Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arde Nauval Sulistyo
"Seseorang dapat menyatakan kehendaknya setelah ia meninggal dunia ke dalam akta autentik yaitu Akta Wasiat guna memberikan kepastian hukum. Selanjutnya Akta Wasiat seharusnya didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) agar semua pihak yang bersangkutan dengan Akta Wasiat tersebut dapat mengakses dan memverifikasi keberadaan wasiat guna meminimalisir terjadinya sengketa dan memberikan pelindungan terhadap hak-hak penerima wasiat. Kasus tidak didaftarkannya Akta Wasiat yang pada akhirnya memunculkan sengketa, dapat ditemukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 218/Pdt.G/PN Dps. Untuk itu masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah tentang akibat hukum dari Akta Wasiat yang tidak didaftarkan ke Kemenkumham. Selain itu juga pertimbangan hakim dalam putusannya untuk memenuhi keadilan dan kepastian hukum agar dapat pula memberikan pelindungan hukum kepada penerima wasiat dan pihak ketiga. Penelitian hukum ini berbentuk doktrinal dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui studi dokumen yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa akibat hukum dari Akta Wasiat yang tidak didaftarkan ke Kemenkumham adalah tetap sah dan autentik serta mengikat semua pihak namun tidak memenuhi asas publisitas sebagaimana ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i dan j UUJN serta Pasal 2 Permenkumham Nomor 60 Tahun 2016. Adapun terkait pertimbangan hakim dalam putusan a quo memberikan keadilan dan kepastian hukum terhadap penerima wasiat terkait kedudukan dari Akta Wasiat No. 23 tertanggal 11 Juli 2017 bahwasanya Akta tersebut sah dan memiliki kekuatan hukum sehingga dengan adanya kepastian hukum tersebut memberikan pelindungan hukum terhadap penerima wasiat. Kemudian dengan adanya putusan tersebut juga memberikan kepastian hukum kepada bank, sehingga bank dapat mencairkan dana deposito tanpa menimbulkan risiko di kemudian hari serta memberikan pelindungan hukum pihak ketiga.

A person can state his will after he dies in an authentic deed, namely a Will Deed to provide legal certainty. Furthermore, the Will Deed should be registered with the Ministry of Law and Human Rights (Kemenkumham) so that all parties concerned with the Will Deed can access and verify the existence of the will in order to minimize disputes and provide protection for the rights of the recipient of the will. The case of the failure to register the Will Deed which ultimately gave rise to a dispute can be found in the Denpasar District Court Decision Number 218/Pdt.G/PN Dps. Therefore, the problem raised in this study is about the legal consequences of the Will Deed that is not registered with the Kemenkumham. In addition, the judge's considerations in his decision to fulfill justice and legal certainty so that it can also provide legal protection to the recipient of the will and third parties. This legal research is in the form of doctrinal by collecting legal materials through document studies which are then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be explained that the legal consequences of a will deed that is not registered with the Ministry of Law and Human Rights are that it remains valid and authentic and binds all parties but does not fulfill the principle of publicity as stipulated in Article 16 paragraph (1) letters i and j of the UUJN and Article 2 of Permenkumham Number 60 of 2016. Regarding the judge's consideration in the a quo decision, it provides justice and legal certainty to the recipient of the will regarding the position of Will Deed No. 23 dated July 11, 2017, that the Deed is valid and has legal force so that with the existence of legal certainty it provides legal protection to the recipient of the will. Then, with the existence of this decision, it also provides legal certainty to the bank, so that the bank can disburse deposit funds without causing risk in the future and provide legal protection for third parties."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq Athallah
"Hadirnya platform e-commerce memungkinkan dilakukannya penjualan barang atau jasa secara langsung kepada pelanggan melalui internet. Penggunaan platform e-commerce membawa keuntungan bagi pelaku usaha dan konsumen. Namun demikian, kerap terjadi penggunaan foto produk sebagai materi penjualan dengan tanpa izin dari pencipta dan/atau pemegang hak cipta yang merupakan suatu pelanggaran terhadap hak cipta. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelindungan hukum bagi pemegang hak cipta foto produk terhadap penggunaan foto produk secara komersial tanpa izin serta tanggung jawab penyelenggara platform e-commerce terhadap pelanggaran yang terjadi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk menganalisis masalah tersebut berdasarkan hukum tentang hak cipta. Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa terjadi penggunaan foto produk tanpa izin yang merupakan pelanggaran terhadap hak cipta pada platform e-commerce. Pencipta dan/atau pemegang hak cipta yang hak ciptanya dilanggar dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan/atau menuntut secara pidana. Terhadap pelanggaran tersebut, Penyelenggara platform e-commerce tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum selama telah melakukan kewajibannya dengan memastikan platform miliknya tidak memuat dan tidak memfasilitasi penyebarluasan konten yang dilarang serta memiliki tata kelola dan menyediakan saran pelaporan, memberikan informasi pengguna yang mengunggah konten yang dilarang dalam rangka pengawasan dan/atau penegakan hukum, dan melakukan pemutusan akses (take down) terhadap konten yang dilarang.

