Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Johanes Danang Widoyoko
"ABSTRAK
Pemerintah dan lembaga-lembaga internasional merekomendasikan penggunakan electronic procurement sebagai strategi untuk memberans korupsi. Akan tetapi, berdasarkan telaah atas kasus korupsi kontemporer, reformasi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah tidak mampu menghentikan korupsi. Alih-alih terkontrol, korupsi justru bertransformasi ke dalam bentuk baru menyesuaikan dengan peraturan pengadaan yang telah direformasi. Dengan mengkaji kasus korupsi dalam pembangunan wisma atlet serta meneliti aspek historis dalam aturan pengadaan barang dan jasa di Indonesia, saya berpendapat persoalan terbesarnya justru terletak di dalam patronase politik sebagai strategi utama untuk membangun dan memelihara basis sosial. Reformasi dalam pengadaan barang dan jasa, serta pemberantasan korupsi, tidak memadai untuk mengatasi persoalan tersebut."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2018
364 INTG 4:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Athoillah
"Kehadiran orang orang Arab di Jawa dalam beberapa kajian disebutkan mulai terlihat pada abad XVIII sampai awal abad XIX. Sejak berdirinya Keraton Yogyakarta pada tahun 1755, beberapa orang Arab dari kalangan sayid Hadrami telah menjadi bagian dari keluarga Sultan Yogyakarta sebagai bukti hadirnya peran mereka di Keraton Yogyakarta pada abad XIX. Kajian ini membahas tentang proses dan bentuk patronase politik yang terjadi di antara kalangan Arab dengan keluarga bangsawan Jawa di Keraton Yogyakarta, khususnya pada paruh pertama abad ke 19. Ditemukan beberapa hal penting bahwa pertukaran jasa dan aliansi pernikahan antara para sayid dengan putri bangsawan Yogyakarta telah menempatkan posisi sayid sebagai elit politik dan kuatnya legitimasi keagamaan pada bangsawan Keraton Yogyakarta. Selain itu, juga ditemukan beberapa kasus bahwa para kalangan Arab juga membangun patronase politik yang justru menjadi lawan bagi Keraton Yogyakarta."
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2019
959 PATRA 20:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Rafi Somantri
"ABSTRAK
Hubungan patronase antara Suharto dan Sudono Salim pada masa Orde Baru adalah hubungan patronase yang kuat. Hal ini tergambar dari industrialisasi orde baru yang melibatkan Grup Salim, salah satunya adalah PT. Bogasari. Bogasari memonopoli perdagangan tepung pada masa Orde Baru yang lahir tahun 1971 melalui sebuah keputusan Kementerian Perdagangan untuk Bulog. Dengan vonis dan koneksi dengan Suharto, Liem berhasil mengembangkan bisnisnya
Tepungnya menjadi bisnis besar dan menjadikannya raja mie instan dengan Indofood-nya. Keuntungan dari patronase berupa perlindungan politik dan keuntungan ekonomi. Dalam menjaga hubungan dengan
Suharto, Bogasari mengangkat Sudwikatmono sebagai direktur perusahaan dan mendanai Yayasan Harapan kami milik Siti Hartinah. Liem juga tidak segan-segan membantu Kepala Biro Logistik Bustanil Arifin ketika ada masalah dengan bank Duta, bank tersebut menjadi bank yang mendanai tiga yayasan di bawah Suharto. Setelah orde baru jatuh, hubungan Hal ini membawa Grup Salim sebagai simbol kroniisme orde baru ke pengadilan. Musim gugur menyebabkan Grup Salim merampingkan lini bisnisnya dan mempertahankan lini makanannya di bawah Indofood termasuk Bogasari. Selama orde baru perdagangan gandum dikembangkan dari hibah makanan melalui PL-480 berubah
menjadi importir utama yang menyentuh angka 4 juta ton gandum per tahun. Jumlah impor yang dicari berkurang setelah reformasi dengan upaya budidaya gandum tropis.
