS and Verdict Number 904/Pdt.G/2007/PAJS has already appropriate with the legal requirement which is valid in Indonesia. The research methodology used in this writing is library study by using secondary data based on juridicial norms, that is the research refers to law norms in the prevailing law and binding norms in social life. In the Compilation of the Islamic Law (Kompilasi Hukum Islam) if the divorce happening then is distinguished between the take care of the child that not yet mumayyiz (am not yet 12 years old) and the child that already mumayyiz. The right to take care of the child that not yet mumayyiz is handed over to the mother, whereas the child that already mumayyiz have the right to choose one of their parents, whether they will go with their mother or their father. Some factors that become the foundation of consideration of the judge’s in determining the right to take care of the child gave to the father that are; if the court could proved that the mother is no longer fill conditions to carry out the take care of the child (hadhanah), like incapable of raising the child, have moral and bad behaviour, murtad, spendthrift, thief, do not have time to nurture the child and their family do not know about his or her existence (ghoib). The Verdict of Religious Court Number: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks, Number: 878/Pdt.G/2005/PAJS and Number: 904/Pdt.G/2007/PAJS have complied with the current law, that is be based on the Islamic Law and the Compilation of the Islamic Law (Kompilasi Hukum Islam).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21406
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hanum Megasari
Abstrak :
Perceraian pada perkawinan campuran pastinya membawa konsekwensi terhadap status hukum dan pemeliharaan anak yang dihasilkan dari perkawinan campuran tersebut. Indonesia telah melahirkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menggantikan Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 480/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel telah memutuskan mengenai status hukum dan pemeliharaan anak akibat perceraian orang tuanya yang melakukan perkawinan campuran antara Indonesia dengan Inggris. Terhadap putusan tersebut penulis mencoba menganalisis terhadap putusan Pengadilan tersebut mengenai pemeliharaan anak dan status hukum anak bila ditinjau dari UU 12/2006. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif dan empiris. Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan dan wawancara. Status hukum anak ditinjau dari Undang-undang 12/2006 lebih menguntungkan dibandingkan dengan UU 62/1958. Hal ini bisa terlihat bahwa dalam Undang-Undang Kewarganegaraan baru, anak dapat memiliki kewarganegaraan ganda terbatas dari kedua orang tuanya. Disebut terbatas karena nanti setelah anak-anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Sedangkan bila ditinjau dari UU 62/1958, status hukum anak itu mengikuti kewarganegaraan ayahnya saja. Dalam hal pemeliharaan anak maka berdasarkan yurisprudensiyurisprudensi, hukum tempat kediaman sehari-hari si anak (habitual residence) yang berlaku, namun apabila terjadi sengketa, maka "the best interest of the child" merupakan pertimbangan utama bagi hakim dalam memutuskan sengketa. Dengan diundangkannya UU 12/2006 maka anak dapat bebas dan tidak takut dideportasi. Terhadap pemeliharaan anak maka tepatlah bahwa habitual residence merupakan solusi yang baik. ...... Divorce in the intermarriage of course bring the consequences of the legal status and maintenance children produced from a mixture of the marriage. Indonesia has born the Law No. 12 Year 2006 on Citizenship of the Republic of Indonesia replace Law No. 62 Year 1958 on Citizenship of the Republic of Indonesia. The court decision in the South Jakarta State Tax 480/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel have decided on the status of law and maintenance children divorce their parents do that intermarriage between Indonesia and Britain. Decision against, the author tries to analyze the court decision regarding the maintenance of children and the legal status of children when the review of Law No. 12/2006. Research method used is the normative and empiris legal research methods. While the approach to research that is conducted research literature and interview. Review the legal status of children from the Law No. 12/2006 more profitable than the Law No. 62/1958. This can be seen that in the Citizenship Act new, children can have a limited dual citizenship from both parents. Called limited because later after children aged 18 (eighteen) years old or have married the child must choose one of the stated nationality. Meanwhile, when the review of Law No. 62/1958, the legal status of children is to follow his father's citizenship course. In the case of the child based on the jurisprudence-jurisprudence, legal residence the day-to-day child (habitual residence) is fine, but when disputes occur, then "the best interest of the child" is a major consideration for judges in deciding disputes. With born Law No. 12/2006 the children can be free and not worry about deported. About a maintenance children is indeed appropriate that the habitual residence is a good solution.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25252
