Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ikhsan Amran
Abstrak :
Latar Belakang : Penanganan nyeri pascabedah merupakan tantangan bagi dokter anestesi dan merupakan penyebab tersering pemanjangan lama rawatan pasien di ruang rawat. Pemantauan oleh tim Acute Pain Service (APS) dan penggunaan metoda analgesia modern sudah terbukti dapat mengurangi kejadian nyeri pascabedah. Masalah baru manajemen nyeri pada masa peralihan analgesia dari metoda modern ke analgesik dasar. Peningkatan nyeri akibat kesenjangan pada periode transisi ini disebut dengan analgesia gap. Saat ini faktor resiko kejadian analgesia gap belum jelas. Peneliti ingin mengetahui pengaruh jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik dan kepatuhan pemberian obat analgesik sebagai faktor risiko terjadinya analgesia gap pada pasien pascabedah di RSCM. Metode : Penelitian ini uji kohort prospektif prediktif pada pasien pasca-APS di RSCM. Subjek penelitian 220 sampel. Semua sample diambil data kejadian analgesia gap, selain itu dicatat status data demografis, jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik yang diberikan dan kepatuhan pemberian obat berdasarkan waktu pemberian. Hasil : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Faktor jenis operasi dan lama pemberian epidural tidak memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian analgesia gap (p 0.057 dan p 0.119). Faktor jenis obat analgesic yang diberikan dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesic di ruangan bermana secara statistic bermakna secara statistik terhadap kejadian analgesia gap (p 0.016 dan p 0.00). Pemberian gabungan opioid dan OAINS/asetaminofen dapat menurunkan kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan kemungkinan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.22) dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.3). Simpulan : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Jenis obat analgesik dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesik di ruang rawat berhubungan terhadap kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat. ...... Background : Post-operative pain management has been a challenged for anesthesiologist for decades and causes prolonged hospital stays for patients. The monitoring by acute pain service team and use of advanced analgesia clearly can reduce of analgesia pain. New challenge of post-operative pain managements is the management transition from advanced analgesic support to analgesic drugs. Increased pain during transition from post-epidural analgesia to oral analgesic, is defined as analgesic gap. Risk factors of analgesic gap are not clearly known. This study aims to observe the prediction of analgesia gap in RSCM based on type of surgery, duration of epidural, type of analgesic drugs and drugs administration adherence. Method : This study is a predictive prospective cohort in post-APS patients in RSCM. This research subjects were 220 samples. Samples were selected based on the analgesia gap occurrence data, as well as demographic data, type of surgery, duration of epidural analgesia, type of analgesic drugs, timing of drugs administration. Result : The Incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of operation and duration epidural analgesia administration are not statistically related to incidence of analgesic gap (p 0.057 and p 0.119). However, types of analgesic drugs in ward and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap (p 0.016 and p.00). Combining opioid and NSAID/asetaminofen are recommended to reduce analgesic gap. Administering drugs on scheduled lowers the incidence of analgesic gaps 4.5 times un-administered (RR 0.22) and 3.3 times than if administering not on schedule (RR 0.3). Conclusion : The incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of analgesic drugs and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap. Combining opioid and NSAID/asetaminofen and administering drugs on scheduled lower incidence of analgesic gap.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidik Awaludin
Abstrak :
ABSTRAK
Nyeri pascabedah jantung menjadi masalah bagi pasien, sehingga perlu intervensi dengan terapi farmakologi dan non farmakologi seperti terapi komplementer keperawatan. Terapi komplementer dari beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan perawat merupakan terapi tunggal dan kombinasi dua terapi. Bentuk kombinasi tiga terapi seperti pijat, hipnosis, dan musik (Formula PHISIK) bekerja saling menguatkan dalam menurunkan nyeri. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi pengaruh pemberian formula PHISIK terhadap intensitas nyeri pascabedah jantung di RS PJNHK Jakarta. Desain penelitian ini yaitu quasi eksperiment design dengan non equivalent control group design. Sampel dalam penelitian ini adalah 36 pasien pascabedah jantung. Pemberian formula PHISIK menurunkan intensitas nyeri secara signifikan melalui selisih skala nyeri, denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan tekanan darah pra dengan pascaperlakuan (p value < 0,05). Formula PHISIK berpengaruh secara signifikan dalam menurunkan skala nyeri, denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan tekanan darah pada pasien pascabedah jantung. Formula PHISIK dapat digunakan sebagai bagian dari intervensi keperawatan dalam upaya menurunkan nyeri pascabedah jantung.
