Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Reza Winata
Abstrak :
Pengesampingan putusan memunculkan diskursus mengenai fleksibilitas tindak lanjutnya. Tesis ini hendak menjawab rumusan masalah yaitu pemaknaan finalitas dan kekuatan mengikat putusan dalam pembentukan undang-undang, serta fleksibilitas tindak lanjut putusan dalam pembentukan undang-undang. Metode penelitian berbentuk penelitian yuridis normatif melalui studi kepustakaan dengan komparasi negara Austria, Italia, Jerman, Turki, dan Rusia. Hasil penelitian menunjukan makna final berarti tidak ada mekanisme hukum untuk menguji kembali putusan dan mengikat bersifat erga omnes atau mengikat umum, tapi sekaligus bersifat non-self implementing. Selanjutnya, kajian terhadap putusan MK tahun 2003-2013, ditemukan 15 putusan pengesampngan dengan karakteristik: (1) diundang 7 putusan dan tidak diundang 8 putusan; (2) eksplisit 5 putusan dan implisit 10 putusan; (3) berlasan 5 putusan dan tanpa alasan 10 putusan. Perbandingan negara lain, tidak terdapat pengaturan konstitusi yang mewajibkan mutlak selalu mengikuti putusan, sedangkan secara doktrinal Austria dan Jerman membolehkan pengesampingan, sedangkan Italia, Jerman, dan Turki melarang pengesampingan. Rasionalisasi pengesampingan: (1) pembentuk undang-undang memiliki kewenangan konstitusional untuk membentuk undangundang, sehingga dapat memberikan kembali validitas norma yang telah inkonstitusional; (2) pengesampingan merupakan wujud checks and balances antara cabang kekuasaanyaitu; (3) terjadinya keadaan sosial dan kebutuhan hukum baru dimasyarakat yang tidak sesuai lagi dengan putusan. Ketika terjadi pengesampingan putusan, haruslah berdasarkan argumentasi yang komperhensif dan rasional.
The ignore response to decision raises discourse about the responds flexibility. This study aims to answer research questions, the meaning of finality and binding force of decisions in lawmaking, then the response flexibility to decisions in lawmaking. The research method is normative juridical research through literature study with comparative countries of Austria, Italy, Germany, Turkey, and Russia. The results show that the final meaning means that is no legal mechanism to review the decisions and erga omnes or binding generally to all legal subjects, but also limited by non-self implementing. Based on study to Constitutional Court decisions from 2003-2013, from 15 decisions are found with characteristics: (1) 7 invited decisions and 8 not invited decisions; (2) 5 explicit decisions and 10 implicit decisions; (3) 5 decisions with reason and 10 decision without reason. Comparison to other countries, no requirement to absolutely follow the decision, while doctrinally Austria and Germany allow ignore, but Italy, Germany, and Turkey prohibit ignore. The rationalization ignore: (1) the legislators have constitutional authority to form laws, so it is constitutional to give again the validity of unconstitutional norms; (2) ignore is a form of checks and balances between branches of power; (3) development social situation and new legal needs no longer in line with the decision. When the ignore of decision happened, it must be based on comprehensive and rational arguments.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T55271
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaidir Ali
Abstrak :
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3) lahir dari adanya pendelegasian kewenangan mengatur yang timbul dari ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Dimana pada ketentuan Pasal 22A UUD 1945 menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Hal tersebut menunjukkan bahwa materi muatan mengenai mekanisme teknis formil pembentukan undang-undang bukanlah materi muatan UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. Hal tersebut pun berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan memperoleh dukungan dari teori konstitusi yang menyatakan bahwa materi muatan konstitusi senantiasa berisikan hal yang pokok dan penting. Misalnya seperti jaminan hak asasi manusia maupun norma fundamental ketatanegaraan seperti pengaturan tugas, fungsi, dan pengisian lembaga utama negara. Meskipun demikian pada konteks Indonesia materi muatan tentang pembentukan undang-undang yang diatur di dalam UUP3 tersebut memiliki signifikansi dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang di Indonesia. Sebab sejak amandemen ketiga UUD 1945, Republik Indonesia telah membentuk lembaga negara baru berupa Mahkamah Konstitusi yang salah satu wewenangnya adalah untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi bentuk pengujian undang-undang tersebut tidaklah dibatasi dalam artian materil semata atau juga dalam segi formil. Pada praktiknya sejak berdiri pada 2003 yang lalu, Mahkamah Konstitusi secara kontinu menerima dan memutus pengujian materil maupun formil konstitusionalitas undang-undang. Sehubungan dengan pelaksanaan pengujian formil konstitusionalitas undang-undang ini lah UUP3 akhirnya memiliki signifikansi untuk diberikan kedudukan sebagai tolok ukur dalam pengujian tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya pengaturan terkait pembentukan