Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christina Octavia
Abstrak :
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Prosedur yang harus ditempuh dalam pengadaan tanah adalah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pengadaan tanah selain cara tersebut adalah dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Substansi ketentuan ini bersifat keperdataan yang meliputi ketentuan pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata, yang berarti harus memenuhi syarat-syarat sahnya kesepakatan dan persetujuan dan dilaksanakan oleh para pihak dengan itikad baik. Pengadaan tanah ini biasanya diperuntukan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum. Sedangkan pengadaan tanah diperuntukan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum oleh pihak swasta dikenal dengan perolehan tanah. Perolehan tanah dapat dilakukan dengan cara pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah. Pemerintah melaksanakan pembebasan, untuk proyek pemerintah atau proyek fasilitas umum seperti kantor pemerintah, jalan raya, pelabuhan laut/udara dan sebagainya. Sedangkan tujuan pembebasan dilakukan oleh pihak swasta dipergunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum yang bersifat komersil misalnya, pembangunan perumahan/real estate, pusat-pusat perbelanjaan/shoping center, pembangunan jalan bebas hambatan dan lain-lain. Proses pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktek pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah selalu menimbulkan masalah hukum. Jika terjadi sengketa biasanya antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan pihak swasta adalah berkisar tentang bentuk dan besarnya ganti rugi atau terjadinya manipulasi harga tanah serta proses musyawarah yang dilakukan perubahan menjadi intimidasi baik secara fisik dan psikis terhadap pemilik tanah. Ketentuan-ketentuan mengenai pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Pembangunan Daerah serta disinkronisasikan dengan Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Perumahan dan Pemukiman, dan lain-lain. Proses pelepasan atau peyerahan hak atas tanah memang dirasa sulit pelaksanaannya, dan akan menjadi lebih kacau lagi apabila ditangani secara sembrono dan tidak dialasi dengan etika pertanggung-jawaban yang semestinya. Maka, diharapkan dalam hal ini semua pihak menyadari, bahwa lembaga hukum penyerahan atau pelepasan hak atas tanah adalah diciptakan untuk mendukung pemerintah dalam usahanya menyelenggarakan pembangunan Negara dan bangsa.
Procurement of land is any activity to gain ground by way compensation to those entitle to the land. Procedures to be followed in the procurement of land is by way of of release or transfer of land rights. Other than land acquisition is by way of sale, exchange, or otherwise voluntary agreed by the parties concerned. The substance of this provision is covering the civil provisions of article 1320 jo. 1338 Civil Code, which means it must meet the terms of legitimacy and consent agreement and execute by the parties in good faith. This land acquisition for development projects are usually intended for public use, while the procurement of land intended for development projects in public interest by the private parties with the acquisition of land know. Land acquisition can be done by way of revocation, redemption and release of rights to land. For government projects or public facilities project such as government offices, road, sea/airport and so on. While the goal of liberation conducted by private parties are used for for the construction of public facilities of a commercial character, for example, housing construction/real estate, shopping malls/shopping centers, highway construction and others. The process of release or transfer of land rights is an activity of releasing the legal relationship between the holders of land rights to the land under his rule, by providing indemnification on the basis of deliberation. It is inevitable that in practice the implementation of the release or transfer of land rights laws are always causing trouble. If a dispute is usually between people and their government or the people and private parties are ranged about the form and amount of indemnification or manipulation of land prices and deliberative process that was change into intimidation both physical and psychic to the landowner. The provisions regarding the release of rights of public land shall be in accordance with the Spatial Plan or Local Development Plan and is synchronized with the Environmental Law, Law of Housing and Settlements, and others. The process of release or transfer of land rights are considered difficult implementation, and will become more chaotic again when handle carelessly and not covered by ethics proper accountability. Thus, it is expected in this case all parties recognize, that the legal institutions surrender or waiver of land was created to support the government in an attempt to hold the state and nation building.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T29441
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Heny Febriyanti Rahayu
Abstrak :
Tesis ini membahas Pengadaan tanah yang dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 memberi peluang kepada pemerintah melaksanakan proyek pembangunan untuk kepentingan umum. Dimana tanah yang digunakan adalah tanah milik masyarakat yang sebagian besar adalah tanah hak milik dan tanah girik. Penelitian ini adalah penelitian yang mengacu pada analisis normatif hukum dengan pengelolaan data kualitatif. Hasil penelitian menyarankan bahwa dalam memberikan ganti rugi terhadap masyarakat tidak hanya didasarkan kepada Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan, akan tetapi diseimbangkan dengan ?harga pasaran?di wilayah setempat. Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga/tim independent yang bersifat netral yang tidak mempunyai kepentingan terhadap tanah tersebut.
