Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Il Yana Agri Lestari
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22638
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Firly A. Permata
"A
Dalam PKP2B dan perjanjian subkontraktor dari PKP2B, para pihak yang akan mengadakan perjanjian dapat menentukan ketentuan penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui litigasi. arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Arbitrase digunakan untuk menyelesaikan sengketa komersial yang memerlukan persetujuan para pihak. Pada dasarnya, konsep arbitrase adalah proses konsensual. Namun demikian, putusan arbitrase masih perlu diperkuat oleh Negara melalui pengadilan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional yang membutuhkan peran pengadilan. Terkait upaya pembatalan putusan tersebut masih terdapat multi interpretasi pendapat diantara kalangan praktisi, akademisi, dan hakim-hakim di Pengadilan.

ABSTRACT
In PKP2B and subcontractor agreement, the parties entered into an agreement will be able to determine dispute settlement provisions. The settlement of disputes can be resolved through litigation, arbitration and alternative dispute settlement. Arbitration is used to settle commercial disputes in which parties agree for settling their disputes. Basically, the concept of arbitration as a consensual process but the arbitral award is still need to be reinforced by state through the Indonesian court. It can be seen from the process of the recognition and enforcement of international arbitral awards which require the role of the court. Still, there are multi-interpretation of practitioners, academics, and judges' opinions in the court for annulment of international arbitral awards. "
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S472
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Putri Nabila Kurnia Arsyad
"Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution terdiri dari berbagai macam pilihan, salah satunya adalah arbitrase, yang dapat dilakukan dengan arbitrase nasional maupun arbitrase internasional. Putusan yang dibuat melalui arbitrase bersifat final dan binding, sehingga menutup kemungkinan bagi pihak yang bersengketa untuk memohonkan upaya hukum lainnya atas putusan arbitrase, baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Namun, pada kenyataannya masih ditemui banyak upaya hukum yang dilakukan terhadap putusan arbitrase seperti pembatalan. Putusan arbitrase internasional yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diharuskan mendapat eksekuator dari lembaga peradilan Indonesia terlebih dahulu, yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Salah satu syarat agar suatu putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan adalah tidak melanggar ketertiban umum. Tidak adanya pembatasan maupun definisi yang kongkret atas ketertiban umum, menjadikan celah hukum bagi pihak yang merasa tidak puas dengan suatu putusan arbitrase internasional mengajukan upaya pembatalan putusan arbitrase tersebut. Kementerian Pertahanan Republik Indonesia saat ini sedang melakukan upaya baik secara perdata maupun pidana atas pembatalan putusan arbitrase internasional dengan alasan melanggar ketertiban umum atas kasusnya dengan Navayo International AG dan Hungarian Export Credit Insurance PTE LTD yang mana telah diputus dengan Putusan International Chamber of Commerce Nomor 20472/HTG tertanggal 22 April 2021. Hal ini didasari karena adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam perjanjian kerjasama pengadaan satelit komunikasi pertahanan. Guna menciptakan kepastian hukum bagi semua pihak diperlukannya penegasan terkait definisi kongkret dari pelanggaran ketertiban umum serta batasan-batasan yang menjadikan terkategori melanggar ketertiban umum.