undang-undang di dalam UUD 1945. Meskipun UUD 1945 telah menetapkan sejumlah landasan berpikir dan prinsip proses pembentukan undang-undang, akan tetapi UUD 1945 tidaklah mengatur mengenai ketentuan metode dan teknis formil pembentukan undang-undang. Sebab hal tersebut memang bukanlah materi muatan UUD 1945 secara teoretik. Dengan demikian UUP3 khusus dalam konteks pengujian formil konstitusionalitas undang-undang harus digunakan sebagai tolok ukur dalam pengujian tersebut. Karena jika hal tersebut tidak diterapkan maka sudah barang tentu Mahkamah Konstitusi akan mengalami kesulitan dalam memutus permohonan pengujian formil konstitusionalitas undang-undang yang diterimanya. Pandangan tersebut pun memperoleh dukungan dari sejumlah teori hierarki norma, judicial review, maupun pendekatan konsep pendelegasian kewenangan mengatur. Selain itu pada praktiknya terdapat sedikitnya 22 (dua puluh dua) Putusan Mahkamah Konstitusi yang menggunakan UUP3 dalam kedudukannya sebagai tolok ukur dalam pengujian formil konstitusionalitas undang-undang. ......The Law on the Establishment of Legislation (UUP3) was emerged from the delegation of regulatory authority arising from the provisions of Article 22A of the 1945 Constitution. Where the provisions of Article 22A of the 1945 Constitution stipulate that further provisions regarding the formation of laws are regulated by law. This shows that the content material regarding the formal technical mechanism of forming laws is not the content material of the 1945 Constitution as the constitution of the Republic of Indonesia. This is also based on the results of the analysis that has been carried out to obtain support from constitutional theory which states that constitutional content material always contains basic and important matters. For example, such as guarantees of human rights and constitutional fundamental norms such as the arrangement of tasks, functions, and the filling of the main state institutions. Nevertheless, in the Indonesian context, the content material regarding the formation of laws regulated in the UUP3 has significance in examining the constitutionality of laws in Indonesia. Because since the third amendment to the 1945 Constitution, the Republic of Indonesia has established a new state institution in the form of the Constitutional Court, one of whose powers is to review laws against the 1945 Constitution. In practice, since its establishment in 2003, the Constitutional Court has continuously accepted and decided on material and formal reviews of the constitutionality of laws. In connection with the implementation of the formal review of the constitutionality of laws, the UUP3 finally has the significance of being given a position as a benchmark in this review. This is caused by the lack of regulation regarding the formation of laws in the 1945 Constitution. Although the 1945 Constitution has stipulated a number of rationale and principles for the process of forming laws, the 1945 Constitution does not regulate provisions regarding formal methods and techniques for forming laws. This is because it is not theoretically content material of the 1945 Constitution. Thus the UUP3 in the context of formal review of the constitutionality of laws must be used as a benchmark in this review. Because if this is not implemented, of course the Constitutional Court will experience difficulties in deciding the application for a formal review of the constitutionality of the law it receives. This view has also received support from a number of normative hierarchical theories, judicial review, as well as the delegation of regulatory authority concept approach. Besides that, in practice there are at least 22 (twenty two) Constitutional Court Rulings that use UUP3 in its position as a benchmark in the formal review of the constitutionality of laws.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfuady Bakir
Abstrak :
Sebagai pengadilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24C Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Diantara kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, kewenangan memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dapat dikatakan sebagai kewenangan utama dari sisi teori dan sejarah. Dalam praktiknya, sejak berdirinya hingga sekarang Mahkamah Konstitusi telah memutus banyak perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Akan tetapi tidak terdapat satu putusan yang mengabulkan pengujian undang-undang secara formil. Dalam penelitian ini menganalisis bagaimana penyelesaian pengujian formil undang-undang terutama melihat pertimbangan-pertimbangan Hakim Konstitusi dalam dalam memutus pengujian perkara secara formil. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analisis deskriptif. Hasil penelitian menemukan bahwa dalam memutus perkara pengujian formil, Mahkamah Konstitusi tidak hanya mempertimbangkan aspek-aspek formil prosedural dari pembentukan undang-undang. ......As a constitutional court, the Constitutional Court has four powers and one obligation as stipulated by Article 24C of the 1945 Constitution. Among the powers possessed by the Constitutional Court, the authority to decide judicial review of the Constitution can be said to be the main authority in terms of theory and history. In practice, since its establishment until now the Constitutional Court has decided many cases of judicial review against the Constitution. However, there are no decisions that grant formal judicial review. In this research, it analyzes how the completion of the formal judicial review, especially looking at the considerations of the Constitutional Justices in deciding formal judicial review. This research is a qualitative research with a descriptive analysis design. The research found that in deciding formal review cases, the Constitutional Court did not only consider formal procedural aspects of the formation of laws.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bambang Sadono
Abstrak :
Pembentukan perundang undangan bila dilandasi argumentasi yang bersumber pada pragmatisme bukan bersumber dari ideologi, telah mendominasi budaya politik saat ini, atau dikenal zaman Now. Kasus kontroversial dalam revisi UU MD3 dan sebelumnya kontroversi mengenai money politic, yang kemudian disusul dengan mahar politik, politisasi hukum, dan sebagainya bisa dijadikan indikasi tumbuh suburnya budaya pragmatisme, dan matinya budaya idealisme. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila sejatinya adalah sumber hukum dalam praktek pembentukan perundang undangan yang menjadi indikasi budaya politik dan budaya hukum dalam demokrasi substanstial. Untuk itu, artikel ini membahas tentang posisi Pancasila sebagai basis budaya politik dan konsistensi pada budaya hukum.
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2018
342 JKTN 008 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sikumbang, Sony Maulana
Abstrak :
Perubahan ketatanegaraan yang terjadi akibat perubahan-perubahan yang dilakukan oleh MPR atas UUD 1945 antara lain adalah pernbentukan lembaga-lembaga negara baru. Salah satunya adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keberadaan DPD dilatarbelakangi oleh gagasan demokratisasi dan akomodasi. kepentingan daerah demi terjaganya integrasi nasional. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat, maka DPD sebagai perwakilan rakyat dalam konteks kedaerahan dengan orientasi kepentingan nasional dapat disebut sebagai kamar kedua dalam sistem parlemen bikameral. Dengan demikian, keberadaan DPD mernbawa implikasi, antara lain pacta kewenangan pernbentukan undang-undang. Kewenangan mana sebelumnya dipegang dan dilaksanakan hanya oleh DPR sebagai satu-satunya kamar yang ada dalam parlemen. Namun, ruang lingkup maupun pengaruh kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang sangat terbatas. Berdasarkan perbandingan kewenangan relatif yang dimiliki oleh masingmasing kamar dalam pernbentukan undang-undang dan berdasarkan kedekatan kesamaan yang dimiliki oleh kekuasaan DPD dan House of Lords dapat disebutkan, bahwa berdasarkan klasifikasi Andrew Ellis parlemen Indonesia adalah parlemen bikameral dengan klasifikasi bicameral lunak (soft bicameral), mengingat kewenangan relatif yang diberikan oleh konstitusi kepada DPD dalam pernbentukan undang-undang adalah lebih lemah dibandingkan dengan DPR. Di samping DPR dan DPD sebagai kamar pertama dan kedua parlemen, keberadaan MPR sebagai lernbaga permanentersendiri dengan kewenangan yang berbeda menjadikan parlemen Indonesia tidak dapat diklasifikasikan sebagai parlemen bikameral, melainkan trikameral.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Ghenasyarifa Albany Tanjung
Abstrak :
Pembentukan undang-undang selama ini bersifat periodik, tidak mencerminkan perencanaan yang berkelanjutan, dan tidak efektif. Hal ini tergambar dengan berakhirnya periode masa keanggotaan DPR RI saat ini maka berakhir pula pembentukan undang-undang, sehingga pembentukan undang-undang periode selanjutnya dimulai dari awal. Carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 hadir sebagai solusinya. Penelitian ini menganalisis mengenai konsep carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019; implementasi dan kendala dalam penerapan mekanisme carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dari periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019 ke tahun 2019-2024; serta konsep carry over dalam pembentukan undang-undang yang sesuai dengan proses pembentukan undang-undang yang baik. Hasil penelitian tersebut bahwa carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 terjadi dalam hal sudah pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah pada periode masa keanggotaan DPR RI sebelumnya, dengan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD dapat dimasukan ke dalam Prolegnas periode masa keanggotaan DPR RI selanjutnya. Carry over sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 merupakan padanan kata untuk RUU luncuran atau luncuran pembahasan yang dikenal dalam penyusunan Prolegnas tahunan, yang terjadi antar tahun dalam periode masa keanggotaan DPR yang sama. Implementasi carry over dalam pembentukan undang-undang dari periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019 ke tahun 2019-2024, pada umumnya sama seperti pembentukan undang-undang