Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sutejo
Abstrak :
ABSTRAK
Program komputer merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi dalam Undang- Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pelanggaran Hak Cipta pada program komputer bisa bermacam-macam, salah satunya adalah penggunaan perbanyakan program komputer tanpa izin yang dilakukan oleh Pengguna Akhir (end user). Berdasarkan Pasal 72 ayat (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Pelanggaran atas tindakan tersebut dapat diancam dengan sanksi pidana. TRIP?s mengamanatkan dalam Pasal 61, negara anggota wajib menerapkan sanksi pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta dalam hal Copyright piracy pada skala komersial (commercial scale) tertentu. Pada Undang-Undang Hak Cipta Indonesia tidak memberikan ambang batas skala komersial dalam pemberian sanksi pidana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah kesesuaian kriminalisasi pelanggaran Hak Cipta di Indonesia khusus terhadap perbanyakan penggunaan program komputer tanpa izin, dengan tujuan perlindungan Hak Cipta di Indonesia, dan Bagaimanakah ketentuan pemidanaan yang diamanatkan oleh konvensi internasional terkait hak cipta yang berkaitan dengan program komputer berikut penerimaannya dalam hukum Hak Cipta nasional. Tujuan dari penelitian ini adalah: Mengetahui kesesuaian kriminalisasi pelanggaran Hak Cipta di Indonesia khusus terhadap perbanyakan penggunaan program komputer, dengan tujuan perlindungan Hak Cipta di Indonesia, dan Mengetahui tentang ketentuan pemidanaan yang diamanatkan oleh konvensi internasional terkait hak cipta yang berkaitan dengan program komputer berikut penerimaannya dalam hukum Hak Cipta nasional. Peneliti menggunakan metode penelitian pendekatan konseptual (conceptual approach). Penelitian ini menyimpulkan bahwa kriminalisasi terhadap perbanyakan penggunaan program komputer tanpa izin tidak sesuai dengan perlindungan Hak Cipta, dan Konvensi Internasional tidak mengamanatkan untuk melakukan kriminalisasi terhadap seluruh pelanggaran Hak Cipta. Selain itu konvensi internasional yang berkaitan dengan Hak Cipta memberikan batasan harus ada commercial scale dalam hal terjadi copyright piracy.
ABSTRACT
The computer program is one of the creations are protected under Law No. 19 of 2002 on Copyright. Copyright Infringement on the computer program can vary, one of which is the use of a computer program without permission multiplication by End Users. Pursuant to Article 72 paragraph (3) of Law No. 19 of 2002 on Copyright, Violations of the act was punishable by criminal sanctions. TRIP's mandate under Article 61, Member States must apply criminal sanctions in the Copyright Act in terms Copyright piracy on a commercial scale. In the Indonesia Copyright law does not provide a threshold on a commercial scale in the provision of criminal sanctions. Problems in this research is: How is the suitability of the criminalization of infringement of copyright in Indonesia against the use of computer program reproduction without permission, with the aim of Copyright protection in Indonesia, and How is mandated by the sentencing provisions of relevant international conventions relating to copyright a computer program following receipt Copyright law in the national. The purpose of this research is: Knowing the suitability of the criminalization of infringement of copyright in Indonesia against the use of computer program reproduction without permission, with the aim of Copyright protection in Indonesia, and Knowing of the sentencing provisions mandated by the relevant international conventions relating to copyright a computer program following its acceptance in national Copyright laws. Researcher use a conceptual approach to research methods. This research concluded that the criminalization of the reproduction of the use of a computer program without a license incompatible with the protection of Copyright, and did not mandate the International Convention for the criminalization of the entire infringement of copyright. Besides international conventions relating to Copyrights provide limits should exist in the event commercial scale of copyright piracy.