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yuristianto Purnomo
Abstrak :
Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, memiliki aneka ragam suku bangsa, agama dan bahasa. Diantara warga negara saling berinteraksi dan dari basil interaksi itu ada yang sampai pada jenjang perkawinan. Kebanyakan dari mereka hidup bahagia dan mempunyai anak, akan tetapi tidak sedikit diantara mereka mengalami problem rumah tangga yang pada akhirnya sampai pada perceraian. Hal ini dapat berakibat buruk terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinannya, yaitu mengenai siapa yang berhak untuk memeliharanya, memdidiknya termasuk terhadap harta bendanya. Topik ini sangat menarik untuk diangkat dalam skripsi, karena anak yang dilahirkan dalam perkawinan merupakan titipan Allah, sehingga sudah selayaknya orang tua wajib memelihara, memdidiknya menjadi anak yang Saleh dan dapat hidup mandiri. Perceraian dapat berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa si anak dan masa depannya kelak. Hal yang menjadi inti :permasalahan adalah: 1. Bagaimana konsep Hukum Islam, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam di Indonesia tentang pemeliharaan anak sebagai akibat putusnya hubungan perkawinan karena perceraian. 2. Bagaimana praktek di Pengadilan agama dalam putusannya mengenai pemeliharaan anak sebagai akibat putusnya hubungan perkawinan karena perceraian. Skripsi ini berusaha i untuk mengupas masalah-masalah pemeliharaan anak setelah petceraian dan penyelesaiannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, sehingga pihak-pihak yang berperkara mendapat kepastian hukum terutama mengenai pemeliharaan anak.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Haqilla Bilqis
Abstrak :
Putusnya suatu perkawinan campuran karena perceraian dapat berakibat langsung terhadap berbagai aspek, salah satu yang paling terdampak adalah akibat perceraian terhadap anak, yaitu mengenai hak pemeliharaan anak. Pemeliharaan anak akibat putusnya perkawinan campuran tidak dapat disamakan begitu saja dengan pemeliharaan anak dalam perkawinan pada umumnya. Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memutus pemeliharaan anak dalam perkawinan campuran, salah satunya pertimbangan bahwa setelah perceraian, kedua orang tua sangat berkemungkinan tinggal di negara yang berbeda sehingga sulit bagi anak untuk dapat berhubungan langsung dengan kedua orang tuanya setelah perceraian. Berdasarkan hal tersebut, Penulis tertarik untuk membahas mengenai bagaimana akibat perceraian dalam perkawinan campuran terhadap hak pemeliharaan anak serta penerapannya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 804K/PDT/2016. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif serta tipologi yang bersifat deskriptif untuk memecahkan masalah. Dari penelitian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 804K/PDT/2016 kurang tepat karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dimana hakim seharusnya mempertimbangkan pemberian hak pemeliharaan anak dalam perkawinan campuran dengan lebih matang dan berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak. Untuk mencegah pemberian hak pemeliharaan anak yang kurang dipertimbangkan dengan matang oleh hakim, diharapakn adanya pedoman pengaturan dari Pemerintah khususnya Mahkamah Agung mengenai pemeriksaan putusan perkara hak pemeliharaan anak terutama hak pemeliharaan anak dalam perkawinan campuran. ......Divorce in a mixed marriage can cause direct consequences on various aspects, one of the most affected aspects is the consequence to the children, namely regarding child custody. Child custody due to a divorce in mixed marriages can’t be equated with child custody in general marriages. There are some things that need to be considered when deciding child custody in mixed marriages, one of the consideration is that after the divorce, both parents are likely to live in different countries so that it will be difficult for the child to be able to have direct contact with both parents after the divorce. Based on those explanations, the author is interested in discussing how is child custody due to a divorce in mixed marriages and its application in the Supreme Court Verdict Number 804K/PDT/2016. This research was conducted using normative juridical research methods and descriptive typology to solve the problems. From this research, it can be concluded that the Supreme Court Verdict Number 804K/PDT/2016 was not correct because it was not complying with the regulations, especially Law Number 23 of the year 2002 on Child Protection which has been amended by Law Number 35 of the year 2014 on Amendments to Law Number 23 of the year of 2002 on Child Protection, where the judge supposed to considers granting the child custody in mixed marriages more carefully and always refers to the best interests of the child. To prevent the not well-considered granting of child custody for children by the judges, it is hoped that the Government, especially the Supreme Court, can conduct regulatory guidelines regarding the examination of the verdict on the case of child custody in mixed marriages.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Said Muhammad Rizky
