Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2009
364.132 3 IND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arsha
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26027
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
H. Muhammad Prasetyo
MI Publishing, 2017
364.132 3 MUH s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ineke Indraswati
Abstrak :
Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan hares diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Kerusakan hutan di Indonesia terjadi karena berbagai sebab, salah satunya adalah kerusakan hutan akibat perambahan oleh manusia secara tidak benar sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan ataupun banjir. Kasus perambahan hutan di Indonesia masih kerap terjadi walaupun telah ada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kasus-kasus ini masih terjadi karena penegakkan hukum yang belum berlangsung secara maksimal. Pada tahun 2005, Kejaksaan Agung R.I. menyidik suatu kasus perambahan hutan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus di Kawasan Hutan Register 40 di Sumatera Utara. Kasus ini sudah lama akan tetapi belum berhasil dibawa ke Pengadilan oleh aparat yang berwenang. Kejaksaan Agung R.I., dalam hal ini JAMPIDSUS, milakukan penyidikan atas kasus ini dengan menyangkakan ketentuanketentuan dalam tindak pidana korupsi terhadap kasus tersebut. Penyidikan dan penuntutan atas perkara ini didasarkan pada fakta bahwa tindakan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus adalah merambah kawasan hutan yang merupakan milik negara dan menimbulkan kerugian negara sehingga terhadap Darianus Lungguk Sitorus didakwa dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan. Akan tetapi dalam putusan tingkat pertama dan tingkat kasasi, tindak pidana yang terbukti adalah tindak pidana kehutanan. Hal ini dikarenakan adanya berbagai kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan yaitu mengenai asas lex specialis derogat legi generasi dan definisi kerugian negara itu sendiri. Dengan demikian penerapan ketentuan tindak pidana korupsi dalam kasus perambahan hutan khususnya kasus Darianus Lungguk Sitorus belum dapat digunakan.
Forest is one of the national development potential which have real benefit to Indonesia, such as ecological benefit, social cultural and economic. Therefore forest should be taking care of and organized, protected, and continuation usable to Indonesian welfare. The damage of forest in Indonesia happened because a lot of reasons, one of them is the cleared away by human that cause environmental pollution and flood. Such clear away forest cases in Indonesia still happened even though there are Law No. 41, 1999. These cases still happened because the law enforcement is not maximized. In 2005, Attorney General Office investigated a clear away forest by Darianus Lungguk Sitorus in Area 40 in North Sumatera. Its been years, yet it still can not be brought to the court. Attorney General Office investigated the case based on the accusation of anti corruption. The investigation and prosecution on this case based on facts that Darianus Lungguk Sitorus act to cleared away the forest which belong to Indonesia government impact on the lost of capital, hence it convicted with anti corruption. On the first verdict and cessation, the crime that proved is the Forest Law and not Anti Corruption. These happened because several problems faced by the Attorney General such as lex specialis derogate legi generali and the difference definitions of state lost capital. Therefore the implementation of anti corruption can not be use in the clear away forest cases especially case of Darianus Lungguk Sitorus.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Victor Antonius
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T36537
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rhendra Kusuma
Abstrak :
ABSTRAK
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai salah satu lembaga penegak hukum baru merupakan angin segar dalam sistem hukum di Indonesia untuk memberantasan tindak pidana korupsi. Kewenangan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 meliputi tindakan sejak fase penyelidikan hingga penuntutan. Namun pada faktanya, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga melakukan proses eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh Kejaksaan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004. Akan tetapi pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang melaksanakan putusan merupakan Jaksa yang diberhentikan sementara dari Kejaksaan Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas di Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Fakta ini menyebabkan perdebatan di beberapa pihak terkait siapa yang berwenang dan bagaimana kepastian hukumnya. Asas legalitas serta kewenangan yang melekat pada lembaga membuat tindakan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
ABSTRACT
