Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diba Astried Mixmarina
"Rumah sakit sebagai salah satu institusi kesehatan harus memberikan pelayanan medis kepada seluruh pasien dengan memanfaatkan seluruh kemampuan dan fasilitas yang ada secara optimal dan dengan cara yang seefektif dan seefisien mungkin tanpa mengurangi mutu sesuai dengan standar pelayanan medis yang ada. Untuk. memastikan hal tersebut telah dilakukan perlu dibuat suatu konsep pelayanan yang mencakup seluruh aspek kegiatan yang dijalani pasien sejak awal masuk rumah sakit sarnpai keluar dari rumah sakit. Konsep pelayanan ini dapat dibuat dalam bentuk Clinical Pathway yang dengan rinci dan mendetil menggambarkan perjalanan perawatan pasien di rumah sakit.
Tujuan penelitian ini adalah untuk. mengetahui clinical pathway operasi histerektomi di Rumah Sakit Cengkareng tahun 2006. Pemilihan operasi histerektomi karena histerektomi merupakan tindakan bedah obstetri ginekologi ketiga terbanyak yang dilakukan di kamar operasi Rumah Sakit Cengkareng tahun 2006. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif observasi berdasarkan data rekam medis tahun 2006. Pendekatan dilakukan dengan wawancara mendalam kepada Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi, Manajer Keperawatan dan perawat ruangan serta telaah data.
Hasil penelitian ini menunjukkaan dapat dilakukan pembuatan clinical pathway operasi histerektomi di RS Cengkareng, serta dapat diketahui segal akegiatan pasien sejak pasien berada dalam tahapan pendaftaran, penegakan diagnose, pra operasi, operasi, post operasi dan kontrol. Diagnosis utama yang didapatkan adalah Mioma Uteri Kista Endometriosis, Prolapsus Uteri Grade III, Perdarahan Ante Partum, Adenomiosis Uteri, Kista Ovarium, Displasia Seviks, Ruputra Uteri, Agenesis Vagina, kehamilan EKtopik Terganggu, Kista Endometriosis+Adenomiosis Uteri dan Kista Ovarium + Mioma Uteri. Sedangkan ditemukan diagnosis penyerta yaitu anemia, perdarahan, hipertensi, apendisitis dan abses dinding abdomen, sementara ditemukan penyulit berupa sepsis. Adanya penyerta dan penyulit menyebabkan terjadinya tiga pengelompokan pasien berdasarkan diagnosis utama, yaitu diagnosis utama tanpa penyerta dan penyulit, diagnosis utama disertai penyerta dan diagnosis utama disertai penyerta dan penyulit. Terdapat perbedaan kegiatan pada ketiga kelompok diagnosis tersebut. Umur rata-rata pasien penelitian ini adalah di atas 40 tahun. Rata-rata hari rawat pasien secara keseluruhan adalah 7,2 hari, munnn terdapat perbedaan bila dilihat dari masing - masing kelompok diagnosis utama, peda kelompok diagnosis utama tanpa penyerta dan penyulit selama 5,5 hari, kelompok diagnosis utama disertai penyerta selama 7,8 hari, dan kelompok diagnosis utama disertai penyerta dan penyulit selama 20 hari. Standar asuhan keperawatan khusus untuk perawatan pesien operasi histerektomi belum ada dan hanya menggunakan standar asuhan keperawatan bedah obsgyn. Pada penggolongan dalam ARDRG, histerektomi telah dimasukkan sebagai kelompok diagnosis terkait dengan kode DRG N04Z, namun tidak disebutkan adanya kemungkinan penyakit penyerta dan penyulit yang akan mempengaruhi lama hari rawat dan meningkatkan variasi tindakan yang diterima pasien. Sedangkan pada operasi histerektomi di Indonesia temyata didapatkan adanya beberapa penyakit penyerta dan penyulit.
