Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Ida Ayu Wedayani
"Tulisan ini membahas tentang proses tradisi kependetaan yang secara turun temurun di Griya Sanur Pejeng, fokusnya pada proses seorang calon sulinggih yang akan menjadi seorang pedanda dengan melalui proses akhir yaitu madiksa sebagai tanda telah resmi menjadi pedanda beserta material culture pendukungnya di griya, sebutan untuk rumah Pedanda. Data yang digunakan terkait dengan tradisi kependetaan yang secara turun temurun di Griya Sanur Pejeng yaitu arca-arca, prasasti, naskah kuno, relief, perangkat pemujaan dan busana kependetaan. Metode yang digunakan yaitu pengamatan data pustaka dan lapangan, dilanjutkan dengan pengolahan data yang dilakukan dengan mengidentifikasi informasi mengenai material culture yang berkaitan dengan life course seorang pedanda yang dimulai sejak masa kanak-kanak dengan mempertimbangkan unsur dasar life course yang terdapat di dalamnya yaitu transition atau transisi, yang mencakup perubahan peran dan status seseorang dari yang sebelumnya. Salah satu yang dipelajari di dalam ilmu arkeologi ialah arkeologi anak-anak, kemudian secara lebih luas lagi mengkategorikan usia kedalam analisis identitas sosial melalui konsep life course atau perjalanan hidup. Life course seorang pedanda tercermin dalam komitmennya terhadap pelayanan kepada masyarakat dan pencarian keselarasan dengan Tuhan, karena seorang pedanda memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan spiritualitas, memelihara tradisi, sebagai perantara Tuhan dan pemimpin spiritual dalam masyarakat Hindu.
This paper discusses the hereditary process of the priesthood tradition in Griya Sanur Pejeng, focusing on the journey of a prospective sulinggih who will become a pedanda. The culmination of this process is marked by madiksa as an official sign of becoming a pedanda, along with its supporting material culture in Griya, referred to as the Pedanda’s residence. The data used is related to the hereditary priesthood tradition in Griya Sanur Pejeng, including scluptures, inscriptions, ancient manuscripts, reliefs, worship devices, and priestly attire. The method employed involves observing data from literature and the field, followed by data processing that includes identifying information about the material culture associated with the life course of a pedanda. This life course begins in childhood, in roles and status from the previous stage. One aspect studied in archaeological science is the archaeology of children, which is then broadly categorized into the analysis of social identities through the concept of life course or life journey. The life course of a pedanda is reflected in their commitment to serving the community and seeking harmony with God. This is because a pedanda plays a crucial role in maintaining the balance of spirituality, preserving traditions, and serving as an intermediary between God and spiritual leaders in the Hindu Community."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
IBM Jata Martha
"Daun lontar (selanjutnya disebut lontar saja) merupakan media untuk menulis karya sastra Ball kuno. Dengan bidang tulis yang memanjang biasanya berukuran 3 x 40 Cm dan ditulis dari kiri kekanan. Alat tulis yung dipergunakan adalah pisau berujung runcing yang diberi nama 'pengutik' sehingga huruf terbentuk dari torehan pada lontar tersebut. Satu topik bisa terdiri dari puluhan lembar daun lontar disimpan sebagai satu kesatuan yang disebut 'keropak'. Pemeliharaan lontar ini secara tradisional menggunakan minyak hasil perasan kemiri yang dibakar dan dioles dipermukaan lontar. Minyak ini akan memperjelas torehan di daun lontar dan melindungi lontar dari kerusakan akibat dimakan serangga..
Karya-karya sastra yang tertuang pada lontar ini merupakan hasil pemikiran pujangga pada masa kejayaan kerajaan Hindu atau ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh 'pedanda' (pendeta agama Hindu), 'balian' (dukun), raja atau cendikiawan Hindu. Kesulitan pemeliharaan lontar dan kurangnya minat generasi muda untuk mempelajah tata nulis huruf Bali menyebabkan perkembangan kebudayaan yang tinggi ini berjalan sangat lambat bahkan nyaris terhenti. Ilmu wariga (perhitungan baik-buruknya hari), asta kosala-kosali, pengobatan tradisional dan lain-lain menjadi tidak berkembang dan dikuasai beberapa orang saja tanpa adanya proses alih pengetahuan ke generasi berikutnya secara memadai karena usaha untuk menterjemahkan ke dalam huruf Latin dirasakan sangat kurang. Penterjemahan ke hurut Latin juga akan mengurangi kesempatan berkembangnya pengetahuan, pemahaman dan pemakaian huruf Bali.
"
1995
LESA-25-Jan1995-60
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library