Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Namira Paramita
Abstrak :
Sektor pertambangan minyak dan gas bumi mempunyai hubungan yang erat dengan sektor kehutanan dalam hal penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan. Oleh karenanya masalah tumpang tindih lahan antara keduanya tidak dapat dihindari. Salah satu hal yang melatarbelakangi tumpang tindih lahan ini adalah pengukuhan kawasan hutan dalam suatu wilayah dimana dalam wilayah tersebut sebelumnya telah ada kegiatan usaha pertambangan minyak dan gas bumi. Pengukuhan tersebut terjadi jauh setelah wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi yang bersangkutan ada dan berjalan. Hal ini terjadi pada wilayah kerja PT Pertamina EP yaitu Field Sangatta-Kalimantan Timur yang berada satu wilayah dengan Kawasan Taman Nasional Kutai. Selain itu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dan untuk pemanfaatannya dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional, justru menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku usaha. Selain itu tidak adanya atau tidak diselenggarakannya penataan ruang yang jelas dan maksimal oleh Pemerintah juga menyebabkan timbulnya masalah tumpang tindih lahan ini. Di satu sisi sektor pertambangan minyak dan gas bumi sebagai salah satu sumber terbesar devisa Negara dituntut untuk memenuhi target produksi Pemerintah. Namun di sisi lain dalam pengusahaannya terbentur oleh aturan-aturan lain yang ada sehingga menghambat jalannya kegiatan usaha. Oleh karenanya perlu segera dilakukan pencegahan dan penanganan atas masalah tumpang tindih lahan ini. ......Oil and gas sector has a strong connection with forestry sector in terms of utilization of forest area. Derived from this, the issue of overlapping between two sectors is inevitable. One of the backgrounds for this overlapping is the etermination of forest area in an area which already has an oil and gas business activity. Such determination is occurred long after the related oil and gas activity existed and operated. This happened to PT Pertamina EP?s working area which is Field Sangatta-East Kalimantan that exists in the same area as Kutai National Park (Taman Nasional Kutai). Furthermore, by issuing Law Number 41 year 1999 regarding Forestry that regulates the utilization of forest area, it creates uncertainty of law for business practitioner. In addition, the absence of clear and maximum spatial use management by the Government also can caused this overlapping issue. On one side the oil and gas sector has become one of the country?s biggest income?s sources thus it is required to fulfill the production?s target from the Government. However on the other side the operation has barriers from the existing law and regulation which it can hinder the business activity itself. Based on that, it is required to immediately conduct the prevention and mitigation actions for this overlapping issue.
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T28722
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Wiriadinata
Abstrak :
The objective of this paper is to address a question of the effectiveness of Financial Service Authority (Otoritas Jasa Keuangan - OJK) investigators in eradicating financial service crimes in Indonesia. This question arises because in Law on Financial Service Authority there are OJK’s investigators with an investigatory authority on OJK crimes, including; banking, capital market, insurance, pension fund, financing institutions, and other financial service institution sectors. Meanwhile, there have been other investigators with an authority to investigate, namely, public prosecutor, police, and KPK (Indonesia’s corruption eradicating commission). The result was in a form of juridical aspect and written in a descriptive-analytical form. The conclusion of this paper was as follows: there was an overlapping of authorities between OJK’s investigators and public attorney’s investigators, police, and KPK, be they in the investigation of general crimes and that of special crimes/corruption. As for the effectiveness of OJK’s investigators, it should be proved yet in the future.

Tujuan dari makalah ini adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai efektivitas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memberantas kejahatan jasa keuangan di Indonesia. Pertanyaan ini muncul karena di Undang-Undang OJK ada penyidik OJK dengan otoritas investigasi kejahatan OJK, termasuk; perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan sektor lainnya. Sementara itu, ada peneliti lain dengan kewenangan untuk menyelidiki, yakni, jaksa, polisi, dan KPK (korupsi di Indonesia memberantas komisi). Hasilnya adalah dalam bentuk aspek yuridis dan ditulis dalam bentuk deskriptif-analitis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: ada tumpang tindih kewenangan antara peneliti OJK dan pengacara publik penyidik, polisi, dan KPK, baik itu dalam penyelidikan kejahatan umum dan kejahatan khusus / korupsi. Adapun efektivitas penyidik OJK, itu harus dibuktikan namun di masa depan.
