Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alif Faisal Athallah
"Pada masa Perang Dingin, baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet sangat bergantung pada propaganda untuk mempromosikan ideologinya. Dalam hal ini bagi propagandis Amerika Serikat yang ingin menyebarkan ide anti-komunis kepada publik, biasanya menggunakan berbagai media massa termasuk buku komik. Penyebaran ide atau pesan anti-komunis melalui komik tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat, melainkan dilakukan oleh para penerbit swasta. Hal ini karena seiring dengan meningkatnya sentimen anti-komunis di Amerika Serikat akibat Perang Dingin membuat para penerbit komik berupaya untuk mendapatkan keuntungan serta menunjukkan patriotisme mereka dengan cara memasukkan muatan anti-komunis di dalam komiknya. Salah satu komik yang terbit dengan muatan anti-komunis adalah komik pahlawan super Sub-Mariner yang rilis pada tahun 1953-1955 di Amerika Serikat. Artikel ini fokus menganalisis bagaimana muatan propaganda anti-komunis digambarkan pada komik pahlawan super Sub-Mariner yang rilis pada tahun 1953-1955 di Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari tahap pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi, dan historiografi, kemudian untuk menganalisis komik Sub-Mariner digunakan pendekatan semiotik. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun tidak ada intervensi langsung dari pemerintah AS dalam proses pembuatan komik Sub-Mariner di tahun 1953-1955, ia mencerminkan dan menyebarkan sentimen anti-komunis masyarakat Amerika Serikat melalui indoktrinasi eksepsionalisme Amerika dan kebijakan pembendungan (Containment). Oleh karena itu secara tidak langsung komik Sub-Mariner menjadi alat propaganda anti-komunis yang membuat para pembacanya mengidentifikasi komunis sebagai ancaman terhadap Amerika Serikat dan meningkatkan pandangan anti-komunis di dalam masyarakat Amerika.

During the Cold War, both the United States and the Soviet Union heavily relied on propaganda to promote their ideologies. In this regard, American propagandists who disseminated anti-communist ideas to the public often used various mass media, including comic books. The dissemination of anti-communist ideas and messages through comics was not only carried out by the U.S. government but also by private publishers. As anti-communist sentiment in the United States grew due to the Cold War, comic publishers sought to profit and demonstrate their patriotism by incorporating anti-communist content into their comics. One such comic that featured anti-communist content was the Sub-Mariner superhero comic, which was released in the United States from 1953 to 1955. This article focuses on analyzing how anti-communist propaganda was depicted in the Sub-Mariner superhero comics released from 1953 to 1955 in the United States. The research employs historical research methods that include topic selection, source collection, verification, interpretation, and historiography. Additionally, a semiotic approach was used to analyze the Sub-Mariner comics. This study finds that although there was no direct intervention from the U.S. government in the creation process of the Sub-Mariner comics from 1953 to 1955, the comics reflected and disseminated anti-communist sentiments of American society through the indoctrination of American exceptionalism and the containment policy. Thus, indirectly, the Sub-Mariner comics became an anti-communist propaganda tool, prompting readers to identify communism as a threat to the United States and increasing anti-communist views within American society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurani Salikha
"Walaupun komik pahlawan super sudah ada di Amerika Serikat sejak awal pertengahan abad ke-20, para pahlawan super tersebut baru benar-benar menjadi figur yang signifikan dalam budaya populer di abad ke-21. Hal ini terbantukan oleh dibuatnya film-film berdasarkan tokoh-tokoh tersebut di layar lebar. Salah satu pahlawan super yang paling menonjol adalah Spider-
Man. Spider-Man: Homecoming (2017) dan Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018), secara berurutan, adalah franchise ke-3 dan ke-4 dari film Spider-Man dalam kurun waktu 17 tahun.
Popularitas Spider-Man menjadikannya objek yang menarik untuk diteliti, karena berarti pengaruhnya besar dalam memproduksi dan mereproduksi norma-norma tertentu dalam masyarakat. Artikel ini ditulis dengan tujuan melihat bagaimana film-film tersebut mengikuti atau menolak norma hegemonic masculinity. Dengan menggunakan analisis tekstual dan semiotik, studi ini menemukan bahwa Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) lebih
progresif dalam representasi maskulinitasnya daripada Spider-Man: Homecoming (2017). Hal ini dihubungkan dengan adanya varian yang lebih beragam dalam wacana maskulinitasnya. Studi ini diharapkan dapat mendukung pergerakan yang menginginkan adanya representasi
yang lebih beragam dalam genre film pahlawan super.

Even though American comic book superheroes have existed since the late 1930s, it is in the 21st century that they have become truly prominent icons of popular culture. This rise in
popularity is helped greatly by their adaptation into the big screen. One superhero that stands out is Spider-Man. Spider-Man: Homecoming (2017) and Spider-Man: Into the Spider-Verse
(2018) are the third and fourth respective iterations of the Spider-Man movie franchise within the span of 17 years. Spider-Mans popularity makes it an interesting case study, as it has a
significant influence in producing and reproducing certain societal ideas. This article aims to examine how those movies conform to or resist hegemonic masculinity in their portrayal of the
male lead characters masculinities. Incorporating textual and semiotic analysis, this study has found that Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) represents a more progressive portrayal of masculinity than Spider-Man: Homecoming (2017), attributing it to its inclusion of diversity in the discourse of masculinity. This study is intended to come in support of the movement of calling for more diverse representation in the superhero movie genre.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library