Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhamad Rafi Somantri
Abstrak :
ABSTRAK
Hubungan patronase antara Suharto dan Sudono Salim pada masa Orde Baru adalah hubungan patronase yang kuat. Hal ini tergambar dari industrialisasi orde baru yang melibatkan Grup Salim, salah satunya adalah PT. Bogasari. Bogasari memonopoli perdagangan tepung pada masa Orde Baru yang lahir tahun 1971 melalui sebuah keputusan Kementerian Perdagangan untuk Bulog. Dengan vonis dan koneksi dengan Suharto, Liem berhasil mengembangkan bisnisnya Tepungnya menjadi bisnis besar dan menjadikannya raja mie instan dengan Indofood-nya. Keuntungan dari patronase berupa perlindungan politik dan keuntungan ekonomi. Dalam menjaga hubungan dengan Suharto, Bogasari mengangkat Sudwikatmono sebagai direktur perusahaan dan mendanai Yayasan Harapan kami milik Siti Hartinah. Liem juga tidak segan-segan membantu Kepala Biro Logistik Bustanil Arifin ketika ada masalah dengan bank Duta, bank tersebut menjadi bank yang mendanai tiga yayasan di bawah Suharto. Setelah orde baru jatuh, hubungan Hal ini membawa Grup Salim sebagai simbol kroniisme orde baru ke pengadilan. Musim gugur menyebabkan Grup Salim merampingkan lini bisnisnya dan mempertahankan lini makanannya di bawah Indofood termasuk Bogasari. Selama orde baru perdagangan gandum dikembangkan dari hibah makanan melalui PL-480 berubah menjadi importir utama yang menyentuh angka 4 juta ton gandum per tahun. Jumlah impor yang dicari berkurang setelah reformasi dengan upaya budidaya gandum tropis.
ABSTRACT
The patronage relationship between Suharto and Sudono Salim during the New Order was a strong patronage relationship. This is illustrated by the industrialization of the new order involving the Salim Group, one of which is PT. Bogasari. Bogasari monopolized the flour trade during the New Order era which was born in 1971 through a decision Ministry of Trade for Bulog. With the verdict and connection with Suharto, Liem managed to grow his business His flour became big business and made him the king of instant noodles with his Indofood. Advantage from patronage in the form of pand economic benefits. In maintaining a relationship with Suharto, Bogasari appointed Sudwikatmono as director of the company and funded the Foundation Our hope belongs to Siti Hartinah. Liem also doesnt hesitate to help the Head of the Logistics Bureau Bustanil Arifin when there is a problem with the bank Duta, the bank became the bank that funded three foundations under Suharto. After the new order fell, the relationship This brought the Salim Group as a symbol of the New Orders cronyism to justice. Autumn caused the Salim Group to streamline its business line and maintain its food line under Indofood including Bogasari. During the new order wheat trade developed from food grants through PL-480 changed become the main importer which touches the figure of 4 million tons of wheat per year. Number of imports sought reduced after the reformation with tropical wheat cultivation efforts.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhurorudin
Abstrak :
Sejak berakhirnya rezim Orde Baru (pimpinan Soeharto) spektrum politik Indonesia diwarnai oleh pergulatan elit politik yang terpilah dalam banyak kelompok. Hal ini terutama terefleksi dari bermunculannya puluhan partai politik yang masing-masing terpilah akibat perbedaan visi dan mini atau bahkan spektrum ideologi. Kelompok Islam dan atau yang memakai simbol-simbol Islam merupakan salah satu dari sekian kelompok yang ikut andil dalam "pertarungan" politik tadi. Bahkan, kubu Islam sendiri terfragmentasi pula dalam beberapa kelompok (varian) yang kadangkala bersaing bahkan bertentangan. Munculnya belasan partai Islam adalah bukti konkrit dari fragmentasi kubu Islam tadi. Bahkan, selain partai-partai politik Islam, ternyata masih muncul pula kekuatan-kekuatan politik Islam non-partai seperti terefleksi dari munculnya berbagai