The presence of e-commerce platforms makes it possible to sell goods or services directly to customers through the internet. The use of e-commerce platforms brings benefits to businesses and consumers. However, there is often the use of product photos as sales material without the permission of the creator and / or copyright holder which is an infringement of copyright. This research aims to analyze the legal protection for product photo copyright holders against commercial use of product photos without permission and the responsibility of e-commerce platform organizers for violations that occur. This research uses normative juridical research methods that aim to analyze the problem based on the law on copyright. Based on this research, it is known that there is an unauthorized use of product photos which is a violation of copyright on e-commerce platforms. The creator and/or copyright holder whose copyright is infringed may file a lawsuit for compensation and/or prosecute criminally. Against such violations, e-commerce platform operators cannot be held legally liable as long as they have carried out their obligations by ensuring that their platforms do not contain and do not facilitate the dissemination of prohibited content and have governance and provide reporting suggestions, provide information on users who upload prohibited content in the context of supervision and/or law enforcement, and take down prohibited content."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nur Azizah
"Kegiatan yang timbul dalam hubungan antar masyarakat pada dasarnya selalu dikaitkan atau didahulukan dengan adanya pembuatan perjanjian. Salah satunya merupakan perjanjian hutang pihutang dimana dalam hal ini pihak kreditur harus menjamin kepastian agar objek tersebut tidak berada atas penguasaan orang lain. Berdasarkan kepada putusan Mahkamah Agung Nomor 804 K/PDT/2019 dalam hal ini pihak penyewa meminta penundaan atas pelaksanaan lelang eksekusi atas kredit macet oleh pihak yang menyewakan selaku pemilik dari objek sewa tersebut. Penelitian ini mengangkat masalah perihal akibat hukum pembebanan hak tanggungan terhadap perjanjian sewa menyewa dan hak yang seharusnya dipertahankan oleh penyewa dalam hal dilaksanakannya eksekusi. Metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian penelitian preskriptif yang bertujuan menggambarkan masalah hukum dan memberikan solusi atau saran sebagai penyelesaiannya dalam mengatasi suatu permasalahan. Hasil penelitian ini adalah akibat hukum dari adanya pembebanan Hak Tanggungan yang diadakan kemudian setelah mengikatnya perjanjian sewa menyewa harus didahulukan pelaksanaannya hingga masa perjanjian sewa menyewa tersebut berakhir. Perjanjian yang sah mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang dimana dalam hal ini perjanjian sewa menyewa mengikat terlebih dahulu daripada adanya pembebanan hak tanggungan terhadap objek sewa sehingga dalam hal ini pelaksanaan atas perjanjian sewa menyewa harus didahulukan. Perpanjangan perjanjian sewa menyewa sebagaimana tertuang dalam akta notaris Nomor 01 tertanggal 01 Maret tahun 2017 yang mana para pihak dalam hal ini sepakat terhadap klausul Pasal 5 perjanjian pihak yang menyewakan selaku pemilik atas objek tersebut menyatakan bahwa pada saat dilakukan perpanjangan perjanjian terhadap objek sewa tidak berada atas suatu jaminan hutang dari pihak yang menyewakan. Bentuk pelindungan hukum bagi pihak penyewa dapat mengajukan gugatan wanprestasi atas dasar pihak yang menyewakan melalaikan dan/atau tidak dipenuhinya prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya disertai dengan meminta ganti kerugian yang diperoleh selama perjanjian sewa menyewa masih berlangsung. Apabila perjanjian sewa menyewa telah berakhir, maka dalam hal ini bentuk pelindungan yang dapat diajukan oleh pihak penyewa dapat berupa gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum terhadap pihak yang menyewakan.