2012
T30676
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Zahwa Namora
Abstrak :
Desain grafis merupakan suatu ciptaan yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta dalam kategori gambar. Teknologi memberikan akses terhadap pencipta untuk melakukan pengumuman atau publikasi terhadap desain grafis di media internet. Namun, hal tersebut menjadi pisau bermata dua karena ditemukan banyak pelanggaran hak cipta terhadap desain grafis, terutama yang diperjualbelikan di marketplace sehingga merugikan hak eksklusif pencipta. Peneliti mencoba untuk menjelaskan bagaimana implementasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang marketplace selaras dengan perlindungan hak cipta terhadap desain grafis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa kebijakan dari marketplace Indonesia seperti Shopee dan Tokopedia belum cukup komprehensif dalam menentukan batasan-batasan pelanggaran hak cipta sehingga masih terjadi banyak pelanggaran, sedangkan marketplace yang beroperasi di Amerika Serikat seperti Amazon dan eBay memiliki kebijakan mengenai batasan yang tegas tentang apa saja yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta desain grafis. Hal ini dapat disebabkan karena kebijakan marketplace merupakan implementasi dari undang-undang yang berlaku dimana Amerika Serikat telah mengatur secara spesifik, sedangkan Indonesia masih secara umum. Selain itu, terhadap pelanggaran hak cipta terhadap desain grafis yang terjadi, baik marketplace di Indonesia dan Amerika Serikat keduanya tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban secara hukum selama sudah menyediakan klausul tegas, sarana pelaporan, dan pemutusan akses atau take down. ......Graphic design is a creation that is protected by the Copyright Act in the image category. Technology provides access for creators to make announcements or publications of graphic designs on internet media. However, this has become a double-edged knife because there are many copyright infringement against graphic designs, especially those that are traded on the marketplace, thus harming the exclusive rights of creators. Researcher try to explain how the implementation of laws and regulations governing marketplaces is in line with copyright protection for graphic designs. This study uses a normative juridical research method with a qualitative approach. The results of this study state that the policies of Indonesian marketplaces such as Shopee and Tokopedia are not comprehensive enough in determining the limits of copyright infringement so that there are still many violations, while marketplaces operating in the United States such as Amazon and eBay have policies regarding strict limits on what which is categorized as a graphic design copyright infringement. This could be due to the fact that the marketplace policy is an implementation of applicable laws where the United States has specifically regulated it, while Indonesia is still general. In addition, for copyright infringements on graphic designs that occur, both marketplaces in Indonesia and the United States cannot be held legally responsible as long as they have provided strict clauses, reporting facilities, and termination of access or take down.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabian Raffa Reyhan
Abstrak :
Recaps film adalah salah satu jenis konten yang dapat dibuat oleh para creator YouTube untuk mendapatkan uang atau keuntungan dari sistem monetisasi yang disediakan oleh YouTube. Saqahayang adalah salah satu creator yang membuat jenis konten ini pada kanal YouTube-nya. Recaps film sendiri dapat di definisikan sebagai suatu konten penceritaan kembali suatu film/serial yang sedang atau sudah tayang di publik, dengan menggunakan narasi pembuat konten sendiri serta menggunakan unsur audio dan visual dari film atau serial yang dijadikan subjek yang memiliki sifat ‘pengganti’, dimana penonton atau calon penonton suatu film dapat menonton dan mengerti isi dari suatu film dalam waktu 15 sampai 30 menit tanpa harus menonton film yang dijadikan subjek secara keseluruhan di bioskop atau layanan streaming. Walaupun YouTube sebagai penyedia platform sudah memiliki aturan tentang larangan penggunaan karya orang lain tanpa ijin pengguna, pelanggaran mengenai hal tersebut masih kerap terjadi. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pembuatan konten berjenis recaps film yang dibuat oleh Saqahayang memiliki potensi pelanggaran Hak Cipta. Tindakan yang dilakukan Saqahayang juga tidak dapat dikategorikan sebagai ‘penggunaan yang wajar’ karena terdapat kepentingan ekonomi pencipta cuplikan film atau serial yang dirugikan. Sebagai bentuk tanggung jawab dan cara untuk menanggulangi permasalahan tersebut, YouTube memiliki Formulir Web DMCA Publik, Copyright Match Tool, dan Content ID yang dapat membantu dan melindungi pencipta dan para pemilik hak cipta. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, tulisan ini akan menganalisis mengenai bentuk pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh Saqahayang dan bagaimana bentuk tanggung jawab hukum YouTube sebagai penyedia platform. ......Film recaps are one type of content that can be created by YouTube creators to earn money or profit from the monetization system provided by YouTube. Saqahayang is one of the creators who produces this type of content on their YouTube channel. Film recaps can be defined as a retelling of a movie/TV series that is currently airing or has already been released to the public, using the creator's own narration and incorporating audio and visual elements from the film or series being discussed. It serves as a 'substitute' that allows viewers or potential viewers to understand the content of a film within 15 to 30 minutes, without having to watch the entire film in theaters or on streaming services. Although YouTube, as a platform provider, has rules against the unauthorized use of others' work, violations still occur frequently. Referring to Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, the production of film recap content by Saqahayang has the potential to infringe on Copyright. Saqahayang's actions cannot be categorized as 'fair use' because they economically affect the creators of the film or series excerpts. As a form of responsibility and a way to address this issue, YouTube provides the Public DMCA Web Form, Copyright Match Tool, and Content ID to assist and protect creators and copyright owners. Using a normative juridical research method, this paper will analyze the forms of copyright infringement committed by Saqahayang and the legal responsibilities of YouTube as a platform provider.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adang Hermawan
Abstrak :
Pada dewasa ini penggunaan jaringan internet makin semarak. Di Indonesia sendiri internet baru digemari pada beberapa tahun yang lalu, yaitu ditandai dengan bermunculannya perusahaan penyedia layanan akses ke internet (Internet Provider). Seiring dengan perkembangan internet, Indonesia sedang giat-giatnya memerangi pelanggaran hak cipta khususnya mengenai hak cipta program komputer. Pengaturan hak cipta program komputer ini sendiri baru terdapat pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dengan adanya jaringan internet ini maka menimbulkan masalah baru yaitu mengenai perlindungan hak cipta program komputer di dalam jaringan internet, karena di dalam Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku sekarang ini tidak diatur secara rinci mengenai perlindungan hak cipta program komputer di dalam jaringan internet. Dengan adanya jaringan internet dan komponen-komponen serta fasilitas yang ada di dalamnya, maka terdapat kemungkinan-kemungkinan adanya pelanggaran hak cipta program komputer, yang dampaknya akan merugikan pencipta program komputer dan penyedia data dalam jaringan internet yang haknya dilanggar dan dapat mematikan kreativitas dari pencipta itu sendiri. Dengan adanya jaringan internet ini pengawasan hak cipta menjadi sulit dilakukan dan pembajakan program komputer serta pengambilan data di dalam jaringan internet menjadi mudah dilakukan. Meskipun hal tersebut belum diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta secara rinci, pada dasarnya pelanggaran hak cipta di dalam jaringan internet dapat dikenakan dengan pasal 2 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, yang pada intinya menyatakan bahwa orang lain dilarang oleh hukum untuk melakukan hak eksklusif (yaitu mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya) dan memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial. Jadi apabila ada seseorang yang melakukan hak eksklusif tadi tanpa izin dari pencipta yang bersangkutan, maka pencipta tersebut yang merasa hak eksklusifnya dilanggar dapat mengadukan orang yang melanggar hak eksklusifnya itu ke pengadilan baik melalui perkara pidana maupun perdata.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T36516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toto Sutopo