ABSTRACT
Post-cardiac surgery pain has become a problem for patients. Therefore, it needs intervention either use pharmacological or non-pharmacological therapies. Complementary therapies from several previous studies by nurses are focused on a single or two combined therapy. No study found to combine more than two. A combination of three therapies such as massage, hypnosis, and music (PHISIK formula) each other may reduce pain.The objective to identify the effect of PHISIK formula to pain intensity of patient with post-cardiac surgery pain at national cardiac center hospital Harapan Kita Jakarta. This study used a quasi-experimental design with non-equivalent control group design. The sample in this study were 36 post-cardiac surgery patients. PHISIK formula significantly reduce pain intensity as showed in the difference of pre post-treatment on pain scale, heart rate, respiratory rate, and blood pressure (p value < 0,05). PHISIK formula is found significant reduce pain scale, heart rate, respiratory rate, and blood pressure on post-cardiac surgery. PHISIK formula can be used as part of a nursing intervention in reducing post-cardiac surgery pain.
2013
T35842
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hanif Rahim
Abstrak :
Salah satu komplikasi pascabedah yang sering dialami pasien geriatri adalah delirium. Insiden delirium pascabedah sangat beragam berkisar 3,6-28,3% dari seluruh pembedahan elektif. Delirium pascabedah berkaitan erat dengan komorbiditas, mortalitas dan peningkatan biaya serta lama perawatan di Rumah Sakit, oleh karena itu pencegahan terhadap kejadian delirum merupakan hal yang penting. Tekanan darah yang rendah dapat menyebabkan hipoperfusi area korteks dan subkorteks serebral. Keadaan ini diduga dapat menyebabkan terjadinya delirium. Adanya abnormalitas perfusi lobus frontal dan parietal otak juga diduga berhubungan erat dengan timbulnya delirium. Masih terdapat kontroversi terhadap pengaruh dari hipotensi intrabedah terhadap kejadian delirium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara hipotensi intrabedah terhadap kejadian delirium pascabedah pada pasien geriatri.Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif terhadap 134 subjek penelitian selama Januari-April 2022 yang dialokasikan ke dalam kelompok dengan hipotensi (n=67) dan tanpa hipotensi (n=67) dikaji dari nilai tekanan darah, durasi hipotensi, dan pemberian topangan kardiovaskular. Penelitian menggunakan uji fungsi kognitif berupa CAM (Confusion Assesment Method) yang dilakukan 24 jam pascabedah. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan proporsi kejadian delirium pascabedah  dikaji dari nilai tekanan darah (Tekanan darah sistolik <90 mmHg dan Tekanan darah rerata <65 mmHg), durasi, dan pemberian topangan kardiovaskular bermakna secara statistik (p <0.05). Insidens kejadian delirium pascabedah pada pasien geriatri adalah 36.5%. Kesimpulan : Terdapat hubungan antara hipotensi intrabedah terhadap kejadian delirium pascabedah pada pasien geriatri dikaji dari nilai tekanan darah, durasi, dan pemberian topangan kardiovaskular. ......One of the postoperative complications that are often experienced by geriatric patients is delirium. The incidence of postoperative delirium varies widely, ranging from 3.6 to 28.3% of all elective surgeries. Postoperative delirium is closely related to comorbidities, mortality and increased costs and length of hospital stay, therefore prevention of delirium is important. Low blood pressure can cause hypoperfusion of the cerebral cortex and subcortical areas. This situation is thought to cause delirium. The presence of perfusion abnormalities of the frontal and parietal lobes of the brain is also thought to be closely related to the onset of delirium. There is still controversy about the effect of intraoperative hypotension on the incidence of delirium. This study aims to