Activities that arise in intersociety relations are frequently accompanied by or preceded by the formation of agreements. One of these is a debt contract, wherein the creditor must guarantee that the object is not in the possession of another party. Based on Supreme Court Decision Number 804 K/PDT/2019, the tenant in this case requested a delay in the execution auction for bad credit by the renting party as the owner of the rental object. This study raised questions about the legal implications of encumbering mortgage rights on lease agreements and the rights that tenants should retain in the event of execution. The research method utilized was a normative juridical research method with a prescriptive research type that aimed to describe legal problems and provide solutions or suggestions for problem resolution. The result of this research is that the legal consequences of the encumbrance of Mortgage Rights held after the binding of the lease agreement must take precedence over its implementation until the lease agreement's term expires. A valid agreement binds the parties as a law; in this case, the lease agreement binds prior to the encumbrance of mortgage rights against the lease agreement object, so the lease agreement must be implemented first. The extension of the lease agreement as stated in notarial deed No. 01, dated 1 March 2017, in which the parties agreed to the clause of Article 5 of the agreement of the renting party as the owner of the object, stating that at the time of the extension of the agreement, the object of the lease is not subject to a debt guarantee from the renting party. The form of legal protection for the tenant is to file a lawsuit for default on the grounds that the renting party has neglected and/or failed to perform as previously agreed, along with a demand for compensation, while the lease is still in effect. If the lease agreement has expired, the tenant may file a tort lawsuit against the renting party as a form of protection."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryani Sinduningrum
"Tulisan ini menganalisis bagaimana pelindungan hukum terhadap investor yang melakukan investasi aset kripto di Indonesia; bagaimana upaya kolaboratif antara Pemerintah, Otoritas Pengawas, dan Pelaku Industri Kripto untuk meningkatkan efektivitas pengaturan kripto dalam mengembangkan ekosistem finansial di Indonesia; dan bagaimana tanggung jawab Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) kepada Investor Kripto serta peran Pemerintah dan Otoritas Pengawas dalam hal terjadi PFAK yang menjadi Ilegal. Tulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian adalah pelindungan hukum industri kripto telah terlindungi dengan hadirnya Bursa Berjangka, Lembaga Kliring, dan Kustodian yang hak dan kewajibannya diatur dalam Perbappebti 13 Tahun 2020 juncto Perbappebti 8 Tahun 2021 serta diatur juga hak dan kewajiban PFAK dan Investor Kripto dalam perjanjian pelanggan. Pelindungan hukum lainnya dijamin dalam UUPDP, UUITE, dan UUPPSK. Namun terdapat kelemahan yaitu dalam perspektif syariah, kripto dianggap haram karena unsur perjudian dan ketidakpastian nilai. Namun dengan pesatnya industri kripto perlu diatur regulasinya. Kementerian Perdagangan, OJK, Pelaku Industri Kripto, dan Kementerian/Lembaga terkait telah melakukan kolaborasi namun harus ditingkatkan karena terdapat tantangan seperti peralihan tugas kepada OJK, literasi dan edukasi yang tidak hanya di kota besar saja, pelindungan data pribadi, hingga sifat terbuka dari aparat penegak hukum. Peluangnya yaitu potensi token lokal menjadi ‘go international’, potensi pendapatan pajak, dan potensi kripto menjadi virtual currency. Apabila izin usaha PFAK dicabut, PFAK harus mengembalikan aset investor dalam jangka waktu tertentu sedangkan Pemerintah berperan melakukan pembekuan izin usaha, pencabutan izin usaha, dan pengumuman public serta Pemerintah mendorong pembentukan lembaga kliring yang menjamin 70% dana yang berhasil di deposit dan kustodian menjamin 70% aset kripto yang berhasil ditransaksikan. Peran OJK adalah mengajukan permohonan pailit kepada PFAK walaupun dirasa tidak implementatif karena dikhawatirkan OJK bersifat subjektif. Upaya hukum yang dapat ditempuh Investor Kripto adalah penyelesaian jalur non-litigasi melalui LAPS-SJK dan BAKTI serta jalur litigasi diajukan gugatan wanprestasi kepada PFAK melalui Pengadilan Negeri.

