Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gilang Saputra
Abstrak :
ABSTRAK
Pembebasan bersyarat merupakan bagian dari sistem pemasyarakatan yang dianut oleh Indonesia, dimana setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan, kecuali anak didik berhak memperolehnya setelah menjalani pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari masa pidana dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari sembilan bulan. Dalam menjalankan pembebasan bersyarat, terpidana diharuskan mentaati persyaratan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembebasan bersyarat, yaitu Kejaksaan Negeri dan Balai Pemasyarakatan. Salah satu persyaratan yang harus ditaati oleh terpidana selama menjalani pembebasan bersyarat terdapat dalam Pasal 16 ayat (4) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas, bahwa terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat dilarang pergi keluar wilayah Indonesia kecuali mendapatkan izin Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Persyaratan tersebut terkait dengan pencegahan yang merupakan larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk ke luar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu, dimana keputusan pencegahan tersebut merupakan kewenangan dari Jaksa Agung yang merupakan pimpinan dari lembaga Kejaksaan Republik Indonesia termasuk di dalamnya adalah Kejaksaan Negeri, pengawas pelaksanaan pembebasan bersyarat. Dalam skripsi ini, penulis akan menguraikan mengenai keharusan pihak Kejaksaan Negeri melakukan pencegahan terhadap terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan melakukan studi kasus pelaksanaan pengawasan pembebasan bersyarat terpidana David Nusa Wijaya, dimana pada saat menjalani pembebasan bersyarat, David Nusa Wijaya pergi ke Hongkong tanpa seizin Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
ABSTRACT
Release with requirements is a part of prison system carried out by Indonesia, in which each accused, except under age accused, has the right after being in prison 2/3 (two per three) of the criminal term, which is not less than nine months. During having a release with requirements, the accused should obey all of the requirements stipulated in the laws and regulations made by parties having the rights to construct supervisions on the implementation of release with requirements, namely: Domestic Attorney and Correction Center. One of the requirements should be obeyed by the accused during having he release with requirements is stated in Article 16 paragraph (4) of the Regulation of the Minister of Law and Human Rights No. M.2.PK.04-10 of 2007 regarding Assimilation, Release with Requirements, and Leave Before Released, that the accused having release with requirements is forbidden to go out form the Indonesian territory without permission of the Minister of Law and Human Rights. The requirement is related to the prevention, which is a temporary forbid for certain people to go out from the territory of the Republic of Indonesia based on certain reasons, in which the prevention stipulation is the right of General Attorney, the leader of Attorney institution of the Republic of Indonesia, including the Domestic Attorney, the supervisor for the implementation of release with requirements. In this script, the writer shall describe the significance for the Domestic Attorney to conduct prevention against the accused having release with requirements based on the effective laws and also performed a cases study on the implementation of release with requirements supervision to the accused David Nusa Wijaya, in which when having release with requirements, David Nusa Wijaya left for Hongkong without any permission of the Minister of Laws and Human Rights.