determine the relationship between intraoperative hypotension and the incidence of postoperative delirium in geriatric patients. Methods : This study is a prospective cohort study of 134 study subjects during January-April 2022 who were allocated to groups with hypotension (n=67) and without hypotension (n=67) assessed from the value of blood pressure, duration of hypotension, and cardiovascular support. The study used a cognitive function test in the form of CAM (Confusion Assessment Method) which was carried out 24 hours after surgery. Results : In this study, the proportion of postoperative delirium incidence was assessed from the value of blood pressure (systolic blood pressure <90 mmHg and mean blood pressure <65 mmHg), duration, and the provision of cardiovascular support was statistically significant (p <0.05). The incidence of postoperative delirium in geriatric patients is 36.5%. Conclusion : There is a relationship between intraoperative hypotension and the incidence of postoperative delirium in geriatric patients assessed from the value of blood pressure, duration, and the provision of cardiovascular support.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusrina Istanti
Abstrak :
Malnutrisi sering ditemukan pada pasien pasca bedah dan berhubungan dengan penurunan fungsi otot, respirasi, imun serta terganggunya penyembuhan luka. Penelitian observasional analitik ini bertujuan mengetahui faktor yang mempengaruhi status nutrisi akut pascabedah. Dilakukan pemeriksaan kadar retinol binding protein (RBP) hari ke-1 dan ke-5 pasca bedah sebagai indikator status nutrisi akut. Asupan nutrisi dan prosentasenya terhadap resting energy expenditure (REE) diukur tiap hari. Dilakukan pemeriksaan kortisol dan C-reactive protein (CRP) sebagai marker respons inflamasi. Dari 35 subyek penelitian sesuai kriteria inklusi disimpulkan kadar RBP hari ke-1, kortisol dan CRP berpengaruh terhadap status nutrisi akut pascabedah. ......Malnutrition is common in postoperative patients and is associated with decreased muscle function, respiratory, immune and disruption of wound healing. This analytic observational study aims to determine the factors that affect the nutritional status of acute post operative patients. We examined the levels of retinol binding protein (RBP) on day 1 and 5 post-operative as an indicator of acute nutritional status. Nutrient intake was calculated for each day and the percentage from resting energy expenditure (REE). We also examined cortisol and C-reactive protein (CRP) as markers of inflammatory response. Of the 35 study subjects who met the inclusion criteria, we can conclude that RBP levels, cortisol and CRP in day 1 are indicators of acute post-operative malnutrition
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Citra Setiawan Hoei
Abstrak :
Latar belakang: Sindrom curah jantung rendah (low cardiac output syndrome, LCOS) merupakan salah satu morbiditas yang terjadi pascaoperasi jantung terbuka. Angka kejadian LCOS pada pasien pascaoperasi sebanyak 25–65%, sehingga diperlukannya suatu penanda biologis praoperatif untuk menilai keadaan pembedahan yang optimal. NT-proBNP merupakan suatu biomarker yang berpotensi digunakan dalam diagnosis, tata laksana dan prognosis pada populasi pediatrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran NT-proBNP sebagai faktor prediktor terhadap kejadian LCOS pascabedah jantung terbuka. Metode: Studi longitudinal dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dalam periode November 2018 hingga Maret 2020 dengan merekrut subjek di bawah usia 18 tahun yang menjalani operasi korektif kelainan jantung bawaan. Kadar NT-proBNP prabedah diambil dan dianalisis terhadap kejadian LCOS pascaoperasi. Hasil: Terdapat 159 subjek dilibatkan sebagai subjek penelitian. Angka kejadian LCOS pascaoperasi sebanyak 23,9%. Median NT-proBNP prabedah berbeda bermakna antara