This thesis analyzes how the legal protection of investors who invest in crypto assets in Indonesia; how collaborative efforts between the Government, Supervisory Authorities, and Crypto Industry Players to increase the effectiveness of crypto regulation in developing the financial ecosystem in Indonesia; and how the responsibility of Crypto Asset Physical Traders (PFAK) to Crypto Investors as well as the role of the Government and Supervisory Authorities in the event of PFAK becoming Illegal. This paper is prepared using doctrinal research method. The result of the research is that the legal protection of the crypto industry has been protected by the presence of the Futures Exchange, Clearing House, and Custodian whose rights and obligations are regulated in Perbappebti 13 of 2020 in conjunction with Perbappebti 8 of 2021 and also regulates the rights and obligations of PFAK and Crypto Investors in customer agreements. Other legal protections are guaranteed in UUPDP, UUITE, and UUPPSK. However, there are weaknesses, from a sharia perspective, crypto is considered haram because of the element of gambling and uncertainty of value. However, with the rapid development of the crypto industry, it is necessary to regulate it. The Ministry of Trade, OJK, Crypto Industry Players, and related Ministries/Institutions have collaborated but must be improved because there are challenges such as the transfer of duties to OJK, literacy and education that are not only in big cities, protection of personal data, and the open nature of law enforcement officials. The opportunities are the potential for local tokens to 'go international', potential tax revenue, and the potential for crypto to become virtual currency. If PFAK's business license is revoked, PFAK must return investor assets within a certain period of time while the Government has the role of freezing business licenses, revoking business licenses, and public announcements and the Government encourages the establishment of clearing houses that guarantee 70% of successfully deposited funds and custodians guarantee 70% of successfully transacted crypto assets. OJK's role is to submit a bankruptcy application to PFAK even though it is deemed not implementable because it is feared that OJK is subjective. Legal action that can be taken by Crypto Investors are non-litigation settlement through LAPS-SJK and BAKTI and litigation filed a default suit against PFAK through the District Court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dhafin Almanda Fauzan
"Waralaba adalah suatu metode bisnis yang dalam penyelenggaraanya terdapat pemberian izin penggunaan hak kekaayaan intelektual dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Dalam penyelenggaraannya waralaba didasari dengan perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba dan prospektus penawaran waralaba merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam prosedur pendaftaran waralaba. Pendaftaran waralaba sendiri merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh para pihak dalam waralaba yang didasari dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Dalam penelitian ini menggunakan metode peneltian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan terhadap peraturan penyelenggaraan waralaba. Selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas secara khusus mengenai pelindungan hukum yang didapatkan atas pendaftaran waralaba dan bagaimana Peraturan penyelenggaraan waralaba telah memberikan suatu kontruksi pelindungan hukum kepada pemberi waralaba dan penerima waralaba. Adanya kehadiran pelindungan hukum untuk para pihak dalam waralaba dalam hal ini memberikan suatu kepastian pelindungan yang akan didapatkan. Hal ini juga kemudian mendorong hadirnya penyelenggaraan waralaba yang lebih baik lagi. Dalam hal ini terdapat juga salah satu contoh perjanjian kerja sama waralaba yang tidak didaftarkan yakni perjanjian kerja sama Restoran X dengan Pengusaha Y yang dianalisis hak dan kewajibannya serta meninjau bagaimana pelindungan hukum untuk para pihak yang ada dalam perjanjian tersebut.