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], [2009;2009;2009;2009;2009, 2009]
S22595
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rengganis
Abstrak :
Pembebasan bersyarat adalah salah satu upaya untuk mempersiapkan narapidana hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana. Pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidananya, dan dua pertiga masa pidana tersebut sekurang-kurangnya sembilan bulan. Narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat harus menjalani masa percobaan selama sisa masa pidananya ditambah satu tahun. Selama masa percobaan tersebut, narapidana tersebut harus memenuhi syarat umum dan syarat khusus sesuai dengan ketentuan undang-undang. Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang dapat melakukan pengawasan secara intensif. Salah satu pihak yang bertugas mengawasi terpenuhinya syarat-syarat tersebut adalah Balai Pemasyarakatan (Bapas). Bapas bertugas melakukan pengawasan terhadap syarat khusus, yakni hal-hal yang berkaitan dengan kelakuan narapidana selama menjalani masa percobaan. Oleh karena itu, pengawasan yang dilakukan Bapas selanjutnya disebut sebagai pembimbingan. Narapidana yang berada di bawah bimbingan Bapas disebut klien pemasyarakatan (klien). Pembimbingan terhadap klien dilakukan oleh petugas Bapas yang disebut pembimbing kemasyarakatan. Pada dasarnya, Bapas memegang peranan yang penting dalam membantu narapidana berintegrasi kembali dengan masyarakatnya. Namun sampai saat ini masih banyak pihak yang kurang memahami peran penting Bapas, sehingga dapat menjadi penghalang terwujudnya tujuan pembebasan bersyarat. Untuk itu, penulis melakukan penelitian mengenai bagaimana mekanisme pembimbingan yang dilakukan oleh Bapas Jakarta Selatan terhadap narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22361
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Setya Wahyudi
Abstrak :
ABSTRAK Tesis ini berjudul "Kebijakan Penerapan dan Pelaksanaan Pidana Penjara Dalam Rangka Reintegrasi Sosial Terhadap Terpidana kejahatan Kekerasan", dan tujuan penelitian dalam tesis ini yaitu untuk mengetahui kebijakan hakim di dalam penerapan pidana penjara dan kebijakan pembina lembaga pemasyarakatan di dalam pelaksanaan pidana penjara dalam rangka reintegrasi sosial terpidana kejahatan kekerasan. Penelitian ini bersifat deskriptif, dan pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan penelitian di lapangan berupa studi dokumen, observasi, angket dan wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Petugas Pembina Lembaga Pemasyarakatan dan Narapidana kejahatan kekerasan di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto. Penentuan responden dilakukan secara purposive non random sampling, dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Maksud kebijakan penerapan pidana penjara dalam rangka reintegrasi sosial, yaitu kebijakan hakim di dalam menjatuhkan pidana penjara dengan tujuan untuk perlindungan masyarakat terhadap bahaya akibat tindak pidana dan, dengan tujuan untuk mendidik pelaku tindak pidana. Kebijakan pelaksanaan pidana penjara dalam rangka reintegrasi sosial dilaksanakan dengan cara memasukkan narapidana ke dalam lembaga pemasyarakatan dan selama menjalani pidana dilakukan pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian dan pembinaan reintegrasi dengan masyarakat yang berupa asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas. Kebijakan penerapan pidana penjara terhadap terpidana kejahatan kekerasan di Pengadilan Negeri Purwokerto apabila dilihat dari berat pidana penjara yang dijatuhkan, telah memenuhi dan dapat sebagai sarana proses reintegrasi sosial yang berupa asimilasi, pembebasan bersyarat ataupun cuti menjelang bebas, namun apabila dilihat dari pertimbangan-pertimbangan penjatuhan pidana penjara maka dapat dikatakan tidak berdasar tujuan reintegrasi sosial sepenuhnya. Kebijakan pelaksanaan pidana penjara dalam rangka reintegrasi sosial terhadap terpidana/narapidana kejahatan kekerasan di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto lebih ditonjolkan pada bentuk pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian serta pembinaan dalam bentuk asimilasi di dalam lembaga atau di dalam gedung lembaga pemasyarakatan yang meliputi kegiatan pembinaan mental spiritual atau keagamaan, olah raga, keterampilan pertukangan, perbengkelan, pertanian dan peternakan. Pembinaan narapidana dalam bentuk asimilasi dilakukan dengan cara pembauran antara narapidana dengan petugas pembina lembaga, pembauran dengan sesama narapidana dan Pembauran dengan masyarakat pengunjung lembaga pemasyrakatan. Dalam rangka mewujudkan tujuan pelaksanaan pidana penjara dalam rangka reintegrasi sosial diperlukan sarana dan prasarana yang memadai, profesionalisme pembina lembaga pemasyarakatan dan diperlukan partisipasi positif dari masyarakat.