pasien yang mengalami LCOS dengan pasien yang tidak mengalami LCOS (1592 pg/mL vs. 227 pg/mL; p = 0,001). Nilai cut-off NT-proBNP prabedah terhadap kejadian LCOS pascaoperasi adalah 400 pg/mL, dengan sensitivitas 78,95%, spesifisitas 64,46%, positive predictive value 41,10%, negative predictive value 90,70% dan diagnostic accuracy 67,92%. Simpulan: NT-proBNP prabedah dapat dijadikan faktor prediktor terhadap kejadian LCOS pascaoperasi jantung terbuka. Nilai cut-off NT-proBNP prabedah terhadap luaran LCOS pascaoperasi adalah 400 pg/mL. ...... Background: Low cardiac output syndrome (LCOS) is a common morbidity following open heart surgery in pediatric population. The incidence of postoperative LCOS range from 25 to 65%, indicating the needs for preoperative tool to evaluate optimum condition prior to surgery. NT-proBNP is a biomarker that has potential in diagnosis, management, and prognosis in pediatric population. This study aims to evaluate the role of NT-proBNP as predictive factor for LCOS following cardiac surgery. Methods: A longitudinal study was conducted in Harapan Kita National Heart Center between November 2018 and March 2020. We recruited subjects below 18 years old who underwent corrective cardiac surgery. NT-proBNP was obtained preoperatively and analyzed for postoperative LCOS. Results: A total of 159 subjects were enrolled. The incidence of postoperative LCOS was 23.9%. The median of preoperative NT-proBNP was found to be significantly higher in patients experiencing LCOS compared to that of patients without LCOS (1592 pg/mL vs. 227 pg/mL; p = 0.001). The cut-off value for preoperative NT-proBNP to determine postoperative LCOS was 400 pg/mL with sensitivity of 78.95%, specificity of 64.46%, positive predictive value of 41.10%, negative predictive value of 90.70% and diagnostic accuracy of 67.92%. Conclusions: Preoperative NT-proBNP can be used as predictor for postoperative LCOS following cardiac surgery. The cut-off value of preoperative NT-proBNP in determining postoperative LCOS was found to be 400 pg/mL.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febrina Alivia Wantania
Abstrak :
Latar Belakang: Hipotermia pascabedah seringkali terjadi pada pasien geriatri karena adanya penurunan fisiologi tubuh. Hipotermia pada pasien geriatri dapat berhubungan dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas, lama rawat inap serta komplikasi pasca pembedahan yang lebih tinggi. Lingkungan kamar bedah di Indonesia, keterampilan operator dan ketersediaan obat anestesia berbeda dengan negara lain. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara jenis anestesia, jenis operasi, dan durasi operasi terhadap hipotermia pascabedah pada pasien geriatri di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional analitik retrospektif terhadap 95 pasien geriatri yang menjalani pembedahan dengan anestesia umum dan kombinasi anestesi umum regional di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan November 2018 Januari 2019. Kriteria inklusi adalah pasien dengan usia lebih dari sama dengan 60 tahun dan menjalani prosedur bedah elektif. Kriteria eksklusi adalah pasien yang rekam medisnya tidak lengkap dan menjalani pembedahan dengan durasi kurang dari satu jam. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan prevalensi hipotermia pascabedah sebesar 63.15%. Hasil uji Fisher antara jenis anestesia dengan hipotermia pascabedah pada pasien geriatri menghasilkan nilai p sebesar 0.529. Hasil uji Chi Square antara jenis operasi dengan hipotermia pascabedah pada pasien geriatri menghasilkan nilai p sebesar 0.677. Hasil uji Chi Square antara durasi operasi dengan hipotermia pascabedah pada pasien geriatri menghasilkan nilai p sebesar 0.495. Kesimpulan: Jenis anestesia, jenis operasi, dan durasi operasi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan hipotermia pascabedah pada pasien geriatri.