Abstrak :
Pada kasus dalam Putusan No. 703/Pdt.G/2015/PN.Sby terdapat kondisi di mana kakek dan nenek seorang anak mengajukan permohonan untuk dijadikan wali atas cucunya ketika ayah yang telah ditentukan sebagai wali anak tersebut sudah tidak mampu mengurus anaknya. Namun menurut pertimbangan Hakim, kakek dan nenek tersebut tidak dapat memiliki hak asuh karena anak tersebut masih memiliki orang tua dan tidak memiliki kedudukan untuk mengajukan hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU Perkawinan. Tulisan ini membahas penggunaan dasar hukum dalam UU Perkawinan dalam penolakan permintaan perwalian yang dilakukan kakek dan nenek tersebut. Penulisan Skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan metode analisis data deskriptif-analitis sehingga simpulan yang diperoleh berupa penjelasan eksplanatif. Dari dilakukannya penelitian ini diketahui bahwa anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum kawin berada di bawah kekuasaan orang tua meskipun telah terjadi perceraian pada orang tuanya. Setelah terjadinya perceraian orang tua dapat diberikan status pemegang pemeliharaan anak sedangkan perwalian baru timbul ketika anak tersebut sudah tidak lagi berada dalam kekuasaan orang tua. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 UU Perkawinan, keluarga anak dalam garis lurus ke atas memiliki kedudukan untuk meminta pencabutan perwalian pada anak. Dengan demikian, kakek dan nenek anak dapat meminta pencabutan perwalian atau kekuasaan orang tua. Pemberian status wali pada siapapun selama anak masih berada dalam kekuasaan orang tuanya agar tidak terjadi pelanggaran dalam ketentuan Pasal 50 UU Perkawinan.
Upon the case on Verdict Number 703 Pdt.G 2015 PN.Sby there are grandparents that want to be the guardian of their grandchild when the parents, whose already became the guardian of his own child, is already unable to take care of the child. However, according to the judges rsquo consideration, the grandparents cannot have the guardianship since the child still has his parents and did not have a legal standing in requesting guardianship based on Article 49 Marriage Law. This paper discusses whether if the judge already used the right provision in Marriage Law to reject the grandparents rsquo guardianship request. This study uses normative with descriptive qualitative data analysis methods so that the conclusion obtained in the form of an explanatory description. From doing this study, it would be known that any children who have not reached the age of 18 eighteen years and have not married are under the authority of the parents even if they are already divorced. After the divorce, parents could have the child custody but guardianship status will arise not after the divorce, but after there are no longer parents rsquo authority. According to Article 49 Marriage Law, the family of a child has the legal standing to revoke a parents rsquo authority or guardianship. Therefore, based on Article 49 Marriage Law the grandparents have the right to revoke the parents rsquo authority or guardianship on their grandchild. Furthermore, the judges should not give a guardianship status even to child own parents when the child is still in their parents rsquo authority.
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rimala Meylda
Abstrak :
Dalam perkara perceraian, sering kali para orang tua memohon untuk ditetapkan sebagai pemegang kuasa asuh atau wali atas anak-anaknya yang masih di bawah umur. Lalu apa perbedaan antara kuasa asuh dan perwalian? Seolah dapat saling dipertukarkan, banyak para orang tua dalam perkara perceraian yang memohon untuk ditetapkan hak perwalian terhadap anak kandungnya.  Melalui gugatan perceraian dalam Putusan No. 39/PDT.G/2020/PN.TIM dan Putusan No. 383/Pdt.G/2018/PA.SMG Penulis akan membahas mengenai apakah perceraian mengakibatkan perwalian berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia? Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan metode analisis data deskriptif-analitis sehingga simpulan yang diperoleh berupa penjelasan eksplanatif. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa dalam Putusan Nomor 39/PDT.G/2020/PN.TIM dan Putusan Nomor 383/Pdt.G/2018/PA.SMG tidak tepat jika dikabulkannya permohonan untuk ditetapkan hak perwalian anak terhadap Penggugat (selaku orang tua kandung dari anak yang belum dewasa). Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan, Pasal 45 UU Perkawinan, Pasal 98 KHI dan Pasal 105 KHI, Penggugat masih memiliki kekuasaan untuk memelihara anaknya, putusnya perkawinan akibat perceraian tidak menyebabkan kekuasaan orang tua berakhir karena kedua orang tua tetap memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai ia dewasa atau mampu berdiri sendiri. Selain itu, Berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU Perkawinan dan Pasal 1 huruf h KHI suatu perwalian belum dapat timbul atas anak-anak tersebut karena tidak terpenuhinya salah satu unsur yaitu Anak tersebut tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Dengan demikian, putusnya ikatan perkawinan karena perceraian tidak menyebabkan perwalian melainkan adanya penguasaan hak asuh atau pemeliharaan anak.