Alternative Dispute Resolution consists of various options, one of which is arbitration, which can be carried out by national arbitration or international arbitration. Decisions made through arbitration are final and binding, thus closing the possibility for disputing parties to apply for other legal remedies for arbitration awards, whether appeal, cassation or review. However, in reality there are still many legal efforts made against arbitral awards such as annulment. International arbitral awards mandated by Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution are required to get an executor from an Indonesian judicial institution first, namely the Central Jakarta District Court. One of the conditions for an international arbitral award to be enforceable is not to violate public order and/or public policy. The absence of concrete limitations or definitions of public order creates a legal loophole for a party who is dissatisfied with an international arbitral award submitting an effort to annul the arbitral award. The Ministry of Defense of the Republic of Indonesia is currently making efforts both civilly and criminally to annul the international arbitration award on the grounds of violating public order in its case with Navayo International AG and Hungarian Export Credit Insurance PTE LTD which has been decided by International Chamber of Commerce Decision Number 20472/ HTG dated April 22, 2021. This was based on allegations of corruption in the cooperation agreement for the procurement of defense communication satellites. In order to create legal certainty for all parties, it is necessary to affirm the concrete definition of a violation of public order and the limitations that make it categorized as a violation of public order."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanin Koeswidi Astuti
"Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Yang menjadi permasalahan adalah apakah hakim dapat memeriksa suatu kontrak yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase terkait dengan asas kebebasan berkontrak apabila terdapat sengketa diantara mereka, apakah upaya hukum yang dapat dilakukan untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase yang telah diputus oleh BANI, dan bagaimanakah pelaksanaan pembatalan putusan arbitrase yang telah diputus BANI oleh MA? Berdasarkan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata ayal (1) yang memuat asas kebebasan berkontrak atau asas paeta sunt servanda ini, maka hakim Pengadilan Negeri dapat menyatakan dirinya tidak berwenang karena jabatannya (ex officio) untuk mengadili sengketa yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Tidak tergantung pada ada atau tidaknya eksepsi dari tergugat tentang ketidakwenangannya itu, mengenai upaya pembatalan putusan arbitrase yang telah diputus oleh BANI, adalah seperti yang diatur secara limitatif dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dimana harus memenuhi unsur dalam Pasal 70 tersebut. Dari beberapa kasus pembatalan putusan arbitrase yang telah diputus BANI oleh Mahkamah Agung dapat diketahui bahwa dasarnya yang dianut Mahkamah Agung adalah prinsip paeta sunt servanda yang terlihat pada saat memeriksa dan memutus permohonan kasasi dari sengketa kontrak yang mencantumkan klausula arbitrase, oleh karena itu pengadilan tidak secara otomatis dapat mengadili suatu sengketa, apabila telah diperjanjikan dalam kontrak bisnis mereka sebelumnya berupa klausul arbitrase bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa mereka melalui forum arbitrase, kecuali terjadi kesalahpahaman mengenai klausula arbitrase, salah pengertian dan salah penafsiran, para pihak telah mencabut atau membatalkan klausula arbitrase.

The writing of this thesis research methods literature with secondary data as the data source. The problem is whether the judge can review a contract that contains the arbitration clause related to the principle of freedom of contract if there is a dispute between them, whether the remedy which can be done to apply the annulment of the award which had been cut 'by BANI, and how the implementation of the annulment of the award BANI which had been cut by the Supreme Court? Under article 1320 and Article 1338 Civil KUH point (1) which includes the principle of freedom of contract or pacta sunt servanda principle of this, the District Court judge may declare themselves not competent because of his position (ex officio) to adjudicate disputes in which the arbitration clause. Does not depend on the presence or absence of the defendant's demurrer on not authorized it, about the efforts that the annulment of the award has been settled by BANI, is regulated as limitatif in Article 70 of Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution, which must meet the elements of Article 70 is. Of some cases of cancellation of the award that has been decided by the Supreme Court BANI can be seen that essentially the Supreme Court adopted the principle of pacta sunt servanda is visible at the time of review and decide upon appeal from a contract dispute that included the arbitration clause, therefore the court does not automatically can judge a dispute, if it had been agreed in previous contracts o f their business arbitration clause that the parties will resolve their dispute through arbitration forum, except for misunderstanding about the arbitration clause, misunderstandings and wrong interpretations, the parties have been revoked or canceled the arbitration clause."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T37491