Background: Postoperative hypothermia occurs in geriatric patients as their physiological functions have decreased. Hypothermia in geriatric patients can be associated with an increased risk of morbidity and mortality, length of stay and higher post surgical complications. The operating room environment in Indonesia, operator skills and supply of anesthetic drugs are different from other countries. The objective of this study was to analyze the relationship between types of anesthesia, types of surgery, and duration of surgery with post surgery hypothermia in geriatric patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Methods: This was a retrospective analytic cross sectional study for 95 geriatric patients undergoing surgery under general anesthesia and a combination of general regional anesthesia at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in November 2018 January 2019. The inclusion criteria was patients older than 60 years old and undergoing elective surgical procedures. Exclusion criteria was patients whose medical records were incomplete and undergoing surgery with a duration of less than an hour. Results: It was found that the prevalence of postoperative hypothermia was 63.5%. Fishers test results between types of anesthesia with postoperative hypothermia in geriatric patients resulted in P value of 0.529. Chi Square test results between types of surgery with postoperative hypothermia in geriatric patients resulted in P value of 0.677. Chi Square test results between the duration of surgery with postoperative hypothermia in geriatric patients resulted in P value of 0.495. Conclusion: The types of anesthesia, types of surgery, and duration of surgery did not have a significant association with postoperative hypothermia in geriatric patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vienna Rossimarina
Abstrak :
Latar belakang: Pasien pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) mengalami penurunan fungsi paru akibat inflamasi perioperatif sehingga terjadi ketidakcocokan ventilasi/perfusi dan kelemahan otot pernapasan. Akibatnya saat beraktivitas, terjadi keterbatasan oksigen sehingga terjadi kelelahan otot lebih cepat dan kapasitas fungsional rendah. Latihan pernapasan diharapkan membantu memperbaiki kapasitas fungsional melalui perbaikan fungsi paru. Tujuan: Membuktikan manfaat latihan pernapasan terhadap kapasitas fungsional yang diukur dengan 6 Minutes walk test (6MWT) pada pasien pasca-BPAK yang menjalani rehabilitasi kardiovaskular fase II. Metode: Uji klinis dengan merandomisasi subjek pada kelompok perlakuan yang mendapat adjuvan latihan pernapasan atau menjalani program rehabilitasi standard. Diukur kapasitas inspirasi dan 6MWT pada awal dan akhir rehabilitasi fase II. Hasil: Dua puluh delapan subjek dirandomisasi menjadi 14 kelompok perlakuan dan 14 kelompok standard. Setelah menjalani program rehabilitasi, kelompok perlakuan dan standard mengalami peningkatan jarak 6MWT yang tidak berbeda bermakna (67 ± 62.9 meter VS. 53 ± 65.7 meter; p = 0.556 ) walau kelompok perlakuan mengalami peningkatan kapasitas inspirasi lebih baik daripada kelompok standard (1357 ± 691.4 mL VS 589 ± 411.5 mL; p = <0.001 ). Simpulan: Latihan pernapasan sebagai latihan adjuvan rehabilitasi kardiovaskular fase II pasca-BPAK tidak memperbaiki jarak 6MWT secara bermakna dibandingkan program rehabilitasi standard, hanya mempercepat perbaikan fungsi paru. ......Background : Patients undergoing coronary artery bypass graft (CABG) surgery develop pulmonary dysfunction due to inflammation and respiratory muscle weakness, hence ventilation/perfusion mismatch occurs then leads to low functional capacity. Respiratory training has been identified to improve functional capacity by recovering pulmonary function faster. Objectives : To study respiratory training benefit as adjuvant training in 2 phase of cardiovascular rehabilitation program after CABG for improving functional capacity measured by 6 minutes walk test/6MWT distance. Methods : This single blind clinical trial randomized subjects into intervention group or standard group. Intervention group received respiratory training up to 60% of maximum inspiratory volume (MIV) as an adjuvant to the standard program. Then MIV and 6MWT distance were evaluated. Result : Twenty eight subjects participated, 14 subjects were in intervention group and others were in standard group. Six MWT distance improvement is not significantly different between groups (67 ± 62.9 VS. 53 ± 65.7 meters respectively; p = 0.556 ). However, intervention group experienced better MIV improvement compared to standard group (1357 ± 691.4 VS. 589 ± 411.5 mL; p = <0.001 ). Conclusion : Respiratory training as adjuvant training did not improve 6MWT distance among patients undergoing CABG surgery significantly.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ikbal Gentar Alam