This thesis discusses about the land acquisition based on 1993's Presidential Decree number 55 which allows the government to develop projects for public interest where most of the land was owned by individuals in a form of owning rights certificate or only purchasing certificate. The research refers to legal normative analysis with qualitative data management. The result suggests that the individual's compensation fee for the land is not only based on Land and Structure Tax's Selling Object Value, but also balanced with the local area's 'market value'. Therefore, it needs an impartial institution/independent team which has no invested interest on the land.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27503
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dyana Safitri Juliani
Abstrak :
Pelepasan hak atas objek tanah yang dimiliki oleh anak dibawah umur harus diwakili oleh orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua atau wali yang ditunjuk dengan menjalankan perwalian, yang harus didasari oleh adanya penetapan pengadilan untuk membuktikan bahwa orang tua atau wali itu berwenang untuk mewaikili dan hal itu dilakukan atas dasar kepentingan si anak. Hal ini dikarenakan anak dibawah umur dianggap belum cakap dalam melakukan perbuatan hukum untuk mewakili dirinya sendiri. Selanjutnya maka penelitian ini berfokus pada kasus pelepasan hak di Jakarta Timur yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1211 K/PDT/2021, bahwa telah dilakukan pelepasan hak yang juga dianggap sebagai jual beli terhadap objek tanah dengan sertipikat hak milik atas nama si anak dibawah umur oleh ayah dari si anak dibawah umur tersebut atas dasar kekuasaan orang tua tanpa adanya penetapan pengadilan, yang kemudian hal ini mengakibatkan adanya sengketa terhadap objek tanah hak milik itu. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini didasarkan pada fakta-fakta yang terdapat dalam putusan untuk menganalisis konstruksi hukum dan kesahan akta pelepasan hak yang dibuat oleh orang tua dari subjek pemegang hak yang adalah anak dibawah umur tanpa didasari penetapan pengadilan. Penelitian ini dilakukan menggunakan penelitian doktrinal. Data-data yang dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Alat pengumpulan data yang dipakai adalah studi dokumen untuk menghimpun data dari sumber-sumber peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian menggambarkan bahwa pelepasan hak yang dibuat oleh orang tua dari subjek pemegang hak yang adalah anak dibawah umur tanpa didasari penetapan pengadilan menyebabkan perbuatan hukum pelepasan hak tersebut seharusnya tidak sah dan mengakibatkan akta pelepasan hak tersebut dapat dibatalkan. ......The release of rights to land objects owned by minors must be represented by parents who exercise parental authority or guardians appointed by exercising guardianship, which must be based on a court decision to prove that the parent or guardian is authorized to represent and it is done based on the interests of the child. This is because minors are considered incapable of performing legal acts to represent themselves. Furthermore, this research focuses on a case of relinquishment of rights in East Jakarta in Supreme Court Decision Number 1211 K/PDT/2021, where a relinquishment of rights, which is also considered a sale and purchase of a land object with a certificate of ownership in the name of the minor, was carried out by the father of the minor based on parental authority without a court order, which then resulted in a dispute over the land object. Based on this, this research is based on the facts contained in the decision to analyze the legal construction and validity of the deed of release of rights made by the parents of the right holder subject who is a minor without being based on a court decision. This research was conducted using doctrinal research. The data were analyzed using a qualitative approach. The data collection tool used is a document study to collect data from sources of applicable laws and regulations. The results of the study illustrate that the release of rights made by the parents of the right-holder subject who is a minor without being based on a court decision causes the legal act of releasing the right to be invalid and results in the deed of release of the right to be canceled.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Hilmatunnur Hidayah
Abstrak :