pada umumnya, yang membedakan adalah RUU yang dibentuk pada periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2019-2024 tidak melewati tahap penyusunan lagi karena dianggap sudah dijalankan pada periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019. Kendala dalam penerapan carry over adalah belum tersedianya peraturan pelaksana, konsep carry over multitafsir, dan politik hukum terkait pembentukan undang-undang yang dinamis. Konsep carry over dalam pembentukan undang-undang yang sesuai dengan proses pembentukan undang-undang yang baik adalah carry over dalam pembentukan undang-undang sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan politik hukum dalam pembentukan perundang-udangan yang bertujuan untuk pemenuhan cita hukum. Saran dari penelitian ini hendaknya mekanisme carry over dalam pembentukan Undang-Undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dapat disosialisasikan dengan lebih masif lagi dibentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai ketentuan lebih lanjut mekanisme carry over serta mekanisme carry over dilaksankan dengan memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan politik hukum dalam pembentukan undang-undang yang baik, yang sesuai dengan cita hukum bangsa yang tercermin dalam Pancasila. ......The law-making process so far has been periodic, does not reflect sustainable planning, and is not effective. This is illustrated by the end of the current period of The Indonesia House of Representatives, so the law-making process is also ending, so that the law-making process for the next period starts from beginning. Carry over of the law-making process according to Article 71A Act No. 15 of 2019 is present as a solution. This study analyzes the carry-over concept on the law-making process according to Article 71A of Act Number 15 of 2019 and prior to the enactment of Act Number 15 of 2019; implementation and constraints on carry over mechanism of the Law-Making Process According to Article 71A Act No. 15 of 2019 of The Indonesia House of Representatives Period 2014-2019 to Period 2019-2024; and carry-over concept on the law-making process that are in accordance well-law making process. The results of this study show that the carry-over concept on the law-making process according to Article 71A of Act Number 15 of 2019 occurred in the event that the Inventory List of Problems has been discussed during the previous of The Indonesia House of Representatives period, with the agreement of the The Indonesia House of Representatives, President, and/or The House of Regional Representatives, that it can be included in the Prolegnas of the next period of The Indonesia House of Representatives. The carry-over concept on the law-making process of prior to the enactment of Act Number 15 of 2019, is the equivalent of the launch bill or launch discussion which is known in the preparation of the annual Prolegnas, which occurs between years within the same period of The Indonesia House of Representative. The implementation on carry over mechanism of the Law-Making Process According to Article 71A Act No. 15 of 2019 of The Indonesia House of Representatives Period 2014-2019 to Period 2019-2024 is generally the same as the formation of laws in general, what distinguishes is the bill that was making during of The Indonesia House of Representative period 2019-2024, does not pass the drafting stage again because it is considered to have been implemented during period 2014-2019. Constraints in implementing carry-over include the unavailability of implementing regulations, the concept of carry-over with multiple interpretations, and legal politics related to dynamic of law-making process. Carry-over concept on the law-making process that are in accordance well-law making process are carry over in the law-making process in accordance with the principles of good statutory formation and legal politics in the law-making process that aim to fulfill legal ideals. The suggestion from this research are that the carry-over mechanism of the law-making process according to Article 71A of Act Number 15 of 2019 can be more massively socialized; a Government Regulation has been established to regulate further provisions on the carry over mechanism; and the carry-over mechanism is carried out by taking into the principles of good statutory formation and legal politics in the law-making process which are in accordance with the ideals of national law as reflected in Pancasila.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Fauzi
Abstrak :