ABSTRACT The title of the thesis is 'The application and implementation of imprisonment sentence policies based on social reintegration of violent crime offenders. The aim of the present research were to know the judge policy in inflicting imprisonment sentence and to know the prison management policy in implementing the imprisonment sentence based on social reintegration of the violent crime offenders. This 'research was descriptive.. The data was obtained through library and field researches involving documentary study, observation, questionnaire and interview with the Purwokerto state court, prison management and prisoner of violent crime prisoners in Purwokerto prison. Respondents were chosen based on purposive non random sampling. Data was analyzed based on descriptive qualitative methods. The aims of the imprisonment policy based on the social reintegration was the implementation of imprisonment sentence based on social defence and treatment of offender method. This policy was implemented by giving i;a treatment to the offenders in a prison like personality and self-esteem education; and reintegration education, involving programs like assimilation, conditional release and to go on leave before released. If, the judge policy on the application of imprisonment sentence was viewed based on its heaviness, it would be fit in with the social reintegration policy involving assimilation, conditional release and to go on leave before released, but if it was wied based on its considerations in inflicting imprisonment sentence, it would not be fit in with the aims of the social reintegration policy. The implementation of the imprisonment sentence in the Purwokerto prison was more focused on the personality and self-esteem educations, and assimilation inside the Purwokerta prison involving activities like moral and spirituai1l educations, sport, artisan, mechanic, agriculture and husbandry. The assimilation of offenders was done by establishing close communication with prison officers, Other prisoner and public prison visitors. To Teach the aims of the implementation of imprisonm1nt sentence based on social reintegration, it needed sufficient facilities; professionalism of the prison officers and positive social participation.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhtar
Abstrak :
Fokus penelitian ini adalah bagaimana implementasi kebijakan pembebasan bersyarat bagi narapidana sebagai upaya mengurangi dampak negatif kepadatan atau kelebihan penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang. Kebijakan ini merupakan kebijakan pembinaan narapidana dalam konsep re-integrasi sosial yang paling baik dalam membebaskan narapidana. Namun pada kenyataannya beberapa orang berpendapat bahwa pembebasan bersyarat dipandang sebagai pemberian maaf atau rasa simpati pemerintah, bertujuan memperpendek hukuman dengan mempercepat waktu pembebasan, bahkan pembebasan bersyarat dianggap sebagai upaya untuk menyenangkan atau memberi kenyamanan pelaku kejahatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (in-dept interview). Analisis terhadap proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan dilakukan dengan cara mengadopsi teori implementasi kebijakan dari George Edward III, Marilee S. Grindle dan Van Meter serta Carl Van Horn (teori yang digunakan disesuaikan dengan kondisi lapangan). Lapas Kelas I Cipinang berusaha merubah pendapat keliru beberapa orang mengenai kebijakan pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana dengan cara seoptimal mungkin mengimplementasikan kebijakan tersebut, bahwa tujuan pembebasan bersyarat pada narapidana bukan untuk memperkecil hukuman, mempermudah atau memberi kenyamanan pelaku kejahatan, juga bukan merupakan toleransi atau pemaaf. Sebaliknya kebijakan pemberian pembebasan bersyarat pada narapidana sebagai program pembinaan bertujuan untuk mengembalikan narapidana agar dapat hidup kembali di masyarakat dan tidak melakukan kejahatan lagi, dan hal ini harus direkomendasikan sebagai alternatif yang paling banyak mendatangkan manfaat terutama dalam menanggulangi dampak kepadatan atau kelebihan penghuni di dalam Lapas. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan Pembebasan Bersyarat bagi narapidana dalam upaya menanggulangi dampak negatif kepadatan atau kelebihan penghuni di Lapas Kelas I Cipinang secara umum dapat dikatakan berjalan cukup baik namun kurang begitu optimal. Proses implementasi kebijakan berjalan cukup baik terbukti dari telah dipahaminya perubahan strategis yang diinginkan dan implikasinya; adanya peraturan pelaksanaan atau peraturan penjelas; dan telah dilaksanakan sosialisasi kebijakan pemberian pembebasan bersyarat tersebut. Namun yang menyebabkan kurang optimalnya implementasi kebijakan tersebut atau dapat dikatakan terjadi implementation gap (kesenjangan/perbedaan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan) yaitu adanya faktor-faktor menjadi hambatan dalam pelaksanaanya. Beberapa faktor yang menjadi hambatan tersebut adalah komunikasi dan koordinasi, sumber daya, dan struktur birokrasi.
