Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nangoi Priscilla Francis
"Di Indonesia, Jakarta khususnya, kita kenal dengan keberadaan kelompok individu yang memiliki nama popular waria atau wanita-pria. Waria adalah individu yang memiliki jenis kelamin pria namun mengidentifikasikan dirinya serta berpenampilan selayaknya seorang wanita. Waria dapat disebut atau digolongkan ke dalam istilah transeksual, karena selain memiliki identifikasi sebagai seorang wanita, is juga mengubah penampilannya seperti seorang wanita, baik dari pakaian hingga bentuk tubuh. Hal ini dilakukannya dengan melakukan operasi ataupun melakukan suntikan hormon pada bagian-bagian tubuh tertentu sehingga semakin mirip dengan wanita. Operasi yang pada umumnya dilakukan oleh para waria adalah suntik payudara atau memasang silikon, operasi wajah (tulang pipi, dagu, hidung, dli.), dan juga pada bagian-bagian tubuh lainnya kecuali pada alat kelamin.
Keputusan seseorang untuk menentukan ia menjadi seorang waria ataukah tidak, terkait dengan istilah gender identity atau identitas jender. Identitas jender adalah proses dimana seseorang melakukan klasifikasi terhadap dirinya, apakah ia seorang wanita ataukah pria. Selama seorang anak menjalani proses pembentukan identitas jender, yang paling memiliki peran sebagai pembimbing anak adalah keluarga, terutama orang tua. Ketika anak dalam masa pengenalan jenis kelamin serta perannya, tugas utama dari prang tua adalah memperkenalkan hal-hal yang menunjang pembentukan identitas jender sesuai dengan jenis kelamin anak, seperti misalnya mainan, pakaian, gaga rambut, warna, dan lain sebagainya. Selain pengenalan terhadap obyek, hal lain yang juga sangat penting adalah pengenalan terhadap peran dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya.
Ayah dan ibu sebagai orang tua dalam keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan anak. Peran tersebut antara lain adalah untuk merawat anak, menjadi teman/companion bagi anak, mengajarkan anak mengenai nilai-nilai ataupun norma-norma terutama yang berkaitan dengan jender, menjadi tokoh model bagi anak, dan juga sebagai pencari nafkah untuk pemenuhan tuntutan ekonomi keluarga. Selain itu menurut Lamb (1997), hubungan ayah dan ibu sebagai pasangan suami istri dan orang tua juga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Terpenuhi atau tidaknya peran tersebut dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak, terutama identitas jender.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitati f, dengan teknik pengambilan data dengan wawancara dan observasi. Subyek penelitian ini ada 3 orang, yang pengambilan subyek dengan menggunakan teknik purposive sampling. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa instrument penelitian yaitu alat perekam, pedoman wawancara, lembar informed conscent, dan lembar Identitas diri.
Dari data yang didapat serta berdasarkan hasil analisis dapat terlihat bahwa terdapat kontribusi yang tidak sedikit dari peran orang tua terhadap pembentukan identitas jender anak. Pada setiap peran orang tua terdapat salah satu orang tua yang menonjol dalam memenuhi peran mereka. Salah seorang yang menonjol ini kemudian menjadi patokan anak dalam memandang orang tuanya. Pada responden penelitian sangat terlihat bahwa pemenuhan peran yang paling dinilai positif adalah ibu, dimana ibu sebagai orang yang dekat dengan anak, merawat anak, menerima anak, serta menjadi idola serta rontoh dari anak. Padahal mungkin ibu sebenarnya tidak memenuhi perannya dengan baik, namun karena dianggap menguntungkan anak sehingga dinilai positif oleh anak. Seperti misalnya ibu yang menerima keadaan anak apa adanya, atau juga ibu yang menjadi pembela anak. Pada ayah, terlihat bahwa dalam memenuhi perannya ayah lebih cenderung ditakuti karena ayah lebih banyak melakukan kontrol dengan hukuman fisik yang menyebabkan anak takut dan menghindar dari ayah, atau bahkan melawan ayah. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masing-masing peran orang tua sangat mempengaruhi pembentukan identitas jender anak, seperti pegajaran, pengawasan, kontrol, perhatian, role model, dan Iainnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggraini Soemadi
"Remaja merupakan asset masa depan bangsa, artinya remaja harus menjadi manusia masa depan yang dapat memimpin bangsa, untuk itu remaja dituntut berkualitas. Tetapi pada kenyataannya seringkali remaja justru membuat keresahan di masyarakat salah satunya tawuran remaja.