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menguraikan dan menganalisis permasalahan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tentang Cipta Kerja yang cacat formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat tetapi masih memiliki daya laku dan daya ikat sebagai undang-undang. Uji formil itu diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada 21 November 2021. Pembentukan dan pengujian undang-undang merupakan proses yang saling berkesinambungan dalam prinsip checks and balances. Uji formil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan kontrol terhadap proses pembentukan hukum yang menjadi kewenangan kekuasaan dibidang legislasi oleh lembaga yudisial, yaitu upaya kontrol terhadap pembentukan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UJi formil Undang-Undang merupakan proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap prosedur keabsahan pembentukan Undang-Undang. Proses itu dilakukan atas permohonan yang diajukan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi terhadap suatu Undang-Undang yang dianggap menyalahi peraturan pembentukannya. Terdapat tiga masalah yang akan diuraikan dan dianalisis yaitu terkait dengan putusan uji formil nomor 91/PUU-XVIII/2020, implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi 91/PUU-XVIII/2020 terhadap pembentukan Undang-Undang, dan menguraikan terkait konsep ideal pembentukan undang-undang agar undang-undang tidak cacat formil. Hasil penelitian menunjukan cacat formil diputuskan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang 11 Tahun 2020 karena telah melanggar Peraturan Pembentukan Undang-Undang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yaitu terkait penggunaan metode omnibus law, asas keterbukaan dengan tidak terpenuhinya partisipasi masyarakat, dan terdapat perubahan terhadap substansi rancangan undang-undang setelah disetujui. Dalam implementasinya putusan itu dapat ditafsirkan berbeda oleh pembentuk undang-undang dan pelaksana undang-undang sehingga mengakibatkan muncul permasalahan baru dalam bidang legislasi. Hal itu terjadi akibat tidak konkritnya norma hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi, yang memberi tafsiran baru terhadap inkonstitusional bersyarat dengan menyatakan undang-undang tetap berlaku sampai syarat dipenuhi. ......The research was conducted with the aim of describing and analyzing the problems in the Process of law making of Law Number 11 Concerning Job Creation which was formally flawed and declared conditionally unconstitutional but still has enforceable and binding power as a law. This judicial review of legislative process or due process of law making was decided by the Constitutional Court through Decision Number 91/PUU-XVIII/2020 on November 21, 2021. The process of law making and the due process of law making are mutually continuous processes in the principle of checks and balances. The formal test conducted by the Constitutional Court is a control over the process of law making which is the authority of powers in the field of legislation by the judicial institution, namely an effort to control the law making of law in the Indonesian constitutional system. The formal examination of the law is a process of examining the legality of the formation of the law. The process was carried out based on an application submitted by the public to the Constitutional Court against a law deemed to have violated the regulations for its law making. There are three problems that will be described and analyzed, namely those related to the formal test decision number 91/PUU-XVIII/2020, the implications and implementation of the Constitutional Court Decision 91/PUU-XVIII/2020 on the process of law making, and elaborate on the ideal concept of forming a law. law so that the law is not formally flawed. The results of the research show that the Constitutional Court decided on a formal defect against Law 11 of 2020 because it had violated the Regulations for Forming a Law stipulated in Law Number 12 of 2011 in conjunction with Law Number 15 of 2019, namely related to the use of the omnibus law method, the principle of openness with the non-fulfillment of public participation, and there are changes to the substance of the draft law after it is approved. In its implementation, the decision can be interpreted differently by legislators and law enforcers, resulting in new problems in the field of legislation. This happened due to the lack of concrete legal norms in the decision of the Constitutional Court, which gave a new interpretation of conditional unconstitutionality by stating that the law remains in force until the conditions are met.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aang Sirojul Munir
Abstrak :
Rakyat sering kali tidak diuntungkan karena pembentukan suatu undang-undang. Beberapa peristiwa seperti keributan pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, pelemahan KPK melalui pengubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, sampai pada pembentukan Undang-Undang Ibu Kota Negara menjadi kabar buruk yang tidak dikehendaki oleh rakyat. Semua itu tercipta karena rakyat tidak memiliki sarana atau porsi lebih dalam pembentukan suatu undang-undang. Menanggulangi hal tersebut sistem referendum dapat menjadi salah satu opsi solusi. Referendum yang dimaksud adalah pemberian persetujuan oleh rakyat terhadap pembentukan suatu undang-undang. Melalui jajak mendapat rakyat memberikan jawaban iya (menyetujui) atau tidak (menolak) undang-undang yang telah dibentuk atas persetujuan bersama DPR dengan Presiden. Contoh paling memukau dari pelaksana referendum dengan jenis itu adalah negara Selandia Baru dan Swiss. Baik secara tradisi kenegaraan maupun kebudayaan kedua negara itu sudah mapan menggunakan referendum dalam