Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jorgensen, William L.
New York: Academic Press , 1973
547.128 JOR o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ali M.
Surabaya: Bina Ilmu, 1984
541.28 KIM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Ade Sari Nauli
Abstrak :
Latar belakang: Manusia sering mendeteksi asimetri wajah yang minimal. Koreksi bedah diindikasikan bila  distopia orbital ≥ 5 mm dan/ atau disertai dengan disfungsi visual seperti diplopia. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi batas untuk koreksi distopia orbital vertikal dengan penilaian subyektif visual. Metode: Penelitian ini merupakan studi preliminary dengan desain potong-lintang analitik. Empat puluh delapan residen bedah plastic  diminta untuk mengevaluasi secara subjektif pada 60 foto yang dimanipulasi dan diacak secara digital yang memperlihatkan distopia orbital 0 hingga 5 mm. Jawaban dimasukkan pada formulir skala Likert. Data diproses dan dianalisis menggunakan SPSS 22.0. Hasil: Sebanyak 48 residen dari dua pusat pendidikan bedah plastic (Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Ciptomangunkusumo) terdaftar dalam penelitian. Berdasarkan kurva ROC, batas distopia yang dapat dideteksi secara subjektif adalah 2.5 milimeter. Indikasi koreksi berdasarkan penilaian subjektif secara visual pada respondent, 46.3% setuju dilakukan bila disropia <5 mm, sementara 69.9% menjawab setuju dilakukan bila dystopia ³5 mm. Kesimpulan: Batas dystopia yang dapat dideteksi secara subjektif adalah 2.5 milimeter. Responden yang menjawab setuju dilakukan koreksi yaitu sebanyak 46.3% untuk dystopia <5 mm dan 69.9% untuk dystopia ³ 5 mm. Walaupun persentase jawaban setuju dilakukan koreksi pada distpia <5 mm lebih sedikit dibanding dystopia ³ 5 mm, namun angka ini dapat menjadi acuan pertimbangan untuk dilakukan koreksi pada dystopia. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan dengan subjek yang lebih bervariasi dan lebih banyak. Keywords: orbital dystopia, subjective assessment, aesthetic
Background: People can detect even a subtle facial asymmetry. Surgical correction is indicated if orbital dystopia is 5 mm and more and/or along with visual disfunction such as diplopia. This study aims to investigate the cut off point for correction of vertical orbital dystopia by visual subjective assessment. Methods: This is a preliminary analytic cross-sectional study. Forty-eight plastic surgery residents were asked to subjectively evaluate 60 digitally manipulated photographs showing 0 to 5-millimeter orbital dystopia using Likert scale form. Data was processed and analyzed using SPSS 22.0. Result: A total of 48 plastic surgery residents from two centres (Hasan Sadikin and Ciptomangunkusumo Hospital) were enrolled. According to the ROC curve, the cut-off point of dystopia that can be detected subjectively is 2.5 millimetre. Regarding indication for corrective surgery, 46.3% respondents agreed for correction on dystopia <5 mm, while 69.9% agreed for correction on dystopia ³5 mm. Conclusion: The cut-off point of dystopia that can be detected by visual subjective perception is 2.5 millimetres. Respondents who agree for correction of dystopia <5 mm and ³5 mm were 46.3% and 69.9%, respectively. Although there were fewer respondents agreeing for correction on dystopia <5 mm, it can still be used as consideration for subjective criterion in correcting dystopia correction. Further study with more varied and larger sample is needed. Keywords: orbital dystopia, subjective assessment, aesthetic
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rangkuti, Choirun Nisaa
Abstrak :
Kami melakukan perhitungan konduktivitas optis pada layered (perovskite) Pr0.5Ca1.5MnO4untuk mengidentifikasi fenomena charge-ordering. Pemodelan melibatkan orbital Mn dan O yang berada pada bidang MnO2 dari layered Pr0.5Ca1.5MnO4. Interaksi yang diperhitungkan dalam pemodelan yaitu interaksi Coulomb inter-orbital dan intra-orbital, distorsi Jahn-Teller dan exchange interaction dengan menerapkan beberapa asumsi. Perhitungan dilakukan menggunakan Dynamical Mean Field Theory untuk mencapai self-consistency. Hasil perhitungan menunjukkan profile yang mendekati hasil eksperimen dengan puncak charge-ordering berada di bawah 1 eV dan puncak charge-transfer pada 3-3.7 eV. Di bawah temperatur TCO=OO ( 325 K), puncak charge-ordering mengalami blue shift seiring dengan penurunan temperatur.
