Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Verita Dewi
"Skripsi ini membahas mengenai Asas Rebus Sic Stantibus sebagai alat untuk mengantisipasi perubahan keadaan secara fundamental serta penerapannya dalam kasus, dengan metode penelitian kepustakaan dan data pendukung tambahan berupa wawancara. Pada dasarnya para pihak dalam perjanjian tunduk pada sifat mengikat perjanjian (asas Pacta Sunt Servanda). Namun hal tersebut bukanlah hal yang bersifat mutlak. Dalam perkembangannya, asas Rebus Sic Stantibus menjelma kedalam berbagai istilah, seperti hardship dalam UNIDROIT Principles. Asas Rebus Sic Stantibus/hardship dapat dijadikan dasar penyesuaian ataupun pengakhiran perjanjian akibat perubahan keadaan fundamental selama memenuhi syarat-syarat maupun unsur-unsurnya.
Indonesia sendiri tidak mengadopsi atau menerapkan asas Rebus Sic Stantibus melainkan hanya menerapkan force majeure (keadaan memaksa) dalam KUHPerdata untuk mengantisipasi ataupun menyelesaikan permasalahan akibat perubahan keadaan, meskipun secara beririsan memiliki kesamaan namun dalam beberapa hal kedua asas tersebut berbeda. Asas Rebus Sic Stantibus/hardship sangat diperlukan untuk mengantisipasi perubahan keadaan yang bersifat fundamental, terutama untuk perjanjian berjangka waktu panjang dan nilai investasi yang besar.

This thesis explains about Rebus Sic Stantibus Principle as instrument to anticipate a fundamental change of circumtances and it application in the case, with use library research methods and additional supporting material such as interview. Basically, the parties have to obedient with the binding nature of agreement (Pacta Sunt Servanda Principle). But that isn't an absolute thing. During it development, Rebus Sic Stantibus Principle transformed into a variety of terms, such as hardship in UNIDROIT Principles. Hardship can be used as a basis adjustment or terminate of the agreement due to fundamental change of circumtances as long as fulfilled the terms and elements.
Indonesia didn't adopt or apply Rebus Sic Stantibus Principle, but only apply force majeure in the Civil Code to anticipate or resolve problems which is resulted from change of circumtance condition, although in overlap are similar but in some ways both of principles are different. Rebus Sic Stantibus/hardship clause is necessary to anticipate fundamental change of circumtances, especially for long-term agreement and high value investment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43458
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Rahmayanti
"Dalam hukum perjanjian dikenal adanya doktrin atau asas pacta sunt servanda, yang berarti bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Hal ini menjadikan suatu perikatan atau kontrak mengikat para pihak di dalamnya. Dalam pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia, Pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh BPMIGAS) dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) diikat dalam suatu kontrak yang bernama Kontrak Bagi Hasil. Keberlangsungan Kontrak Bagi Hasil Migas yang berjumlah sekitar 316 (tiga ratus enam belas) buah ini menjadi pertanyaan banyak pihak pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Judicial Review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Hal ini dikarenakan dalam putusan tersebut BPMIGAS dinyatakan inkonstitusional. Maka dengan memperhatikan asas pacta sunt servanda, kepastian hukum dan nilai investasi dalam industri yang merupakan penyumbang terbesar kedua setelah pajak bagi APBN setiap tahunnya, Pemerintah segera menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3135 K/08/MEM/2012 tanggal 13 November 2012 tentang Pengalihan Fungsi dan Organisasi dalam Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Presiden Nomor 09 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 09 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dengan demikian, pengusahaan migas yang diikat dalam Kontrak Bagi Hasil dapat tetap berlangsung.