kurun waktu sampai ratusan tahun. Bercermin dari kedua negara itu, referendum sebagai sarana persetujuan rakyat dalam pembentukan undang-undang di Indonesia bukanlah sesuatu hal yang mustahil bahkan menjadi suatu rekomendasi yang harus dipertimbangkan. ......People often do not benefit from law-making processes. Several events, such as the commotion over the law-making process of the Job Creation Law, the weakening of the KPK through the amendment of the Corruption Eradication Commission Law, to the establishment of the State Capital Law, became bad news that the people did not want. All this was created because the people did not have the means or more portion in the law-making processes. To overcome this, the referendum system can be one solution option. The referendum in question is giving approval by the people to the law-making process. Through the ballot, the people gave the answer yes (approved) or no (rejected) to the law that had been formed with the joint approval of the DPR and the President. The most striking examples of implementing this type of referendum are New Zealand and Switzerland. Both the state and cultural traditions of the two countries have been well established using referendums for hundreds of years. Reflecting on the two countries, a referendum as a means of people's approval in the law-making process in Indonesia is not something that is impossible and even becomes a recommendation that must be considered.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Wahyu Saputro
Abstrak :
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 memantik wacana memberikan jangka waktu keberlakuan suatu peraturan meskipun teknik penyusunan undang-undang tidak mengenal adanya hal tersebut. Pemberian jangka waktu keberlakuan suatu peraturan merupakan konsep sunset legislation. Skripsi ini membahas tiga hal, yaitu konsep sunset legislation dan penerapannya di Negara Bagian Colorado dan Inggris Raya, pembentukan undang-undang di Indonesia, dan terakhir analisis penerapan sunset legislation dalam pembentukan undang-undang di Indonesia. Penelitian terhadap tiga masalah tersebut menggunakan metode yuridis normatif. Berdasarkan penelitian skripsi ini, sunset legislation mempunyai dua unsur sebagai karakternya, yaitu adanya sunset clause atau jangka waktu keberlakuan dan adanya evaluasi pelaksanaan peraturan. Ketika jangka waktu keberlakuan telah habis, peraturan yang menerapkan sunset legislation akan secara otomatis tidak berlaku. Sunset legislation diterapkan pada undang-undang yang mengatur tentang program kebijakan, pembentukan lembaga pemerintah, dan hal-hal yang bersifat sementara. Negara Bagian Colorado menjadikan sunset legislation sebagai mekanisme akuntabilitas bagi lembaga pemerintah. Sedangkan, penerapan sunset legislation oleh Parlemen Inggris Raya bermula dari sebagai mekanisme menciptakan keseimbangan kekuasaan antara raja dengan parlemen hingga menjadi mekanisme pengawasan terhadap pemerintah (executive). Indonesia tidak menerapkan sunset legislation secara penuh, melainkan terdapat beberapa undang-undang yang memiliki jangka waktu keberlakuan atau memberlakukan sunset clause saja. Materi pengaturan undang-undang di Indonesia yang menerapkan sunset legislation berupa materi tentang anggaran pendapatan dan belanja negara, perihal perencanaan, keadaan darurat atau bahaya, dan program daerah khusus pemerintahan daerah. ......The decision of the Constitutional Court Number 37/PUU-XVIII/2020 sparked a discourse providing an expiry date for a regulation albeit legislation drafting techniques do not have it. Giving an expiry date of a regulation is a concept of sunset legislation. This thesis discusses three things, namely the concept of sunset legislation and its implementation in the State of Colorado and the United Kingdom, the law making in Indonesia, and finally the analysis of the implementation of sunset legislation in the law making in Indonesia. Research on these three problems uses the normative juridical method. Based on the research of this thesis, sunset legislation has two elements as its character, namely the existence of a sunset clause or expiry date and an evaluation of the implementation of the regulations. When the validity period has expired, the regulations that apply sunset legislation will automatically become invalid. Sunset legislation is applied to laws that regulate policies, the formation of government institutions, and temporary matters. The State of Colorado makes sunset legislation an accountability mechanism for government agencies. Meanwhile, the application of sunset legislation by the UK Parliament began as a mechanism from creating a balance of power between the monarch and parliament to becoming an oversight mechanism against the government. Indonesia does not fully implement sunset legislation, but there are several laws that have a period of validity or, in other word, apply sunset clauses. Material content of laws in Indonesia that apply sunset legislation are in the form of material on the state budget, planning, emergencies or dangers, and specific local government.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>