Abstrak :
ABSTRAK
Pada sekitar Tahun 1987 1988 terlihat banyaknya berita di media massa yang menyuarakan meningkatnya masalah pembajakan buku. Berita berita tersebut membawa pada pemikiran untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pembajakan buku yang selama ini telah terjadi, sebagai tujuan penelitian yang pertama dalam penulisan skripsi ini. Dengan demikian akan diperoleh pemahaman mengenai bagaimana kondisi yang sesungguhnya dari jenis kejahatan ini. Selain itu penelitian ini ditujukan juga untuk mengetahui bagaimana reaksi pengarang dan penerbit, dan faktor faktor yang mempengaruhinya. Agar pemahaman terhadap masalah pembajakan buku yang mendapat reaksi dari pengarang dan penerbit dapat tergambar secara jelas, maka penelitian terhadap faktor faktor apa yang mempengaruhi reaksi mereka dan bagaimana bentuk bentuk reaksi pengarang dan penerbit, diukur berdasarkan tindakan yang pernah dilakukan. Untuk mencapai tujuan di atas, dipergunakan survey korban, penelitian ini adalah pembajakan buku bukan saja hanya meningkat di sekitar Tahun 1987 an, tetapi meningkatnya kasustersebut selaras dengan masa berlakunya undang undang hak Hasil kasus cipta. Artinya, jika undang-undang hak cipta baru mulai diumumkan pembajakan mulai tahun ke Hal ini terlihat jelas pada periode 1983 1987, baik data maupun penerbit menunjukkan hal tersebut. dengan sanksi yang lebih berat, kasus kasus menurun, yang kemudian cenderung meningkat lagi dari tahun. pengarang Selain itu jenis jenis buku yang dibajak pada umumnya buku-buku teks, yaitu yang konsumennya pelajar atau mahasiswa. Akibat dari pembajakan buku adalah kerugian ekonomi yang sangat dirasakan baik oleh pengarang maupun penerbit. Dari hasil penelitian terungkap bahwa harga buku, teknologi, dan pelaksanaan undang-undang sebagai reaksi formal yang kurang keras merupakan faktor faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya pembajakan buku. Disamping itu penanggulangan masalah pembajakan buku yang selama ini dilakukan oleh pihak kepolisian dinilai kurang baik dibandingkan dengan jaksa atau hakim. Menurut kacamata mereka bahkan penyelesaian masalah pembajakan buku justru lebih baik ditujukan pada pihak IKAPI. Reaksi penerbit cenderung lebih bersungguh-sungguh dibandingkan dengan pengarang. Hal ini dapat dilihat dari tindakan lapor ke polisi atau lapor ke IKAPI. Sedangkan tindakan yang dilakukan pengarang cenderung hanya lapor ke penerbitnya atau diam saja. Dari pembahasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan pengarang dan penerbit, terlihat bahwa hampir semua faktor yang dikemukakan mempunyai pengaruh yang sangat lemah. Walaupun demikian secara diskriptif menunjukkan sedikit kecenderungan tertentu. Misalnya saja untuk untuk masa periode berlakunya undang-undang hak cipta yang terakhir No. 7 Tahun 1987 , dapat lebih mendorong pengarang maupun penerbit untuk lapor ke polisi. Begitu pula penilian mereka yang mengatakan baik terhadap polisi, dapat menumbuhkan minat korban untuk mengadu ke instansi tersebut.
1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Khasfy Ikhsan Sofynur
Abstrak :
Fenomena musik Remix di Indonesia semakin berkembang dengan banyaknya masyarakat yang mulai menyukai jenis musik tersebut. Masalah yang muncul adalah ketidaksesuaian dalam penerapan hukum hak cipta pada layanan musik streaming, di mana para Remixer dapat dengan bebas mempublikasikan karyanya tanpa menyertakan musisi asli. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Temuan penelitian menunjukkan bahwa musik Remix merupakan hasil perkembangan teknologi dalam seni musik, yang melibatkan penggunaan fonogram dari karya musik lain yang kemudian dimodifikasi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 mengatur hak cipta fonogram, di mana produser fonogram memiliki hak-hak mekanis. Remixer diwajibkan untuk memperoleh izin dari produser fonogram melalui perjanjian lisensi. Doktrin Transformative Use, yang pertama kali muncul di Amerika Serikat, memungkinkan penggunaan kreatif terhadap karya terdahulu dengan tujuan yang berbeda. Namun, dalam konteks hukum hak cipta Indonesia, penerapan doktrin ini masih terbatas karena pentingnya melindungi hak ekonomi dan moral pencipta, terutama produser fonogram. Oleh karena itu, penggunaan karya fonogram oleh pihak lain harus didasarkan pada perjanjian lisensi dan pembayaran royalti. Penelitian ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang permasalahan perlindungan hak cipta musik Remix di Indonesia dan merekomendasikan perlunya pengaturan yang lebih jelas untuk mengakomodasi penerapan doktrin Transformative Use. ......The phenomenon of Remix music in Indonesia is growing with many people starting to like this type of music. The problem that arises is the discrepancy in the application of copyright law on streaming music services, where Remixers can freely publish their work without including the original musicians. The approach used in this research is normative juridical method. The research findings show that Remix music is the result of technological developments in the art of music, which involve the use of phonograms from other musical works which are then modified. Law Number 28 of 2014 regulates phonogram copyrights, in which phonogram producers have mechanical rights. Remixers are required to obtain permission from the phonogram producer through a licensing agreement. The doctrine of Transformative Use, which first appeared in the United States, allows creative use of earlier works for different purposes. However, in the context of Indonesian copyright law, the application of this doctrine is still limited because of the importance of protecting the economic and moral rights of creators, especially phonogram producers. Therefore, use of the phonogram work by others must be based on a licensing agreement and payment of royalties. This research provides an in-depth understanding of the problem of copyright protection for Remix music in Indonesia and recommends the need for clearer regulations to accommodate the application of the Transformative Use doctrine.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Prima Ramadani
Abstrak :
Bootlegging, fenomena dalam industri musik yang merupakan pelanggaran Hak Cipta, adalah aktivitas produksi dan distribusi rekaman musik tidak resmi. Rekaman ini biasanya mengandung materi atau karya yang belum pernah dirilis resmi oleh pencipta, menjadikannya sulit untuk dideteksi dan diidentifikasi sebagai pelanggaran. Transformasi ini menjadi semakin rumit dalam era digital, dimana Bootlegging menjadi dominan dalam format digital dan distribusinya merajalela melalui platform digital seperti YouTube dan Soundcloud. Kompleksitas ini diperparah oleh tantangan dalam identifikasi pelanggaran, yang timbul karena materi dalam produk bootleg seringkali belum resmi dirilis dan tidak terdaftar dalam database manapun. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan menggunakan data sekunder sebagai metode, berfokus pada analisis regulasi dan penerapan perlindungan hukum terhadap Bootlegging di bawah hukum hak cipta di Indonesia dan Amerika Serikat. Penelitian ini mencoba memahami dan mendalami perbedaan serta kesamaan antara kedua sistem hukum dalam mengatur dan menangani isu Bootlegging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Amerika Serikat telah melangkah jauh dalam mengatasi isu ini dengan mengadopsi Anti-Bootlegging Act dan Digital Millennium Copyright Act (DMCA). Sementara itu, Indonesia belum memiliki regulasi khusus mengenai Bootlegging, meskipun telah ada beberapa peraturan yang mencakup pelanggaran Hak Cipta secara umum. Walaupun kedua negara ini memiliki kerangka hukum yang berlaku untuk masalah ini, penelitian ini menunjukkan bahwa prosedur penanganan Bootlegging di Indonesia masih memerlukan peningkatan, terutama di era digital. Penelitian ini berusaha untuk memberikan pandangan baru tentang pengaturan dan penanganan Bootlegging di era digital, serta memberikan rekomendasi untuk peningkatan kebijakan dan penegakan hukum di Indonesia. Menyoroti signifikansi dan implikasi dari fenomena Bootlegging dalam konteks hukum hak cipta Indonesia dan Amerika Serikat, penelitian ini memfokuskan pada perlunya peningkatan dalam kebijakan dan penegakan hukum di Indonesia. ......Bootlegging, an event in the musical realm signifying a breach of Copyright Law, involves the creation and distribution of unofficial music recordings. Frequently, these recordings encapsulate materials or compositions not formally released by their creators, making them elusive for infringement detection and identification. This challenge escalates in the digital era, where Bootlegging predominantly occurs in digital form, and its widespread dissemination transpires via digital platforms such as YouTube and Soundcloud. The intricacy is intensified by hurdles in infringement identification, mainly because