We calculate the optical conductivity of layered (perovskite) Pr0.5Ca1.5MnO4 to capture charge-ordering phenomena. The calculations are based on a model which considers Mn and O orbitals within the MnO2 plane of layered Pr0.5Ca1.5MnO4. Interaction terms included in the model with some assumptions are the inter-orbital and intra-orbital Coulomb repulsions, the static Jahn-Teller distortion and the exchange interaction. We calculate within Dynamical Mean Field Theory to achieve self-consistency. The result shows a profile similar to recent experimental data, where the charge-ordering peak appears below 1 eV and charge-transfer peak at 3-3.7 eV. For temperaturelower than TCO=OO ( 325 K), the charge-ordering peak undergoes a blue shift as the temperature is decreased.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57092
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tedi Veradino
Abstrak :
Pengelasan memiliki peran penting dalam industri konstruksi, manufaktur, serta oil and gas. Salah satu penerapan teknologi pengelasan dalam industri adalah pengelasan pada pipa. Dalam penelitian ini, pengelasan pipa orbital dilakukan dengan Gas Tungsten Arc Welding (GTAW) tanpa filler metal (autogenous) pada pipa baja tahan karat tipe SS316L. Dimensi material uji adalah diameter luar 114 mm dan ketebalan 3 mm. Pengujian pengelasan dilakukan untuk mengetahui kualitas pengelasan (lebar manik) dan kekuatan tarik. Parameter pengelasan yang digunakan adalah arus terpulsasi, kecepatan pengelasan sebesar 0,150 mm/s, 0,154 mm/s, dan 0,161 mm/s, serta 4 posisi sudut pipa saat pengelasan yaitu 0°, 90°, 180°, dan 270°. Tahapan pengujian yang dilakukan meliputi persiapan alat dan benda uji, pengelasan bahan uji, dan pengujian kekuatan tarik dan mikrokekerasan. Alat pengelasan yang digunakan adalah alat pengelasan pipa orbital prototipe dengan metode 5G. Selanjutnya, untuk material SS316L, setelah dilakukan pengelasan, dilakukan pembentukan benda uji kekuatan tarik dengan bentuk standar bahan uji menggunakan standar ASTM E-8M. Hasil pengukuran lebar manik paling lebar terjadi pada kecepatan pengelasan 0,154 mm/s dengan lebar manik 12,14 mm pada posisi 90°. Hasil pengujian kekuatan tarik tertinggi terjadi pada kecepatan pengelasan 0,150 mm/d dengan kekuatan tarik maksimum sebesar 571,07 MPa pada posisi 180° dengan arus sebesar 100A.  ......Welding plays a significant role in the construction, manufacturing, and oil and gas industries. One application of welding technology in these industries is pipe welding. In this study, orbital pipe welding was conducted using Gas Tungsten Arc Welding (GTAW) without filler metal (autogenous) on SS316L stainless steel pipes. The test material had an outer diameter of 114 mm and a thickness of 3 mm. Welding testing was performed to assess the weld quality (bead width) and tensile strength. The welding parameters used were pulsed current, welding speed of 0.150 mm/s, 0.154 mm/s, and 0.161 mm/s, and four pipe corner positions during welding: 0°, 90°, 180°, and 270°. The testing stages included tool and sample preparation, welding of the test material, and tensile strength and microhardness testing. A prototype orbital pipe welding tool using the 5G method was employed. Additionally, for SS316L material, after welding, test specimens for tensile strength were formed using the standard shape of the test material following ASTM E-8M. The widest bead width measurement was obtained at a welding speed of 0.154 mm/s with a bead width of 12.14 mm at the 90° position. The highest tensile strength test results occurred at a welding speed of 0.150 mm/s with a maximum tensile strength of 571.07 MPa at the 180° position with a current of 100A.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tedjo Darmanto
Abstrak :
One way to model fractal object is by IFS (Iterated Function Systems) model based on affine trans-formation functions. Rotational effect of star-like object in IFS fractal model can be exhibited by means of metamorphical animation method instead of by the affine rotational operation of non meta-morphical animation method. The metamorphical version has an advantage over the non metamor-phical version in the independency of object?s relative position to the fixed point as an absolute cen-troid. Therefore, the rotational effect can be exhibited at any positions. In addition, it can be combined with rotational effect of the local centroid itself around the absolute centroid as a fixed point by the primitive rotational operation to form an interesting behaviour of orbital trajectory. So based on the hybrid of both animation methods, the animation simulation of orbital trajectory on a twin stars rota-ting to each other as a system can be done. Both objects are rotated in the same angular direction, but started in the opposite position around two closely different fixed points. So, the orbital trajectory yielded forms an elliptical path. The two similar objects can be created efficiently by cloning-scaling technique. In general, the animation method can be modeled as an animation framework.
