Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sidik Awaludin
"ABSTRAK
Nyeri pascabedah jantung menjadi masalah bagi pasien, sehingga perlu intervensi dengan terapi farmakologi dan non farmakologi seperti terapi komplementer keperawatan. Terapi komplementer dari beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan perawat merupakan terapi tunggal dan kombinasi dua terapi. Bentuk kombinasi tiga terapi seperti pijat, hipnosis, dan musik (Formula PHISIK) bekerja saling menguatkan dalam menurunkan nyeri. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi pengaruh pemberian formula PHISIK terhadap intensitas nyeri pascabedah jantung di RS PJNHK Jakarta. Desain penelitian ini yaitu quasi eksperiment design dengan non equivalent control group design. Sampel dalam penelitian ini adalah 36 pasien pascabedah jantung. Pemberian formula PHISIK menurunkan intensitas nyeri secara signifikan melalui selisih skala nyeri, denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan tekanan darah pra dengan pascaperlakuan (p value < 0,05). Formula PHISIK berpengaruh secara signifikan dalam menurunkan skala nyeri, denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan tekanan darah pada pasien pascabedah jantung. Formula PHISIK dapat digunakan sebagai bagian dari intervensi keperawatan dalam upaya menurunkan nyeri pascabedah jantung.

ABSTRACT
Post-cardiac surgery pain has become a problem for patients. Therefore, it needs intervention either use pharmacological or non-pharmacological therapies. Complementary therapies from several previous studies by nurses are focused on a single or two combined therapy. No study found to combine more than two. A combination of three therapies such as massage, hypnosis, and music (PHISIK formula) each other may reduce pain.The objective to identify the effect of PHISIK formula to pain intensity of patient with post-cardiac surgery pain at national cardiac center hospital Harapan Kita Jakarta. This study used a quasi-experimental design with non-equivalent control group design. The sample in this study were 36 post-cardiac surgery patients. PHISIK formula significantly reduce pain intensity as showed in the difference of pre post-treatment on pain scale, heart rate, respiratory rate, and blood pressure (p value < 0,05). PHISIK formula is found significant reduce pain scale, heart rate, respiratory rate, and blood pressure on post-cardiac surgery. PHISIK formula can be used as part of a nursing intervention in reducing post-cardiac surgery pain."
2013
T35842
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasir Mustafa Banadji
"Latar Belakang: Nyeri akut pasca-bedah pada anak-anak sering tidak ditangani
dengan baik karena dogma yang popular adalah anak-anak tidak merasakan nyeri.
Penanganan nyeri yang tidak adekuat mencetus respon stress dan biokimia dan
menyebabkan gangguan fungsi metabolisme, kardiovaskular, pulmoner, neuroendokrin,
gastrointestinal, dan imunologi. Selama ini, penanganan nyeri akut
pascabedah anak-anak di bawah umbilikus dilakukan dengan pendekatan
multimodal dengan teknik anestesia regional dan obat analgetika sistemik.
Asetaminofen merupakan obat analgetika yang paling sering digunakan untuk
menangani nyeri derajat ringan-sedang. Metamizol juga telah banyak digunakan
sebagai obat analgetika yang efektif untuk nyeri pasca-bedah. Meski demikian,
untuk penanganan nyeri pasca-bedah, penggunaan metamizol tidak sepopuler
asetaminofen di Indonesia. Di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo, penggunaan
asetaminofen intravena sebagai analgetika pascabedah direstriksi berdasarkan
formularium nasional.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai
efektivitas metamizol 15 mg/KgBB IV dan asetaminofen 15 mg/KgBB IV untuk
analgesia pascabedah di bawah umbilikus pada pasien pediatrik. Pengambilan
sampel penelitian dilakukan pada bulan April 2019-Oktober 2019 secara consecutive sampling. Enam puluh empat subjek penelitian memenuhi kriteria
inklusi dan bersedia mengikuti penelitian, kemudian dirandomisasi menjadi dua
kelompok. Subjek menjalani pembedahan dengan pembiusan umum dan injeksi
bupivakain 0,25% secara kaudal. Sebelum pembedahan berakhir, subjek
mendapatkan regimen analgetika asetaminofen 15 mg/KgBB IV atau metamizol 15
mg/KgBB IV sesuai kelompok randomisasi. Pemberian regimen analgetika diulang
setiap 8 jam dalam 24 jam pertama pasca-bedah. Dilakukan penilaian skala FLACC
saat istirahat dan bergerak pada saat pasien pulih sadar, jam ke-4, jam ke-6, jam k-
12, dan jam ke-24 pascabedah. Dilakukan pula pencatatan kebutuhan fentanil, saat
pertama pasien membutuhkan fentanil, dan efek samping yang timbul selama 24
jam pertama pascabedah.