The focus of this research is how the Implementation of parole policy for inmates in effort to overcome negative impact of overcapacity at Correctional Institution of Class I Cipinang. This policy is a policy to treatment the inmates in the concept of social re-integration, and it is the best concept to release them. But in fact some people argue that parole is viewed as forgiveness or sympathy from government, aimed to shortening the sentence with speed up their release, parole even considered as an attempt to please or give comfort to criminals. The research used qualitative research method. Data was collected through in-depth interviews. Analysis of the processes and factors that influence the policy implementation is done by adopting the theory of policy implementation from George Edward III, Marilee S. Grindle, Van Meter and Carl Van Horn (the use of theory adapted with field conditions). Correctional Institution of Class I Cipinang try to change the wrong opinion of some people about this parole policy by optimize the implementation, that the purpose of parole for inmates is not to minimize the penalties, facilitate or give comfort to criminals, also not as a tolerant or forgiving. Instead the policy of parole for inmates as a treatment program aims to restore inmates so can live back in the community and did not commit a crime again, and it should be recommended as an alternative can bring the most benefits, especially in reducing the impact of overcapacity in the correctional institution. The research concludes that the process of Implementation of parole policy for inmates in effort to overcome negative impact of overcapacity at Correctional Institution of Class I Cipinang, generally speaking, quite well, but less so optimal. Policy implementation process can be said quite well proven that the strategic change desired and its implications have been understood; available regulatory implementation or regulation explanatory; and socialization of this parole policies have been implemented. But the causes of less than optimal implementation of the policy or it can be said to occur the implementation gap (the difference between what are formulated with what has been done), this is due to several factor which become obstacles in its implementation. Some of these factors are communication and coordination, resources, and bureaucratic structures.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhud Prabowo Mukti
Abstrak :
Penelitian ini menganalisis pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana Tindak Pidana Khusus. Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur mengenai hak-hak narapidana dan syarat pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut tentang itu dalam PP. Pelaksanaan hak-hak narapidana berupa remisi dan pembebasan bersyarat diatur lebih lanjut dalam PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengatur pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi. kejahatan HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisir, yang diklasifikasikan dalam PP ini sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Pengaturan tersebut tidak sejalan dengan tujuan sistem Sistem Pemasyarakatan, dan pengaturan tersebut berbeda materi muatan dengan peraturan diatasnya yaitu UU No. 12 Tahun 1995 yang tidak membedakan pemberian remisis dan pembesan bersyarat antara narapidana tindak pidana umum dan tidak pidana khusus. Perbedaan perlakuan dalam PP No. 99 Tahun 2012 terhadap narapidana tindak pidana khusus atas haknya untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat atas dasar untuk memenuhi keadilan masyarakat adalah bentuk diskriminasi. Temuan penulis adalah, pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 kurang menekankan pada pembinaan yang merupakan program lembaga pemasyarakatan, sehingga pengetatan pemberian remisis dan pembebasan bersyarat lebih kepada pembalasan dendam kepada warga binaan pemasyarakat (WBP) dengan kasus extra ordinary crime. Kedua, adalah adanya upaya penghukuman terhadap narapidana oleh pemerintah, dan ketiga, adalah adanya suatu bentuk diskriminasi terhadap WBP dengan kasus extra ordinary crime yang keseluruhan nilai yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah 99 Tahun 2012 tersebut adalah telah melanggar asas-asas Pemasyarakatan, Hak Asasi Manusia dan tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan yang lebih tinggi diatasnya. ......This study analyzes the granting of remission and parole for inmates Special Crimes . Article 14 paragraph ( 1 ) of Act Number 12 of 1995 concerning Corrections governing the rights of prisoners and conditions of exercise of prisoners delegate more about the settings in government regulations . Implementation of the rights of prisoners in the form of remission and parole further stipulated in Regulation No.99 of 2012 on the Second Amendment Governemnt Regulations Number 32 of 1999 on the Terms and Procedures for Implementation of the Rights of prisoners were set tightening granting remission and parole for inmates terrorism , narcotics , corruption. serious crimes and transnational organized crime , which is classified as a crime in this Government Regulations extraordinary ( extraordinary crime ) . Such arrangements are not in line with the objective system Correctional System , and the different settings substance of the rules above , namely Law No. 12 of 1995 which does not distinguish granting conditional remisis pembesan between inmates and the general crime and criminal not special . Differences in the treatment of Government Regulation 99 of 2012, to convict a criminal act specifically on the right to get remission and parole on the basis to meet the community justice is a form of discrimination . The findings of the authors is , first , the Government Regulation No. 99 of 2012 is less emphasis on the development of a program of correctional institutions , thus tightening granting parole remisis and more to revenge the correctional prisoners in the case of extraordinary crime . Second , is the effort punishment of prisoners by the government , and the third , is the existence of a form of discrimination against prisoners with extraordinary crime cases that the overall value contained in the Government Decree 99 of 2012 is to have violated the principles of Corrections , Human Rights and of course it is not in accordance with the principles of the formation of legislation that higher regulations thereon .