ABSTRACT
The patronage relationship between Suharto and Sudono Salim during the New Order was a strong patronage relationship. This is illustrated by the industrialization of the new order involving the Salim Group, one of which is PT. Bogasari. Bogasari monopolized the flour trade during the New Order era which was born in 1971 through a decision Ministry of Trade for Bulog. With the verdict and connection with Suharto, Liem managed to grow his business His flour became big business and made him the king of instant noodles with his Indofood. Advantage from patronage in the form of pand economic benefits. In maintaining a relationship with Suharto, Bogasari appointed Sudwikatmono as director of the company and funded the Foundation Our hope belongs to Siti Hartinah. Liem also doesnt hesitate to help the Head of the Logistics Bureau Bustanil Arifin when there is a problem with the bank Duta, the bank became the bank that funded three foundations under Suharto. After the new order fell, the relationship This brought the Salim Group as a symbol of the New Orders cronyism to justice. Autumn caused the Salim Group to streamline its business line and maintain its food line under Indofood including Bogasari. During the new order wheat trade developed from food grants through PL-480 changed become the main importer which touches the figure of 4 million tons of wheat per year. Number of imports sought
reduced after the reformation with tropical wheat cultivation efforts."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S5912
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabrielson Pascalino Milkyway
"Penelitian ini menganalisa mengenai proses pembiayaan politik caleg perempuan pada pemilu 2019. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data melalui wawancara dan studi literatur. Penelitian ini menggunakan kerangka pembiayaan politik dari van Biezen, sebagai teori utama, dan dilengkapi dengan konsep pembiayaan politik berbasis gender, personal vote, dan patronase. Pembiayaan politik yang tinggi di Indonesia diakibatkan perubahan sistem proposional dari tertutup (Orde Baru) menjadi terbuka (Reformasi) dan celah dalam aturan pembiayaan politik. Tingginya pembiayaan politik menyebabkan caleg perempuan terpilih banyak berasal dari kekerabatan politik. Temuan dari penelitian ini bahwa proses pembiayaan caleg perempuan dari kalangan elit dan petahana tidak menunjukan masalah. Pemasukan dana kampanye berasal dari diri sendiri. Sedangkan pengeluaran terbesar diperuntukan untuk kunjungan ke dapil dan APK. Tidak adanya pencatatan sesuai realitas di lapangan menunjukan celah dalam regulasi pembiayaan tidak hanya dalam aspek transparansi, tetapi juga dalam aspek regulasi pemasukan dan pengeluaran serta ketersediaan dana publik. Penerapan kuota gender di Indonesia yang mendorong pencalonan kandidat perempuan dengan modalitas tinggi menunjukan bahwa perlu adanya tindakan afirmasi dalam pembiayaan politik. Hal ini dikarenakan penggunaan kuota gender tidak mendorong perubahan ketidaksetaraan gender dalam struktur sosial dan ekonomi. 

This study analyzes the political financing process of female candidates in the 2019 elections. This study uses qualitative research methods by collecting data through interviews and literature studies. This study uses the political financing framework of van Biezen, as the main theory, and is complemented by the concepts of gender-based political finance, personal votes, and patronage. High political finance in Indonesia is due to a change in the proportional electoral system from closed (New Order) to open (Reformasi) and loopholes in political financing rules. The high level of political funding causes many of the elected female candidates to come from political kinship. The findings of this study that the process of financing female candidates from the elite and incumbent did not show a problem. Income from campaign funds comes from oneself. While the largest expenditure is intended for visits to electoral districts and APKs. The absence of records according to field reality shows gaps in financing regulations not only in the aspect of transparency, but also in terms of regulation of revenue and expenditure as well as the availability of public funds. The implementation of a gender quota in Indonesia that encourages the nomination of women candidates with high modality shows that there is a need for affirmations of gender-based political financing. This is because the use of gender quotas does not encourage changes in gender inequality in social and economic structures."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie Lidya Nashirah Suprapto
"Tidak semua duta besar yang diangkat oleh suatu negara merupakan seorang diplomat karier. Di Indonesia, pengangkatan duta besar dari kalangan diplomat non-karier kerap hadir dari masa ke masa. Meskipun agenda reformasi telah menghadirkan kriteria duta besar dengan landasan hukum yang jelas, di era Presiden Joko Widodo, tetap terdapat peningkatan persentase duta besar Republik Indonesia yang merupakan diplomat non-karier daripada pemerintahan sebelumnya. Selain itu, Presiden Joko Widodo mengangkat orang-orang yang pengalamannya tidak relevan dengan diplomasi secara umum maupun diplomasi ekonomi secara khusus sebagai fokus yang ia tekankan. Fenomena-fenomena tersebut memunculkan pertanyaan tentang pola pengangkatan duta besar Republik Indonesia di era Presiden Joko Widodo. Penelitian kuantitatif ini memanfaatkan teori patronase untuk menjawab pertanyaan tersebut. Penelitian menggunakan data 170 pengangkatan duta besar di era Presiden Joko Widodo dari tahun 2014 hingga 2024. Penelitian ini menemukan bahwa patronase dalam bentuk duta besar Republik Indonesia dengan latar belakang bisnis lebih mungkin ditempatkan di negara yang derajat hubungannya lebih tinggi dengan Indonesia dan lebih strategis secara ekonomi bagi Indonesia. Penelitian juga menemukan bahwa duta besar Republik Indonesia dari TNI dan Polri lebih mungkin ditempatkan di negara yang lebih tidak damai. Pola pengangkatan ini tampak paralel dengan visi diplomasi ekonomi, tetapi tidak dapat dikatakan menguntungkan kepentingan nasional semata mengingat pertimbangan politik domestik Presiden Joko Widodo dalam mengangkat pebisnis. Alhasil, sesuai dengan pemahaman bahwa Presiden merupakan aktor sentral dalam kebijakan luar negeri, pola pengangkatan ini juga mencerminkan sentralitas peran Presiden yang determinan sekaligus keterbatasan peran birokratik Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia dalam pengangkatan duta besar. Kemlu menjadi tempat bagi Presiden Joko Widodo untuk menyisipkan kepentingan politiknya. Dengan demikian, selama masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo melakukan patronase melalui pengangkatan duta besar Republik Indonesia.