 


Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apri Zulhakki Darmawan
Abstrak :
ABSTRAK
Perceraian merupakan pilihan terakhir bagi pasangan suami istri setelah semua upaya ditempuh untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Pada dasarnya, semua perceraian akan dilakukan melalui pengadilan dan diputuskan oleh hakim. Setelah pengadilan memutuskan bahwa perceraian tidak dapat lagi dihindari, barulah perceraian dapat dilakukan. Setelah perceraian terjadi, terdapat beberapa hal yang mengikutinya yang juga perlu untuk diselesaikan, misalnya harta yang harus dipisahkan untuk bagian suami dan bagian istri apabila tidak terdapat perjanjian perkawinan sebelumnya, juga mengenai hak asuh anak apabila dalam berlangsungnya perkawinan tersebut dianugerahi anak. Tidak jarang terdapat sengketa mengenai pembagian hak asuh anak. Selain penentuan hak asuh anak, terdapat penentuan mengenai biaya pengasuhan, pendidikan dan pemeliharaan anak. Biaya ini ditentukan demi menjamin keberlangsungan hidup anak-anak dari orang tua yang bercerai tersebut agar tetap tercukupi. Baik penentuan hak asuh anak dan biaya pengasuhan, pendidikan dan pemeliharaan anak, Undang-Undang Perkawinan mengamanahkan hakim sebagai pihak yang menentukan. Namun, Undang-Undang beserta peraturan turunannya tidak menjabarkan lanjut mengenai pertimbangan dan pedoman kalkulasi bagi hakim untuk menentukan hal tersebut. Sehingga, tidak terdapat suatu parameter yang jelas dalam menentukan hak asuh dan biaya pengasuhan, pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut dan hanya didasarkan pada preferensi hakim. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif atau penelitian dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis, ketiadaan pedoman hakim untuk mempertimbangkan penjatuhan hak asuh anak dan kalkulasi biaya pengasuhan, pendidikan, dan pemeliharaan anak menimbulkan banyak permasalahan yang tidak dapat diakomodir. Selain itu, penumpuan biaya pengasuhan, pendidikan, dan pemeliharaan anak kepada sang ayah yang terlihat kaku ternyata berakar dari pembagian kewajiban suami istri dalam Undang-Undang Perkawinan yang juga dibagi secara kaku. Sehingga, penulis menyarankan agar diubahnya beberapa pasal dalam Undang-Undang Perkawinan dan dibuatnya pedoman kalkulasi biaya pengasuhan, pendidikan, dan pemeliharaan anak di Indonesia.
ABSTRACT
Divorce may be the last choice for married couples after all efforts they have been made to maintain the household. Basically, all divorce will be conducted through a court and decided by a judge. After the court decides that divorce can no longer be avoided, then divorce could be carried out. After the divorce occurs, there are several things that follows that also need to be resolved, for example assets that must be separated for the husband and wife if there is no prenuptial agreement, also regarding child custody if the marriage is endowed with a child. Not infrequently there are also disputes regarding to the child custody. In addition to child custody, there is a determination regarding the costs of child support. These costs are determined in order to ensure the prosperity of the children after the divorced of their parents. Both the determination of child custody and the costs of child support, Indonesia Marriage Act entrusts the judge as the deciding party. However, the Act and its derivative regulations do not elaborate further on the considerations and calculation guidelines for judges decisions. Thus, there is no clear parameter in determining custody and costs of child support and it is only based on the preferences of the judge. In writing this thesis, the author use the normative juridical research method or research with a qualitative approach. Based on the analysis conducted by the author, the absence of a judges guideline to consider the decision of child custody and the calculation of the costs of child support raises many problems that cannot be accommodated. In addition, the child support costs that depending to the father that seems rigid turned out comes from the division of husband and wife obligations in the Marriage Act which is also divided rigidly. Thus, the authors suggest that amendments to several articles in the Marriage Law and the making of guidelines for calculating the costs of child support in Indonesia.