Franchising is a business method in which there is a grant of permission to use intellectual property rights from the franchisor to the franchisee. In the arrangement of franchising against the franchise agreement The franchise agreement and franchise offer prospectus are integral parts of the franchise registration procedure. Franchise registration is an obligation that the franchisees must fulfill in accordance with the provisions of the applicable regulations. In this study, a normative juridical research method was used using an approach to the rules of franchising. Furthermore, this paper will specifically discuss the legal protection of acquisitions for franchise registration and how the Franchise Administration Regulations have provided a construction of legal protection for franchisors and franchisees. The presence of legal protection for the parties to the franchise in this case provides a certainty of protection that will be obtained. This also then encourages the presence of a better franchising. In this case, there is also an example of a unregistered franchise cooperation agreement, namely the cooperation agreement between Restaurant X and Entrepreneur Y, which rights and obligations are analyzed, as well as how legal protection is provided for the parties involved in the agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nizar Yudhistira
"Kewenangan LPS dalam melakukan resolusi bank gagal bertambah sejak diundangkannya UU PPKSK, yakni dengan membentuk bank perantara. Pembentukan bank perantara hanya sementara, karena bank perantara wajib dijual kembali dengan harga wajar, dilakukan secara terbuka dan transparan, serta pemilik baru bank perantara boleh mendominasi kepemilikan sahamnya selama 20 tahun. Pengaturan yang demikian berpotensi merugikan keuangan negara karena frasa harga wajar bersifat multi tafsir dan juga berpotensi terjadi fraud karena dari berbagai literatur disebutkan bahwa dominasi kepemilikan saham erat kaitannya dengan tata kelola bank yang buruk. Untuk menganalisa pelindungan hukum apa yang dapat dilakukan, penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal. Pengumpulan data dengan cara wawancara dengan LPS dan studi literatur, kemudian diolah dan dianalisa dengan metode kualitatif dan analitis deskriptif. Hasil penelitian menujukkan bahwa penjualan dengan harga wajar adalah perintah undang-undang yang harus dipenuhi oleh LPS. Oleh karenanya, perlu melibatkan BPK untuk mengawasi LPS agar penjualan Bank Perantara dilakukan secara terbuka dan transparan. Keterlibatan OJK juga diperlukan untuk mengawasi secara intensif bank eks Bank Perantara dalam hal pemilik barunya mendominasi saham guna menghindari terulangnya bank eks Bank Perantara menjadi bank gagal karena ikut campurnya pemilik dalam pengelolaan bank.

LPS's authority to resolve failed banks has increased since the promulgation of the PPKSK Law, namely by establishing bridge banks. The formation of an bridge bank is only temporary, because the brigde bank must be resold at a fair price, carried out openly and transparently, and the new owner of the bridge bank may dominate its share ownership for 20 years. Such an arrangement has the potential to be detrimental to state finances because the phrase fair price has multiple interpretations and also has the potential for fraud because various literature states that the dominance of share ownership is closely related to poor bank governance. To analyze what legal protection can be done, the research used is doctrinal research. Data were collected by means of interviews with LPS and literature studies, then processed and analyzed using qualitative and descriptive analytical methods. The research results show that selling at a fair price is a legal order that must be fulfilled by LPS. Therefore, it is necessary to involve the BPK to supervise LPS so that sales of Bridge Banks are carried out openly and transparently. The involvement of the OJK is also needed to intensively supervise the former Bridge Bank in the event that its new owner dominates the shares in order to avoid a repeat of the former Bridge Bank becoming a failed bank due to the owner's interference in bank management."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Fitria Herlina
"Penelitian ini menganalisis perilaku doksing, terutama yang dilakukan oleh figur publik, menggunakan metode yuridis-normatif. Fokusnya adalah penerapan prinsip pemrosesan Data Pribadi dalam UU PDP terkait doksing, pertanggungjawaban hukum pelaku, dan perlindungan bagi korban menurut UU PDP dan UU ITE. Doksing, pengungkapan Data Pribadi tanpa izin, dapat melanggar prinsip UU PDP seperti terbatas dan spesifik, merugikan hak subjek, dan melanggar transparansi hukum. Meski UU PDP dan UU ITE memberikan dasar hukum, belum ada regulasi eksplisit mengenai doksing, menciptakan ketidakpastian hukum. Dampak doksing, khususnya oleh figur publik, kompleks dan serius, termasuk dampak psikologis, emosional, ekonomis, dan sosial pada korban. UU PDP dan UU ITE bisa memberikan perlindungan, meski tidak eksplisit, dengan sanksi pidana penjara dan denda. Namun, pengaturan eksplisit tentang doksing dibutuhkan untuk kepastian hukum. Pembentukan regulasi tersebut harus mempertimbangkan dampak berkepanjangan pada korban sebagai dorongan untuk menghentikan praktik doksing dan memberikan keadilan.