Hasil: Derajat nyeri (skala FLACC) pada saat istirahat maupun bergerak tidak
berbeda bermakna antar kedua kelompok pada saat pasien pulih sadar, jam ke-4, 6,
12, dan 24 pascabedah. Tidak terdapat subjek yang membutuhkan fentanil rescue
selama 24 jam pertama pacabedah pada kelompok metamizol. Terdapat 4 dari 32
subjek yang membutuhkan fentanil rescue pada kelompok asetaminofen dengan
saat pertama membutuhkan fentanil rescue berkisar antara 300 hingga 700 menit
pascabedah. Angka kejadian mual dan muntah lebih banyak terjadi pada kelompok
asetaminofen (mual: 31,3% vs 18,8%; Muntah: 25% vs 12,5%).
Simpulan: Metamizol 15 mg/kgBB IV tidak lebih efektif dibandingkan dengan
asetaminofen 15 mg/kgBB IV untuk analgesia pascabedah di bawah umbilikus pada
pasien pediatrik.

Background: Acute post-operative pain in pediatric patients often poorly handled
due to the popular paradigm that children doesnt feel pain. Inadequate pain
treatment can induce stress and biochemical response and cause metabolism,
cardiovascular, pulmonary, neuro-endocrine, gastrointestinal, and immunological
dysfuctions. Nowadays, pediatric pain management for post-operative pain below
umbilical surgery is done in multimodal fashion with combination of regional
anesthesia and systemic analgesia drugs. Acetaminophen is often used for
analgesia on mild-moderate pain. Metamizole also has been used and quite
effective for post-operative analgesia. However, metamizole is not as popular as
acetaminophen for post-operative analgesia in Indonesia. In dr.Cipto
Mangunkusumo Hospital, acetaminophen for post-operative analgesia is restricted
due to National Drugs Regulation.
Methods: We conducted this double-blinded clinical trial to evaluate effectiveness
of intravenous metamizole 15 mg/KgBW and intravenous acetaminophen 15
mg/KgBW for post-operative analgesia of below umbilical surgery in pediatric
patients. A consecutive sampling was done from April 2019 to October 2019. Sixtyfour
subjects that meet inclusion criteria and had consent randomized into 2 groups. The subjects had surgery with combination of general anesthesia and
injection of caudal block bupivacaine 0.25%. Before surgery concluded, the
subjects received analgesia regiment acetaminophen 15 mg/KgBW or metamizole
15 mg/KgBW according to their randomization group. The analgesia regiment was
given again every 8 hours for 24 hours post-operative. The FLACC scale at rest
and during movement were recorded at time of fully recover from anesthesia, 4-h,
6-h, 12-h, and 24-h post-operative. Fentanyl rescue requirement, moment of first
time fentanyl rescue requirement, dan the drugs side effect were also recorded for
24 hours post-operative.