Corruption Eradication Commission as a new law enforcement agencies is a fresh air in Indonesia to eradicate corruption. Based on Law No. 20 of 2002, Anti Corruption Commission authorities to eradicate corruption in Indonesia is from the investigation phase to prosecution. In fact, the Anti Corruption Commission also doing the execution of legally binding verdict. That authorithies should be prosecutor`s based on Law No. 16 of 2004. However, the employees of the Anti Corruption Commission who implemented the verdict were Prosecutors who were temporarily dismissed from the Prosecutor`s Office of the Republic of Indonesia for carrying out their duties in the Anti Corruption Commission. This fact led to a debate on several parties regarding who is authorized and how legal certainty is. The principle of legality and authority inherent in the institution makes the action of the Corruption Eradication Commission an act that opposes the laws and regulations
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suha Qoriroh
Abstrak :
Keberadaan lembaga anti-korupsi dinilai penting untuk menanggulangi persoalan korupsi yang hampir terjadi di setiap negara. Penelitian ini akan mengkaji tentang mengapa diperlukan integrasi kewenangan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia dan bagaimana model kelembagaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di masa yang akan datang. Metode penelitian ini berbentuk penelitian hukum normatif melalui studi kepustakaan dan komparasi dengan lima negara: Singapura, Hong Kong, Lithuania, Latvia dan Korea Selatan. Hasil penelitian menunjukkan ada dua urgensi untuk mengintegrasikan kewenangan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu: Pertama, tidak efektifnya sistem the multi agency yang melibatkan lembaga pemerintah (Kepolisian dan Kejaksaan) dalam pemberantasan korupsi. Salah satunya disebabkan karena tumpang tindih kewenangan penyidikan antara kepolisian, kejaksaan dan KPK. Kedua,kegagalan badan antikorupsi yang pernah ada yang melibatkan kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi sejak pasca kemerdekaan sampai era reformasi dan tingginya angka korupsi di indonesia yang melibatkan kedua lembaga tersebut. Penelitian ini mengusulkan model pemberantasan korupsi the single agency, dengan menjadikan KPK sebagaisatu-satunya lembaga yang berwenang dalam memberantas korupsi. Perbandingan dengan 5 negara lain menunjukkan model the single agency bukan hal yang baru dan sudah diterapkan oleh Singapura, Hong Kong dan Korea Selatan. Performa model ini terbukti dapat meningkatkan CPI masing-masing negara sehingga lebih efektif dalam memberantas korupsi. Lembaga antikorupsi adalah lembaga negara penunjang dalam cabang kekuasaan eksekutif yang independen, hal ini dapat dilihat berdasarkan fungsi, wewenang dan pertanggungjawaban lembaga antikorupsi tersebut. Penelitian ini memberikan tiga catatan terhadap perbaikan KPK di masa yang akan datang dengan menguatkan independensi structural, fungsional dan administrasi KPK. Saran kepada MPR agar mulai mengkaji dan menjadikan KPK sebagai lembaga negara penunjang yang independen dalam konstitusi dan bagi pembentuk undang-undang untuk menyelaraskan dan melengkapi instrument hukum yang mumpuni dalam pemberantasan korupsi. ......The existence of an anti-corruption agency is considered important to overcome the problem of corruption that occurs in almost every country. This research will examine why it is necessary to integrate the authority of corruption eradication agencies in Indonesia and how the institutional model for the Corruption Eradication Commission will be in the future. This research method is in the form of normative legal research through literature studies and comparisons with five countries: Singapore, Hong Kong, Lithuania, Latvia, and South Korea. The results of the study show that there are two urgencies to integrate the authority of corruption eradication agencies in Indonesia, namely: First, the ineffectiveness of the multi-agency system involving government agencies (the Police and the Attorney General's Office) in eradicating corruption. One reason is the overlapping investigative powers between the police, prosecutors, and the KPK. Second, the failure of anti-corruption agencies that have involved the police and prosecutors in eradicating corruption from the post-independence era to the reform era and the high rate of corruption in Indonesia involving these two institutions. This study proposes the single agency model of eradicating corruption, by making the KPK the only institution authorized to eradicate corruption. Comparison with 5 other countries shows that the single-agency model is not new and has been implemented by Singapore, Hong Kong, and South Korea. The performance of this model is proven to be able to increase the CPI of each country so that it is more effective in eradicating corruption. The anti-corruption agency is a supporting state institution in the independent branch of executive power, this can be seen based on the function, authority, and accountability of the anti-corruption agency. This research provides three notes on future improvements to the KPK by strengthening the structural, functional, and administrative independence of the KPK. Suggestions to the MPR to start reviewing and making the KPK an independent supporting state institution in the constitution and for legislators to align and complement qualified legal instruments in eradicating corruption.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdy Fardian Hidayat