Fokus penelitian ini adalah berkaitan dengan akta pelepasan hak yang terbukti memenuhi unsur cacat hukum dikarenakan adanya pemalsuan dokumen, pemalsuan tandatangan dan dibuat tidak sesuai prosedur dalam menjalankan Jabatan Notaris yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Akta pelepasan hak yang menjadi dasar terbitnya suatu objek hak atas tanah menguatkan lagi akan bukti kepemilikan yang telah terbit berdasarkan akta pelepasan hak yang cacat hukum, penelitian jenis doktrinal inipun dikuatkan dengan wawancara terhadap narasumber maupun informan yang dijalankan untuk meneliti bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli yang beritikad baik atas pembelian suatu objek hak atas tanah yang terbit berdasarkan akta autentik yang cacat hukum sehingga menimbulkan cacat prosedural serta meneliti bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam suatu putusan Nomor 835 PK/PDT/2020 dalam kaitannya dengan perlindungan pembeli yang beritikad baik dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dari penelitian ini dapat dinyatakan bahwa adanya Akta yang cacat hukum namun tetap dianggap sah oleh Pengadilan. ......The focus of this research is related to the deed of release of rights which is proven to meet the elements of legal defects due to falsification of documents, forgery of signatures and made not in accordance with procedures in carrying out the Notary Position regulated in Law Number 2 of 2014 concerning Amendments to Law Number 30 of 2004 concerning Notary Positions. The deed of relinquishment which is the basis for the issuance of an object of land rights reinforces the evidence of ownership that has been issued based on a deed of release of legal defects, this doctrinal type of research is also strengthened by interviews with sources and informants carried out to examine how legal protection for buyers in good faith for the purchase of an object of land rights issued based on an authentic deed that is legally defective so as to cause defects procedural and examines how the judge's legal considerations in a decision Number 835 PK / PDT / 2020 in relation to the protection of buyers in good faith are related to existing laws and regulations. From this research, it can be stated that there is a legally defective Deed but is still considered valid by the Court
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Herawati
Abstrak :
Sebagai salah satu kebutuhan hukum masyarakat peran notaris dalam proses pembangunan semakin meningkat. Undang-undang dan Kode Etik menghendaki Notaris melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang. Dalam mengemban tugasnya itu, notaris harus bertanggung jawab. Berkenaan dengan keberadaan dan fungsi tanah, terdapat hubungan hukum, peralihan hak antara manusia dengan tanah, mencakup perbuatan jual-beli, sewa-menyewa, hibah, pewarisan maupun tukar-menukar tanah, serta pelepasan hak atas tanah dan untuk memberikan kepastian hukum atas perbuatan dimaksud dituangkan dalam bentuk akta yang dibuat dihadapan notaris dan/atau PPAT. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai apakah Notaris berwenang membuat akta pelepasan hak dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), serta konsekuensi hukum yang timbul »tanggung jawab Notaris kepada para pihak terkait dalam pembebasan tanah tersebut. Penelitian dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif, menggunakan bahan penelitian dari data primer, sekunder, tertier dan alat penelitian berupa studi dokumen dan wawancara dengan responden yang ditentukan. Kemudian data dianalisis secara kualitatif dan menghasilkan data deskriptif. Hasil penelitian menunjukan adanya peranan ganda dari notaris yaitu selaku kuasa dari pemilik tanah dan selaku pejabat publik yang membuat akta pelepasan dihadapannya. Pembebasan tanah untuk pembangunan Pusdiklat Bapeten bukan merupakan kewenangan Notaris melainkan ada kewenangan pejabat publik lain, yaitu Panitia Pengadaan Tanah berdasarkan Kepres Nomor 55 tahun 1993. Konsekuensi hukum yang timbul adalah melanggar pasal 16 (l)a, 52 ayat (1), 53 (1) Undang-Undang Jabatan Notaris. Sanksi yang dapat dikenakan yaitu akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau dapat menjadi batal demi hukum, dan Notaris bertanggung jawab untuk memberi penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada para pihak yang menuntut dan menderita kerugian, sanksi lain berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau tidak hormat.