Saran dari penelitian ini kepada kepada Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologiagar selalu mengisi rekam medis secara lengkap dan jelas dan membantu melengkapi Standar Pelayanan Medik RS yang ada agar dapet dignnakan sebagai acuan dalam pembuatan clinical pathway kasus lainnya. Kepada komite keperawatan agar disusun Standar Asuhan Keperawatan untuk pasien operasi histerektomi dan melengkapi pengisian lembar asuhan kaperawatan dalam berkas rekam. Sementara kepada Manajemen Rumah Sakit disaraakan untuk melengkapi Standar Pelayansn Medik Rumah Sakit agar dapat dijadikan acuan dalam pembuatan clinical pathway, menyesun clinical pathway untuk kasus - kasus terbanyak di RS Cengkareng dan melakukan sosialisnsi kepada seluruh unit tentang penerapan clinical pathway.

Hospital as one of health institution must provide the medical service for all the patient using all of their abilities and facilities optimally with the most efective and efficien ways without decreasing the quality according to the medical service standard. To ensure that, it need a tool as a concept for integrated service which include all aspect of patient's activity start from they enter the hospital until discharge. This concept can be made as a Clinical Pathway which describing all patient's treatment in detail.
The aim of the research is to find out the clinical pathway for hysterectomy at Cengkareng hospital in 2006. The reason of choosing hysterectomy as the example case because of the rank of hysterectomy as the third most obstetric and gynaecology surgery perform at the oparating room at Cengkareng hospital in 2006. This research using the kualitative observative method based on the year 2006's medical record ? The approached is by depth interview with the Obstetric and Gynacologiest, Nursing Manager and room nurse and deta analyzing.
The result of the research showed us that the clinical pathway for hysterectomy can be made and we also can find out all patienfs activities since they were in the stage of admission, diagnosis, pre operative, operative, and follow up. The main prolapse grade III? The average age of the patients in this research are above 40 years old. The average lengths of stay in generally is 7,2 days, but there are differences lengths of stay in each category, for the main diagnosis without commorbidity and complication is 5,5 days, for the main diagnosis without commorbidity is 7,8 days and for the main diagnosis with commorbidity and complication is 20 days.Until now, there is no special nursing service standard for hysterectomy and oly using the common obsgyn surgery nursing service standard. In the grouping of ARDRO, hysterectomy is already as a diagnosis related groups with the code DRO N04Z, but there is no chance of commorbidity and complication who will affect the length of stay and increasing the variety of treatment. On the other side, hysterectomy perform in Indonesia has several commorbidities and complication.
The suggestion for the Gynaecologyst is to fill the medical record clearly and detailed and help to complete the hospital's medical service, which can be used as a tool for creating another clinical pathway. To the nursing committee, it suggest to create a special nursing service stsndard for hysterectomy patient and complete the filling of the nursing service paper in medical record. As to the hospital management, it suggest to complete the hospital medical service standard which can be used as a tool in creating clinical pathway, make clinical pathways for the most cases at Cengkareng Hospital and to socialized the clioical pathway to all units.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T20930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lufti Bagus
"Tujuan: Membandingkan hasil pemeriksaan urodinamik pada pasien prolapsus uteri (PU) dengan terpasang pesarium dan setelah dilakukan operasi histerektomi transvaginal.
Bahan dan cara : Penelitian ini bersifat prospektif dan dilakukan konsekutif, pada wanita dengan prolapsus uteri yang diindikasikan untuk menjalani operasi di subbagian Uroginekologi RSCM periode Agustus 2001 sampai dengan Mei 2004. Sebelum dilakukan operasi pasien dilakukan pemeriksaan urodinamik (dalam keadaan terpasang pesarium) di departemen Urologi RSCM dan secepat-cepatnya satu bulan sesudah operasi dilakukanan pemeriksaan urodinamik kembali. Uji statistik dilakukan dengan Student's t test dan uji korelasi Spearman.