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aldwin Octavianus Wijaya
"Skripsi ini pada dasarnya membahas mengenai cara dan dasar pembatalan putusan arbitrase antar negara. Dalam mekanisme arbitrase, terutama arbitrase antar negara (interstate arbitration) masih terdapat berbagai ketidakjelasan, salah satunya adalah tidak terdapat kepastian mengenai bagaimana prosedur pembatalan putusan arbitrase tersebut, dan dasar apa saja yang dapat digunakan untuk membatalkan putusan arbitrase tersebut. Penelitian yang dilakukan Penulis ini berujung pada suatu hasil bahwa sejatinya suatu putusan arbitrase antar negara dapat dibatalkan, dimana disaat para pihak memiliki persetujuan untuk menunjuk badan ketiga untuk melakukan proses pembatalan, dan pada prakteknya badan ketiga tersebut adalah International Court of Justice/Mahkamah Internasional, dimana ICJ sendiri pernah menangani dua kasus pembatalan putusan arbitrase internasional, yaitu antara negara Guinea-Bissau dan Senegal, serta antara negara Honduras dan Nicaragua. Dasar yan dapat digunakan untuk membatalkan putusan arbitrase antar negara pun bervariasi, dimulai dari saat majelis arbitrase melampaui kewenangannya dalam menangani suatu perkara hingga disaat majelis arbitrase tidak memberikan alasan yang lengkap dalam memutus suatu perkara. Berdasarkan analisa dari penulis, dasar pembatalan tersebut bukanlah merupakan suatu hard law dimana berasal dari suatu konvensi internasional, namun dapat dikatakan sebagai huku kebiasaan internasional, dimana dasar-dasar pembatalan putusan tersebut telah diakui secara umum oleh berbagai negara dalam prakteknya. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan tinjauan pustaka ke berbagai literature terkait dan juga putusan-putusan mahkamah internasional serta putusan-putusan badan arbitrase internasional. Saran Penulis terkait dengan isu ini adalah bahwa ada baiknya jika dasar pembatalan putusan arbitrase yang telah marak digunakan ini dicantumkan dalam suatu konvensi internasional, agar tidak terjadi ketidakjelasan mengenai status hukum dari dasar pembatalan tersebut.

This thesis discusses on how to and what are the grounds to annul an interstate arbitral award. In interstate arbitration, there are still a lot of ambiguity on how to annul an interstate arbitral award, and what grounds that could be used to annul such award.This research leads to the conclusion that it is possible to annul an interstate arbitral award as long as the parties have appointed a third body with such authority, one of which is the International Court of Justice. In fact, ICJ has handled two cases of annulment of interstate arbitral award, between Guinea Bissau and Senegal, and between Honduras and Nicaragua. The grounds in annulling an interstate arbitral award also varies, for example, when the arbitral panel exceeds its power, or when the arbitral panel did not provide sufficient reasoning in relation to the decision. Based on author rsquo s analysis, such grounds could only be referred as a customary international law, and not as a hard law.This research is conducted by reviewing various literature and book as well as International Court of Justice rsquo s decisions and international arbitration rulings. The Authors suggest that it is necessary for an international convention to compile the existing annulment grounds that has been rampantly used by various countries to avoid ambiguity about the legal status of such annulment grounds. "
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhea Ranissya Diza Liestiara
"Dari beberapa penyelesaian sengketa yang dikenal saat ini, arbitrase merupakan salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa yang umumnya dipilih oleh para pihak dan disepakati sebagai klausula penyelesaian sengketa di dalam sebuah kontrak yang mengikat para pihak tersebut. Pemilihan ini didasarkan kepada beberapa kelebihan dari arbitrase, yang salah satunya ialah penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini menghasilkan putusan yang bersifat final dan mengikat. Namun demikian, pada kenyataannya, para pihak yang telah mengikatkan dirinya untuk tunduk pada putusan arbitrase ternyata masih melakukan upaya hukum berupa pembatalan putusan arbitrase yang senyatanya bertentangan dengan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase yang tercermin dari pencantuman klausula arbitrase di dalam kontrak. Dengan menggunakan jenis penelitian doktrinal, tulisan ini akan menganalisis kekuatan mengikat dari klausula arbitrase yang tercantum di dalam kontrak bagi para pihak yang terikat di dalam kontrak tersebut serta kaitannya dengan alasan-alasan yang diajukan oleh para pihak dalam melaksanakan upaya hukum permohonan pembatalan putusan arbitrase di Indonesia. Adapun temuan yang didapatkan dari penelitian ini adalah adanya inkonsistensi dalam pengaturan mengenai alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase di dalam UU 30/1999 yang berimplikasi kepada banyakan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan dengan alasan di luar ketentuan Pasal 70 UU 30/1999.