As one of the society`s needs in Law, the roles of notary in the process of development has increased. Ethic Codes and Acts demand notary to do the job as good as possible. Based on the first article of Notary Act, Notary is a public officer who is authorized to make authentic acts and other authorization which has been mentioned in the acts. To carry on with these jobs, notary must be responsible. In Connection with the existence and function of land, covering the selling and buying activitie, renting, inheritance, land exchange, right release over the land and in order to offer law`s assurance on the activities mentioned, they are stated in a from o f acts which have been made in front of Notary or/with PPAT. This research has been conducted in order to reveal descriptions of how authorized the notary is in making the right release act over the land provision process for BAPETEN interests and also the arising of law consequence, notary`s responsibilities towards the related sides in land release. The research has been done in methods of normative and juridical approach, research materials were taken from prime, secondary, and tertiary data and research tools in the from of document study and interview with the appointed respondents. Then, the data was qualitatively analyzed and produced descriptive data. The result shows that there are double roles of notary which become the authority of the land owner and as a public officer who make the release for Pusdikat BAPETEN construction is not notary`s authority but it is other public officer`s right such as Land Provision Committee based on Keppres number 55 in 1993. The appeared consequence of law is that it violates the 16 article (verse la), article 52 verse 1, 53 verse 1 of Notary Act. The Sanction which can be addressed to is that the act has verifying power as an ?under the table? act or can be overruled in the name o f law and the notary has an obligation to give compensating expense, redress, and interests towards the parties who are ensuing and suffering some loss, other sanction in a from of written reprimand, temporary, honorly or dishonorly discharge.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T37435
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Shabrina
Abstrak :
ABSTRACT
Pelepasan hak dilakukan ketika suatu subjek hukum tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Pelepasan hak ialah dimana satu pihak melepaskan dan satu pihak lainnya membayarkan ganti rugi maka tanahnya berubah yang awalnya terdapat status hak atas tanah menjadi tanah negara, maka perlu dilakukan permohonan hak. Dalam skripsi ini akan dibahas permasalahan mengenai beralihnya tanah negara yang dilakukan oleh PT Bintang Sampora Asri (PT BSA) dengan PT Arwiga Bhakti Propertindo (PT ABP) yang didasarkan oleh Akta Pemindahan dan Penyerahan Hak atas Tanah. Kemudian terbit izin lokasi yang dimiliki PT ABP mengingat di lokasi yang sama telah terbit izin lokasi atas nama PT BSA. Atas permasalahan diatas tersebut, skripsi ini menawarkan saran berupa perlu dibentuk aturan merinci mengenai Izin Lokasi terkait prosedur pengalihan Izin Lokasi bagi Badan Hukum yang tidak dapat melanjutkan keberlangsungan kegiatan peruntukkan tanah berdasarkan izin lokasi yang telah diterbitkan, persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan, dan waktu penyelesaian. Agar dapat diiterapkannya asas keterbukaan/transparansi bagi Badan Pertanahan Nasional. Mengenai akibat hukum bagi kreditur dan debitur, di dalam pembuatan perjanjian kredit yng baru untuk menggantikan yang lama, dinyatakan secara tegas tentang hal-hal yang berkaitan dengan isi perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak.