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Pasien bedah dengan sakit kritis yang dirawat di ICU cukup sering dijumpai dan menggunakan sumber daya rumah sakit lebih banyak. Sakit kritis dapat menyebabkan pasien menjadi malnutrisi. Malnutrisi pada pasien yang dirawat di ICU akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Terapi nutrisi untuk pasien sakit kritis pascabedah bertujuan untuk menurunkan stres metabolik, memodulasi respons imun, dan membantu penyembuhan lukaHasil dan Pembahasan: Pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis pascabedah bergantung pada kondisi klinis pasien. Serial kasus ini menguraikan dua pasien dengan bedah mayor gastrointestinal, satu pasien dengan pembedahan pembuluh darah besar, dan satu pasien dengan pembedahan besar daerah leher sampai mediastinum. Selama perawatan di ICU semua pasien diberikan terapi nutrisi dengan target energi 30 kkal/kg BB dan protein 1,2 ndash;2,0 g/kg BB per hari. Nutrisi diberikan secara optimal sesuai kondisi pasien untuk mendukung perbaikan klinis pasien. Terapi nutrisi secara optimal pada sakit kritis pascabedah dapat menurunkan katabolisme, memodulasi sistem imun, mencegah malnutrisi, serta menurunkan morbiditas dan mortalitasKesimpulan: Terapi nutrisi yang optimal pada pasien sakit kritis pascabedah dapat membantu perbaikan klinis
ABSTRACT
Introduction Surgical patients with critical illness admittted to the ICU are fairly common and use more hospital resources. Critical illness can cause the patients become malnourished. Malnutrition in the ICU patients will increase the morbidity and mortality rates. Nutrition therapy in critically ill postoperative patients aims to reduce metabolic stress, modulate the immune response, and improve wound healingResults and Discussion Fulfilment of nutrition requirements in postoperative critically ill patients depends on the patient 39 s clinical condition. This serial case describes two patients with major gastrointestinal surgery, one patient with major blood vessel surgery, and one patient with large neck and mediastinum surgery. During treatment in the ICU all patients were given nutrition therapy with the target energy of 30 kcal kg and protein 1.2 ndash 2.0 g kg daily. Nutrition is given optimally adjusted to patients rsquo condition to support the patient clinical improvement. Optimal nutrition therapy in critically ill postsurgical patients can reduce catabolism, modulate the immune system, prevent malnutrition, and decrease morbidity and mortality rates.Conclusion Optimal nutrition therapy in critically ill postsurgical patients can support clinical improvement
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yasir Mustafa Banadji
Abstrak :
Latar Belakang: Nyeri akut pasca-bedah pada anak-anak sering tidak ditangani dengan baik karena dogma yang popular adalah anak-anak tidak merasakan nyeri. Penanganan nyeri yang tidak adekuat mencetus respon stress dan biokimia dan menyebabkan gangguan fungsi metabolisme, kardiovaskular, pulmoner, neuroendokrin, gastrointestinal, dan imunologi. Selama ini, penanganan nyeri akut pascabedah anak-anak di bawah umbilikus dilakukan dengan pendekatan multimodal dengan teknik anestesia regional dan obat analgetika sistemik. Asetaminofen merupakan obat analgetika yang paling sering digunakan untuk menangani nyeri derajat ringan-sedang. Metamizol juga telah banyak digunakan sebagai obat analgetika yang efektif untuk nyeri pasca-bedah. Meski demikian, untuk penanganan nyeri pasca-bedah, penggunaan metamizol tidak sepopuler asetaminofen di Indonesia. Di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo, penggunaan asetaminofen intravena sebagai analgetika pascabedah direstriksi berdasarkan formularium nasional. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai efektivitas metamizol 15 mg/KgBB IV dan asetaminofen 15 mg/KgBB IV untuk analgesia pascabedah di bawah umbilikus pada pasien pediatrik. Pengambilan sampel penelitian dilakukan pada bulan April 2019-Oktober 2019 secara consecutive sampling. Enam puluh empat subjek penelitian memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti penelitian, kemudian dirandomisasi menjadi dua kelompok. Subjek menjalani pembedahan dengan pembiusan umum dan injeksi bupivakain 0,25% secara kaudal. Sebelum pembedahan berakhir, subjek mendapatkan regimen analgetika asetaminofen 15 mg/KgBB IV atau metamizol 15 mg/KgBB IV sesuai kelompok randomisasi. Pemberian regimen analgetika diulang setiap 8 jam dalam 24 jam pertama pasca-bedah. Dilakukan penilaian skala FLACC saat istirahat dan bergerak pada saat pasien pulih sadar, jam ke-4, jam ke-6, jam k- 12, dan jam ke-24 pascabedah. Dilakukan pula pencatatan kebutuhan fentanil, saat pertama pasien membutuhkan fentanil, dan efek samping yang timbul selama 24 jam pertama pascabedah. Hasil: Derajat nyeri (skala FLACC) pada saat istirahat maupun bergerak tidak berbeda bermakna antar kedua kelompok pada saat pasien pulih sadar, jam ke-4, 6, 12, dan 24 pascabedah. Tidak terdapat subjek yang membutuhkan fentanil rescue selama 24 jam pertama pacabedah pada kelompok metamizol. Terdapat 4 dari 32 subjek yang membutuhkan fentanil rescue pada kelompok asetaminofen dengan saat pertama membutuhkan fentanil rescue berkisar antara 300 hingga 700 menit pascabedah. Angka kejadian mual dan muntah lebih banyak terjadi pada kelompok asetaminofen (mual: 31,3% vs 18,8%; Muntah: 25% vs 12,5%). Simpulan: Metamizol 15 mg/kgBB IV tidak lebih efektif dibandingkan dengan asetaminofen 15 mg/kgBB IV untuk analgesia pascabedah di bawah umbilikus pada pasien pediatrik.
Background: Acute post-operative pain in pediatric patients often poorly handled due to the popular paradigm that children doesnt feel pain. Inadequate pain treatment can induce stress and biochemical response and cause metabolism, cardiovascular, pulmonary, neuro-endocrine, gastrointestinal, and immunological dysfuctions. Nowadays, pediatric pain management for post-operative pain below umbilical surgery is done in multimodal fashion with combination of regional anesthesia and systemic analgesia drugs. Acetaminophen is often used for analgesia on mild-moderate pain. Metamizole also has been used and quite effective for post-operative analgesia. However, metamizole is not as popular as acetaminophen for post-operative analgesia in Indonesia. In dr.Cipto Mangunkusumo Hospital, acetaminophen for post-operative analgesia is restricted due to National Drugs Regulation. Methods: We conducted this double-blinded clinical trial to evaluate effectiveness of intravenous metamizole 15 mg/KgBW and intravenous acetaminophen 15 mg/KgBW for post-operative analgesia of below umbilical surgery in pediatric patients. A consecutive sampling was done from April 2019 to October 2019. Sixtyfour subjects that meet inclusion criteria and had consent randomized into 2 groups. The subjects had surgery with combination of general anesthesia and injection of caudal block bupivacaine 0.25%. Before surgery concluded, the subjects received analgesia regiment acetaminophen 15 mg/KgBW or metamizole 15 mg/KgBW according to their randomization group. The analgesia regiment was given again every 8 hours for 24 hours post-operative. The FLACC scale at rest and during movement were recorded at time of fully recover from anesthesia, 4-h, 6-h, 12-h, and 24-h post-operative. Fentanyl rescue requirement, moment of first time fentanyl rescue requirement, dan the drugs side effect were also recorded for 24 hours post-operative. Result: FLACC scale at rest and during movement between two groups at fully recover from anesthesia, 4-h, 6-h, 12-h, and 24-h post-operative was not significantly different. No subject needed fentanyl rescue during 24 hours postoperative in metamizole group. There was 4 of 32 subjects needed fentanyl rescue in acetaminophen group with first fentanyl rescue requirement occur between 300 to 700 minutes post-operative. The incidence of nausea and vomiting ws higher in acetaminophen group than metamizole group (nausea: 31.3% vs 18.8%; vomiting: 25% vs 12.5%) Conclusion: Metamizole 15 mg/KgBW is not more effective compared to acetaminophen 15 mg/KgBW for post-operative analgesia of below umbilical surgery in pediatric patients
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mely Mudjahidah
Abstrak :