Result: FLACC scale at rest and during movement between two groups at fully
recover from anesthesia, 4-h, 6-h, 12-h, and 24-h post-operative was not
significantly different. No subject needed fentanyl rescue during 24 hours postoperative
in metamizole group. There was 4 of 32 subjects needed fentanyl rescue
in acetaminophen group with first fentanyl rescue requirement occur between 300
to 700 minutes post-operative. The incidence of nausea and vomiting ws higher in
acetaminophen group than metamizole group (nausea: 31.3% vs 18.8%; vomiting:
25% vs 12.5%)
Conclusion: Metamizole 15 mg/KgBW is not more effective compared to
acetaminophen 15 mg/KgBW for post-operative analgesia of below umbilical
surgery in pediatric patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hendayani
"Nyeri dan kecemasan adalah dua masalah utama yang sering dialami pasien pascabedah yang dapat menghambat proses pemulihan dan menurunkan kualitas hidup. Berbagai metode untuk mengatasi masalah ini telah dikembangkan, termasuk terapi farmakologi dan non farmakologi. Salah satu pendekatan non farmkakologi yang dapat dilakukan melalui pemberian kombinasi relaksasi otot progresif dan aromaterapi lavender. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi efektivitas kombinasi relaksasi otot progresif dan aromaterapi lavender dalam mengurangi nyeri dan kecemasan pada pasien pascabedah. Desain penelitian: penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan pendekatan pre-post test control group design. Teknik consecutive sampling dengan cara mengurutkan responden menggunakan penomoran ganjil untuk kelompok kontrol dan genap untuk kelompok intervensi digunakan untuk menentukan sampel, dengan total 40 peserta yang terbagi manjadi dua kelompok: 20 peserta dalam kelompok kontrol yang menerima relaksasi otot pogresif dan 20 peserta dalam kelompok intervensi yang menerima kombinasi relaksasi otot progresif dan aromaterapi lavender. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Visual Analogue Scale (VAS) untuk mengukur nyeri dan State Trait Anxiety Inventory (STAI) untuk mengukur kecemasan. Hasil penelitian: Uji paired – test pada kelompok kontrol dan uji wilcoxon kelompok intervensi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam tingkat nyeri dan kecemasan sebelum dan sesudah mendapatkan perlakuan pada masing-masing kelompok dengan p = 0,000 (p < 0,05). Namun, Uji Mann- Whitney pada nyeri antar kelompok setelah mendapatkan perlakuan (p = 0,665 > 0,05) dan uji Independent-t test pada skor kecemasan antar kelompok setelah perlakuan (p = 0,915 p > 0,05) masing-masing tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kesimpulan: Penggunaan relaksasi otot progresif yang dikombinasikan dengan aromaterapi lavender mengalami penurunan nyeri dan kecemasan yang lebih besar dibandingkan dengan yang hanya diberikan relaksasi otot progresif saja. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam penurunan nyeri dan kecemasan setelah perlakuan antara kelompok relaksasi otot progresif dan kelompok kombinasi relaksasi otot progresif dan aromaterapi lavender. Rekomendasi: Penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan desain yang lebih beragam diperlukan untuk mengeksplor lebih jauh temuan ini.

Pain and anxiety are two major problems often experienced by post-surgical patients that can hinder the recovery process and reduce their quality of life. Various methods to overcome these problems have been developed, including pharmacological and non-pharmacological therapies. One of the non-pharmacological approaches that can be done through the provision of a combination of progressive muscle relaxation and lavender aromatherapy. The purpose of this study was to evaluate the effectiveness of a combination of progressive muscle relaxation and lavender aromatherapy in reducing pain and anxiety in postoperative patients. Research design: This study is a quasi-experimental study with a pre-post test control group design approach. The consecutive sampling technique was used to determine the sample by sequentially numbering respondents with odd numbers for the control group and even numbers for the intervention group, with a total of 40 participants divided into two groups: 20 participants in the control group who received progressive muscle relaxation and 20 participants in the intervention group who received a combination of progressive muscle relaxation and lavender aromatherapy. This study used instruments of the Visual Analogue Scale (VAS) to measure pain and the State Trait Anxiety Inventory (STAI) to measure anxiety. Results: The paired - test in the control group and the Wilcoxon test in the intervention group showed a significant difference in the level of pain and anxiety before and after getting treatment in each group with p = 0.000 (p < 0.05). However, the Mann- Whitney test on pain between groups after treatment (p = 0.665 > 0.05) and the Independent t-test on anxiety scores between groups after treatment (p = 0.915 p > 0.05) each showed no significant difference. Conclusion: The use of progressive muscle relaxation combined with lavender aromatherapy had a greater reduction in pain and anxiety than those given progressive muscle relaxation alone. There was no significant difference in the reduction of pain and anxiety after treatment between the progressive muscle relaxation group and the combination group of progressive muscle relaxation and lavender aromatherapy. Recommendation: Further research with larger samples and more diverse designs is needed to further explore these findings."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Naridipta Anindyahapsari