Berbagai penyebab terjadinya tawuran, penelitian ini difokuskan pada Pola asuh keluarga dan pergaulan teman sebaya pada remaja yang melakukan tawuran dengan melihat pola asuh keluarga dan pergaulan dengan teman sebaya. Adapun bertujuan (1) mendapatkan gambaran pola asuh keluarga dalam kaitannya dengan remaja yang tawuran (2) mendapatkan gambaran lingkungan pertemanan berkaitan dengan remaja yang tawuran (3) menemukan faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi timbulnya tawuran remaja.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan studi literatur dan wawancara, serta observasi. Pengambilan sample dengan menggunakan tehnik Purposive Sampling. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Agustus 2003 di STM ?X" Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh keluarga yang dilakukan keluarga siswa antara lain ijin keluar rumah, pelaksanaan sholat, pelaksanaan puasa, tidak dilaksanakan secara rutin. Hal ini disebabkan karena orangtua yang sibuk sehingga tidak ada perhatian untuk anak, orangtua tidak mengajarkan sholat, dan tidak rutin mengikuti puasa. Orangtua tidak memberi sanksi apapun walaupun tahu perilaku anak tidak disiplin. Dalam hal pelaksanaan pekerjaan dalam rumah tangga, anak melakukan pekerjaan rumah tangga.
Pertemuan antar keluarga untuk berkomunikasi, tidak dimanfaatkan oleh sebagian besar anak untuk mengeluarkan pendapat karena situasi dalam keluarga yang tidak mendukung misalnya keributan dalam keluarga dan kelelahan orangtua dalam bekerja. Dari hal tersebut yang dilakukan adalah pola asuh permisif dimana orangtua membiarkan anak berbuat sesuatu tanpa bimbingan dan pengarahan.
Faktor lain yang memicu tawuran adalah pertemuan remaja, dimana sebagian besar waktunya berada dalam lingkungan teman, demikian halnya dengan para siswa. Sebagian besar siswa kegiatannya sehari hari sehabis pulang sekolah khususnya sering nongkrong, bergerombol dan pulang pada malam hari. Pembicaraan mereka umumnya berkisar tentang penyerangan, dan apabila ada kelompok lain yang menyerang, merekapun ikut menyerang. Teman-teman informan siswa kadang-kadang juga ikut dalam tawuran tersebut. Kedekatan tempat tinggal dan seringnya mereka bertemu membuat ikatan kuat antar mereka. Dan hal tersebut teman membawa pengaruh perilaku remaja.
Selain faktor pola asuh keluarga dan pergaulan dengan teman ada faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi perilaku anak yaitu kemiskinan, sekolah dan pihak sekolah. Kemiskinan ditunjukkan dengan tempat tinggal keluarga siswa pada daerah bantaran kali dan pemukiman kumuh yang berdesak desakan. Dimana pada keluarga yang tinggal di bantaran kali dan rel kereta api, tempat tinggal dengan dinding yang beralaskan plastik dan dos bekas. Sementara itu 3 siswa dimana keluarga bertempat tinggal di daerah pemukiman padat. Kondisi lingkungan menyulitkan orangtua dan siswa untuk berinteraksi.
Faktor lain adalah sekolah, dimana sekolah kurang tegas dalam membuat aturan misalnya pengambilan report, dan pengiriman surat teguran kepada orangtua. Dalam pengambilan raport, sekolah tidak mewajibkan orangtua yang mengambil raport sehingga raport boleh diambil siapa saja, sehingga orangtua bisa mewakilkan siapa saja. Sistem administrasi sekolah dalam pengiriman surat ke orangtua tidak menggunakan staf sekolah tetapi diberikan kepada siswa sehingga surat tidak sampai dan komunikasi orangtua dengan sekolahpun tidak ada."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Butarbutar, Pagar
"Penulisan tugas akhir ini mengenai program pelatihan bagi pegawai pemasyarakatan dalam hal meningkatkan kemampuan penerapan tugas-tugas perkembangan keluarga bagi anak dalam sistem pembinaan di Lapas Anak Pria.