Salah satu cara memodelkan objek fraktal adalah dengan model IFS (Iterated Function Systems) berdasarkan transformasi affine. Efek rotasi objek yang menyerupai bintang dari fraktal IFS dapat dijalankan melalui metoda animasi metamorfik sebagai pengganti operasi rotasi affine pada metoda animasi non metamorfik. Kelebihan metoda animasi yang metamorfik dibandingkan metoda animasi yang non metamorfik adalah dalam hal ketidakbergantungan posisi objek terhadap titik tetap sebagai titik pusat (centroid) absolut, sehingga efek rotasi dapat terjadi di manapun objek berada dan selain itu memungkinkan dikombinasikan dengan efek rotasi di seputar centroid lokal dengan efek rotasi operasi rotasi affine objek tersebut terhadap centroid absolut, sehingga menghasilkan hasil animasi berbentuk jejak orbit objek yang menarik untuk diobservasi. Jadi berdasarkan hibrida kedua metoda animasi, maka memungkinkan simulasi animasi yang menghasilkan jejak orbit sistem bintang ganda dapat dilakukan. Kedua objek bintang berotasi dengan arah rotasi yang sama tetapi berada pada posisi berlawanan seputar dua titik tetap berbeda, maka jejak orbit kedua objek tersebut berbentuk lonjong. Kedua objek dapat dikonstruksi secara efisien dengan teknik cloning-scaling. Secara umum hibrida metoda animasi dapat dimodelkan sebagai framework animasi.
Bandung: STMIK AMIK-Bandung, Department of Informatics, 2015
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakhere, Sandeep
Abstrak :
Normal variations in the paranasal sinus region are well documented in literature. We present five cases of a little known normal variant, which can have serious implications for the patient as well as the operating surgeon. An ectopic infra orbital nerve canal coursing through the maxillary sinus has rarely been described in imaging literature. This may sometimes be mistaken for a simple septum in the maxillary sinus and may cause serious complications during Functional Endoscopic sinus surgery (FESS) surgeries. We describe the imaging findings and present a brief review of the previous publications on the same subject.
Jakarta: Interna Publishing, 2018
610 IJIM 50:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Widyianto
Abstrak :
Pada penelitian ini dilakukan pengelasan pipa orbital dengan pengelasan Tungsten Inert Gas (TIG) arus pulsa tanpa logam pengisi (autogenous) pada pipa baja tahan karat tipe 304. Dimensi dari material uji adalah diameter luar 114 mm dan ketebalan 3 mm. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh parameter arus pulsa, posisi las dan siklus kerja terhadap karakteristik geometri las, sifat mekanik dan struktur mikro. Variasi parameter dalam penelitian ini yaitu arus konstan, arus pulsa dan siklus kerja. Arus rata-rata dari setiap parameter dibuat sama yaitu 100 ampere, namun pada arus pulsa terdapat variasi arus puncak, arus dasar, waktu arus puncak dan waktu arus dasar. Kecepatan pengelasan yang digunakan adalah 1,4 mm/detik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada pengelasan dengan variasi arus pulsa menghasilkan lebar manik las yang lebih besar dari pada pengelasan dengan arus konstan. Hasil lebar manik las berbanding lurus dengan peningkatan arus pulsa. Terjadi penurunan kekuatan tarik sebesar 23,95 % pada parameter 65-B posisi las 00 dan kenaikan kekuatan tarik sebesar 16,09 % pada parameter 65-A posisi las 1800 terhadap kekuatan tarik logam dasar. Pada kekerasan mikro dengan metode vickers, terjadi penurunan kekerasan terbesar pada daerah HAZ dan daerah las sebesar 20,50 % dan 7,22 % pada parameter 50-C.  ...... Orbital pipe welding was carried out in this research by pulse current Tungsten Inert Gas (TIG) welding without metal filler (autogenous) of 304 stainless steel pipes. The dimensions of the specimens were 114 mm outside diameter and the thickness of 3 mm. The purpose of this study was to determine the effect of pulse current parameters, weld position and duty cycle on the characteristics of weld geometry, mechanical properties and microstructure. Variation of parameters in this study were constant current, pulse current and duty cycle. The average current of each parameter was the same 100 ampere, but in the pulse current there were variations in peak current, base current, peak current time and base current time. The welding speed used was 1.4 mm/second. The results of this study indicate that in the welding with variations in pulse currents it produces a larger weld bead width than the welding with a constant current. The width of the weld bead was directly proportional to the increase in pulse current. There was a decrease in tensile strength of 23.95% in the parameter 65-B weld position 00 and an increase in tensile strength of 16.09% in parameter 65-A weld position 1800 against the tensile strength of the base metal. In the micro hardness with vickers method, the greatest hardness occurred in the HAZ region and the weld area by 20.50% and 7.22% in the 50-C parameter.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T52358