milisi (seperti Front Pembela Islam, Front Hizbullah, Laskar Jihad dan lain-lain) yang banyak diantaranya tak punya afiliasi -apalagi koordinasi- dengan partai politik Islam tadi. Yang pasti, setiap varian kekuatan politik Islam tadi ternyata masing-masing mengklaim sebagai representasi dari aspirasi ummat. Masing-masing memakai bermacam simbol dan berbagai idiom Islam guna menarik simpati massa, bahkan cukup sering menggerakkan massa untuk tujuan politik mereka. Sebenarnya, fragmentasi politik Islam di Indonesia bukanlah fenomena baru. Pada Era Orde Lama misalnya, kekuatan politik Islam juga mengalami fragmentasi dalam beberapa partai semisal Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiah Indonesia (Perti). Era Orde Baru kendati kekuatan politik Islam difusikan dalam satu kekuatan bernama Partai Persatuan Pembangunan, namun fragmentasi antar unsur tetap terjadi, yang bermuara pada peristiwa penggembosan PPP oleh NU tahun 1984. Ketika Orde Baru berakhir, fragmentasi politik Islam kembali terjadi, bahkan dalam wujud yang lebih fulgar, dimana keterbelahan politik Islam mengkristal dalam wujud belasan partai Islam. Jika dicermati, fragmentasi politik kaum santri di Indonesia ini tak terlalu mengherankan mengingat akar-akarnya telah lama tertanam dalam wujud khilafiah-fiqhiah (perbedaan pemahaman nilai), yang pada akhirnya berpengaruh pada interpretasi pemaknaan kebijakan politik. Selain itu adanya kepentingan politik dari setiap kelompok kaum santri juga ikut menjadi benih bagi tumbuhnya fragmentasi. Berbagai perbedaan penyebab fragmentasi politik santri pasca Orde Baru ternyata bertambah variasinnya dibanding era sebelumnya. Memang, antara subkultur modern dan tradisional (yang menjadi trade-mark utama era Orde Lama) sebenarnya telah melakukan dialog panjang dan proses pendekatan, sehingga jurang pembeda antara dua kultur tadi relatif menyempit. Namun, realitas perbedaan antara dua sub kultur terutama dalam konteks akar rumput (grass root) bahkan dalam pola hubungan elit dan basis massa tampaknya masih eksis (ada) dan tak mungkin untuk diabaikan. Fakta inilah yang menyebabkan keterbelahan politik Wasik yang berpijak pada dua sub kultur tadi tetap ada, kendati tak setajam era sebelumnya. Bahkan, pasca Orde Baru berkembang pula fenomena lain dalam politik kaum santri (terutama telah dimulai era Orde Baru) yakni perbedaan antara penganut pemikiran Islam kultural (kaum substansialis) dan Islam politik (kaum formalis). Fenomena baru ini telah pula meramaikan keterbelahan politik di lingkungan santri. Fragmentasi politik Islam dengan segala penyebabnya tadi tentu saja potensial menumbuhkan konflik intra ummat, bahkan dapat melebar menjadi konflik antar ummat. Namun, perlu dipaharni bahwa politik dalam perspektif Islam hakekatnya merupakan pentakwilan sosial atas ajaran Islam. Sebagai pentakwilan pluralitas akhirnya merupakan sebuah kewajaran, sebagai sebuah kekayaan pemikiran yang seharusnya berguna untuk mencapai kemajuan. Hal yang justru tak wajar adalah bila fragmentasi disikapi dengan cara ekstrim, anti pluralitas, yakni : pertama, bahwa di tengah perbedaan (pluralitas) seolah tak ada sesuatupun yang dapat menyatukan (menjembatani) untuk mencipta kebersamaan. Pemikiran ini dapat menimbulkan sikap ekstrim bahwa kelompok berbeda mesti diperangi, dinihilkan, dihancurkan, karena pihak pesaing akan mengganggu sebuah kemapanan (status quo). Kedua, bahwa pluralitas dipandang sebagai ancaman bagi keharmonisan dan oleh karena itu secara antusias berusaha menciptakan sebuah uniformity dengan mengabaikan realitas perbedaan. Dua pemikiran dan sikap ekstrim tadi akhirnya akan berpengaruh negatif pada stabilitas, integrasi dan atau ketahanan nasional, karena pola pikir dan sikap seperti itu pada akhirnya dapat menimbulkan perlawanan yang tak kalah ekstrimnya. Terjadi atau tidaknya implikasi negatif dari pluralitas dan atau fragmentasi politik Islam tadi tergantung pada kapabilitas (kemampuan) elit-elit politik Islam dalam menformulasikan managemen konflik antar mereka. Selain itu campur tangan pemerintah dalam tingkat tertentu untuk mengelola konflik agar tak melebar dan tak mengarah pada pembusukan politik juga menjadi penting. Namun efektifitas peran pemerintah untuk mengelola konflik antar elemen politik di masyarakat tentu sangat tergantung pada kredibilitas independensi pemerintah terhadap elemen-elemen politik yang terfragmentasi tadi.