In contractual law, there is recognized the doctrine or principle of pacta sunt servanda, defining that agreement constitutes the law governing the parties. This made an agreement or contract legally bind upon the parties thereto. In oil and gas exploitation, the Government (in this matter represented by Oil and gas Upstream Operating Body or BPMIGAS) and Coal Contract of Work (KKKS) is bound by a contract known as Production Sharing Contract. The continuity of Oil and Gas Production Sharing Contract about 316 (three hundred sixteen) has given rise to questions by many parties after the passing of Constitutional Court Decision Number 36/PUU-X/2012 regarding Judicial Review Number 22 of 2001 on Natural Oil and Gas on RI Constitution of 1945. As per the said court's decision, BPMIGAS was declared unconstitutional. In compliance with pacta sunt servanda principle, legal assurance and investment value in industry is the largest contributor after tax to the State Budget and Expenditures per year, the government immediately responds to the Constitutional Court Decision by issuing Presidential Regulation Number 95 of 2012 on Delegation of Duties and Functions of Upstream Oil and Gas Operations, Minister of Energy and Mineral Resources decision Number 3135 K/08/MEM/2012 of November 13 2012 on Transfer of Functions and Organization in Upstream Oil and Gas Operations, Presidential Regulation Number 09 of 2013 on Upstream Oil and Gas Operation Management and Minister of Energy and Mineral Resources Regulation Number 9 of 2013 on Organization and Administration of Special Task Force for Upstream Oil and Gas Business Activities. In this regard, therefore, oil and gas exploitation under Production Sharing Contract will continue."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43018
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamonangan, Lambertus Philo
"Tesis ini meneliti dan mengkaji mengenai kewenangan yang dimiliki oleh arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum yang telah terdapat Perjanjian arbitrase ditinjau dari peraturan perundangundangan yang berlaku. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Hasil penelitian adalah sesuai dengan kewenangan yang diberikan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 serta asas pacta sunt servanda arbitrase berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari suatu perjanjian yang telah terdapat Perjanjian arbitrase. Namun dalam implementasinya masih banyak ditemui pendapat pengadilan yang mengatakan bahwa pengadilan mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum meskipun para pihak telah sepakat dalam suatu perjanjian arbitrates untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Berdasarkan implementasi kewenangan arbitrase tersebut penelitian ini memberikan pandangan kepada lembaga peradilan untuk menghormati penggunaan lembaga penyelesaian arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak berdasarkan asas pacta sunt servanda.

This Thesis analyses the competence of arbitration to adjudicate tort dispute that is bound by arbitration agreement pursuant to the Indonesian regulation(s). the method of research used in this thesis is normative-juridical method. The research found that according to the Law No. 30 of 1999 Arbitration and Alternative Dispute Resolutions and the principle of pacta sunt servanda, arbitration is competent to adjudicate tort dispute that is bound by arbitration agreement. But in implementation there are some court decision which ruled that Indonesia District Court have the authority to adjudicate tort dispute although the parties have agreed to resolve tort dispute through arbitration. In regards to the implementation of the arbitration authority, this thesis suggest Indonesian Court to respect the use of arbitration that the parties have agreed to on the basis of pacta sunt servanda principle."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Putra Gemilang
"Asas Pacta Sunt Servanda dapat ditemukan pada Pasal 1338 KUH Perdata. Asas Pacta
Sunt Servanda terlahir karena adanya suatu kesepakatan atau perjanjian yang dibuat oleh
para pihak dengan sukarela serta dengan kehendak sendiri, tanpa paksaan atau penipuan
untuk mengikatkan diri satu dengan yang lainnya didalam suatu perjanjian, dan harus
dilakukan dengan itikad yang baik. Skripsi ini mengkaji penerapan peraturan perundangundangan
yang baru pada Kontrak Karya (KK) yang telah ditandatangani oleh PT
Freeport Indonesia dengan Pemerintah Republik Indonesia berlandaskan asas pacta sunt
servanda yang telah ada. Pemerintah Provinsi Papua menggugat PT Freeport Indonesia
pada Pengadilan Pajak dengan petitum PT Freeport Indonesia diminta untuk membayar
Pajak Air Permukaan berdasarkan SKDP-PAP Nomor 973/1713/Dispenda sebesar
Rp.357.696.000.000; (tiga ratus lima puluh tujuh miliar enam ratus sembilan puluh enam
juta rupiah). Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-79873/PP/M.XVB/06/2017 memutus
PT Freeport Indonesia bersalah dan harus membayar Pajak Air Permukaan SKDP-PAP
Nomor 973/1713/Dispenda sebesar Rp.357.696.000.000; (tiga ratus lima puluh tujuh
miliar enam ratus sembilan puluh enam juta rupiah). PT Freeport Indonesia mengajukan
banding namun ditolak oleh Pengadilan Pajak, karena Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put-79873/PP/M.XVB/06/2017 sudah berkekuatan hukum tetap. Langkah selanjutnya
yang dilakukan PT Freeport Indonesia adalah mengajukan Peninjauan Kembali ke
Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung memberikan putusan dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 335/B/PK/Pjk/2018 untuk mengabulkan permohonan
peninjauan kembali dan memutus untuk membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put-79873/PP/M.XVB/06/2017.