This research analyzes doxing behavior, especially by public figures, using a juridical-normative method. The focus is on the application of principles of Personal Data processing in the Personal Data Protection Law (UU PDP) related to doxing, legal accountability of perpetrators, and legal protection for victims according to UU PDP and the Information and Electronic Transactions Law (UU ITE). Doxing, the unauthorized disclosure of Personal Data, may violate UU PDP principles such as limitations, subject's rights, and legal transparency. Although UU PDP and UU ITE provide a legal basis, there is no explicit regulation on doxing, creating legal uncertainty. The impact of doxing, especially by public figures, is complex and serious, including psychological, emotional, economic, and social effects on victims. UU PDP and UU ITE can offer protection, although not explicitly, with criminal sanctions such as imprisonment and fines. However, explicit regulation on doxing is needed for legal certainty. The formulation of such regulation should consider the prolonged impact on victims as an incentive to stop doxxing practices and provide justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Setiawan
"Ketentuan mengenai waralaba di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71/2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Walaupun telah diatur dalam peraturan yang bersifat khusus, namun sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian waralaba juga harus tunduk kepada ketentuan yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang Perikatan. Penyelenggaraan waralaba dilakukan berdasarkan perjanjian waralaba yang dibuat oleh Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba sebagai individu yang independen dan berdiri sendiri. Sebagai pihak yang memiliki keahlian terhadap metode usaha yang dilakukannya, Pemberi Waralaba memiliki kecenderungan untuk mengutamakan kepentingannya sendiri dan mengabaikan kepentingan dari Penerima Waralaba sebagai pihak yang minim pengalaman bisnis. Selain itu, Perjanjian waralaba juga merupakan perjanjian baku yang dibuat secara apriori oleh Pemberi Waralaba mengakibatkan Penerima Waralaba hanya memiliki sedikit kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai isi dari perjanjian waralaba. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan bahwa pada kenyataannya kedudukan Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba adalah tidak seimbang seperti halnya dalam kasus Waralaba Restoran Hoghock dalam Putusan Nomor 3/Pdt.G.S/2023/PN.Jkt.Utr. Berkaca kepada kasus Waralaba Restoran Hoghock, penelitian ini akan membahas mengenai pelindungan hukum bagi Penerima Waralaba serta menganalisa legalitas perjanjian waralaba yang tidak didaftarkan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan tipe penelitian eksplanatoris untuk menjelaskan dan menganalisis fakta hukum yang terdapat pada kasus berdasarkan ketentuan hukum perjanjian dan hukum waralaba di Indonesia. Dengan mengacu kepada analisis atas permasalahan tersebut, penelitian ini dapat menyimpulkan bahwa perjanjian waralaba dalam kasus Waralaba Restoran Hoghock adalah merupakan perjanjian waralaba yang tidak terdaftar sehingga berakibat kepada tereduksinya hak-hak dan pelindungan hukum bagi Penerima Waralaba.