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siwi Arum Yunanda Sari
Abstrak :
Tugas akhir ini membahas bagaimana dan faktor apa saja yang belum dipenuhi dalam proses pemberian pembebasan bersyarat pada kasus tindak kejahatan terorisme yang dilakukan oleh Abu Bakar Baasyir (ABB) sehingga berkontribusi pada belum diberikannya pembebasan bersyarat kepada narapidana ABB dengan membandingkan syarat-syarat yang mempengaruhi pembebasan bersyarat di negara lain. Pembebasan bersyarat akan diberikan kepada narapidana apabila memenuhi syarat pembebasan bersyarat dan kelengkapan dokumen yang diatur Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018. Hasil penelitian menemukan bahwa narapidana terorisme Abu Bakar Baasyir hanya memenuhi beberapa syarat hukum, yaitu telah menjalani hukuman pidana dua pertiga masa hukuman dan berkelakuan baik selama menjalani hukuman. Sebagian syarat-syarat tidak dipenuhi oleh narapidana terorisme Abu Bakar Baasyir, termasuk syarat non-hukum/politik yang melibatkan dokumen-dokumen berupa surat pernyataan, seperti kebersediaan untuk membantu membongkar tindak pidana, tidak akan melarikan diri, tidak melakukan perbuatan melanggar hukum, serta ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan syarat lainnya. Tidak terpenuhinya sebagian besar syarat terutama persyaratan non-hukum/politik menyebabkan tidak diberikannya pembebasan bersyarat kepada narapidana terorisme Abu Bakar Baasyir. ......This study discusses how and what factors that haven't been fulfilled in the process of granting parole to a terrorist prisoner named Abu Bakar Baasyir that contributed to the parole revocation by comparing the conditions that has affect on parole in other countries. Parole will be granted to inmates if they have fulfilled the conditions for parole and necessary documents stated in Permenkumham Number 3 of 2018. The study found that the terrorist prisoner Abu Bakar Baasyir only fulfilled several legal conditions, i.e. serving a two-thirds of the sentence and showed well-behaved behavior while serving the sentence. Most of the conditions were not fulfilled by terrorist prisoner Abu Bakar Baasyir including non-legal/political conditions involving documents in the form of statements, i.e. the willingness to help expose a criminal act, not run away, not to commit unlawful acts, and pledges loyalty to the Negara Kesatuan Republik Indonesia, and other conditions. The failure to fulfill most of these conditions, especially the non-legal/political conditions is affecting the process of granting parole to terrorist prisoner Abu Bakar Baasyir. As a result, the parole of Abu Bakar Baasyir has not been granted.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Titut Sulistyaningsih
Abstrak :
Penelitian ini berfokus pada pembebasan bersyarat yang merupakan salah satu hak narapidana dalam program pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan, yang bertujuan agar narapidana yang telah memenuhi syarat dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan. Prosedur untuk memperoleh pembebasan bersyarat dilakukan dengan beberapa tahap melalui program pembinaan dengan terlebih dahulu memenuhi syarat administratif maupun substantif. Proses pelaksanaannya kadangkala dalam memenuhi syaratnya mengalami beberapa kendala baik terhadap sumber daya manusia pada petugas maupun narapidana sendiri. Selain itu kendala yang lain adalah disebabkan oleh faktor organisasi, administrasi serta kondisi sosial masyarakat dalam mendukung proses pelaksanaanya. Oleh karena itu keberhasilan dalam memenuhi syarat untuk memperoleh pembebasan bersyarat dapat dipengaruhi oleh pemahaman dan peningkatan sumber daya manusia sebagai faktor pendukung. Disamping itu pemberian pembebasan bersyarat, diperlukan juga pemahaman prosedur yang ada, pengorganisasian, koordinasi baik dalam internal lembaga pemasyarakatan sendiri maupun oleh organisasi lain yang terkait seperti Kejaksaan dan pengadilan. Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, walaupun dalam memenuhi syarat dalam mengajukan pembebasan bersyarat telah berjalan sesuai dengan prosedur namun demikian dalam pelaksanaannya masih adanya kendala-kendala dalam memenuhi syarat-syarat di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang. Beberapa kendala tersebut diantaranya adalah, masih kurangnya sumber Jaya manusia baik tentang teknis pada petugas maupun pemahaman pada diri narapidana, juga dalam hal kurangnya pemahaman dalam hal organisasi dan koordinasi dengan pihak lain. Selain itu kendala lainnya adalah dalam pemenuhan berkas administrasi serta kondisi Iingkungan masyarakat dalam mendukung pemenuhan syarat-syarat untuk mengajukan pembebasan bersyarat. Agar program pembinaan narapidana dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh pembebasan bersyarat lebih efektif dan efisien diperlukan peran dan kerjasama beberapa pihak. Oleh karena itu diperlukan sosialisasi secara berkala dan berkesinambungan serta adanya peningkatan sumber daya manusia melalui pelatihan tentang proses pengajuan pembebasan bersyarat baik pada petugas maupun narapidana. Disamping itu adanya perhatian yang lebih oleh pimpinan lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana terutama pada proses administrasi yang tidak dibebankan seluruhnya pada narapidana sehingga hak narapidana untuk mengajukan pembebasan bersyarat dapat dirasakan bagi yang telah memenuhi syarat.
A conditional release is one of rights any prisoner had in prison corrective program for those prisoners parole any of requirement to interact and socialize with the community outside the prison. Procedures for getting a Parole were through several stages of corrective program by firstly parole any administrative and substantive requirements. Prisoners faced some constraints sometimes, both from the staff of the prison and the prisoners themselves. In addition, other constraints were organizational and administrative in nature and social condition of the community in favor of its realization as well. Therefore, a successful requirement parole with respect to a parole could be influenced by an understanding and improvement of human recourses as the supporting factors. In addition to the possible right, it was necessary to understand the existing procedure. organization, coordination among internal prisoner itself and any other related organizations such as attorney offices and courts. The results of research indicated that, factually there were still constraints at Tangerang Women Prison; though prisoners were parole any of requirements procedurally. Some of those contains were the lack of human resources, namely, the prison staff's technical ability, the prisoners understanding, and the organization's understanding and coordination with other paties. Moreover, other constraints were problems with parole administrative documents and social environment of community that would support the fulfillment of any requirements for conditional release. For the program to be more effective and efficient, the role and coordination of other parties were needed. Thus, periodical and sustainable socialization and improvement in human resources were necessary also through training in the application of parole both for staff and prisoners. Besides, it was suggested for the top management of the prisoner to pay more attention, especially regarding the administration process the have been burden of prisoners as a whole so far, so that the right to the conditional release might be realized for any of prisoners parole the requirements.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T 20493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melvina Dewanti
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang peran Petugas Kemasyarakatan dalam melaksanakan Pembebasan Bersyarat terhadap Klien Pemasyarakatan. Penelitian dilakukan dengan melihat bagaimana peran Balai Pemasyarakatan dalam proses pelaksanaan pembimbingan untuk mencegah pengulangan kejahatan atau disebut reoffending. Penelitian berfokus untuk mencegah Klien Pemasyarakatan melakukan reoffending pada kasus narkotika dan kasus penggelapan uang dengan faktor ekonomi dengan menggunakan social control theory yang terdiri dari social bond dan containment, dan social reintegration serta desistance lalu dengan menggunakan model risk, need dan responsivity sebagai upaya untuk mengarahkan Petugas Kemasyarakatan dengan memperkuat pembimbingan dan memberikan kebutuhan yang Klien perlukan untuk mencegah melakukan reoffending. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam semi terstruktur dengan Petugas Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Klas II A Bogor dan Klien Pemasyarakatan. Hasil yang ditemukan bahwa proses pembimbingan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah reoffending belum terpenuhi dengan maksimal. Hal ini disebabkan belum adanya standarisasi pembimbingan yang berfokus pada pencegahan reoffending, sehingga menimbulkan Klien yang berpotensi berisiko tinggi tidak ditangani secara maksimal. ...... This thesis elaborates the role of Probation Officer in putting probation on probationer. Research was conducted with the perspective of Correctional Centre?s role in checking on probationers in a probationary period in order to prevent them from committing a crime again or with a renowned term called ?reoffending?. The research mainly focuses on preventing probationers from reoffending in narcotics cases and embezzlement cases with economic factors using terms of risk, need, and responsiveness in an attempt to give guidance for probation officer with strengthening the process while in a probationary period and giving probationers what they need as to prevent them from reoffending. Research method is qualitative which is applied in the profoundly semi-structured interview with the probation officer of Correctional Centre in Bogor and the probationer. The result of research is elaborated that the process while in a probationary period in order to prevent probationer from reoffending has not been fully maximized. It is all caused by the absence of competent probationary process that focuses on reoffending prevention, so it will lead to a very high risk when the probationer is not fully assisted.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S66879
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Anggraini
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang dukungan sosial pada pelaksanaan pembebasan bersyarat terhadap klien pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan dengan melihat bagaimana peran dukungan sosial formal dan informal selama pelaksanaan pembimbingan dalam upaya reintegrasi dan mencegah residivisme. Penelitian berfokus kepada peranan dukungan sosial dalam upaya menghasilkan reintegrasi sosial dan mencegah residivisme pada kasus narkotika dengan menggunakan social support theory, social bond theory dan theory of desistance. Ketiga teori tersebut digunakan untuk melihat peran dukungan sosial dalam upaya membangun ikatan sosial dan membantu desistance dari pengulangan kembali pelanggaran. Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah metode kualitatif dan dilakukan dengan teknik wawancara mendalam semi terstruktur dengan Klien Pemasyarakatan, PK Bapas Kelas IA Jakarta Pusat, Anggota Keluarga Klien, serta Masyarakat oleh staf YIIM. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dukungan sosial hadir baik secara formal maupun informal. Namun, dukungan formal dari Bapas serta PK diketahui belum maksimal didapatkan klien. Hal ini disebabkan karena terdapat berbagai hambatan internal Bapas dalam upaya menghasilkan berbagai dukungan selama pembimbingan klien. Sebaliknya, dukungan informal melalui keluarga dan masyarakat oleh YIIM memperlihatkan memiliki sumber daya yang lebih berlimpah, sehingga dukungan berjalan dengan lebih baik dan maksimal. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa dukungan yang diberikan baik formal maupun informal memiliki peranan dalam membentuk ikatan sosial dan mempertahankan desistance untuk mencegah residivisme dan reintegrasi yang sukses ke masyarakat. ......This thesis discusses social support in the implementation of parole for correctional client. This research was conducted by looking at the role of formal and informal social support during the implementation of guidance in reintegration efforts and preventing recidivism. Research focuses on the role of social support in an effort to produce social reintegration and prevent recidivism in narcotics cases by using social support theory, social bond theory and theory of desistance. The three theories are used to see the role of social support in an effort to build social bond and helping desistance from reoffended. The method used in this study is a qualitative method and is carried out with semi-structured in-depth interviews with Client, Probation Officer, Family Members of Clients, and Society by YIIM (Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun) Staf. The results showed that social support was present both formally and informally. However, formal support from correctional centre and probation officer shows has not been maximally obtained. This is because there are various internal obstacles to correctional centre in an effort to generate various supports during client mentoring. On the other hand, informal support through family and community by YIIM show that it has more abundant resources, so that support runs better and maximally. This study also shows that the support provided both formal and informal has a role in forming social bonds of clients and maintaining good desistance to prevent recidivism and sucsees reintegration into society.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library