Of the several dispute resolutions known today, arbitration is one type of alternative dispute resolution that is generally chosen by the parties and agreed upon as a dispute resolution clause in a contract that binds the parties. This choice is based on several advantages of arbitration, one of which is that dispute resolution through arbitration results in a final and binding decision. However, in reality, the parties who have bound themselves to submit to the arbitration award still make legal efforts in the form of canceling the arbitration award which is in fact contrary to the agreement of the parties to resolve disputes through arbitration as reflected in the inclusion of the arbitration clause in the contract. By using doctrinal research, this paper will analyze the binding force of the arbitration clause contained in the contract for the parties bound by the contract and its relation to the reasons submitted by the parties in exercising legal remedies for the annulment of arbitral awards in Indonesia. The findings obtained from this research are that there are inconsistencies in the provisions regarding the grounds for requesting the annulment of arbitral awards in Law 30/1999 which have implications for the large number of requests for annulment of arbitral awards submitted for reasons outside the provisions of Article 70 of Law 30/1999."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumagit, Rian Benedictus
"Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU APS”), telah mengatur mengenai alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase. Permohonan pembatalan putusan ini diajukan di Pengadilan Negeri. UU APS tidak memberikan pembedaan terhadap pembatalan baik terhadap putusan arbitrase nasional maupun pembatalan atas putusan arbitrase internasional. Faktanya, pengaturan mengenai alasan pembatalan putusan arbitrase dalam UU APS terdapat ketidakharmonisan aturan yang menimbulkan multitafsir. Pasal 70 UU APS menggunakan frase “sebagai berikut” yang apabila diartikan maka ketentuan mengenai alasan pembatalan putusan arbitrase adalah bersifat limitatif. Disisi lain dalam Penjelasan Umum Bab VII UU APS menggunakan frase “antara lain” yang apabila ditafsirkan maka alasan pembatalan putusan arbitrase adalah bersifat tidak limitatif. Ketidakharmonisan dalam pengaturan mengenai pembatalan putusan arbitrase dalam UU APS ini tentunya menimbulkan ketidakpastian. Terhadap hal tersebut, Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2012. SEMA tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan mengenai alasan pembatalan putusan arbitrase dalam Pasal 70 UU APS tidak dapat disimpangi. Dengan demikian ketentuan dalam Pasal 70 UU APS bersifat limitatif. Meskipun telah terdapat SEMA, ternyata ketentuan SEMA masih belum banyak dipergunakan dan dipertimbangkan oleh hakim pengadilan dalam memeriksa dan memutus pembatalan putusan arbitrase. Masih terdapat putusan yang mengabulkan pembatalan putusan arbitrase di luar dari ketentuan Pasal 70 UU APS yang bersifat limitatif. Walaupun berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat, namun SEMA hanya bersifat pedoman, sehingga hakim berpendapat bahwa ketentuan SEMA dapat di simpangi. Hal tersebut juga menyebabkan ketidakseragaman pada putusan pengadilan yang memutus tentang alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase di Indonesia.