The Provision regarding franchise in Indonesia are regulated by Government Regulation Number 42 of 2007 on Franchise, and Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 on Franchise Implementation. Although it has been regulated in specific regulations, as with agreements in general, franchise agreements must also comply with the provisions stipulated in Book III of The Civil Code (KUHPerdata) concerning Contracts. The implementation of the franchise businesses are based on franchise agremeents made by the Franchisor and the Franchisee as independent and stand-alone individuals. As a party with expertise in the business methods employed, the Franchisor tends to prioritize its own interests and may overlook the interests of the Franchisee as a party with minimal business experience. Additionally, the franchise agreement is a standard agreement pre-drafted by the Franchisor, resulting in the Franchisee having limited opportunities to negotiate the contents of the franchise agreement itself. Therefore, it is possible that in reality, the positions of the Franchisor and the Franchisee are imbalanced, as seen in the case of the Hoghock Restaurant franchise in Decision Number 3/Pdt.G.S/2023/PN.Jkt.Utr. Reflecting on the Hoghock Restaurant franchise case, this research will discuss legal protection for the Franchisee and analyze the legality of unregistered franchise agreements. To address these issues, this research uses doctrinal research method with explanatory research type to explain and analyze legal facts found in the case based on the provisions of franchise agreements and franchise law in Indonesia. Based on the analysis of these issues, this research concludes that the franchise agreement in the case of the Hoghock Restaurant Franchise is an unregistered one, resulting in the reduction of rights and legal protection for the Franchisee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Pratiwi
"Dalam pemberian fasilitas kredit, bank dapat meminta adanya jaminan berupa hak atas tanah yang diikat dengan Hak Tanggungan. Hak atas tanah yang dijaminkan sebagai jaminan kredit tidak terlepas dari adanya sengketa tanah. Salah satu sengketa kepemilikan tanah yang kerap terjadi yaitu tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah. Ada akibat hukum dari tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah terhadap Objek Hak Tanggungan. Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan apabila objek Hak Tanggungan kepemilikannya tumpang tindih, perlu mendapatkan pelindungan hukum. Penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian doktrinal yang bertujuan menelaah akibat hukum dari tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah terhadap Hak Tanggungan dan pelindungan hukum Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan apabila ada tumpang tindih kepemilikan objek Hak Tanggungan. Penelitian ini juga melakukan studi putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 109/PDT/2023/PT DKI. Melalui penelitian ini didapatkan hasil bahwa terhadap objek Hak Tanggungan yang tumpang tindih, salah satu sertipikat hak atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak dapat dibatalkan. Apabila hak atas tanah hapus karena dibatalkan, Hak Tanggungan juga turut hapus. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan belum secara konsisten mendapat pelindungan hukum meskipun telah ada SEMA Nomor 7 Tahun 2012 bahwa kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan yang beritikad baik wajib dilindungi.