the content within bootleg products often remains unreleased officially and unregistered in any database. This research, conducted via a normative juridical approach and leveraging secondary data, underscores the investigation of regulations and the implementation of legal protection against Bootlegging within the ambit of copyright legislation in Indonesia and the United States. The research endeavors to understand and examine the disparities and similarities between the two legal structures concerning the management and resolution of the Bootlegging issue. The research outcome suggests that the United States has made significant strides in addressing this issue by enacting the Anti-Bootlegging Act and the Digital Millennium Copyright Act (DMCA), which facilitate an efficacious takedown procedure. Conversely, Indonesia is yet to formulate specific regulations regarding Bootlegging, despite the presence of several regulations encapsulating general Copyright infringements. Despite both nations having relevant legal frameworks for this issue, the study highlights that the procedural handling of Bootlegging in Indonesia demands enhancement, predominantly in the digital era. This study seeks to proffer a novel viewpoint on the regulation and management of Bootlegging in the digital era, in addition to suggesting recommendations for enhancing policies and legal enforcement in Indonesia. By emphasizing the significance and implications of the Bootlegging phenomenon in relation to the copyright law context of Indonesia and the United States, the research underscores the need for advancement in policy and legal enforcement, particularly in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilla Farah Ardyandini Ideawan
Abstrak :
AI-Generated Art adalah salah satu karya hasil perkembangan teknologi Artificial Intelligence yang berupa karya seni seperti ilustrasi, foto, atau gambar digital. Permasalahan timbul ketika suatu gambar milik orang lain digunakan dalam pembuatan AI-Generated Art secara tanpa izin, baik untuk melatih AI maupun untuk menghasilkan gambar baru yang dapat menyerupai gambar digital yang dijadikan sebagai referensi. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan gambar digital dalam AI-Generated Art yang dinilai telah melanggar Hak Cipta dalam hukum Indonesia dan Amerika Serikat, serta pembebanan tanggung jawab atas risiko pelanggaran hak cipta yang ada dalam AI-Generated Art. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dan melakukan penulusuran serta perbandingan yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan United States Copyright Act of 1976. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan gambar digital tanpa izin dalam pembuatan AI-Generated Art melanggar hak moral pencipta apabila terjadi modifikasi terhadap suatu gambar digital dan melanggar hak ekonomi apabila bersifat komersial, sedangkan pertanggungjawaban hukum atas risiko pelanggaran hak cipta dalam AI-Generated Art tersebut dapat dibebankan kepada penyelenggara AI karena mengetahui/mengizinkan AI yang dikembangkannya tersebut dilatih menggunakan gambar digital secara tanpa izin, dan Pengguna AI karena dengan sengaja memberikan perintah kepada AI untuk membuat gambar yang mengakibatkan adanya reproduksi suatu gambar digital. ......AI-Generated Art is an emerging work of Artificial Intelligence technology in the form of artwork such as illustrations, photographs, or digital images. Problems arise when an image belonging to another person is used in the making of AI-Generated Art without their permission, either to train AI or to produce a new image that can resemble the digital image used as a reference. Thus, it is necessary to conduct a research on the use of digital images in AI-Generated Art that are considered to be copyright infringement in Indonesian and United States law, as well as the liability for the risks of copyright infringement in AI-Generated Art. This research was conducted using the normative juridical approach method, and carried out searches and comparisons based on Law Number 28 of 2014 on Copyright and the United States Copyright Act of 1976. The results of this study indicate that the unauthorised use of digital images in the creation of AI-Generated Art violates the moral rights of the creator if there is a modification of a digital image and violates economic rights if it is commercial in nature, while the legal liability for the risk of copyright infringement in AI-Generated Art can be imposed on the AI Organizers, for knowing/authorising the AI it developed to be trained using unauthorised digital images, and the AI User, for deliberately instructing the AI to create images that result in the reproduction of a digital image.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Marlyna