Indonesian Law Number 30 year 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution (“UU APS”). The law regulates the reasons that can be used to file an application for the annulment of an arbitration decision, which is submitted to the District Court. UU APS does not differentiate between the annulment of national arbitration decisions and the annulment of international arbitration decisions. In fact, there is inconsistency in the regulation of the reasons for the annulment of arbitration decisions in the UU APS, leading to multiple interpretations. Article 70 UU APS uses the phrase "sebagai berikut" (as follows), which, when interpreted, implies that the provisions regarding the grounds for annulment of arbitration decisions are restrictive. On the other hand, in the General Explanation of Chapter VII of the UU APS, the phrase "antara lain" (among other things) is used, implying that the grounds for annulment of arbitration decisions are non-restrictive. The inconsistency in the regulation of the annulment of arbitration decisions in the UU APS undoubtedly creates uncertainty. In response to this, the Supreme Court issued Regulation No. 7 of 2012 (SEMA No. 7 Tahun 2012). This regulation essentially states that the provisions regarding the grounds for annulment of arbitration decisions in Article 70 of the UU APS cannot be deviated from. Thus, the provisions in Article 70 of the UU APS are restrictive. Despite the existence of SEMA, it appears that its provisions are not widely used and considered by court judges in examining and deciding on the annulment of arbitration decisions. There are still decisions that grant annulment of arbitration decisions outside the restrictive provisions of Article 70 of the UU APS. Although SEMA is valid and binding, it is considered a guideline, so judges believe that its provisions can be deviated from. This also causes inconsistency in court decisions regarding the reasons that can be used to file for the annulment of arbitration decisions in Indonesia."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri
"Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat bagi para pihak, akan tetapi Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan upaya untuk mengajukan permohonan pembatalan melalui Pengadilan Negeri. Upaya hukum permohohan pembatalan mengakibatkan proses penyelesaian sengketa menjadi berlarut-larut, meskipun para pihak telah sepakat untuk mengenyampingkan upaya hukum permohonan pembatalan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bersifat yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan statute approach , pendekatan konseptual conceptual approach dan pendekatan kasus case approach . Tindakan salah satu pihak yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase meskipun telah dikesampingkan dalam perjanjian secara hukum telah dianggap melakukan cidera janji wanprestasi dan melanggar asas kekuatan mengikat pacta sunt servanda dari Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata dan melanggar asas kepastian hukum. Kesepakatan pengenyampingan upaya pembatalan putusan arbitrase telah meniadakan dan melepaskan hak para pihak untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrse melalui pengadilan, namun dalam praktek majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan adanya kesepakatan pengenyampingan tersebut, sebaliknya tetap memeriksa dan mengadili pokok perkara dan membatalkan putusan arbitrase yang telah bersifat final dan mengikat. Seharusnya, majelis hakim dalam mengeluarkan putusan tetap berpedoman pada isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagai konsekuensi dari asas pacta sund servanda sepanjang perjanjian arbitrse tersebut telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata.

Arbitration award is final and binding for the parties, however Article 70 of Law No. 30 of 1999 regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolutions provides a right to file a request for cancellation through the District Court. The legal remedy to request annulment caused the dispute settlement process extended, even though the parties have agreed to waive legal remedy on such cancelation. The research is descriptive research which is normative juridical and the approaches are statute approach, conceptual approach and case approach. The request for the cancellation of an arbitral award filed by the party even though it has been ruled out in the treaty is considered as a breach of contract and violates the principle of pacta sunt servanda of Article 1338 paragraph 1 of Indonesian Civil Code and has violated the legal certainty principle. A waiver agreement for the cancellation of the arbitral award has nullified and waived the parties 39 right to file the annulment of the arbitral award through the court, however in practice the judges did not consider the existence of the waiver agreement, on the contrary to examine and adjudicate the case and nullify the final and binding arbitral award. Supposedly, the judges in issuing the decision shall remain guided by the contents of the agreement made by the parties as a consequence of pacta sund servanda principle as long as the arbitration agreement has met the requirements of the validity of the agreement as regulated in Article 1320 to Article 1337 Indonesian Civil Code.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>