ABSTRACT
Release of land rights is carried out when a legal subject does not fulfill the requirements as a land-rights holder. Release of land rights is when one party surrender and the one other party pay the compensation, then the status of land is changed from owned-land rights to state-owned land, then a rights request must be made. The discuss the matters of shifted state-owned land which is conducted by PT Bintang Sampora Asri (PT BSA) with PT Arwiga Bhakti Propertindo (PT ABP) that based by the Deed of Transfer and Assignment of Land Rights. Then published the Location Permit owned by PT ABP in mind that in the same location is already published the Location Permit in the name of PT BSA. For the matters above, this thesis presents recommendation in the form of detailed regulation about Location Permit about procedures of transferring Location Permit for Legal Entity that couldnt continue the allocation activities of land based on published Location Permit, technical requirements and administrative the required, and time completion that been published. In order to implement the principle of opened/transparanct for the National Land Agency. About the consequences of law for Creditor and Debtor, in making a new credit agreement to replace the old one, stated explicitly about the matters that related to the contents of the agreement which been agreed by both parties.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajrina Febiani
Abstrak :
ABSTRAK
Daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa diatur dalam KUHPerdata, namun dengan dikeluarkannya UUPA, terdapat beberapa pasal dalam KUHPerdata yang dinyatakan tidak berlaku. Oleh karena itu dalam skripsi ini akan membahas mengenai keberlakuan konsep daluwarsa setelah adanya UUPA dan Peraturan Pelaksanaannya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif yang bersifat deksriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun UUPA tidak mengenal istilah daluwarsa, namun pada putusan-putusan pengadilan membuktikan bahwa Majelis Hakim menggunakan istilah rechtsverwerking yang berarti pelepasan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997. Jika dikaitkan dengan konsep daluwarsa, maka pengaturan dalam pasal tersebut kurang lebih sama dengan daluwarsa membebaskan yang diatur dalam Pasal 1967 KUHPerdata, karena keduanya sama-sama mengatur mengenai hilangnya hak untuk menuntut dikarenakan adanya batas waktu tertentu. Penelitian ini menyarankan supaya para pemilik tanah untuk selalu memanfaatkan dan mengusahakan tanah yang dimilikinya agar tanah tersebut tidak dikuasai ataupun digunakan oleh orang lain secara tidak sah, selain itu demi kepastian hukum pemiliknya juga, sebaiknya para pemilik tanah harus memiliki tanda bukti kepemilikan tanah yang sah.
ABSTRACT
Expiration or overdue is an effort to gain something or absolve from any alliance with a certain overdue and requirements by the Constitution. Expiry arranges in Civil Code but when UUPA has been issued, there are some articles on Civil Code that become unvalid. Therefore, this research will talk about the enforceability of expiration concept after UUPA has been issued and the regulation has been implemented. This research is a normative juridicial Law research with a descriptive characteristics. The result of this research shows that even though UUPA doesn rsquo t acquainted about expiry, but Court Judgement prove that Court Council use rechtsverwerking which means right extrication as written on article No. 32 subsection 2 PP No. 24 year 1997. If it relates to expire concept, that the regulation on the article more and less similar with expiry absolve which is arranged on Civil Code article 1967 because both of them arrange demanded right loss due to the time limit. This research suggest the land owner to always utilize and manage the land that they owned, so that the land doesn rsquo t illegally used by other. In addition to get law certainity, the land owner should have legal land ownership.