University of Indonesia, Faculty of Law, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fati Zulfiani
Abstrak :
ABSTRAK
Sertipikat sebagai alat pembuktian yang kuat dalam penerbitannya seringkali membawa akibat hukum bagi pihak yang bersangkutan maupun pihak-pihak yang merasa kepentingannya dirugikan, sehingga tidak jarang terjadi perselisihan yang akhirnya diselesaikan di pengadilan. Sehubungan dengan marak terjadinya sengketa permasalahan tanah yang ada di Indonesia, atas dasar fakta tersebut Penulis berusaha meneliti mengenai kasus tumpang tindih pada Putusan Negeri Nomor : 09/Pdt.G/2011/PN.PLG. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, tipe penelitian deskriptif, dan data yang digunakan adalah data sekunder. Analisis data dalam penulisan tesis ini dilakukan menggunakan metode analisis kualitatif.
ABSTRACT
Certificate as a strong admissible evidence instrument, in it is issuance, often brings and created a legal impact for those who being related or those whose interests being jeopardized, therefore many times disputes related to the issuance of a certificate have been recurring and ended in the court for its settlement. In connection with the widespread occurrence of the problem of land disputes that exist in Indonesia, on the basis of these fact the authors tried to examine the case of overlap (overlapping) Decision of District Court of Palembang Number : 09/Pdt.G/2011/PN.PLG. This thesis is using normative-based research method with descriptive research type and the data being used is a secondary data. The data analysis within this thesis’ writings is using qualitative analysis method.
2013
T33116
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Nadia
Abstrak :

 

Tesis ini adalah merupakan penelitian mengenai Sengketa tumpang tindih atas kepemilikan tanah yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor utama, yaitu ketidakcermatan dan ketidaktelitian serta kesalahan dari pihak Kantor Pertanahan karena belum terselenggaranya tertib administrasi dalam hal prosedur pendaftaran tanah. Dari hasil penelitian ini ternyata ditemukan apabila terjadi sengketa tumpang tindih atas satu kepemilikan atas tanah, maka salah satu sertipikatnya harus dibatalkan. Yang dikaji dalam permasalahan penulisan tesis ini adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya  sengketa tumpang tindih kepemilikan atas tanah di Palembang khususnya Desa Sukabangun, serta perlindungan secara hukum bagi pemilik sertipikat yang beritikad baik, yang dilakukan oleh pemilik tanah tersebut untuk mengajukan pendaftaran tanah pertama kali, serta upaya penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan terhadap putusan Nomor 64/ G/2017/PTUN -PLG Jo Putusan Nomor 110 PK/TUN/2019 yang mengkibatkan dibatalkannya salah satu sertipikat oleh pengadilan


This thesis is a research on overlapping disputes over land ownership that can be caused by several main factors, namely inaccuracy and inaccuracy as well as errors on the part of the Land Office due to the absence of an orderly administration in terms of land registration procedures. From the results of this research, it is found that if there is an overlapping dispute over one land ownership, then one of the certificates must be canceled. What is studied in the problem of writing this thesis is to determine the causes of overlapping disputes over land ownership in Palembang, especially in Sukabangun Village, as well as legal protection for certificate owners who have good intentions, which is carried out by the land owner to apply for land registration for the first time, as well as dispute resolution through a court process conducted by the Head of the Land Office on the decision Number 64 / G / 2017 / PTUN-PLG Jo Decision Number 110 PK / TUN / 2019 which resulted in the cancellation of one of the certificates by the court

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Fadli Robi
Abstrak :
Reformasi pertanahan yang diawali dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria seharusnya dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten sesuai dengan tujuan dan kepentingan rakyat dan Negara. Reformasi tersebut meliputi pelaksanaan pendaftaran tanah, yang bertujuan untuk mendapatkan sertipikat hak atas tanah. Dalam prakteknya kepemilikan sertipikat hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat tidak selamanya lepas dari gugatan/klaim dari pihak lain yang menolak kepemilikan sertipikat tersebut. Penulis dalam penelitian ini menemukan sengketa tumpang tindih overlapping bidang tanah yang telah bersertipikat hak milik dengan bekas tanah KINAG. Sengketa semacam ini sering terjadi di masyarakat, sehingga menimbulkan banyak permasalahan. Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan, Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Berdasarkan penelitian ini, Penulis menyimpulkan bahwa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung Nomor 13/G/2017/PTUN.BDG jo Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 327/B/2017/PT.TUN.JKT dalam memutus kasus tumpang tindih overlapping belum sepenuhnya konsisten. Selain itu terhadap pihak yang memiliki sertipikat yang telah dibatalkan dalam putusan tersebut tidak memperoleh perlindungan hukum sebagaimana mestinya karena perolehan tanahnya tidak dengan itikad baik. Sedangkan dipihak pemilik tanah bekas tanah KINAG yang memperoleh dan menguasai tanah dengan itikad baik, memperoleh perlindungan hukum dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah mereka setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Land reform that begins with the enactment of Law No. 5 of 1960 Concerning Basic Regulations on Agrarian Principles should be implemented consistently in accordance with the goals and interests of the people and the state. Such reforms include the implementation of land registration, which aims to obtain a land title certificate. In practice, ownership of a land titling certificate that is valid as a strong evidentiary instrument is not always free from claims from other parties who reject the ownership of the certificate. The author in this study has found the case of overlapping Freehold Title with ex KINAG land. Such disputes often occur in the community, raises many problems. To find out and learn about the problem, the author has used the method of normative legal research or legal research literature, namely the legal research done by examining library materials or secondary data. Based on this study, the author has concluded that the Decision of Bandung State Administrative Court Number 13 G 2017 PTUN.BDG jo Decision of the State Administrative High Court of Jakarta Number 327 B 2017 PT.TUN.JKT in deciding overlapping cases has not been fully consistent. Furthermore, the party who has the certificate that has been canceled in the decision does not get the legal protection as it should because the acquisition of the land is not in good faith. In the case of former landowners of KINAG land acquiring and controlling the land in good faith, obtaining legal protection by the issuance of a certificate of title to their land after fulfilling the provisions set out in law.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T51643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariobimo
Abstrak :
Di Indonesia perfilman dan industrinya diatur oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan, yang mempunyai bagian film dalam kementeriannya. Namun, pada skalanya tugas mereka adalah mengenai pengembangan dan pembelajaran film sebagai bagian dari budaya Indonesia dan bentuk dari pembelajaran seni. Namun, industri film sendiri, merupakan bagian dari bentuk perkembangan ekonomi baru yaitu ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif merupakan ekonomi yang datang dalam industri kreatif, dan bidang perfilman diakui oleh United Nations Conference on Trade and Development sebagai salah satu industri yang paling utama dalam industri kreatif. Kedua kementerian ini memiliki kewenangan atas pengelolaan sumber daya manusia di bidang perifilman dengan adanya dasar hukum yang sah pada kedua kementerian. Hal ini dapat menimbulkan masalah adanya tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan sumber daya manusia di bidang perfilman. Maka bisa dipertanyakan bagaimana seharusnya secara teori pengaturan dan pengelolaan kewenangan yang benar untuk sumber daya manusia dalam bidang perfilman dan bagaimana penerapannya dalam praktik yang mempunyai kewenangan lebih tinggi untuk mengatur pengelolaan sumber daya manusia dalam bidang perfilman. ......In Indonesia, the film industry is regulated by the film department of the ministry of education and culture. On a larger scale, their task is to develop and learn film as a part of Indonesian culture and art education. Also, the film industry is a part of a new form of economic development known as the creative economy. The film industry is recognized by the United Nations Conference on Trade and Development as one of the primary industries in the creative industry, and the creative economy is an economy that comes from the creative industry. Both of these ministries have the authority over the management of human resources in the film industry in regards to the valid legal basis applied to the ministers. It may cause problems with overlapping authorities in the management of human resources in the film industry. So, the question is how should the correct regulation and management of authority for human resources in the film industry be used in theory, and how should it be done in practice by those with higher authority to regulate human resource management in the film industry.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Leonard