2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Auli Calend
Abstrak :
Tidak semua pasangan suami istri yang sudah menikah memiliki kesempatan untuk melahirkan anak. Salah satu pilihan yang dapat mereka lakukan untuk memperoleh anak adalah dengan melakukan pengangkatan anak (adopsi). Pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum terhadap kedudukan anak angkat dalam keluarga angkatnya. Belum ada peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur perihal tersebut, sehingga dapat mengakibatkan posisi anak angkat menjadi rentan. Belum lagi jika kemudian orang tua angkatnya harus bercerai. Perceraian orang tua angkat akan membawa akibat hukum bagi anak angkat. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah memberikan gambaran yang akan terjadi mengenai kedudukan hukum dan pemeliharaan anak angkat apabila orang tua angkatnya bercerai. Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif. Pengangkatan anak yang dilakukan menurut hukum melalui Penetapan Pengadilan akan memberikan kepastian hukum bagi kedudukan dan status si anak menjadi seorang anak angkat yang sah. Terhadap anak angkat yang sah melekat seluruh hak dan kewajiban layaknya seorang anak yang lahir dalam suatu perkawinan. Demikian pula apabila orang tua angkatnya kemudian bercerai, maka akibat hukum dari perceraian orang tua angkatnya terhadap anak angkatnya adalah sama seperti akibat hukum perceraian terhadap anak yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. ......Not all married couples who are married have the opportunity to bear children. One of the options they can do to have children is adoption. Adoption of a child is a legal act that has legal consequences for the position of the adopted child in the adopted family. There are no specific laws and regulations that regulate this matter so that it can result in the position of adopted children to be vulnerable. Not to mention if the adoptive parents have to divorce. Adoptive parent divorce will have legal consequences for adopted children. The purpose of writing this thesis is to provide an overview of what will happen regarding the legal position and maintenance of adopted children if the adoptive parents divorce. The writing method used in this thesis is normative juridical. Adoption of a child carried out according to law through a Court Order will provide legal certainty for the position and status of the child to become a legal adopted child. Legitimate adopted children are attached to all rights and obligations as if they were born in a marriage. Likewise, if the adoptive parents later divorce, the legal consequences of the divorce of the adoptive parents for their adopted children are the same as the legal consequences of divorce against children as regulated in the Marriage Law.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chenny Hadi Nuryanti
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai perbandingan pengaturan ketentuan hak asuh anak bersama akibat perceraian di Indonesia dan Singapura serta dianalisis penerapannya dalam putusan masing-masing negara. Hak Asuh Bersama yang dikenal di Indonesia dengan istilah pemeliharaan anak merupakan salah satu jenis hak asuh anak yang dikenal di Indonesia, namun pengaturan yang masih belum lengkap membuat pemeliharaan anak dapat terkendala dalam pelaksanaannya. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dimana penelitian menekankan pada data sekunder yaitu penggunaan norma-norma hukum tertulis dan perbandingan mengenai hukum Indonesia dan Singapura. Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa konsep pemeliharaan anak yang ada di Indonesia tidak disertai dengan ketentuan yang lengkap sehingga masih perlu dilengkapi serta dilaukan berbagai perubahan. Pemerintah sebagai pihak yang memegang kekuasaan diharapkan untuk melakukan berbagai perubahan tersebut sehingga penerapannya dapat diberlakukan dengan jelas dan tegas. ......The thesis explains the comparison of child joint custody regulation due to a divorce between Indonesia and Singapore by analyzing its application in the order of each country. Joint Custody in Indonesia as one of the consequences of divorce in Indonesia still not equipped with complete regulations and has the potential to create obstacles in their implementation. This study was conducted using normative juridicial approach, which emphasized on secondary data, such as the application of the legal norms and comparison of the laws between Indonesia and Singapore. The result of this study illustrates the current need of improvement in the regulation regading Joint Custody study in Indonesia. The government, as the stake holder, is encouraged and expected to make changes and improve, so that the implementation can be applied clearly and improved.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Juarsih
Abstrak :
Tulisan ini mengkaji mengenai pengaturan hukum yang masih belum mengatur secara rinci bagaimana kewajiban orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari anak setelah putusnya perkawinan yang diakibatkan oleh perceraian. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa hukum Indonesia mengatur bahwa bapak yang bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak setelah perceraian, dibantu oleh ibu apabila bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Kewajiban orang tua setelah perceraian tersebut tidak mengatur mengenai parameter biaya nafkah anak setelah perceraian, tidak ada peninjauan ulang terhadap kondisi finansial orang tua, serta sampai kapan nafkah anak diberikan. ......This paper analyzes the legal regulations that still do not regulate in detail how the obligation of parents to meet the daily living needs of children after the breakdown of marriage caused by divorce. This paper is prepared using legal-normative research method. From the results of the research, it is found that Indonesian law regulates that the father is responsible for the maintenance and education of children after divorce, assisted by the mother if the father cannot fulfill these obligations. Parental obligations after divorce do not regulate the parameters of child support after divorce, there is no review of the financial condition of the parents and how long child support is provided.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library