Hasil penelitian: Dari 76 pasien PU yang dirujuk ke departemen Urologi dalam kurun waktu tersebut diatas, terdapat 29 pasien yang menjalani pemeriksaan urodinamik sebelum dan sesudah operasi dengan usia rata-rata 59±8 (40-76) tahun. Derajat prolapsus uteri derajat 1 1(3,4%), derajat II 5(17,2%) dan derajat III 23(79,3%). Semua pasien disertai dengan sistorektokel kecuali 1 pasien prolapsus uteri derajat I. Duapuluh enam pasien (89,7%) menjalani operasi histerektomi transvaginal (TVH) disertai kolporafi anterior (KA) dan kolpoperinioraf (KPR), 2 (6,9%) pasien menjalani TVH dan KPR sedangkan 1(3,4%) pasien dilakukan prosedur Manchester. Perbandingan parameter hasil pemeriksaan urodinamik sebelum dan sesudah operasi terdapat penurunan tekanan detrusor pada laju aliran maksimum (PQmax) dari rata-rata 35 menjadi 31 cmH2O dengan p =0,035 dan berkurangnya residual urine dari rata-rata 51 menjadi 33 ml dengan p =0,025. Didapatkan juga peningkatan laju aliran maksimum (Qmax) dari rata-rata 13,6 menjadi 14,1 ml/det dengan p=0,88. Secara umum didapatkan perbedaan yang tidak bermakna pada hasil diagnosis urodinamik pre dan pasca operasi , p = 0,663. Tidak ditemukan inkontinensia stress pada pemeriksaan urodinamik pra- dan pasca-operasi.
Kesimpulan : Didapatkan penurunan yang bermakna pada PQmax dan residual urine, serta didapatkan peningkatan Qmax yang secara statistik tidak bermakna. Didapatkan perbedaan yang tidak bermakna pada kesimpulan pemeriksaan urodinamik sebeium operasi (terpasang pesarium) dengan sesudah dilakukan operasi (TVH+KA dan KPR). Tidak diperlukan tindakan pencegahan anti inkontinensia stress pada operasi PU, bila setelah dipasang pesarium tidak didapatkan inkontinensia stress pada pemeriksaan urodinamik pre-opnya.

Objectives: To compare the urodynamic patterns in women with uterovaginal prolapse (UP) using vaginal pessary and after transvaginal hysterectomy.
Materials and methods: A prospective study was performed in consecutive patients with UP in the Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, from August 2001 until May 2004. Patients indicated for surgery (transvaginal hysterectomy = TVH) were included in this study. Urodynamic pressure-flow studies were performed before (with pessary inserted) and at least 1 month after surgery.
Results: From 76 UP patients who were revered to Department of Urology, there were 29 women with an urodynamic evaluation before and after surgery. Mean age 59±8 (40-76) years. One (3,4%) patient UP grade I, 5(17,2°h) patients UP grade II and 23 (79,3%) patients UP grade III. Except one patient (UP grade I) all patients had concomitant cystorectocele. Twenty six (89,7%) patients underwent TVH, anterior colporrhaphy (ACR) and colpoperinieorhaphy (CPR), 2(6,9%) patients were underwent TVH+CPR and 1(3,4%) underwent Manchester procedure. Mean detrusor pressure at maximum flow (PQmax) before and after operations decreased from 35 to 31 cmH2O, p=0,035 ; while mean maximum flow rate (Amax) increased from 13,6 to 14,1 mils, p=0,88 and residual urine decreased from 51 to 33 ml, p =0,025. Overall, there were no significant differences in the urodynamic patterns before and after surgery, p= 0,663. In this study we did not find any stress incontinence before or after surgery. There were no stress incontinence found in urodynamic evaluations pre- and post operatively
Conclusions: Using vaginal pessary or having transvaginal hysterectomy do not give a different impact on urodynamic parameters in women with UP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library