Abstrak :
Terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai antara "konsep pemisahan kekayaan pada badan hukum" sebagaimana diatur dalam UU BUMN dan UU PT dengan konsep "percampuran kekayaan pada keuangan negara" sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara. "Konsep percampuran kekayaan dalam keuangan negara" tersebut menimbulkan konflik dalam penegakannya, karena aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dapat mengartikan kekayaan yang dimiliki oleh Bank BUMN termasuk ke dalam keuangan negara. Tidak samanya ketentuan peraturan perundang-undangan antara satu dengan yang lainnya, berimplikasi tidak menjamin kepastian hukum, karena di satu sisi, organ Bank BUMN seperti RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris berlaku atasnya "konsep pemisahan kekayaan pada badan hukum" ke dalam mekanisme dan kewenangan yang mereka miliki, namun di sisi lain aparat penegak hukum seperti KPK menggunakan "konsep percampuran kekayaan pada keuangan negara" dengan tidak mengindahkan mekanisme dan kewenangan organ Bank BUMN tersebut, sehingga Direktur tidak akan terbebas dari pembebanan tanggung jawab penuh secara pribadi atau tanggung jawab secara tanggung renteng manakala proses tindak pidana korupsi justru menghilangkan hak-haknya itu. Pembelaan diri Direktur Bank BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT sesungguhnya telah memenuhi persyaratan yang diatur berdasarkan doktrin business judgment rule. Satu unsur terpenting dalam pembelaan diri tersebut adalah asumsi hakim. Oleh karenanya, hakim sudah seharusnya menerapkan asumsi positif terlebih dahulu kepada Direktur Bank BUMN ketika Direktur yang bersangkutan ditarik sebagai pihak tergugat, hal ini dilakukan karena hakim tidak ada pada saat keputusan bisnis dibuat sehingga hakim tidak boleh menempatkan dirinya seakan menjadi Direktur ketika itu. Selain itu hakim tidak mempunyai kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang sama untuk menghasikan keputusan bisnis yang lebih baik/pantas/bernilai ketimbang keputusan bisnis Direktur yang bersangkutan. Hakim juga tidak bisa memposisikan dirinya menjadi Dewan Komisaris untuk menilai keputusan bisnis dari Direktur, karena selama: pelaksanaan kepengurusan Direktur tidak ditemukan adanya tindakan pencegahan dari Direktur Kepatuhan, dissenting opinions dari sesama anggota Direksi dan peringatan dari Dewan Komisaris, maka hakim tidak dapat membuat asumsi negatif apalagi hanya berdasarkan fakta dari pihak penggugat terhadap keputusan bisnis Direktur.
There is a disintegration in Indonesian rules between separation equity concept in artificial person who ruled by State Enterprise Law and Corporation Law with unite equity concept in state equity who ruled in Article 2 Letter g State Equity Law. The unite equity concept give conlicts in practical, which is KPK (Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) can argued with that concept where state enterprise equity is belong to state equity. This opinion can give misinterpretation within those rules and give the negative implication which is when State Bank organs stand with the separation equity concept in corporation mechanism and its authority even that corporation is a state enterprise, the other hand, law enforcement by KPK used unite equity concept in state enterprise and they didn't even care with those corporation's mechanism and it's authority as separate entity from their shareholders. The major problem is Director can not be free from personal liability or share liability with the other Directors if he already be judge with that misconcept by KPK. Therefore the rights of Director to defend himself with corporation mechanism and it?s authority is very limited or even gone. Actually, the defends of Director who ruled in Article 97 (5) in Corporation Law, are already qualified based on business judgment rule doctrine. One of the most important defend for Director is "assumption". Therefore judge should have a good assumption to State Bank Director when that director become a plaintiff in court. The reason is judge was not there when the business made by Director and judge didn?t even had capability, knowledge, dan experience which can give more value or more benefit in business decision than Director's. Furthermore, judge is not Commissaries who can give a judgment to Director's business decision because as long as no warning action from Compliance Director and no dissenting opinions from the other Directors and of course no rejection from Commissaries to those Director?s business decisions, then judge can not make negative assumption to Director.
2009
T26169
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library