2017
S68146
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Vania Putri Hendarto
Abstrak :
Kepemilikan yang sah atas suatu bidang tanah di Indonesia dapat diperoleh melalui diterbitkannya sertipikat hak atas tanah. Sertipikat tanah tersebut dapat diperoleh melalui proses pendaftaran tanah. Namun masih terdapat masyarakat yang belum melakukan pendaftaran tanah, dan menguasai suatu bidang tanah tanpa ada haknya. Adapun isu hukum yang dibahas dalam penelitian ini adalah legalitas kepemilikan atas tanah hak usaha dalam Putusan MA No. 435PK/Pdt/2020, dan surat bukti pelepasan hak dan akta pengoperan hak sebagai alas hak kepemilikan atas tanah hak usaha. Untuk menjawab isu tersebut, digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil penelitiannya adalah legalitas kepemilikan atas tanah hak usaha dapat diperoleh melalui pendaftaran tanah pertama kali, yaitu dengan mengajukan permohonan hak milik, karena tanah hak usaha ini merupakan tanah negara berdasarkan Pasal 1 ayat (3) PP No. 24 Tahun 1997. Surat bukti pelepasan hak dan akta pengoperan hak merupakan alat bukti penunjang berupa bukti pengalihan penguasaan fisik tanah, yang digunakan untuk melengkapi keterangan tanah hak usaha dalam proses permohonan hak milik atas tanah negara sesuai Pasal 9 ayat (2) huruf a PMNA No.19 Tahun 1999. ......Legal ownership of a land in Indonesia can be obtained through the issuance of a certificate of land rights. The land certificate can be obtained through the land registration process. However, there are still people who have not registered land, and utilize land without any rights. The legal issues discussed in this study are the legality of ownership “Tanah Hak Usaha” in the Supreme Court Decision No. 435PK/Pdt/2020, and Deed of Release of Right and Deed of Transfer of Rights as the basis for ownership rights over “Tanah Hak Usaha”. To answer this issue, a normative juridical research method with an explanatory type of research is used. The result of the research is that the legality of ownership of “Tanah Hak Usaha” can be achieved through the application of right of land ownership, which followed by land registration for the first time, considering that the status of this land is state’s land based on Article 1 paragraph (3) PP No. 24 of 1997. Then the Deed of Release of Right and Deed of Transfer Right are used as an evidence that strengthens information regarding the basis for control over “Tanah Hak Usaha” which is needed for the purpose of applying for ownership rights on state land based on Article 9 paragraph (2) letter a PMNA No.19 of 1999.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zhakirah Zatalini Irawan
Abstrak :
ABSTRACT
Isu hukum pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum merupakan permasalahan yang sering terjadi saat ini. Permasalahan tersebut timbul dalam UU No. 2 Tahun 2012 yang mengatur asas kesepakatan dan musyawarah. Pada praktiknya, musyawarah penetapan ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 37 UU No. 2 Tahun 2012 seringkali tidak mencapai kesepakatan. Dalam hal pihak yang berhak atas tanah menolak atau tidak tercapainya kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, maka instansi yang membutuhkan tanah mengambil langkah selanjutnya dengan menitipkan jumlah ganti rugi (konsinyasi) di pengadilan negeri setempat atas keputusan sepihak. Konsinyasi yang diatur dalam Pasal 42 UU No. 2 Tahun 2012 merupakan suatu penyimpangan karena bertentangan dengan asas kesepakatan dan esensi musyawarah sehingga bukan merupakan jalan keluar yang dapat ditempuh dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besar ganti kerugian. Penelitian ini akan menguraikan permasalahan tersebut dan menjelaskan pelaksanaan pengadaan tanah yang dapat dilakukan apabila musyawarah penetapan ganti kerugian tidak mencapai kesepakatan. Metode penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencabutan hak atas tanah yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1960 adalah pelaksanaan pengadaan tanah yang dilaksanakan apabila dalam musyawarah penetapan ganti kerugian tidak mencapai kesepakatan.