Persentase penduduk usia lanjut di Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat dalam lima dekade terakhir. Pasien usia lanjut yang akan menjalani pembedahan mempunyai risiko mengalami komplikasi pascabedah. Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G) dan klasifikasi ASA dapat digunakan untuk mengevaluasi kesehatan pasien geriatri. Program prehabilitasi yang direkomendasikan oleh berbagai guideline perioperatif untuk memperbaiki kesehatan fisik dan status fungsional preoperatif dapat meningkatkan pemulihan pascabedah dan luaran klinis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komponen P3G, status ASA dan prehabilitasi preoperatif terhadap komplikasi pascabedah 30 hari pasien usia lanjut yang menjalani pembedahan artroplasti panggul dan lutut elektif dan untuk mengembangkan model prediksi komplikasi pascabedah 30 hari berdasarkan faktor prediktor tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif yang menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien usia lanjut yang menjalani pembedahan artroplasti panggul dan lutut elektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Januari 2017 – Oktober 2022. Performa pengembangan model prediksi komplikasi pascabedah 30 hari dilakukan dengan menentukan nilai kalibrasi (uji Hosmer-Lemeshow) dan diskriminasi (Area Under the Curve [AUC]). Didapatkan 144 pasien yang telah memenuhi kriteria dan dapat dianalisis. Angka komplikasi pascabedah 30 hari sebesar 29,2%. Faktor yang dianalisis sebagai prediktor komplikasi di antaranya status depresi (HR=5,11; IK95% 2,549-10,244), status frailty (HR=2,44; IK95% 1,329-4,473), komorbiditas (HR=1,53; IK95% 0,786-2,982) serta prehabilitasi preoperatif (HR=1,77; IK95% 0,906-3,459). Model prediksi komplikasi pascabedah 30 hari memiliki kualitas kalibrasi dan diskriminasi yang baik dan cukup kuat [AUC 0,690 (p<0,001; IK 95% 0,586-0,794)]. Status depresi, status frailty, komorbiditas dan prehabilitasi preoperatif berhubungan dengan komplikasi pascabedah 30 hari  pada pasien usia lanjut yang menjalani pembedahan artroplasti panggul dan lutut elektif. Model prediksi komplikasi pascabedah 30 hari memiliki kualitas kalibrasi dan diskriminasi yang baik dan cukup kuat. ......The percentage of the geriatric population in Indonesia has roughly doubled in the last five decades. Elderly patients who will undergo surgery are at risk of experiencing postoperative complications. The Comprehensive Geriatric Assessment (CGA) and ASA Classification can be used to evaluate the health of geriatric patients. Prehabilitation programs that various preoperative guidelines suggest to improve physical health and preoperative functional status may increase the rate of postoperative recovery and clinical outcomes. This study aims at determining the relationship between the CGA components, ASA status, and preoperative prehabilitation on complications within 30 days after the surgery in elderly patients undergoing elective hip and knee arthroplasty, as well as developing a prediction model for 30-day postoperative complications. This research is a retrospective cohort study using secondary data from medical records and interviews with elderly patients who underwent elective hip and knee arthroplasty at Cipto Mangunkusumo Hospital between January 2017 and October 2022. The performance of the 30-day postoperative complication predictor model was measured by determining the calibration (Hosmer-Lemeshow test) and discrimination (Area Under the Curve [AUCC]) value. 144 patients who met the criteria were analyzed. The 30-day postoperative complication rate was 29.9%. The factors analyzed as complication predictors including depression status (HR=5.11; 95%CI 2.549-10.244), frailty status (HR=2.44; 95%CI 1.329-4.473), comorbidity (HR=1.53; 95%CI 0.786-2.982) and preoperative prehabilitation (HR=1.77; 95%CI 0.906-3.459). The 30-day postoperative complication prediction model has good and strong enough calibration and discrimination qualities [AUC 0.690 (p<0.001; 95% CI 0.586-0.794)]. Depressive status, frailty status, comorbidity, and preoperative prehabilitation were significantly associated with 30-day postoperative complications in elderly patients undergoing elective hip and knee arthroplasty surgery. The 30-day postoperative complication prediction model has good and strong enough calibration and discrimination qualities.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>