Ditemukan 1 dokumen yang sesuai dengan query
Salsabila Puti Refia
"Sebagai bagian dari keberagaman bangsa, Suku Minangkabau yang mendominasi populasi di Sumatera Barat dikenal sangat memegang adat istiadatnya, salah satunya adalah Tanah Ulayat atau tanah yang kepemilikannya menjadi hak masyarakat adat dan diwariskan secara turun temurun. Dalam kenyataannya, keberadaan Tanah Ulayat ini tidak menyurutkan konflik atasnya. Pemerintah Kota Bukittinggi terkesan bertindak sepihak, akibat ketiadaan musyawarah antara pemerintah dengan pihak Sarikat 40 Nagari. Tidak hanya konflik atas kepemilikan lahan, kondisi tersebut juga turut menimbulkan masalah sewa kios di pasar tersebut. Tuntutan atas pengembalian hak didengungkan oleh pedagang pasar maupun Sarikat 40 Nagari itu sendiri. Skripsi ini bertujuan menganalisis pengelolaan konflik oleh Pemerintah Kota Bukittinggi; dalam perselisihan kepemilikan kios dan lahan yang muncul pasca pembangunan kembali Pasar Atas, setelah terbakar pada tahun 2017. Pendekatan kualitatif digunakan dalam skripsi ini. Data dan informasi yang digunakan bersumber dari wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Pemerintah Kota Bukittinggi sebagai pemegang sah lahan Pasar Atas, telah melakukan sejumlah upaya pengelolaan konflik tersebut, seperti membangun pasar penampungan serta mengundang pedagang dalam rangka daftar ulang untuk mengisi kios, disertai sosialisasi terhadap pembagian jenis dagangan sesuai lapak; walaupun akhirnya masalah ini dapat dikatakan belum benar-benar selesai, oleh karena belum terpenuhinya permintaan pedagang atas hak yang sama seperti sebelum insiden kebakaran.
As part of the diversity of the nation, the Minangkabau who dominate the population in West Sumatra are known to hold their customs, one of which is Tanah Ulayat or land whose ownership is the right of indigenous peoples and is passed down from generation to generation. In reality, the existence of this Communal Land did not reduce the conflict over it. The Bukittinggi City Government seemed to act unilaterally, due to the absence of deliberation between the government and the Sarikat 40 Nagari. Not only conflicts over land ownership, this condition also causes problems in renting kiosks in the market. Demands for the return of rights were echoed by market traders and the Sarikat 40 Nagari itself. This thesis aims to analyze conflict management by the Bukittinggi City Government; in the dispute over the ownership of kiosks and land that arose after the rebuilding of Pasar Atas, after a fire in 2017. A qualitative approach was used in this thesis. The data and information used are sourced from in-depth interviews and literature studies. The results show that the Bukittinggi City Government as the legal holder of the Pasar Atas land, has made a number of efforts to manage the conflict, such as building a shelter market and inviting traders to re-register to fill kiosks, accompanied by socialization of the distribution of types of merchandise according to stalls; although in the end this problem can be said to have not been completely resolved, because the traders' requests for the same rights have not been fulfilled as before the fire incident."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library