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusron Effendi
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Pemeriksaan MRI standar terkadang sulit untuk membedakan tumor ganas dan jinak orbita karena karakteristik imaging yang nonspesifik, padahal biopsi pada lokasi tertentu seperti apeks orbita dan basis kranium periorbital sulit dilakukan dan memiliki risiko komplikasi yang tinggi sehingga klinisi memerlukan pemeriksaan MRI yang lebih spesifik untuk memperkirakan sifat tumor. Pada beberapa penelitian sebelumnya, nilai Apparent Diffusion Coefficient ADC baik menggunakan MRI 3Tesla T, 1,5T, dan gabungan keduanya, mampu membedakan tumor ganas dan jinak orbita, namun memiliki nilai ambang bervariasi. Penelitian ini bertujuan mencari rerata nilai ADC menggunakan MRI 1,5T pada kelompok tumor ganas dan jinak orbita serta mencari nilai ambang untuk membedakan keduanya. Metode: Sebanyak 33 pasien tumor orbita yang telah menjalani pemeriksaan MRI orbita dengan kekuatan 1,5T dan mendapatkan nilai ADC tumor, dikelompokkan berdasarkan hasil histopatologis menjadi kelompok ganas dan jinak. Analisis statistik nilai ADC antara kelompok ganas dan jinak dilakukan menggunakan uji nonparametrik. Selanjutnya, penentuan nilai ambang optimal untuk membedakan tumor ganas dan jinak dilakukan menggunakan kurva receiver-operating characteristic ROC. Hasil: Dari 33 sampel diperoleh 17 tumor ganas dan 16 tumor jinak. Hasil histopatologis mayoritas pada kelompok tumor ganas dan jinak masing-masing adalah limfoma 4/17 dan meningioma grade I 9/16. Median dan range nilai ADC pada kelompok tumor ganas adalah 0,8 0,6-2,1 10 minus;3 mm2/s yang berbeda bermakna dengan kelompok tumor jinak 1,1 0,8-2,6 10 minus;3 mm2/s p=0,001. Nilai ambang optimal ADC untuk membedakan tumor ganas dan jinak adalah 0,88 10 minus;3 mm2/s dengan perkiraan sensitivitas 76,5 dan spesifisitas 93,8. Simpulan: Nilai ADC pada kelompok tumor ganas orbita lebih rendah dibandingkan tumor jinak dan bisa digunakan untuk memperkirakan karakteristik suatu tumor orbita. ......Background and purpose: Differentiating between malignant and benign orbital tumor using standard MRI sometimes is difficult because of nonspecific imaging characteristics, meanwhile biopsy in certain area such as orbital apex and periorbital skull base is difficult to do with higher risk of complication so that ophthalmologist may need suggestion from MRI result to predict the characteristic of tumor. In previous studies, the Apparent Diffusion Coefficient ADC value using MRI 3Tesla T, 1,5T, and combination of both, are able to differentiate between them but with variable cut-off value. This study aims to find out the ADC value of malignant and benign orbital tumor using MRI 1,5T and calculate the optimum cut-off value to differentiate them. Methods: Thirty-three patients with orbital tumor who has undergone MRI examination and get the ADC value of tumor are classified into malignant and benign group. ADC value between malignant and benign group is statistically analyzed using nonparametric test. The optimal cut off value between malignant and benign tumor is calculated receiver-operating characteristic ROC curve. Results: Among all samples, 17 are malignant and 16 are benign. Majority of histopathological result in malignant group are lymphoma 4/17 while in benign group are meningioma grade I 9/16. The mean ADC value in malignant group 0,8 10 minus;3 mm2/s is significantly different from benign group 1,1 10 minus;3 mm2/s p=0,001. The optimum cut-off ADC value to differentiate between malignant and benign orbital tumor is 0,88 10 minus;3 mm2/s with prediction of sensitivity 76,5 and specificity 93,8. Conclusion: ADC value in malignant orbital tumor is lower than benign tumor and it can be used to predict the characteristic of orbital tumor.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>