Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Pangaribuan, Ribka Arthauli
Abstrak :
Pemerintah telah menerbitkan kebijakan untuk mereformasi sektor keuangan dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan di Sektor Keuangan. Undang-Undang ini mengubah sejumlah pasal dalam 17 (tujuh belas) perundang-undangan di sektor keuangan di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan serta perundang-undangan lainnya. Dalam pasal 8B Undang-Undang PPSK menjadikan Otoritas Jasa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertimbangan pemerintah menambahkan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit dan pkpu dan pelaksanaan mekanisme penambahan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian yuridis normatif dan menggunakan deskriptif analitis. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dalam kewenangan OJK untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU terhadap pelaku usaha jasa keuangan didasari atas urgensi untuk meningkatkan sektor keuangan yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat, seimbang, stabil dan dapat dipercaya karena OJK yang mengetahui kondisi keuangan dan sektor keuangan secara keseluruhan. Hal ini juga untuk menjamin kepastian hukum serta keadilan bagi pelaku usaha jasa keuangan dan juga untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap pelaku usaha jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan memiliki peran penting untuk mengeluarkan peraturan pelaksana sebagimana dengan pertambahan kewenangannya. Undang-Undang PPSK belum mencantumkan peraturan pelaksana sehingga Otoritas Jasa Keuangan dapat mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang yang lebih tinggi yaitu dengan mengacu pada Undang-Undang OJK dan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
......The government has issued a policy to reform the financial sector by enacting Law Number 4 of 2023 concerning Development and Strengthening in the Financial Sector. This law amends a number of articles in 17 (seventeen) laws in the financial sector, including Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations and Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority and other laws. Article 8B of the PPSK Law stipulates that the Financial Services Authority is the only institution that can apply for a declaration of bankruptcy against Financial Services Business Actors. The purpose of this study is to find out the government's considerations for adding the authority of the Financial Services Authority in submitting requests for bankruptcy and pkpu statements and the implementation of the mechanism for increasing the authority of the Financial Services Authority. The research method used is a qualitative research method with a normative juridical research type and uses analytical descriptive. The results of the research show that it is within the authority of the OJK to submit requests for bankruptcy and PKPU statements against financial service business actors based on the urgency to improve the financial sector which can support strong, balanced, stable and trustworthy economic growth because the OJK knows financial conditions and the financial sector as a whole. This is also to ensure legal certainty and justice for financial service business actors and also to increase public trust in financial service business actors. The Financial Services Authority has an important role to issue implementing regulations in line with the increase in its authority. The PPSK Law does not include implementing regulations so that the Financial Services Authority can follow the provisions in a higher Law, namely by referring to the OJK Law and the Bankruptcy Law and PKPU.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Khairunnisa Alkhawarijmi
Abstrak :
Paylater merupakan layanan pembayaran yang disedikan oleh pelaku usaha jasa keuangan untuk memenuhi keperluan konsumsi konsumen atas barang yang dibelinya dari e-commerce. Layanan Paylater memiliki persyaratan yang lebih mudah ketimbang kartu kredit perbankan. Persyaratan yang mudah berisiko pada kerugian terhadap masyarakat selaku pengguna layanan Paylater, salah satunya berupa pembobolan layanan Paylater. Penanganan kasus pembobolan pada layanan Paylater oleh pelaku usaha jasa keuangan tidak selalu berjalan dengan maksimal. Tujuan dari penelitian ini menganalisis bentuk respon yang seharusnya dilakukan oleh pelaku usaha jasa keuangan terhadap laporan terhadap kasus pembobolan layanan Paylater milik konsumen. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif dengan didukung oleh data sekunder berupa hasil penelusuran studi kepustakaan atau literatur dan pendekatan metode kualitatif berupa observasi suatu fenomena dengan hasil penelitian yang deskriptif analitis dan preskriptif. Hasil penelitian ini mewajibkan pelaku usaha jasa keuangan mengupayakan dua hak konsumen saat menangani kasus pembobolan yaitu hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa dan hak konsumen untuk didengar pendapatnya mengenai barang dan/atau jasa yang digunakan. Pelaku usaha jasa keuangan bertanggung jawab untuk mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan terkait layanan penanganan pengaduan, serta memperkuat sistem elektronik. Tanggung jawab pelaku usaha jasa keuangan merujuk pada peraturan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, POJK Nomor 18/ POJK.07/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan, POJK Nomor 35 /POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, dan POJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan.
......Paylater is a payment service provided by financial service businesses to meet consumers' consumption needs for goods they buy from e-commerce. Paylater services have easier requirements than bank credit cards. Easy requirements risk harm to the community as users of Paylater services, one of which is in the form of Paylater service breaches. The handling of cases of break-ins in Paylater services by financial service businesses does not always run optimally. The aim of this study is to analyze the response that should be made by financial service businesses to reports on consumer Paylater service breaches. This research was carried out using a juridical-normative research form supported by secondary data in the form of results of library research or literature searches and a qualitative method approach in the form of observation of a phenomenon with descriptive analytical and prescriptive research results. The results of this study oblige financial service businesses to seek two consumer rights when handling fraud cases, namely the right to comfort, security, and safety in consuming goods and/or services and the consumer's right to have their opinion heard regarding the goods and/or services used. Financial services businesses are responsible for evaluating and improving policies related to complaint handling services, as well as strengthening electronic systems. The responsibilities of financial service businesses refer to the regulations of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, POJK Number 18/POJK.07/2018 concerning Consumer Complaint Services in the Financial Services Sector, POJK Number 35/POJK.05/2018 concerning Conducting Business of Financing Companies, and POJK Number 6/POJK.07/2022 concerning Consumer Protection in the Financial Services Sector.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library