Abstrak :
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 atau UNCLOS 1982 (United Nation Convention of the Law of the Sea), Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah perairan yang meliputi perairan pedalaman, laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen (LK), dan laut lepas. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki garis pantai yang sangat panjang dan berbatasan dengan sepuluh negara. Hal tersebut menyebabkan delimitasi batas maritim merupakan hal yang penting bagi Indonesia. Permasalahan delimitasi batas maritim Republik Indonesia dengan Malaysia bersumber dari ketidakjelasan batas-batas negara dan status suatu wilayah yang saling bertumpang tindih menurut versi masing-masing. Situasi inilah yang menjadi sumber konflik khususnya dalam penegakan hukum terhadap IUU Fishing dalam wilayah Overlapping terutama mengenai klaim yurisdiksi batas-batas maritimnya. Implikasi nyata dari belum selesainya batas maritim ini jelas akan menimbulkan permasalahan penegakan hukum di daerah overlapping claim. Permasalahan yang sering timbul ketika proses negosiasi delimitasi batas maritim sedang berlangsung adalah apabila terjadi pelanggaran ketentuan hukum nasional dari kedua negara, sehingga sering menimbulkan ketidak pastian hukum terkait siapa yang memiliki kewenangan untuk menegakkan ketentuan hukum nasional di perairan perbatasan yang belum ditentukan diantara kedua negara. Ketidakpastian tersebut sering berakibat pada penangkapan nelayan kedua negara. Terkait hal tersebut UNCLOS 1982 hanya memberikan kewajiban kepada kedua negara untuk membentuk pengaturan sementara di perairan perbatasan yang belum ditentukan untuk mencegah terjadinya konflik. Tesis ini lebih lanjut akan menganalisa mengenai bagaimana hukum nasional dan internasional serta praktek negara-negara terkait penegakan hukum di perairan perbatasan yang belum ditentukan.. Berdasarkan praktek negara dan hukum internasional penegakan hukum berdasarkan klaim unilateral di perairan perbatasan yang belum ditentukan (overlapping claim) dapat menimbulkan konflik dan memperlambat penyelesaian delimitasi batas maritim antara kedua negara.. Penyelesaian batas maritim tersebut dilakukan secara diplomasi melalui perundingan batas sesuai dengan UNCLOS 1982. Tesis ini akan memberi gambaran, menemukan fakta dan data baru serta meneliti tentang wilayah perairan overlapping dan menjelaskan status terakhir delimitasi batas maritim Indonesia dengan Malaysia dan bagaimana implementasi penegakan hukum terhadap IUU Fishing di area itu.
In accordance with the provisions of the United Nations Convention of the Law of the Sea (UNCLOS), Indonesia as an archipelagic state has a water area containing the internal waters, territorial sea, contiguous zone, exclusive economic zone (EEZ), Continental Shelf (CS), and high seas. Indonesia as the largest archipelagic country in the world has a very long coastline and is bordered by ten countries. This makes delimitation of the maritime boundary is genuinely important for Indonesia. The process of maritime boundary delimitation Indonesia between Malaysia often source from undefined borders and overlapping claim according to each countries version. The problem that often arises when the maritime boundary delimitation negotiation process is underway is if there is a violation of the provisions of the national law of both countries, which often leads to legal uncertainty over who has the authority to enforce national law provisions in the unresolved maritime boundary between the two countries. Such uncertainty often results in interception of violations occurring in undefined border waters by the two disputing countries. In this regard, UNCLOS only provides obligations to both countries to establish provisional arrangements in undefined border waters to prevent conflicts. This thesis will further analyze the national and international regulations as well as the practice of law enforcement both countries in overlapping claim waters. The completion of the maritime border diplomacy is conducted through the boundary negotiations in accordance with UNCLOS 1982. This paper will gives overview, to discover new facts and to researches about waters area in overlapping claim and to explain the latest status of Indonesian maritime boundary delimitation with Malaysia and to what extent the implementation of law enforcement in those areas.
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T51928
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isroni Muhammad Miraj Mirza
Abstrak :
ABSTRAK Konflik Laut Cina Selatan merupakan masalah yang bersifat multidimensional. Pembahasan hal itu membutuhkan pendekatan berbagai aspek, yakni hukum, politik, ekonomi, hingga keamanan (security). Aspek-aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Dalam perkembangan terakhir, konflik tersebut semakin memanas di antara claimant states. Intensitas konflik tersebut semakin terlihat dengan adanya berbagai macam klaim dari para claimant states, khususnya Cina melalui konsep nine dashed line yang dimilikinya. Konsep tersebut memang dinilai banyak pihak, bahkan oleh non claimant states, sebagai konsep dan tindakan illegal dari Cina karena hal tersebut mengakibatkan Cina menguasai hampir sebagian besar dari perairan Laut Cina Selatan. Tindakan ini juga melanggar ketentuan UNCLOS 1982. Asal muasal Nine Dashe Line ini sendiri tidak jelas dan penuh akan nuansa politik yang diciptakan pemerintah Cina. Nine dashed line tersebut tentunya semakin meningkatkan kompleksitas konflik Laut Cina Selatan. Konsekuensi yang terjadi saat ini, khususnya akibat nine dashed line tersebut, ialah secara geografis timbul apa yang disebut ?overlapping EEZ? di perairan tersebut. Filipina sebagai claimant states mengajukan sengketa ini ke Permanent Court of Arbitration (PCA) sebagai upaya untuk melawan tindakan agresif Cina di Laut Cina Selatan. Meskipun forum ini dilangsungkan tanpa persetujuan dan kehadiran Cina. Karena negara ini menolak berpatisipasi dari awal hingga akhir. Hal tersebut mengakibatkan proses peradilan di PCA hingga putusan akhir yang akan dikeluarkan tidak akan berpengaruh sedikitpun pada Cina untuk menghentikan tindakan agresifnya di Laut Cina Selatan. Artinya apa yang berjalan di PCA tidak akan menyelesaikan konflik tersebut seutuhnya. Meskipun bagi claimant states lainnya maupun non claimant states, seperti Indonesia, hal itu masih memberikan dampak cukup positif. Ketidakjelasan solusi konflik itu maupun kompleksitasnya, mengundang perhatian dari pihak lainnya seperti ASEAN dan EU. Kedua entitas ini memiliki kepentingan signifikan di Laut Cina Selatan, terutama ASEAN. Akibat faktor hukum, politik, dan eknomi, EU dan ASEAN tidak bisa secara institusi dan unilateral mengintervensi langsung sebagai pihak ketiga dalam membantu claimant states mencapai solusi damai terkait konflik Laut Cina Selatan. Sehingga peran kedua entitas ini terbatas. Agar ASEAN dan EU berperan lebih signifikan, perlu ada upaya community dan confidence building secara tidak langsung melalui kerjasama ASEAN-EU demi tercipta stabilitas regional di Laut Cina Selatan.
ABSTRACT The Conflict in South China Sea is a multidimensional problem. The explanation of this issue requires a multidimensional approach, which consists of legal, political, economic, and security aspects. In recent years, the intensity of this conflict has considerably increased among claimant states. The intensity of the conflict is particularly visible through numerous of claims stated by the claimant states, especially China through its concept known as nine dashed line. Such concept is often regared even by the non claimants states as an illegal act by China since such act entitles Cina to dominate almost all territory of South China Sea. Such act also violates UNCLOS 1982. The origin of Nine Dash Line remains unclear and politically fabricated made by the chinese government. The Nine Dashe Line increases the complexity of the conflict in South China Sea. Geographically, the consequence, particularly due to the nine dash line, which is commonly visible today is what we know as the term ?overlapping? in South China Sea. Particularly, this also refers to ?EEZ overlapping. Phillipines as a claimant state, submitted this case before the Permanent Court of Arbitration in an attempt to counter China?s aggresiveness in South China Sea. Despite the fact that China rejects to participate in it from the beginning until the end of the legal proceeding. Consequently, both the legal proceeding and the final verdict of PCA would have no effect at all in deterring China from refraining its aggresiveness in South China Sea. In other words, it will not entirely resolve the conflict. Although, for the other claimant states and non claimant states, including Indonesia, the legal proceeding and the final verdict exercised by PCA would at least bring about a positive impact. The complexity and the inability by claimants states to reach a solution with regard to South China Sea issue, has attracted the attention of ASEAN and EU. These two international bodies have both significant interest in South China Sea, especially ASEAN. Due to numerous legal, political, and economic consideration, EU and ASEAN are not institutionally and unilaterally able to carry out direct intervention as a third party in assisting the claimant states to reach peaceful settlement concerning the conflict in South China Sea. Therefore the roles of these two entities are limited. In order for ASEAN-EU to play significant role, there has to be a community and confidence building exercised indirectly through ASEAN-EU Joint Cooperation in an attempt to bolster regional stability in South East Asia.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45060
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meka Azzahra Larasati
Abstrak :
Penelitian ini membahas menganalisa penyelesaian sengketa tanah wakaf dari Putusan Nomor 40/Pdt.G/2018/PN.Mll sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang perwakafan di Indonesia. Sengketa yang terjadi dalam putusan ini adalah dimana tanah hak milik dengan sertipikat Nomor 04629 atas nama Gusti Adi Wirawan sebagai Penggugat, diatasnya terdapat overlapping atau tumpang tindih tanah wakaf dengan sertipikat Nomor 337 tahun 1993. Permasalahan dalam tulisan ini mengenai perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah terhadap adanya kasus tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah pada suatu bidang tanah dan implikasi hukum atas tukar menukar (ruislag) tanah wakaf dalam Putusan Nomor 40/Pdt.G/2018/PN.Mll yang ternyata objek bidang tanahnya tumpang tindih. Dalam membahas permasalah tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian Kepustakaan yang mengacu pada asas-asas hukum yang berlaku, bersifat ekspalanatoris, dan menghasilkan analisa kualitatif terhadap masalah tersebut. Adapun analisa data dilakukan secara preskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pada umumnya tumpang tindih hak atas tanah disebabkan oleh unsur kesengajaan, ketidaksengajaan, dan kesalahan administrasi. Pada kasus ini, tampaknya telah terjadi ketidaktelitian oleh pihak BPN sehingga terjadi tumpang tindih hak atas tanah. Faktor-faktor penyebab terjadinya tumpang tindih (overlapping) kepemilikan tanah bersertifikat yaitu adanya kesalahan dari pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Luwu Timur yang belum pernah melakukan pengukuran pengembalian batas atas Sertifikat Hak Milik Nomor 337 tahun 1993 (wakaf) (bukti T-1 dan T.T-4) dengan menggunakan metode yang sama atas Sertifkat Hak Milik Nomor 04629 (bukti P-1 dan P-5) sehingga tidak dapat diperbandingkan secara objektif dan berimbang terhadap letakdari kedua sertifikat tersebut, dan faktor lain juga dapat disebabkan oleh karena adanya penelantaran tanah oleh Penggugat yang mana pada saat terjadi pengukuran untuk sertipikat wakaf, Penggugat sebagai pemilik hak atas tanah yang berbatasan dengan tanah wakaf seharusnya ada dalam proses pengukuran batas-batas tersebut agar terpenuhi syarat sesuai perundang-undangan. Sehingga pada saat proses sertipikat selesai ada pihak yang dirugikan dengan timbulnya dua alas hak diatas objek yang sama ......This study discusses analyzing the settlement of waqf land disputes from Decision Number 40/Pdt.G/2018/PN.Mll in accordance with the laws and regulations on waqf in Indonesia. The dispute that occurred in this decision is where the land is owned by certificate Number 04629 in the name of Gusti Adi Wirawan as the Plaintiff, above which there is overlapping or overlapping of waqf land with certificate Number 337 of 1993. The problem in this paper is regarding legal protection for holders of land rights against the case of overlapping ownership of land rights in a plot of land and the legal implications of the exchange (ruislag) of waqf land in Decision Number 40/Pdt.G/2018/PN.Mll which turns out to be an overlapping land. In discussing these problems, the author uses a library research method that refers to applicable legal principles, is explanatory, and produces a qualitative analysis of the problem. The data analysis was done prescriptively. The author concludes that in general, overlapping land rights are caused by elements of intentional, unintentional, and administrative errors. In this case, it seems that there has been inaccuracy on the part of the BPN, resulting in overlapping land rights. Factors causing overlapping ownership of certified land, namely an error from the Land Office of East Luwu Regency which has never measured the return on the upper limit of Ownership Certificate Number 337 of 1993 (waqf) (exhibit T-1 and TT-4) by using the same method for the Certificate of Ownership Number 04629 (exhibits P-1 and P-5) so that it cannot be compared objectively and in a balanced manner with respect to the location of the two certificates, and other factors can also be caused by neglect of land by the Plaintiff who where at the time of the measurement for the waqf certificate, the Plaintiff as the owner of the right to the land bordering the waqf land should be in the process of measuring the boundaries in order to fulfill the requirements according to the legislation. So that when the certificate process is complete, there are parties who are harmed by the emergence of two rights over the same object.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agripina Tanto
Abstrak :
Penelitian ini menitikberatkan pada pembahasan sengketa tumpang tindih penguasaan bidang tanah berdasarkan surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah (SPPFBT) dengan sertifikat hak pengelolaan di Desa Kuta, Kabupaten Lombok Tengah. Banyak ditemukan masyarakat Desa Kuta yang menguasai tanah dengan berlandaskan SPPFBT karena belum melaksanakan pendaftaran tanah pertamakali. Dengan demikian, BPN Kab. Lombok Tengah wajib berhati-hati dalam mengumpulkan data fisik dan yuridis tanah dalam hal pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah pertamakali agar kelak terhindar dari adanya konflik pertanahan. Adapun masalah yang timbul dimana BPN Kab. Lombok Tengah lengah dalam menerbitkan Sertifikat HPL No. 73/Kuta, terdapat beberapa prosedur yang terlewati sehingga sebagian bidang tanah dalam Sertifikat HPL No. 73/Kuta dengan tanah SPPFBT No. 05/SKT/I/2000 seluas 20.845 M2 tumpang tindih secara keseluruhan. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah analisis amar putusan dan pertimbangan hukum Hakim dalam memutus Putusan PTUN Mataram No: 55/G/2016/PTUN.MTR, juncto Putusan PTTUN Surabaya No: 112/B/2017/PT.TUN.SBY, juncto Putusan MA No: 37/K/TUN/2018, serta kedudukan dan perlindungan hukum bagi pemegang SPPFBT Nomor: 05/SKT/I/2000. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif serta analisis data secara eksplanatoris, sehingga terjawab bahwa, dalam mempertimbangkan suatu perkara, Majelis Hakim seyogianya menimbang dalam aspek kewenangan, prosedur serta kebenaran substansi dari suatu Sertifikat. Dibatalkannya Putusan PTUN Mataram No: 55/G/2016/PTUN.MTR oleh PTTUN Surabaya No: 112/B/2017/PT.TUN.SBY, maka pemegang SPPFBT No. 05/SKT/I/2000 kehilangan tanah yang telah dikuasainya selama lebih dari 16 tahun tanpa diberikan ganti kerugian. Di lain sisi, PP No. 24/1997 memandang SPPFBT sebagai alat pembuktian kepemilikan hak-hak lama dalam rangka pendaftaran tanah, sehingga pemegang SPPFBT wajiblah diberi perlindungan hukum terkait haknya. ......This research focuses on discussions related to the overlapping land tenure rights based on the letter of land physical ownership (SPPFBT) with right to use certificate in Kuta Village, Central Lombok District. Kuta Village Citizens are commonly found having SPPFBT as their land tenure evidence. This happens because they have never registered their land to BPN. BPN Central Lombok District needs to be more careful in collecting physical and juridical data on land in terms of carrying out land registration activities for the first time so that in the future there will be less land conflicts. The problems that arise are where BPN Central Lombok District was negligent in issuing HPL Certificate No. 73/Kuta in which several procedures were missed so that some of the land parcels in the HPL Certificate No. 73/Kuta with SPPFBT No. 05/SKT/I/2000 land, which covers an area of ​​20,845 M2, are completely overlapping. The problems raised in this research are related to the analysis of the decisions and legal considerations of the judges in deciding the Mataram Administrative Court Decision Number: 55/G/2016/PTUN.MTR, in conjunction with the Surabaya Administrative High Court Decision Number: 112/B/2017/PT.TUN.SBY and legal status and protection for the holder of SPPFBT Number: 05/SKT/I/2000, in conjunction with the Supreme Court Verdict Number: 37/K/TUN/2018. In answering these problems, normative legal research methods are used. In addition, data analysis carried out in an explanatory approach. This research resulted in an answer which the Judges should consider all the aspects of competency, procedural and substance of a certificate. The cancellation of the Mataram Administrative Court Decision No: 55/G/2016/PTUN.MTR by PTTUN Surabaya No: 112/B/2017/PT.TUN.SBY, the holder of SPPFBT No. 05/SKT/I/2000 lost his land which he had utilized for more than 16 years without being given any compensation. On the other hand, PP No. 24/1997 views SPPFBT as an evidence of old rights land ownership in the context of land registration, so that SPPFBT holders must be given legal protection regarding their rights.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>