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T11658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S6921
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viktor Yudha Kuncoro
Abstrak :
Skripsi ini membahas novel Kemelut Hidup karya Ramadhan K H yang berkisah tentang seorang pensiunan pegawai negeri yang antikorupsi Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan intrinsik yang berfokus pada analisis tema dan pendekatan sosiologi sastra yang menyoroti kaitan isi novel dengan praktik korupsi pada masa Orde Baru Hasil penelitian membuktikan bahwa novel tersebut mengusung tema korupsi Tema itu dimunculkan sebagai bagian dari upaya Ramadhan K H untuk menanggapi praktik korupsi pada masa pemerintahan Orde Baru terutama pada 1970 an. ......This thesis discusses Kemelut Hidup a novel of Ramadhan K H which tells about a retired civil servant who possesses anticorruption attitude This research is done by using intrinsic approach which focusing on theme analysis and literature sociology approach It is highlighting the relation between the content of the novel and corruption practices in New Order The research discovers that the novel carries corruption theme on it The theme is used by Ramadhan K H s as his effort to react to corruption practices in New Order era especially in 1970s.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S52745
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Binatoro
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang seberapa besar pengaruh Korps Pegawai Republik Indonesia Korpri sebagai wadah tunggal bagi seluruh pegawai negeri di seluruh Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian heuristik dengan menggunakan sumber tertulis yang berasal dari buku, memoar, dan majalah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Korpri memiliki andil dalam dalam besarnya suara Golkar dalam pemilu, semula Korpri bertujuan sebagai salah satu upaya netralitas birokrasi dan mempunyai loyalitas tunggal kepada pemerintah. Namun dalam perjalanannya loyalitas Korpri bukan kepada pemerintah, tetapi kepada partai pemerintah. Netralitas birokrasi yang semula dikedepankan kemudian menjadi dipertanyakan. Birokrasi kemudian turut serta dalam urusan urusan politik, seperti turut andil dalam kampanye pemilu. Birokrasi menjadi lupa akan fungsi utamanya, yaitu untuk melayani dan bersinergi antar instansi guna membangun Indonesia.
ABSTRACT
This thesis describes about how much Korpri and How far Korpri are involved in politics and elections in Indonesia in the national politics under Soeharto regime. This research is using heuristic method by using document which taken from books, memoir, and magazine. The result of this research is show that Korpri has a contribution to the interests of political parties in the election , especially in government party.
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: LP3ES , 1990
330.959 8 IND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arndt, Heinz Wolfgang, 1915-2002
Jakarta: LP3ES, 1983
338.09 ARN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996
320 959 58 MEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Abdul Haris, 1918-2000
Jakarta: [Publisher not identified], 1974
328.91 ABD t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suyatno Prayitno
Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2003
959.8 SUY k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>