Abstrak :
Penggunaan internet sebagai media komunikasi telah membawa banyak kemajuan bagi umat manusia. Namun di sisi lain, internet dapat juga menjadi ancaman, terutama yang berhubungan dengan Perlindungan Hak Cipta. Teknologi internet kini telah memampukan siapa pun untuk membajak ciptaan orang lain dengan waktu yang relatif lebih singkat dan dengan kualitas yang hampir sama dengan karya yang aslinya. Hanya dalam hitungan beberapa detik saja, suatu ciptaan yang dilindungi dengan Hak Cipta, seperti musik, lagu, program komputer dan materi-materi hak cipta lainnya dapat dengan mudah diperoleh, diperbanyak dan berpindah dari suatu komputer ke komputer lainnya, maupun ke media lain, seperti kertas, disket maupun compact disk (“CD”), dengan men-download-nya yang cukup dilakukan dengan satu “klik” saja. Salah satu permasalahan yang berkembang, sehubungan dengan pelanggaran Hak Cipta dalam media internet ini adalah apakah Penyelenggara Jasa Intemet/”P J r (Internet Service Provider atau “ISP”) turut bertanggung jawab atas pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh pengguna layanannya. PJI saat ini diposisikan sebagai penanggung jawab utama atas penerimaan dan pengiriman dari komunikasi-komunikasi di abad ke- 21. Beberapa jasa layanan tambahan yang diberikan oleh PJI justru dianggap memiliki potensi besar untuk dianggap turut membantu mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak cipta tersebut. Layanan utama sebuah PJI yaitu menyediakan akses ke internet juga potensial menyebabkan PJI turut digugat karena sebagai penyedia akses PJI dianggap mampu mengawasi setiap lalu lintas pertukaran informasi yang terjadi di dalam jaringannya, serta untuk mengambil langkah-langkah pencegahan yang diperlukan. Layanan PJI lainnya yang potensial menyebabkan PJI turut digugat adalah layanan web hosting dimana PJI menawarkan layanan untuk menempatkan file-file program untuk situs web di dalam server milik PJI tersebut. Apabila content dari situs web yang ditempatkan di server PJI tersebut melanggar Hak Cipta, maka ada kemungkinan pihak yang merasa Hak Cipta-nya telah dilanggar juga akan menuntut PJI, karena dianggap turut membantu terjadinya pelanggaran Hak Cipta tersebut.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2003
T36294
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Kadek Nia Prestisia Sudarta
Abstrak :
Perubahan judul buku merupakan hal yang awam dilakukan oleh penerbit dalam industri penerbitan buku. Apabila penerbit merasa bahwa judul buku yang akan diterbitkan tidak sesuai dengan minat publik, maka penerbit melalui editor dapat menyarankan kepada pengarang agar dilakukannya perubahan judul. Perubahan judul buku harus dipastikan tidak melanggar ketentuan hukum hak cipta. Persetujuan dari pengarang diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran hak cipta, terutama hak moral pengarang. Kasus perubahan judul buku Harry Potter and the Philosopher rsquo;s Stone yang dilakukan oleh Scholastic Inc. tidak melanggar ketentuan hak cipta karena Scholastic Inc. telah terlebih dahulu meminta persetujuan dari J.K. Rowling sebagai pengarang untuk perubahan judul buku. Dengan adanya persetujuan dari J.K. Rowling, maka hak moral dari J.K. Rowling tidak dilanggar oleh Scholastic Inc. ...... The change of book title is the common thing that the publisher does in book publishing industry. If the publisher feels that the book title is not in accordance with public rsquo s interest, publisher through the editor, can suggest the change of book title to the author. The change of book title has to make sure that it does not violate the copyright law. Author rsquo s approvoval is needed so the violation of copyright law does not happen, especially the author rsquo s moral right. The case on title change of Harry Potter and the Philosopher rsquo s Stone by Scholastic Inc. did not violate the copyright law because Scholastic Inc. had already asked for J.K. Rowling rsquo s approval as the book author. By means of J.K. Rowling rsquo s approval, Scholastic Inc. did not violate her moral right as an Author.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>