Minat untuk memilih judul tulisan ini berawal dari kenyataan bahwa akhir-akhir ini banyak timbul masalah hubungan antar anak dengan orang tuanya. Seringkali permasalahan ini menjadi lebih besar, ketika anak sampai melakukan perbuatan melanggar hukum, dipidana dan akhirnya menjalani pidana di Lapas. Implikasi penjatuhan pidana, menimbulkan permasalahan tersendiri bagi anak yaitu hidup tanpa kehadiran orang tua atau keluarganya. Peristiwa ini sangat merugikan proses pertumbuhan kepribadiannya. Ketidakhadiran ayah atau ibu (selanjutnya disebut orang tua) dalam Lapas, memberikan gambaran bahwa, mereka harus menerima kenyataaan hidup tanpa kehadiran orang tua sampai masa pidana selesai dijalankan.
Hidup tanpa kehadiran orang tua di Lapas, memberikan gambaran bahwa, pemenuhan kebutuhan tugas perkembangan anak usia antara 13 (tiga belas) sampai 18 (delapan belas) tahun (selanjutnya disebut remaja) menjadi tanggung jawab Lapas. Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Berdasarkan observasi dan penerapan teknik kelompok diskusi fokus, diperoleh kenyataan bahwa, praktek pembinaan narapidana anak (remaja), belum menyentuh pada teori-teori perkembangan anak. Perlakuan petugas masih terkesan menggunakan pendekatan keamanan, pola pembinaan yang diterapkan
hampir tidak ada perbedaannya dengan narapidana dewasa, perilaku kekerasan fisik sering terjadi, terbatasnya waktu petugas mendengar keluhan; rendahnya kemampuan petugas memahami persoalan anak, anak merasa terlantar, anak (remaja) kehilangan tokoh atau model, petugas tidak peduli terhadap keberhasilan pembinaan, masih banyaknya waktu luang anak tanpa kegiatan yang positif bagi anak, adalah kenyataan dan permasalahan yang terlihat jelas di Lapas.
Belajar dari kenyataan tersebut diatas, penulis meyakinkan asumsi awal, bahwa pembinaan belum memenuhi aspek psikologis remaja. Jika permasalahan ini tidak ditangani, dipastikan, remaja akan mengalami permasalahan lebih dalam antara lain: kesulitan menyesuaikan diri di masyarakat, padahal masyarakat itu sendiri telah terlebih dahulu memberikan stigma sebagai bekas pelanggar hukum. Akibat lain adalah: tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis sesuai tugas perkembangan remaja, sehinga akan membuat remaja tidak mempunyai konsep diri, tidak mandiri. tidak matang dalam kepribadian, apalagi aspek intelektual. Kondisi yang tidak menguntungkan ini sangat berbahaya bagi masa depan remaja.
Oleh karena itu. guna mengurangi kelemahan pembinaan narapidana remaja di Lapas, penulis mengajukan usulan rancangan pemecahan masalah berupa penerapan togas perkembangan keluarga bagi remaja guna menghindari ketidakhadiran orang tua di Lapas. Rencana ini dilakukan dalam bentuk pelatihan bagi pegawai untuk memberikan keterampilan dan pengetahuan melalui penerapan peran pengganti sebagai orang tua ayah atau ibu bagi remaja di Lapas. Rencana pelatihan ini juga sangat bermanfaat, karena disamping melatih pegawai, pembina atau wali, juga memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki remaja dalam usia perkembangannya, kemudian belajar secara bersama-sama kelompoknya (peer group) di Lapas."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Fitriya
"Studi ini bertujuan untuk mengetahui peran orang tua dalam mendukung pendidikan karakter di Sekolah Karakter Indonesia Heritage Foundation. Hasil penelitian ini adalah peran-peran orang tua dalam mendukung pendidikan karakter yang diterapkan pada siswa Kelompok Bermain Sekolah Karakter Indonesia Heritage Foundation (IHF), serta hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan peran orang tua tersebut. Dalam mendukung pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah, orang tua dapat menjalankan perannya dengan memberikan kenyamanan pada anak, menjadi panutan bagi anak, memberikan pemahaman mengenai pendidikan karakter pada anak, serta menjalin hubungan dengan dengan guru di sekolah.

This study aim to find out the role of parents in supporting Sekolah Karakter, Indonesia Heritage Foundation. The result of this study will show the type of parent’s role and the obstacles occur to support character education that is held in a play group of Sekolah Karakter, Indonesia Heritaga Foundation (IHF). Parents can do their roles by giving affection, being a role model, giving education related to tha character education in children, and having good relation between teacher and school in order to support the character education in school.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56304
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widayatri Sekka Udaranti
"Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Papalia & Olds, 1998). Pada masa ini terjadi banyak perubahan. Remaja membutuhkan penyesuaian terhadap perubahan tersebut. Penyesuaian terhadap perubahan yang dialami oleh remaja pada umumnya, juga terjadi pada remaja yang mengalami keterbatasan penglihatan atau yang biasa disebut tuna-netra. Huurre dan Aro (1998) menyebutkan bahwa remaja tuna netra tidak hanya menghadapi tantangan perkembangan yang umum terjadi tetapi juga ditambah tantangan berkaitan dengan keterbatasan fisik yang dimiliki.
