Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kartika Bahari Kusriyanti
"Pada 10 Juni 1838 terjadi pembantaian 28 orang Aborigin oleh sekelompok kulit putih di Myall Creek, New South Wales. Sejak awal kedatangan kulit putih di Australia, konflik memang seringkali terjadi antara kaum Aborigin dengan pendatang kulit putih. Tetapi dalam tragedi pembantaian kaum Aborigin di Myall Creek tersebut, pertama kalinya Pemerintah Koloni menjatuhkan hukuman gantung terhadap para pelaku pembantaian.
Skripsi ini mencoba untuk mengungkapkan terjadinya pembantaian kaum Aborigin di Myall Creek, kebijakan Pemerintah Koloni terkait pembantaian dan respon masyarakat atas kebijakan yang diterapkan Pemerintah Koloni. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.
Hasil dari penelitian ini adalah George Gipps, gubernur daerah koloni New South Wales, menerapkan hukuman gantung terhadap orang kulit putih yang membunuh kaum Aborigin sebagai salah satu usahanya untuk menghapuskan sikap rasis kulit putih terhadap orang Aborigin. Respon masyarakat kulit putih atas kebijakan Gipps terpecah antara kalangan mayoritas yang menentang dengan kalangan minoritas yang mendukung kebijakan Gipps.

On June 10th 1838, there was a massacre of 28 Aborigines by a group of whites in Myall Creek, New South Wales. Since the whites arrived in Australia, it was often a conflict between Aborigines and white settlers. But the massacre of Aborigines at Myall Creek was the first time since Government Colonies gave the trial and sentence to death for the perpetrators of the massacre.
This thesis attempts to reveal the Aboriginal massacre at Myall Creek, Colony Government policies related to the massacre and the public responses to government policies. This research using historical methods which consist of four steps: heuristic, critic, interpretation and historiography.
The result of this research is George Gipps, the governor of the colony of New South Wales, applied death penalty to white people who killed the Aborigines as one of his efforts to abolish the white racist attitudes towards Aborigines. Response of the whites at the discretion of the Gipps torn between majority that opposed the policy and the minority that supported Gipps.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46134
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Hanim Usman
"Sastra pasca kolonial di manapun keberadaannya, pada umumnya mempunyai kesamaan penggambaran, yaitu perlawanan masyarakat yang dijajah terhadap penjajahnya. Namun di Australia bentuk sastra pascakolonial tersebut rnenjadi unik. Di Australia, perlawanan masyarakat yang dijajah yaitu perlawanan suku Aborijin melawan pemerintah Australia mendapatkan simpati dan bantuan dari masyarakat kulit putih penjajahnya. Melalui media maupun karya tulis, mereka turut menunjukkan sikap yang ditujukan kepada pemerintah Australia atas kebijakan-kebijakan yang diberlakukan bagi suku Aborijin yang dirasakan tidak sesuai, bahkan terkesan represif. Beth Roberts, dengan karyanya, Magpie Boy (1989) adalah bagian dari fenomena ini. Di dalam karyanya tersebut, si pengarang kulit putih ini selain menggambarkan kehidupan suku Aborijin dan orang kulit putih, tampak pula memberikan pandangannya terhadap suatu bentuk rekonsiliasi. Salah satu bagian dari gambaran kehidupan suku Aborijin dan orang kulit putih yang diangkat ke dalam cerita yang dianalisis dalam tesis ini adalah nilai-nilai kemanusiaan mereka. Dari nilai-nilai kemanusiaan yang dikaji melalui tokoh dan penokohan sebagai elemen dalam fiksi, kedua kelompok tersebut dicoba pertemukan alam bentuk rekonsiliasi. Namun pada akhirnya terlihat bagaimana penggambaran rekonsiliasi yang dari telah diupayakan oleh pengarang, tidak mendapatkan bentuk yang hakiki melalui caranya menghadirkan simbol-simbol yang metaforis. Simbol-simbol tersebut pada dasarnya adalah pesan pengarang kepada pemerintah Australia atas mereka menyikapi upaya proses rekonsiliasi di dalam negeri"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T37415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naura Shahira Putri
"Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia terjadi beberapa peristiwa yang mengakibatkan banyak perlakuan diskriminatif dari beberapa kelompok seperti orang berkulit putih, etnis tionghoa, dan siapa saja yang dianggap sebagai pembela Belanda sehingga banyak terjadi pertumpahan darah. Masa 'bersiap' adalah masa yang dimulai sesaat setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 dan mencapai puncak kekerasannya dua bulan kemudian. Bagaimana perlakuan terhadap masyarakat kulit putih sebagai kelompok yang paling terdampak di Surabaya merupakan permasalahan penelitian ini. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah dengan menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer yang digunakan adalah tujuh dokumen Jack Boer tahun 1945 dari 125 eksemplar dokumen resmi pemerintah Belanda dan Hindia Belanda koleksi Archief van Tranen project yang memuat keterangan saksi dan dokumen lain yang menggambarkan keadaan pada masa bersiap. Sumber lainnya adalah surat kabar Belanda dan Australia. Penelitian ini melihat dari sudut pandang barat. Selama masa "bersiap", kekejaman terhadap orang kulit putih tanpa memandang jenis kelamin atau usia terus terjadi. Kekerasan yang terjadi pada masa persiapan merupakan akibat dari sistem politik Jepang untuk mewujudkan Asia Raya bersama Asia Timur Raya. Kejadian di Surabaya pada bulan Oktober 1945 merupakan kelanjutan dari sistem militer dan propaganda yang digaungkan pada masa pendudukan Jepang. Tidak hanya kebencian terhadap orang kulit putih, Masa Bersiap di Surabaya pada bulan Oktober 1945 juga terjadi akibat kekhawatiran akan kedatangan NICA melalui pasukan Sekutu.

Since the Proclamation of Independence of the Republic of Indonesia has occurred several events that resulted in many discriminatory treatments from several races, anyone who was considered as a defender of the Dutch so that there was a lot of bloodshed. The ‘bersiap’ period was the time that began shortly after Indonesia's independence on August 17, 1945 and reached the peak of violence two months later which was full of violence. When the‘bersiap’ white people was treated unfairly by being boycotted, tortured, and killed. The research method used is a historical research method using primary and secondary sources. The primary source used was 7 Jack Boer documents in 1945 out of 125 official documents from the Dutch and Dutch East Indies Government of Archief Van Tranen Project which contained witness statements and other documents that described the situation during the ‘bersiap’ period. Other sources are Dutch and Australian newspapers. During the "\‘bersiap’ period, cruelty to white people regardless of sex or age continues to occur. Violence that occurred during the preparation period was a result of the Japanese political system to realize Raya Asia with the Great East Asia. What happened in Surabaya in October 1945 was a continuation of the military and propaganda system echoed during the Japanese occupation. Not only hatred of white people, the period of ‘bersiap’ in Surabaya in October 1945 also occurred due to concerns about the arrival of NICA through the Allied forces."
2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library