The Principle of Pacta Sunt Servanda can be found in Article 1338 Indonesian Civil Code.
The Principle of Pacta Sunt Servanda is born when two parties or more, voluntarily and
by their own will, without coercion and deception, to bind themselves one another in an
agreement or treaty, and must be performed by both parties with a good faith. This thesis
examines the application of new laws and regulations to the Contract of Work (CoW) that
has been signed by PT Freeport Indonesia with The Government of The Republic of
Indonesia based on the existing principle of pacta sunt servanda. Papua Provincial
Government files lawsuit against PT Freeport Indonesia on Tax Court asked to pay
Surface Water Tax in the amount of Rp.357.696.000.000; (three hundred fifty seven
billion six hundred ninety six million rupiah) based on SKDP-PAP Nomor
973/1713/Dispenda as prayer for relief. The Tax Court Decision Number Put-
79873/PP/M.XVB/06/2017 gives verdict that PT Freeport Indonesia was guilty and had
to pay the Surface Water Tax in the amount of Rp.357.696.000.000; (three hundred fifty
seven billion six hundred ninety six million rupiah) based on SKDP-PAP Nomor
973/1713/Dispenda. PT Freeport Indonesia file an appeal but rejected by The Tax Court,
because The Tax Court Decision Number Put-79873/PP/M.XVB/06/2017 is legally
binding. PT Freeport Indonesia taking a next step which is file a judicial review petition
to The Supreme Court, and The Supreme Court grants the petition for judicial review and
gives verdict to cancel The Tax Court Decision Number Put-79873/PP/M.XVB/06/2017.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirza Aulia
"Cost recovery merupakan hak Kontraktor Kontrak Kerja Sama ldquo;KKKS rdquo; dan merupakan biaya operasi yang tercantum di dalam work plan and budget WP B yang diajukan tiap tahunnya kepada badan pelaksana sekarang SKK Migas . Cost recovery dalam WP B merupakan bagian dari Kontrak Bagi Hasil ldquo;KBH rdquo; . Pemerintah Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh SKK Migas, merupakan pihak dalam KBH tersebut. Di dalam KBH, terdapat ketentuan bahwa KBH tidak dapat diubah dalam segala hal kecuali dengan persetujuan tertulis dari masing-masing pihak. Namun, berdasarkan PP No.79/2010, pemerintah Indonesia mewajibkan KKKS untuk melakukan penyesuaian biaya-biaya operasional yang tecantum di dalam KBH ketentuan terkait WP B. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan bahwa terlihat adanya ketidaktaatan terhadap azas pacta sunt servanda di dalam KBH yang telah dibuat.
Dalam meneliti permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan historis. Berdasarkan penelitian tersebut, penulis mengetahui bahwa i pengaturan terkait cost recovery terdapat di dalam KBH. Untuk mengatur biaya yang dimasukan sebagai cost recovery, Pemerintah Indonesia menerbitkan Permen ESDM No.22/2008 dan PP No.79/2010; ii penerapan azas pacta sunt servanda dalam KBH tidak terlaksana dengan baik karena ada kewajiban secara sepihak oleh Pemerintah Indonesia kepada KKKS untuk menyesuaikan KBH berdasarkan PP No. 79/2010; dan iii kebijakan mengenai cost recovery yang ada di dalam KBH dan peraturan perundang-undangan merupakan kebijakan yang ideal di industri migas saat ini.

Cost recovery is the right of the Contractor of Cooperation Contract KKKS and represents the operating costs listed in the work plan and budget WP B which is submitted annually to the implementing body currently called as SKK Migas . Cost recovery in WP B is part of Production Sharing Contract KBH . The Government of Indonesia, in this event represented by SKK Migas, is a party in KBH. In KBH, there is a provision that KBH can not be changed in any way except with the written consent of each party. However, pursuant to PP No.79 2010, the Government of Indonesia required KKKS to adjust the operational costs listed in KBH WP B provision. This matter arose the problem that it seems like there was the disobedience to the principle of pacta sunt servanda in the KBH which has been made.