Dengan berbagai masalah dan tantangan yang dialami, sedikit banyak juga berpengaruh terhadap kehidupan akademis remaja tuna netra (Chess dan Thomas, 1987). Ini akan dirasakan semakin sulit mengingat pada masa remaja, mereka sudah memasuki sekolah tingkat menengah di mana pelajaran sudah semakin kompleks.
Berkaitan dengan kehidupan akademis, salah satu hal yang panting adalah mengembangkan keterlibatan dalam tugas-tugas akademis (academic engagement). Keterlibatan akademis tersebut, seringkali dikaitkan dengan dukungan orang-orang di sekitar remaja. Salah satu konsep yang menjelaskan mengenai hubungan yang dekat dengan orang-orang yang signifikan (significant others) adalah konsep kelekatan (attachment). Kelekatan didefinisikan sebagai ikatan afeksional antara individu dengan orang-orang yang signifikan baginya (Cotterell, 1992).
Peneliti bermaksud meninjau sumbangan kelekatan dengan orang tua, guru, dan teman terhadap keterlibatan akademis pada remaja tuna netra yang duduk di sekolah menengah.
Subyek dalam penelitian ini adalah siswa tuna netra berusia 13-19 tahun yang duduk di tingkat sekolah menengah. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling, yaitu mengambil sampel yang sudah tersedia (Kerlinger & Lee, 2000). Subyek diperoleh dari tiga SLB-A yaitu dari SLB-A Negeri Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta, PSBN Tan Miyat Bekasi, dan SLB-A Negeri Pajajaran Bandung.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kelekatan dengan orangtua, guru, dan teman adalah modifikasi Inventory of Parent and Peer Attachment yang dikembangkan oleh Aiifssden dan Greenberg (dalam Cotterell, 1992), ditambah dengan skala untuk mengukur kelekatan dengan guru. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur keterlibatan akademis adalah modifikasi instrumen RAPS-S (Research Assessment Package for Schools-Student Report) yang dikembangkan oleh Institute for Research and Reform in Education (1998), khusus pada domain yang mengukur keterlibatan akademis.
Adapun kesimpulan yang diperoleh dan analisis penelitian ini adalah :
1. Kelekatan dengan orangtua, guru, dan teman, secara bersama-sama memberikan sumbangan bermakna terhadap keterlibatan akademis remaja tuna netra yang berada di sekolah menengah.
2. Kelekatan dengan orangtua memberikan sumbangan bermakna terhadap keterlibatan akademis remaja tuna netra yang berada di sekolah menengah.
3. Kelekatan dengan guru tidak memberikan sumbangan bermakna terhadap keterlibatan akademis remaja tuna netra yang berada di sekolah menengah.
4. Kelekatan dengan teman memberikan sumbangan bermakna terhadap keterlibatan akademis remaja tuna netra yang berada di sekolah menengah.
Berdasarkan adanya berbagai keterbatasan dalam penyelesaian penelitian ini, diajukan beberapa saran. Pertama, ada baiknya apabila dilakukan penelitian sejenis dengan memperluas daerah pengambilan sampel. Kedua, penelitian ini dapat dikatakan sebagai salah satu penelitian awal yang berusaha mendapatkan gambaran umum tentang kaitan kelekatan dan keterlibatan akademis remaja tuna netra. Selanjutnya, perlu diadakan penelitian kualitatif yang rnenggali lebih mendalam kualitas kelekatan remaja tuna netra serta perannya dalam keterlibatan akademis. Saran ketiga berkaitan dengan perlu adanya usaha mengembangkan kelekatan orangtua dengan individu tuna netra sejak dini. Saran keempat mengenai perlunya pendidik mengupayakan terbinanya hubungan yang berkualitas antara remaja tuna netra dengan teman-temannya. Saran terakhir berkenaan dengan perlunya penelitian lanjutan yang secara khusus meninjau peran guru bagi remaja tuna netra di sekolah menengah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18609
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library