Not all ambassadors appointed by a state are career diplomats. In Indonesia, ambassadorial appointments from non-career diplomats often exist from time to time. While the reformasi agenda has given a clear legal basis of ambassadorial criteria, in the era of President Joko Widodo, there is still an increase from the previous government in the percentage of ambassadors who are non-career diplomats. Moreover, President Joko Widodo appointed ambassadors with no relevant experience in diplomacy in general and economic diplomacy in particular as the focus that he emphasized. These phenomena raise the question of the pattern of ambassadorial appointment in the era of President Joko Widodo. This quantitative research utilizes the patronage theory to answer that question. This study uses the data of 170 ambassadorial appointments in the era of President Joko Widodo from 2014 to 2024. The result of this study showed that patronage in the form of ambassadors with a business background are more likely to receive appointments to countries with higher degree of relations with Indonesia as well as countries economically more strategic for Indonesia. This study also found that ambassadors from TNI and Polri are more likely to be appointed to less peaceful countries. While this pattern appears parallel to the economic diplomacy vision, it cannot be said that it is solely for the benefit of Indonesia’s national interest, bearing the President’s domestic politics considerations in appointing businessmen. Therefore, in accordance with the understanding that the President is a central actor in foreign policy, this pattern also reflects the centrality of the President’s determinant role and the limited bureaucratic role of the Ministry of Foreign Affairs (MoFA) of the Republic of Indonesia. MoFA becomes an arena for President Joko Widodo to insert his political interests. Thus, during his reign, President Joko Widodo carried out patronage through the appointment of ambassadors of Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Raffey Satrio Bimo
"Semakin berkembangnya pangsa pasar industri halal, pentingnya pelaksanaan halal dalam kehidupan umat muslim semakin menjadi perhatian pemerintah Indonesia selaku negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Terdapat fenomena dimana banyak restoran makanan asing di Indonesia yang tidak memiliki logo halal resmi, namun menunjukkan bahwa kesan restorannya halal dengan memasang tulisan ‘No Pork’ atau ‘No Lard’ yang disebut sebagai tacit halal cues (THC). Dengan adanya fenomena ini dan juga peraturan wajib halal dari pemerintah Indonesia, penelitian ini akan menganalisis bagaimana pengaruh fenomena tersebut terhadap intensi patronase konsumen muslim yang pernah makan di restoran makanan asing yang tidak berlogo halal terhadap restoran halal. Penelitian ini dilakukan dengan metode Partial Least Squares Structural Equation Model (PLS-SEM). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Religios Obligation, Halal Knowledge dan Attitude Towards Halal dapat mempengaruhi Patronage Intention. Ditemukan juga bahwa Institutional Pressure, Religious obligation, dan Halal Knowledge dapat mempengaruhi Attitude Towards Halal.

The increasing market share of halal industry, increases the importance of halal implementation in the life of Muslims and is becoming the attention of the Indonesian government as the country with the largest Muslim population in the world. There is a phenomenon where many foreign food restaurants in Indonesia do not have an official halal logo, but show that the effect of the restaurant is halal by placing the inscription “No Pork” or “No Lard” called tacit halal cues. (THC). With the presence of this phenomenon and also mandatory halal regulations of the Indonesian government, this study will analyze how the effect of such phenomena on the intention of Muslim consumer patronage on foreign food restaurants that do not have a halal logo. The study was conducted using the Partial Least Squares Structural Equation Model. (PLS-SEM). The results of the research show that religious obligations, halal knowledge and attitudes towards halal can affect patronage intention. It was also found that Institutional Pressure, Religious Obligation, and Halal Knowledge can influence Attitudes Toward Halal.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library