ABSTRACT
The legal issue of land acquisition for development in the public interest is a problem that often occurs today. These problems arise in Act No. 2 of 2012 which regulates the principles of agreement and deliberation. During practice, the deliberations for compensation determination stipulated in Article 37 of Act No. 2 of 2012 often does not reach an agreement. In the event that the party entitled to the land refuses or does not reach an agreement regarding the form and / or the amount of compensation, the agency that needs the land takes the next step by entrusting the amount of compensation (consignment) in the local district court for a unilateral decision. The consignment that stipulated in Article 42 of Act No. 2 of 2012 is a deviation because it is contrary to the principle of agreement and the essence of deliberation so that it is not a solution that can be taken in the case of those who have the right to reject forms and / or the amount of compensation. This study will describe these problems and explain the implementation of land acquisition that can be done if the compensation determination deliberation does not reach an agreement. The research method in this paper is normative juridical. The results of the study indicate that the revocation of land rights stipulated in Act No. 20 of 1960 is the implementation of land acquisition carried out if in the deliberation of compensation determination does not reach an agreement.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joseph Noviandri
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai ruang lingkup rechtsverwerking sebagai doktrin yang dikenal dengan doktrin “pelepasan hak” dimana pelepasan hak yang dimaksud dalam rechtsverwerking adalah ketika seseorang memiliki suatu hak namun hak tersebut tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu, maka seseorang dapat kehilangan haknya, selama ini konsep pembiaran hak ini dikenal luas pada pelepasan hak atas tanah. sebagaimana telah adanya Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang mengatur mengenai pelepasan hak atas tanah, maka keberlakuan doktrin rechtsverwerking seharusnya tidak lagi digunakan sebagai dasar dari adanya pelepasan hak atas tanah, dimana kedudukan peraturan perundang-undangan lebih tinggi daripada doktrin dalam sistem hukum Indonesia. maka penulis secara khusus meneliti konsep rechtsverwerking dalam artian doktrin “pelepasan hak” yang dapat digunakan pada konsep hak-hak lainnya salah satunya yaitu pada konteks hukum kontrak, dimana ketika seseorang telah melepaskan haknya dan menuntut kembali pemenuhan haknya maka pihak lainnya yang telah bertindak atas dasar pelepasan hak tersebut menerima kerugian dari persepsi pembiaran hak yang telah dilakukan pihak yang melepaskan haknya. kemudian pengenalan rechtsverwerking lebih dalam akan dilakukan perbandingan penerapannya yang memiliki padanan dengan doktrin estoppel pada sistem hukum common law Amerika Serikat, dimana apabila seseorang tidak menggunakan haknya, dalam hal ini memiliki sikap diam terhadap hak yang dimilikinya, maka ketika timbul permasalahan akibat dari sikap diamnya tersebut terhadap persepsi pihak lain yang kemudian menimbulkan kerugian terhadap pihak lainnya, estoppel sebagai doktrin berperan untuk mencegah penyalahgunaan sikap diam yang seolah-olah melepaskan haknya untuk menimbulkan persepsi pihak lain bahwa ia telah melepaskan haknya.  ......This thesis discusses the scope of rechtsverwerking as a doctrine known as the ‘waiver of rights’ doctrine. rechtsverwerking refers to a situation where someone possesses a certain right but does not exercise it within a specific period, which may result in the loss of that right. This concept of waiving rights is widely recognized, particularly in relation to the release of land rights. As exemplified by Article 32 paragraph (2) of Government Regulation No. 24 of 1997 concerning the release of land rights, the application of the rechtsverwerking doctrine should no longer be used as the basis for releasing land rights, as legislation takes precedence over doctrines in the Indonesian legal system.  In this regard, the author specifically examines the concept of rechtsverwerking in the context of the 'waiver of rights' doctrine, which can be applied to other rights, including in the realm of contract law. In such cases, when someone has waived their rights and subsequently demands the fulfillment of those rights, the other party who has acted based on the waiver may incur damages due to the perception that the right has been relinquished. Therefore, the study delves into the deeper understanding of rechtsverwerking through a comparison with the estoppel doctrine in the common law system of the United States.  In the common law context of the United States, the estoppel doctrine prevents the misuse of silence or inaction that appears to constitute the waiver of rights. It comes into play when someone does not assert their rights or remains silent about their rights, and this silence subsequently leads to problems and damages another party. The estoppel doctrine prevents the other party's misperception that the right has been waived when, in fact, it has not.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>