When providing mortgage facilities, banks can request collateral in the form of lan rights bound by Hak Tanggungan. Land rights pledged as credit collateral cannot be separated from land disputes. The land ownership disputes that often occurs is overlapping ownership of land rights. There are legal consequences of overlapping ownership of land rights to the Mortgage Rights Object. Banks as holders of mortgage rights, if their mortgage rights objects overlap, need to obtain legal protection. This research is conducted using doctrinal research which aims to examine the legal consequences of overlapping ownership of land rights to Hak Tanggungan and the legal protection of the Bank as the holder of Hak Tanggungan if the ownership of Hak Tanggungan objects is overlapping. This research also studies the decision of DKI Jakarta High Court Number 109/PDT/2023/PT DKI. Through this research, it was found that for overlapping objects of Hak Tanggungan, the cancellation shall be done for one of a land certificate as proof of land ownership. If land ownership is extinguished because of the cancellation, Hak Tanggungan are also distinguished. This research also concludes that bank as Hak Tanggungan holder have not consistently received legal protection even though SEMA Number 7 0f 2012 states that creditors as a Hak Tanggungan holders in good faith must be protected."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Novianty
"Asuransi merupakan perjanjian yang mengikat masyarakat sebagai pemegang polis dengan perusahaan asuransi dimana pemegang polis akan mengalihkan manajemen risiko kepada perusahaan asuransi melalui pembayaran premi setiap bulannya. Asuransi dilakukan atas dasar kepercayaan dari pemegang polis kepada perusahaan asuransi dan menjadi tanggung jawab tersendiri bagi perusahaan asuransi untuk menjaga kepercayaan tersebut. Namun pada kondisi empiris, tidak semua perusahaan asuransi mampu menjaga kepercayaan dari pemegang polis. Salah satunya adalah kasus yang terdapat di dalam Putusan Nomor 1312 K/Pid.Sus/2020 dimana Gevin Louis (terdakwa) yang mengaku Direktur PT Vega Prima Insurindo (PT VPI) tidak membayarkan uang premi asuransi yang dibayarkan oleh Djoko Soesanto Gusti dari PT Anggun Marine Energy (PT AME) kepada PT Asuransi Adira Dinamika sehingga PT AME menelan kerugian hingga ratusan juta rupiah akibat klaim asuransi yang tidak bisa diproses. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganallisa tanggung jawab hukum perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi atas penggelapan premi asuransi yang dilakukan oleh Direktur perusahaan pialang asuransi dan menganalisa perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap penolakan klaim oleh perusahaan asuransi karena terjadi penggelapan premi asuransi yang dilakukan oleh Direktur perusahaan pialang asuransi. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif. Sementara pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan kualitatif dengan menganalisa berbagai peraturan perundang-undangan dan teori hukum yang saling berkaitan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban hukum yang dapat dikenakan kepada perusahaan pialang asuransi adalah dengan memberikan sanksi pidana atau administratif yang diatur dalam KUHP maupun Undang-Undang Perasuransian. Kemudian pelindungan hukum yang dapat diberikan kepada PT AME dan PT AMEJ selaku pemegang polis adalah dengan menggugat secara perdata Gevin Louis selaku Direktur PT VPI dengan berdasar pada Putusan Nomor 1312 K/Pid.Sus/2020 dengan tuntutan gugatan berupa ganti kerugian finansial yang dialami oleh PT AME dan PT AMEJ.

Insurance is an agreement that binds the public as policy holders with an insurance company where the policy holder will transfer risk management to the insurance company through monthly premium payments. Insurance is carried out on the basis of the policy holder's trust in the insurance company and it is the insurance company's responsibility to maintain this trust. However, in empirical conditions, not all insurance companies are able to maintain the trust of policyholders. One of them is the case contained in Decision Number 1312 K/Pid.Sus/2020 where Gevin Louis (the defendant) who claimed to be the Director of PT Vega Prima Insurindo (PT VPI) did not pay the insurance premium paid by Djoko Soesanto Gusti from PT Anggun Marine Energy (PT AME) to PT Asuransi Adira Dinamika so that PT AME suffered losses of up to hundreds of millions of rupiah due to insurance claims that could not be processed. The purpose of this research is to analyze the legal responsibility of insurance companies and insurance broker companies for embezzlement of insurance premiums committed by the Director of an insurance broker company and to analyze legal protection for policy holders against rejection of claims by insurance companies due to embezzlement of insurance premiums committed by the Director of the company insurance broker. The type of research used in this research is normative juridical research with descriptive research characteristics. Meanwhile, the research approach used is a qualitative approach by analyzing various interrelated laws and legal theories. The research results show that legal liability that can be imposed on insurance broker companies is by imposing criminal or administrative sanctions as regulated in the Criminal Code and the Insurance Law. Then the legal protection that can be given to PT AME and PT AMEJ as policy holders is to sue Gevin Louis as Director of PT VPI civilly based on Decision Number 1312 K/Pid.Sus/2020 with a lawsuit demanding compensation for financial losses experienced by PT AME and PT AMEJ."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>