The author used normative legal research methods with legislation and historical approaches for examining these problem. Based on the research, the author knew that i the arrangement of cost recovery is contained in KBH. The Government of Indonesia issued Permen ESDM No.22 2008 and PP No.79 2010 to manage the expenditure included as cost recovery ii the application of the principle of pacta sunt servanda in KBH is not well implemented due to there is an unilateral obligation by the Government of Indonesia to KKKS to adjust KBH based on PP No. 79 2010 and iii the policy on cost recovery which was in the KBH and law and regulation is currently an ideal policy in oil and gas industry.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Claudia
"Perbedaan hukum nasional masing – masing negara anggota terhadap penerapan aturan perjanjian internasional pada negaranya umumnya menghasilkan perbedaan jangka waktu terhadap implementasi perjanjian internasional. Hal ini kemudian menimbulkan kesulitan bagi para negara anggota untuk menyeragamkan aturan tersebut demi tercapainya maksud dan tujuan dalam perjanjian, khususnya aturan teknis yang memerlukan tanggapan cepat para negara anggota untuk segera mengimplementasikannya. Maka dari itu, beberapa perjanjian internasional serta organisasi internasional layaknya International Maritime Organization memperkenalkan sistem tacit acceptance atau penerimaan secara diam – diam sebagai salah mekanisme pilihan bagi negara untuk tunduk. Penggunaan mekanisme tacit acceptance kemudian menjadi salah satu opsi bagi para pihak dalam mempergunakan aturan perjanjian internasional pada saat yang mendesak dan instrumen penundukkan secara eksplisit tidak mungkin dilakukan. Metode penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif dengan tujuan untuk melihat bagaimana implementasi tacit acceptance melalui beragam jenis tacit pada perjanjian internasional, serta bagaimana negara dan perjanjian internasional mendefinisikan dan mempergunakan tacit acceptance. Berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan, ditemukan kesimpulan bahwa mekanisme tacit pada umumnya dapat diberlakukan hanya kepada negara anggota ataupun para pihak yang dianggap layak oleh perjanjian internasional ataupun putusan pengadilan. Walaupun demikian, dapat ditemukan praktik oleh negara ketiga yang mempergunakan mekanisme tacit acceptance terhadap perjanjian internasional, misalnya Republik Kazakhstan terhadap Liability Convention 1972 melalui perjanjian bilateral 1994 Lease Agreement dengan Federasi Rusia mengenai Baikonur Cosmodrome. Adapun hal yang ditemukan adalah negara ketiga dapat memberlakukan mekanisme tacit berdasarkan pernyataan dalam bentuk tertulis, misalnya pada perjanjian yang terpisah. Terlihat bahwa mekanisme tacit memiliki implementasi dan parameter yang berbeda-beda dalam setiap peristiwa hukum, sehingga mekanisme ini dipergunakan dalam berbagai aspek dan tidak hanya terbatas pada lingkup lingkungan atau maritim saja.

The differences on the national laws of each member states regarding to the application of the international treaties provisions may result in the different timeline for the provision’s applicability. This, however, makes several member states has the difficulties to achieve the object and purpose of the treaty, especially technical provisions that requires contracting parties for a quick response by implement and enforce them immediately. Furthermore, several treaties and international organizations, such as the International Maritime Organization introduce a system that is called tacit acceptance as a mechanism of choice for member states to give their consent to be bound. The use of tacit acceptance becoming one of the options for parties to implement international agreements at the time of urgency and explicit instruments for showing consent is not possible for the time being. Based on the normative legal research method, it is concluded that tacit acceptance in general is applicable only to the member state or parties deemed appropriate by the treaty itself or court decisions. Nevertheless, it can also be found that third states are using tacit acceptance on treaties, such as Republic of Kazakhstan with Liability Convention 1972 through 1994 Lease Agreement with Russian Federation that regulates about Baikonur Cosmodrome. Third state, in fact, is able to apply tacit acceptance to show their consent through a written form in a separate agreement. Moreover, it can be seen that the tacit mechanism has different implementations and parameters for various legal affair. Having said that, tacit acceptance as a tool for showing one’s consent to be bound is utilized in various aspects and not limited to the environmental and/or maritime subjects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover