Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andreas Robby Susanto
"Latar Belakang. Saturasi oksigen merupakan pengukuran rutin pada pasien dengan pipa endotrakea ataupun dengan masalah pernafasan / oksigenasi dan merupakan standar pemantauan oksigenasi dari ASA dan WHO. Oksimeter denyut jari menjadi pilihan utama karena mudah digunakan. Pemantauan saturasi oksigen sering bermasalah karena lokasi di perifer terdapat kelainan , misalnya karena luka bakar, hipoperfusi. Diperlukan alternatif pemantauan saturasi antara lain dengan modifikasi oksimeter denyut orofaring. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kesesuaian hasil pengukuran antara modifikasi oksimeter denyut orofaring dan oksimeter denyut jari. Metode. Penelitian analitik observasional dengan rancangan potong lintang terhadap pasien ASA 1 dan ASA 2 terintubasi yang menjalani pembedahan di RSCM Jakarta periode Agustus-September 2017. Sebanyak 26 pasien diambil secara konsekutif, setiap pasien dilakukan dua pengukuran saturasi dengan oksimeter denyut jari dan modifikasi oksimeter denyut orofaring, pencatatan dilakukan setiap 5 menit selama 30 menit . Analisis data menggunakan uji kesesuain Bland-Altman. Hasil. Rerata hasil pengukuran oksimeter jari sebesar 98,53 SD 0,896 , dan rerata hasil pengukuran modifikasi oksimeter denyut orofaring sebesar 98,35 SD 1,238 . Analisa uji Bland Altman pada semua waktu pengukuran mendapatkan rerata selisih antara oksimeter denyut jari dan modifikasi oksimeter denyut orofaring sebesar 0,19 , dengan interval kepercayaan 95 sebesar 0.07-1,79 dan dengan limit of agreement sebesar -1,42 ndash; 1,79. Simpulan. Pengukuran dengan metode modifikasi oksimeter denyut orofaring memiliki kesesuaian yang sangat baik dengan oksimeter denyut jari.

Background. Oxygen saturation is an important routine measurement in patients with endotracheal tubes or with respiratory oxygenation problems and standard oxygenation monitoring from ASA and WHO. Finger pulse oxymeter is the first choice because of its easy use. Oxygen saturation monitoring often has problems if the peripheral site has abnormalities due to several things, because. Alternative saturation monitoring is required, modification oropharyngeal pulse oxymeter is one choice. This study aims to compare the agreement of the measurement results between the modification of the oropharynx pulse oximeter and the finger pulse oximeter. Method. An observational analytic study with cross sectional design which observe ASA 1 and ASA 2 patients who were intubated and undergo surgery at RSCM Jakarta period August September 2017. Total 26 patients were taken consecutively, each patient were performed finger pulse oximeter and modification oropharyngeal pulse oxymeter, recorded every 5 minutes for 30 minutes. Analysis using agreement test Bland Altman. Results. The mean of measurement with finger oximeter was 98,53 SD 0,896 , and mean of measurement result with modification oropharyngeal pulse oximeter was 98,35 SD 1,238 . Analysis with Bland Altman test at all measurement time got mean difference between finger pulse oximeter and modification oropharyngeal pulse oximeter of 0.19, with 95 confidence interval equal to 0.07 1,79 and with limit of agreement equal to 1,42 1,79. Conclusion. Measurements with the modification oropharyngeal pulse oximeter method have good agreement with finger pulse oximeter."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suksmagita Pratidina
"Chlamydia trachomatis (CT) merupakan bakteri penyebab infeksi menular seksual (IMS) yang paling sering terjadi, dengan perkiraan angka kejadian 50 juta kasus per tahun di seluruh dunia. Lebih dari 3 juta kasus baru dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1995. Hal ini membuat infeksi CT tidak hanya sebagai penyakit infeksi menular seksual (IMS) terbanyak, tetapi juga penyakit infeksi tersering di Amerika Serikat. Penelitian meta-analisis di tahun 2005 melaporkan bahwa prevalensi infeksi CT berkisar antara 3,3% hingga 21,5%.
Terdapat 2 Cara transmisi infeksi CT yaitu secara horizontal dan vertikal. Infeksi horizontal umumnya terjadi melalui hubungan seksual lewat vagina dan anus tanpa pelindung, sedangkan infeksi vertikal terjadi saat proses kelahiran. Meskipun infeksi Iebih sering terjadi pada genital dan konjungtiva, temyata permukaan mukosa faring, uretra dan rektum juga merupakan lokasi kolonisasi CT. Hubungan orogenital awalnya tidak dipikirkan sebagai jalur transmisi CT, sehingga pemeriksaan skrining rutin untilk infeksi CT faring belum dianjurkan pada pedoman di Amerika Serikat dan Inggris. Namun dengan semakin banyaknya praktek fellatio dan jarangnya penggunaan kondom, kemungkinan transmisi CT pada orofaring dapat terjadi. Chlamydia trachomatis sering merupakan penyebab infeksi anorektum (proktitis akut) yang ditularkan secara seksual, khususnya pada populasi men who have sex with men (MSM) yang melakukan hubungan seksual lewat rektum tanpa perlindungan kondom.
Selain MSM, waria juga merupakan kelompok risiko tinggi yang rentan terhadap infeksi tersebut. Waria memiliki jumlah pasangan seksual Iebih banyak dibandingkan dengan kelompok risiko tinggi lain (penjaja seks wanita dan MSM), Iebih banyak bekerja menjajakan seks demi uang, memiliki pendapatan paling rendah, banyak yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Waria adalah istilah yang hanya digunakan di Indonesia, yaitu singkatan dari wanita-pria. Walaupun hingga saat ini belum ada data yang akurat mengenai jumlah populasi waria di Jakarta, namun menurut data yang didapat diperkirakan sekitar 8000 orang yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya. Pasangan seksual waria adalah laki-laki heteroseksual, waria tidak pernah berhubungan seksual dengan sesama waria atau dengan laki-laki homoseksual. Waria melakukan hubungan seksual secara orogenital dan anogenital reseptif dan memiliki perilaku seksual yang sangat berisiko." Banyak waria di Jakarta terlibat dalam hubungan seks komersial lewat oral dan anal reseptif tanpa pelindung/kondom. Masalah perilaku seksual tersebut merupakan pintu masuk bagi penularan IMS pada kelompok waria. Meskipun perilaku ini meningkatkan risiko untuk terkena IMS dan HIV, sangat sedikit data yang ada mengenai prevalensi infeksi ini berikut perilaku seksualnya. Pada kelompok ini angka prevalensi panting untuk diketahui karena prevalensi 1MS merupakan salah satu indikator yang memberi gambaran prevalensi infeksi HIV/AIDS.
Sebagian besar individu yang terinfeksi CT bersifat asimtomatik, sehingga merupakan sumber penyebaran infeksi yang potensial. Guna mencegah penyebaran infeksi, perlu diperhatikan diagnosis dini berdasarkan tes laboratorik yang akurat dan pengobatan yang efektif. Hingga tahun 80-an, diagnosis infeksi CT hanya berdasarkan pada isolasi organisme dengan kultur jaringan. Meskipun kultur masih merupakan baku emas untuk pemeriksaan CT, teknik ini membutuhkan pengambilan spesimen yang teliti dan kondisi transpor yang ketat. Selain itu pemeriksaan kultur belum distandarisasi dan dapat terjadi variasi hasil antar laboratorium. Uji nonkultur untuk deteksi CT pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 80-an dan perkembangannya sangat baik karena tidak membutuhkan organisme hidup, sehingga mengatasi masalah pengambilan dan transportasi spesimen yang berhubungan dengan metode kultur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18013
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Hezron Kurnia
"Latar belakang: Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) merupakan salah satu faktor etiologi KSS (Karsinoma Sel Skuamosa) kepala dan leher serta mempengaruhi hasil terapi. Hipoksia tumor menunjukkan respon terapi yang buruk pada sebagian besar keganasan, termasuk KSS. Studi ini bertujuan mengevaluasi karakteristik HPV dan hipoksia dalam KSS rongga mulut dan orofaringeal serta kaitannya terhadap respons radiasi.
Metode: Penelitian eksperimental pada KSS rongga mulut dan orofaring yang telah menjalani terapi radiasi di Departemen Radioterapi antara Januari 2013 hingga Desember 2017.
Hasil: Dari total 18 subjek, 44,4% memiliki infeksi HPV positif, 66,7% menunjukkan marker hipoksia positif. Hubungan infeksi HPV dan hipoksia dalam penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (OR HPV = 2,0 (0,2-15,3), OR hipoksia positif = 0,6 (0,15-2,5), atau hipoksia negatif = 1,2 (0,6-2,3), p = 0,638). Dalam penelitian ini, enam pasien (33,3%) memiliki respon lengkap, tujuh pasien (38,8%) memiliki respon parsial, satu pasien memiliki respon stabil, dan empat pasien (22,2%) memiliki respon progresif terhadap radiasi. Tidak ada hubungan yang signifikan antara HPV + / hipoksia +, HPV + / hipoksia-, HPV- / hipoksia +, dan kelompok HPV- / hipoksia- terhadap tanggapan terapi (p = 0,514).
Kesimpulan: Peningkatan insiden HPV dan hipoksia tumor yang tinggi pada pasien dengan rongga mulut dan kanker orofaringeal. Namun, tidak ada efek signifikan dari HPV dan tumor hipoksia terhadap respons radiasi. Hipoksia berhubungan dengan respon progresif.

Background: Human Papilloma Virus (HPV) infection can lead to head and neck cancer and affect therapy outcomes. Hypoxic tumors are known to show poor therapy response in majority of malignancies, including Squamous Cell Carcinoma (SCC). This study aimed to show characteristics of HPV and hypoxia in oral cavity and oropharyngeal cancer and their association in radiation response.
Method: We conducted an experimental study on patients diagnosed with oral cavity cancer and oropharyngeal cancer who had undergone radiation therapy in Radiotherapy Department between January 2013 until December 2017.
Result: From a total of eighteen subjects, 44.4% had positive HPV infection, 66.7% had positive for hypoxia.. The association of HPV infection and hypoxia in this study showed no significant relationship (OR HPV = 2.0(0.2-15.3), OR positive hypoxia = 0.6(0.15-2.5), OR negative hypoxia = 1.2(0.6-2.3), p=0.638). In this study, six patients (33.3%) had complete response, seven patients (38.8%) had partial response, one patient (5.6%) had stable response and four patients (22.2%) were progressive respon to the radiation. There was also no statistically significant association between HPV+/hypoxia+, HPV+/hypoxia-, HPV-/hypoxia+, and HPV-/hypoxia- group against therapy responses (p=0.514). In this study all progressive response related with hypoxia status.
Conclusion: There were high incidences of HPV and tumor hypoxia in patients with oral cavity and oropharyngeal cancer. However, there was no significant effects of HPV and tumor hypoxia to final radiation response. Hypoxia related to progressive disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pramita Nastiti
"Kanker orofaring termasuk kedalam kanker kepala dan leher, dimana kanker terjadi di bagian tengah tenggorokan yang berada tepat di belakang rongga mulut. Pada stadium lanjut, kanker ini dapat menyebar ke organ yang jauh. Tiga puluh dari 772 penderita kanker ini (3,9%) memiliki bukti klinis adanya metastase sel kanker ke area tulang belakan (Suzuki et al, 2020). Penyebaran sel kanker ke daerah tulang sering disebut dengan penyakit metastasis tulang atau Metastatic Bone Disease (MBD). Adanya fraktur patologis di segmen vetebra merupakan salah satu tanda adanya penyebaran kanker ke daerah spinal. Saraf spinalis pun berisiko mengalami cedera karena berada tepat dibawah dan di sepanjang tulang belakang. Pada kasus ini pasien mengeluh kedua kakinya tidak mampu digerakkan dan tidak dapat mengontrol BAK. Hal ini menunjukan adanya cedera neurologis di bagian saraf spinalis pasien. Tatalaksana medis yang sudah dilakukan adalah berupa dekompresi dan stabilisasi posterior di daerah thorakal dan lumbal. Pemasangan implan tersebut tidak serta merta mengembalikan fungsi sensorik dan motorik pasien, sehingga diperlukan adanya latihan untuk mempertahankan bagian tubuh yang terdampak. Selama 5 hari penulis melakukan interveni ROM untuk mempertahankan kekuatan otot dan fleksibilitas sendi pasien. Penulis juga melibatkan keluarga dalam latihan yang dilakukan 2 kali sehari selama 30 menit. Hasil yang didapat adalah kekuatan motorik ekstremitas atas 5555/5555 dan motorik ekstremitas bawah 1111/1111. Jari-jari kaki kiri dapat bergerak minimal. Kontraksi otot pasien makin teraba dan terlihat walau sedikit. Tidak ada spastisitas pada otot, kontraktur sendi maupun deformitas.
Oropharyngeal cancer is included in head and neck cancer, where cancer occurs in the middle of the throat which is right behind the oral cavity. In advanced stages, this cancer can spread to distant organs. Thirty of the 772 cancer sufferers (3.9%) had clinical evidence of cancer cell metastases to the spine area (Suzuki et al, 2020). The spread of cancer cells to the bone area is often called metastatic bone disease (MBD). The presence of a pathological fracture in the spinal segment is a sign of the spread of cancer to the spinal area. The spinal nerves are also at risk of injury because they are located directly below and along the spine. In this case the patient complained that he could not move his legs and could not control his urination. This indicates a neurological injury to the patient's spinal cord. The medical treatment that has been carried out is in the form of decompression and posterior stabilization in the thoracic and lumbar areas. Installation of these implants does not immediately restore the patient's sensory and motor function, so training is needed to maintain the affected body parts. For 5 days the author carried out ROM intervention to maintain the patient's muscle strength and joint flexibility. The author also involves the family in exercises which are carried out twice a day for 30 minutes. The results obtained were upper extremity motor strength 5555/5555 and lower extremity motor strength 1111/1111. The toes of the left foot can move minimally. The patient's muscle contractions become more palpable and visible, although slightly. There is no spasticity in muscles, joint contractures or deformities."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoses Rivano Bakara
"Latar belakang: Kanker merupakan penyakit dengan insidensi yang berkembang pesat. Salah satu dari jenis kanker tersebut adalah kanker orofaring. Kanker orofaring mempunyai beberapa faktor risiko salah satunya Human Papillomavirus (HPV). Terdapat peningkatan insidensi karsinoma sel skuamosa orofaring yang terkait dengan HPV. Mahasiswa medis memegang kontribusi yang penting dalam diagnosis, skrining, dan vaksinasi HPV untuk menekan perkembangan kanker orofaring yang terkait HPV, namun memiliki tingkat pengetahuan yang kurang mengenai kanker orofaring yang terkait HPV. Belum pernah ada penelitian di Indonesia terkait pengetahuan kanker orofaring yang terkait HPV pada mahasiswa ilmu kesehatan.
Tujuan: Untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan terhadap kanker orofaring yang terkait HPV.
Metode: Penelitian deskriptif analitik potong lintang pada 1004 mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan menggunakan kuesioner yang telah diadaptasi serta diuji validitas dan reliabilitasnya.
Hasil: Mayoritas responden mempunyai tingkat pengetahuan yang tidak memadai pada semua aspek pertanyaan. Jumlah responden dengan tingkat pengetahuan yang memadai untuk pengetahuan secara keseluruhan adalah 8,6%, pengetahuan umum HPV 42,2%, pengetahuan tentang kanker orofaring terkait HPV 2%, dan tingkat pengetahuan vaksin HPV 14,9%. Usia, jenis kelamin, tahun masuk, dan asal fakultas membedakan tingkat pengetahuan keseluruhan, pengetahuan umum HPV, dan pengetahuan tentang vaksin HPV. Selanjutnya, tingkat pengetahuan kanker orofaring terkait HPV dibedakan oleh tahun masuk dan asal fakultas.
Kesimpulan: Tingkat pengetahuan mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan UI terhadap HPV, kanker orofaring yang terkait HPV, serta vaksin HPV belum memadai. Tingkat pengetahuan secara umum dibedakan oleh faktor usia, jenis kelamin, tahun masuk, dan asal fakultas.

Background: Cancer is a disease with a rapidly growing incidence. One of these types of cancer is oropharyngeal cancer. Oropharyngeal cancer has several risk factors, one of which is the Human Papillomavirus (HPV). There is an increased incidence of HPV related squamous cell carcinoma of the oropharynx. Medical students play an important contribution in the diagnosis, screening, and vaccination of HPV to suppress the development of HPV-related oropharyngeal cancer, but have a lack of knowledge about HPV-related oropharyngeal cancer. There has never been any research in Indonesia assessing knowledge on HPV related oropharyngeal cancer in health science cluster students.
Objective: To determine the level of knowledge of Health Sciences Cluster students regarding HPV related oropharyngeal cancer.
Method: Cross-sectional analytic descriptive study on 1004 health sciences cluster students using a questionnaire that has been adapted and tested for its validity and reliability.
Results: The majority of respondents have an inadequate level of knowledge on all aspects of the question. The percentage of respondents with an adequate level of overall knowledge was 8.6%, general knowledge of HPV 42.2%, knowledge of HPV-related oropharyngeal cancer 2%, and knowledge of HPV vaccine 14.9%. Age, sex, year of entry, and faculty origin differentiated the level of overall knowledge, general knowledge of HPV, and knowledge of the HPV vaccine. Furthermore, the level of knowledge of HPV-related oropharyngeal cancer was differentiated by year of entry and faculty origin.
Conclusion: The level of knowledge of health sciences cluster students on HPV, HPV related oropharyngeal cancer, and the HPV vaccine is inadequate. The level of knowledge is generally differentiated by factors of age, gender, year of entry, and faculty origin.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rut Angelika
"Latar belakang: Peningkatan insidensi karsinoma sel skuamosa (KSS) rongga mulut dan orofaring telah memicu berbagai studi mengenai peran Human Papilloma Virus (HPV) pada patogenesis KSS rongga mulut dan orofaring. Dewasa ini, pemeriksaan imunohistokimia p16, suatu protein penanda yang dibentuk oleh sel tubuh akibat terinfeksi HPV, semakin marak digunakan sebagai alternatif dari pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan ini membutuhkan biaya tinggi dengan ketersediaannya yang rendah. Status p16 juga menentukan stadium KSS orofaring berdasarkan panduan diagnosis oleh American Joint Commitee on Cancer (AJCC) edisi ke-8. Panduan diagnosis tersebut dibuat berdasarkan penelitian yang menyatakan bahwa respons radiasi dan prognosis KSS orofaring lebih baik pada pasien dengan status p16 positif. Tujuan penelitian: Membandingkan respons radiasi pada pasien dengan KSS rongga mulut dan orofaring berdasarkan status p16. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan melibatkan 27 pasien KSS rongga mulut dan orofaring di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data karakteristik pasien diambil dari rekam medis, anamnesis pasien, serta hasil pemeriksaan CT scan dan/atau MRI. Status p16 ditentukan dengan pemeriksaan imunohistokimia dengan pulasan antibodi p16INK4a. Analisis data dilakukan menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 20. Hasil: Status p16 positif ditemukan pada 11 dari 27 subjek (40,7%). Berdasarkan analisis bivariat, tidak terdapat asosiasi yang bermakna antara status p16 dengan respons terapi (p>0,05). Kesimpulan: Tidak terdapat pengaruh signifikan dari status p16 terhadap respons radiasi pada KSS orofaring dan rongga mulut

Background: The increasing incidence of oral cavity and oropharyngeal squamous cell carcinoma (SCC) has led to the initiation of various studies on human papillomavirus (HPV), which plays a role in the pathogenesis of oral cavity and oropharyngeal SCC. Nowadays, immunohistochemistry examination of p16, a marker protein formed by HPV-infected cells, is increasingly used as an alternative to polymerase chain reaction (PCR) which requires high cost yet has low availability. According to 8th American Joint Committee of Cancer (AJCC) guideline on oropharyngeal cancer, p16 status also determines the staging of oropharyngeal SCC, indicating that the radiation response and prognosis of oropharyngeal SCC are better in p16-positive patients. Aim: To compare the radiation response in patients with oral and oropharyngeal SCC based on p16 status. Methods: This is a cross-sectional study involving 27 patients with oral and oropharyngeal SCC at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Patients characteristics were obtained from medical records, history taking, and CT scan and/or MRI results. p16 status was determined by p16INK4a immunohistochemistry and nasal polyp paraffin block examination (eosinophil infiltration and biofilm). Data analysis was performed using Statistical Program for Social Science (SPSS) version 20. Results: Positive p16 status was found in 11 of 27 subjects (40,7%). Based on bivariate analysis, no significant association was found between p16 status and radiation response (p>0.05)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isnaini Zakiyyah Asyifa
"Latar Belakang: COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2 yang dapat mengalami mutasi sehingga membentuk beberapa varian baru. Perubahan varian tersebut dapat menyebabkan proses transmisi virus yang cepat hingga meningkatnya mortalitas dan morbiditas pada pasien COVID-19. Adanya mikrobiota pada saluran pernafasan yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh dapat memberikan perlindungan dari infeksi dan pathogenesis SARS-CoV-2 pada tubuh manusia. Akan tetapi, patogenesis virus dari beberapa varian SARS-CoV-2 yang berbeda dapat menghambat homeostasis dari komunitas mikroba pada saluran pernafasan. Oleh sebab itu perlu dilakukan identifikasi varian SARS-CoV-2 dan profil komunitas bakteri pada sampel swab naso/orofaring pasien COVID-19, untuk mendapatkan data awal profil komunitas mikroba dan korelasinya dengan varian SARS-CoV-2.
Metode: Penelitian menggunakan sampel swab naso/orofaring pasien COVID-19. Sekuensing sampel dilakukan sebanyak dua kali. Sekuensing pertama bertujuan untuk mengidentifikasi varian SARS-CoV-2 menggunakan Whole Genome Sequencing (WGS) dari Oxford Nanopore Technologies (ONT). Sekuensing kedua bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman bakteri pada naso/orofaring pasien COVID-19 menggunakan amplifikasi gen 16S rRNA. Kemudian analisis bioinformatika dilakukan untuk memperoleh profil komunitas mikroba pada beberapa varian SARS-CoV-2.
Hasil: Ditemukan enam varian SARS-CoV-2 yang dideteksi pada sampel terpilih yang dikoleksi selama bulan Maret-Juni 2021, dengan hasil varian yang mendominasi adalah varian Delta, Alpha, dan Lokal. Pada varian Alpha dan Delta didominasi oleh genus bakteri Streptococcus, Prevotella, dan Veillonella. Pada varian lokal, genus yang mendominasi yaitu Corynebacterium, Staphylococcus, dan Salmonella.
Kesimpulan: Komunitas bakteri yang ditemukan pada sampel swab naso/orofaring pasien COVID-19 memiliki tingkat keragaman yang signifikan antar varian SARS-CoV-2. Komunitas bakteri yang ditemukan didominasi oleh genus Prevotella, Streptococcus, Corynebacterium, dan Veillonella. Persentase jumlah bakteri paling banyak yaitu genus Prevotella sebesar 27%. Genus bakteri Prevotella dan Veillonella banyak ditemukan pada varian SARS-COV-2 Alpha dan Delta, yang memiliki potensi meningkatkan inflamasi dan tingkat keparahan pada pasien COVID-19.

Background: COVID-19 is a disease caused by infection of a SARS-CoV-2 virus that can undergo mutations to form several new variants. These variants could lead to a more rapid transmission, which increases mortality and morbidity in COVID-19 patients. The presence of microbiota in the respiratory tract as part of the immune system provides protection from viral infections and pathogenesis in the human body. However, pathogenesis of different SARS-CoV-2 variants plays a role in inhibiting the homeostasis of the microbial community in the respiratory tract. Therefore, it is necessary to identify the SARS-CoV-2 variants and profile the bacterial community profile in naso/oropharynx using swab samples of COVID-19 patients, to obtain initial data regarding the microbial community profile of COVID-19 patients and potential correlation with the SARS-CoV-2 variants.
Methods: This study used naso/oropharyngeal swab samples from COVID-19 patients. Sample sequencing was performed twice. The first sequencing aims to identify variants of SARS-CoV-2 using Whole Genome Sequencing (WGS) with Oxford Nanopore Technologies (ONT) platform. The second sequencing aims to identify bacterial diversity in the naso/oropharynx of COVID-19 patients using 16S rRNA gene amplification followed by profiling of the microbial community using bioinformatic analysis.
Results: Six variants of SARS-CoV-2 were identified in the selected samples collected during March-June 2021, with the dominant variants being Delta, Alpha, and Local variants. The microbial community of samples belonging to the Alpha and Delta variants was dominated by the bacterial genera Streptococcus, Prevotella, and Veillonella. Meanwhile, in the samples identified as having local variant, the dominant genera were Corynebacterium, Staphylococcus, and Salmonella.
Conclusion: The bacterial diversity in the swab samples naso/oropharyngeal of COVID-19 patients varied significantly among SARS-CoV-2 variants. The bacterial community was dominated by the genera Prevotella, Streptococcus, Corynebacterium, and Veillonella. The highest percentage of genus was Prevotella by 27%. The genera Prevotella and Veillonella were found in the SARS-CoV-2 Alpha and Delta variants, which have the potential to increase inflammation and severity in COVID-19 patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnan Habib
"Latar belakang: Difagia atau gangguan menelan merupakan gejala yang dapat memperburuk morbiditas dan mortalitas pasien yang mengalaminya baik yang bersifat mekanik maupun neurogenik. Keluhan ini sering ditemui pada poli rawat jalan THT RSCM terutama di poli THT divisi Bronkoesofagologi. Sampai saat ini belum ada instrumen yang bersifat patient reported outcome untuk skrining disfagia, sehingga dalam penelitian ini dilakukan adaptasi kuesioner EAT-10 ke bahasa Indonesia. Kuesioner ini dirancang untuk menilai keparahan gejala disfagia yang sudah banyak digunakan di berbagai negara yang sudah diadapatasi ke bahasa masing-masing negara.
Tujuan: Mengetahui validitas dan reliabilitas kuesioner EAT-10 versi bahasa Indonesia serta mengetahui nilai kepositifan EAT-10 versi bahasa Indonesia terhadap pemeriksaan FEES.
Metode: Pasien-pasien dengan gejala disfagia atau gangguan menelan yang terlebih dahulu didiagnosis dengan pemeriksaan FEES yang datang ke poli THT divisi Bronkoesofagologi. Pemeriksaan FEES dengan serat optik lentur untuk melihat kriteria objektif secara struktur anatomi dan gerakan refleks menelan daerah orofaring, kemudian dilakukan anamnesis dan diminta untuk mengisi kuesioner EAT-10 yang sudah diadaptasi ke bahasa Indonesia dengan metode WHO. Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi spearman correlation coefficient, dianggap signifikan bila nilai p<0,05. Uji reliabilitas dengan konsistensi internal mencari nilai Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing dan keseluruhan pertanyaan.
Hasil: Penelitian melibatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kuesioner EAT-10 ini memiliki nilai p dan korelasi yang signifikan (0,00) untuk setiap pertanyaan walaupun pada pertanyaan keenam yaitu “rasa sakit saat menelan” memiliki kekuatan korelasi yang lemah (0,408). Kuesioner ini juga memiliki Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing pertanyaan (0,9) dan memiliki kepositifan 80% terhadap pemeriksaan FEES.
Kesimpulan: Instrumen EAT-10 versi bahasa Indonesia telah diadaptasi lintas budaya (transcultural), valid dan reliabel sebagai instrumen untuk menilai gejala pada disfagia serta memiliki nilai kepostifan yang baik terhadap pemeriksaan FEES.

Backround: Disphagia or swallowing disorder is a symptom that can exacerbate the morbidity and mortality of patients who experience it, both mechanical and neurogenic type. This complaint is often found in the RSCM ENT outpatient clinic, especially in the ENT polyclinic Bronchoesophagology division. Until now there was no patient reported outcome instrument that used for screening of dysphagia, so in this study an adaptation of the EAT-10 questionnaire to Indonesian version was carried out. This questionnaire is designed to assess the severity of dysphagia symptoms which have been widely used in various countries that have been adapted to the language of each country.
Objective: To determine the validity and reliability of the Indonesian version of the EAT-10 questionnaire and also to determine the positivity value between EAT-10 Indonesian version towards FEES examination.
Methods: Patients with symptoms of dysphagia or swallowing disorders diagnosed by FEES examination who came to the ENT Bronchoesophagology outpatient clinic and has been diagnosed with dysphagia by FEES examination. First of all FEES examination objectively evaluate anatomical structure and swallowing reflex in the oropharynx, then anamnesis was carried out and asked to fill out the EAT-10 questionnaire which had been adapted to Indonesian using the WHO method. The validity test was carried out using the Spearman correlation coefficient test. It was considered significant if the p value <0,05. The reliability test with internal consistency looks for a Cronbach α value above 0,6 for each and all questions.
Results: The study involved 50 subjects who met the inclusion criteria. This EAT-10 questionnaire has a significant p-value (0,00) and correlation for each question even though the sixth question “pain when swallowing” has a weak (0,408) correlation strength. This questionnaire also has a Cronbach α above 0,6 for each question (0,9) and has 80% positivity value towards FEES examination.
Conclusion: The Indonesian version of the EAT-10 instrument has been adapted cross-culturally, is valid and reliable as an instrument for assessing symptoms of dysphagia and also has a good positivity value towards FEES examination
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Surandy
"Latar Belakang : Pasien yang terinfeksi COVID-19 sering menunjukkan gejala pencernaan. Dalam beberapa penelitian telah menemukan RNA SARS CoV-2 dalam spesimen faecal pasien yang terinfeksi. Tujuan : Mengetahui nilai RT-PCR faecal dan membandingkannya dengan RT-PCR naso-orofaring sebagai standar emas pada pasien COVID-19. Metode : Penelitian ini adalah studi deskriptif observasional, mendeteksi partikel virus melalui pemeriksaan RT-PCR pada faecal pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, dan Rumah Sakit Ciputra, Indonesia. Swab naso-oro-orofaringeal dan spesimen feses dikumpulkan untuk deteksi RNA SARS CoV-2. Hasil : Diperoleh 98 sampel. Dalam penelitian ini memiliki nilai sensitifitas yang rendah (38,10%) juga nilai NPV (20,00%). Namun memiliki spesifisitas tinggi (92,86%) juga nilai PPV (96,97%). Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan bahwa hasil positif pada pemeriksaan RT-PCR faecal  sangat baik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis COVID-19. Namun hasil negatif tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan COVID-19. Oleh karena itu, pemeriksaan RT-PCR faecal merupakan tes yang sangat baik sebagai tes konfirmasi COVID-19.  RT-PCR faecal kurang tepat jika digunakan sebagai tes pada awal masuk pasien COVID-19 (screening), RT-PCR swab naso-orofaring masih lebih baik digunakan sebagai standar diagnostik (screening) untuk COVID-19.

Background: Patients infected by COVID-19 also show gastrointestinal.  In some studies have found  SARS CoV-2 RNA in faecal specimens of infected patients. Aims: This study will test the performance of faecal reserve transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) when compared with naso-oropharyngeal swab RT-PCR as the gold standard test in COVID-19. Materials and Methods: This is an observational descriptive study by detection viral particle  by  RT-PCR on faecal from patients which suspected or probable cases of hospitalized COVID-19 infection, conducted in Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital, Mitra Keluarga Depok Hospital, Mitra Keluarga Kelapa Gading Hospital, and Ciputra Hospital, Indonesia. Naso-oropharyngeal swab and faecal spesimens were collected for RNA SARS CoV-2 detection. Results: We analized 98 subjects. Sensitivity and specificity of faecal were 38,10% and 92,86%, the positive and negatif predictive value were 96,97% and 20,00%. Conclusion: Faecal specimen has low sensitivity value (38.10%) and NPV (20.00%). However, it has a high specificity (92.86%) and PPV (96.97%). Positive results were very well used to help enforce the diagnosis of COVID-19, but negative results cannot be used to exlude COVID-19. This is an excellent test as a confirmation test of COVID-19, but may not be used as an additional test at beginning of diagnostik COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library