"Latar Belakang. Nyeri pascabedah adalah masalah utama pascalaparotimi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pascabedah. Derajat nyeri pascalaparotomi dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya jenis pendekatan laparotomi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menilai perbandingan derajat nyeri pascalaparotomi digestif di atas umbilikus dan ginekologi yang mendapat analgesia kombinasi intravena dan epidural. Metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap 34 pasien wanita yang menjalani laparotomi digestif atas dan 34 pasien laparotomi ginekologi yang berusia 18 hingga 65 tahun dengan klasifikasi ASA I hingga III di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2022 hingga Juli 2023. Data pasien dipilih secara konsekutif dari rekam medik rumah sakit. Pasien dengan data yang tidak lengkap dan komplikasi pascabedah yang serius dikecualikan dari penelitian. Data kemudian diolah menggunakan SPSS dan dianalisis dengan uji Mann- Whitney. Hasil. Rata-rata derajat nyeri pasca bedah sewaktu beristirahat pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus yaitu sebesar 2.09 ± 0.9 dan 2.53 ± 1.187 pada laparotomi ginekologi. Sedangkan derajat nyeri sewaktu bergerak pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus sebesar 3.82 ± 1.242 dan 3.12 ± 0.046 pada pasien yang menjalani laparatomi ginekologi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan derajat nyeri pascabedah laparatomi sewaktu bergerak ( p =0.016). Derajat nyeri sewaktu istirahat laparatomi digestif di atas umbilikus dengan pasien laparatomi ginekologi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. (p 0.098). Kesimpulan. Dengan pemberian kombinasi analgesia epidural dengan analgetik intravena, derajat nyeri pascabedah sewaktu bergerak pada laparotomi digestif di atas umbilikus lebih tinggi signifikan dibandingkan laparatomi ginekologi meskipun secara klinis tidak bermakna. Tidak terdapat perbedaan signifikan derajat nyeri pada waktu istirahat pada kedua jenis pembedahan.

Introduction. Postoperative pain can lead to serious complications. The intensity of postoperative pain is influenced by numerous factors, such as type of laparatomy. Multimodal analgesia is recommended to manage postlaparatomy pain. This study aims to compare the intensity of post digestive and gynecology laparatomy pain in patients with intravenous and epidural analgesia. Method. This study is conducted using retrospective cohort method approach on 34 female patients underwent upper digestive laparatomy and 34 female patients underwent gynecology laparatomy, aged 18 to 65, classified as ASA I -- III in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2022 to July 2023. Patient data was consecutively selected from hospital’s medical records. Patient with incomplete data and severe postoperative complications were excluded from the study. The data was then analyzed using SPSS and the analysis were tested using the Mann-Whitney. Results. The mean of postoperative pain at rest in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 2.09 ± 0.9 , and 2.53 ± 1.187 in gynecologic laparotomy. Meanwhile, the mean of postoperative pain during movement in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 3.82 ± 1.242 and 3.12 ± 0.946 for gynecologic laparatomy. There is statistically significant difference in the comparison of postoperative pain levels during movement with a p value of 0.016. There is no significant difference in postoperative pain levels at rest between patients undergoing digestive laparotomy upper umbilicus and gynecologic laparotomy patients with p value of 0.098. Conclusion. The degree of postoperative pain during movement is statisically significant but not clinically important in digestive laparatomy upper umbilicus compared to gynecologic laparotomy when given the combination of intravenous and epidural analgetics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lawrence
"Latar Belakang: Kombinasi adductor canal block dan infiltration between popliteal artery and capsule of knee adalah metode analgesia blok saraf tepi yang banyak dikerjakan pada Total Knee Replacement. ACB dapat menghasilkan luaran analgesia yang berbeda tergantung lokasi injeksi dan volume obat anestesi lokal. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas kombinasi ACB proksimal dan iPACK dengan ACB distal dalam volume besar dalam memfasilitasi mobilisasi dini pascabedah TKR.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis terkontrol acak tersamar tunggal. Tiga puluh subjek yang memenuhi syarat yang menjalani operasi Total Knee Replacement antara Juni 2023 dan Januari 2024 secara acak dimasukkan ke kombinasi ACB proksimal dan iPACK atau kelompok ACB distal dalam volume besar. Penelitian membandingkan beda rerata TUG test 24 jam pascablok, NRS di jam ke-6, -12 dan -24 serta konsumsi morfin 24 jam pascablok. Penelitian juga membandingkan waktu pengerjaan blok, waktu pertama rescue analgesia morfin  serta efek samping blok.
Hasil: Rerata TUG Test 24 jam pascablok, rerata NRS di jam ke-6, -12 dan -24  maupun rerata konsumsi morfin 24 jam tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Waktu pengerjaan blok ACB distal lebih singkat dan berbeda bermakna dari waktu pengerjaan kombinasi ACB dan iPACK (p < 0,05). Tidak dijumpai efek samping blok pada kedua kelompok.
Kesimpulan: ACB distal dalam volume besar tidak terbukti lebih efektif dari kombinasi ACB proksimal dan iPACK dalam memfasilitasi mobilisasi dini pasca TKR. Waktu pengerjaan ACB distal lebih singkat secara bermakna dibanding waktu pengerjaan kombinasi ACB proksimal dan iPACK

Background: The combination of adductor canal block and infiltration between popliteal artery and capsule of knee are widely used for analgesia in total knee replacement. ACB can produce different analgesia quality depending on the injection site and the volume of local anesthetic. This study aims to compare the effectiveness of the combination of proximal ACB and iPACK with large volume distal ACB in facilitating early mobilization after total knee replacement.
Method: This study is a single randomized controlled trial. Thirty eligible subjects who underwent total knee replacement surgery between June 2023 and January 2024 were randomly assigned to a combination of proximal ACB and iPACK or a large volume distal ACB group. The primary outcomes were different means of TUG test at 24 hours postblock, NRS at 6, -12 and -24 hours postblock and 24-hour morphine consumption. The secondary outcomes were block performing time, time of first  rescue analgesia and side effect of the block.
Result: The medians of TUG Test at 24 hours postblock, NRS at 6, -12 and -24 hours postblock and 24-hour morphine consumption did not differ significantly between the two groups. The performing time of large volume distal ACB  was significantly shorter compared to the performing time combination of proximal ACB and iPACK (p < 0.05). No side effects of block were found in either group.
Conclusion: The large volume distal ACB was not shown to be more effective than the combination of proximal ACB and iPACK in facilitating early mobilization after total knee replacement. The performing time of large volume distal ACB was significantly shorter than the performing time of the combination of proximal ACB and iPACK.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
A.A. Gde Putra Semara Jaya
"Latar Belakang. Bedah jantung terbuka mengakibatkan nyeri dan respons stres pascabedah yang dapat memberikan dampak buruk bagi pasien. Blok transversus thoracis plane merupakan blok interfascial dalam di area parasternal untuk mengatasi nyeri sternotomi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas penambahan blok transversus thoracis muscle plane bilateral dalam mengurangi nyeri dan respons stres pascabedah jantung terbuka terhadap kontrol. Metode. Penelitian ini adalah uji klinis terkontrol acak tersamar ganda. Tiga puluh empat subjek yang memenuhi syarat yang menjalani operasi jantung elektif antara September 2020 dan Agustus 2001 secara acak dimasukkan ke kelompok blok TTP atau kontrol. Penelitian membandingkan beda rerata konsumsi morfin 24 jam pascabedah, waktu pertama dosis morfin pascabedah, waktu ekstubasi, konsentrasi plasma IL-6 dan kortisol pada 24 jam dan 48 jam pascabedah. Penelitian juga ingin mengetahui konsumsi fentanil intraoperatif, waktu pertama opioid rescue intraoperatif, komplikasi, efek samping opioid, dan lama rawat inap. Hasil. Konsumsi morfin 24 jam pertama pascabedah lebih tinggi secara bermakna (p<0,001) pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok blok TTP. Waktu pertama pemberian morfin pascabedah lebih lama secara bermakna (p<0,001) pada kelompok blok TTP dibandingkan kelompok kontrol. Waktu ekstubasi tidak berbeda bermakna antara kelompok blok TTP dan kelompok kontrol. Konsentrasi plasma IL-6 dan kortisol tidak berbeda bermakna antara kelompok blok TTP dan kelompok kontrol pada 24 jam dan 48 jam pascabedah. Kesimpulan. Penambahan blok transversus thoracis muscle plane bilateral tidak terbukti lebih efektif dalam mengurangi nyeri dan respons stres pascabedah jantung terbuka dibandingkan dengan kontrol.

Background. Open-heart surgery is a major surgery that causes postoperative pain and surgical stress response, contributing further to postoperative complications and morbidity. Transversus thoracis muscle plane block is a deep interfascial block in the parasternal area to treat sternotomy pain. This study aimed to compare the effectiveness of bilateral transversus thoracis muscle plane blocks in reducing pain and stress response after open-heart surgery versus control. Methods. This is a prospective, double-blind, randomized control trial. Thirty-four eligible subjects who underwent elective cardiac surgery between September 2020 and August 2001 were randomly assigned to the TTPB or control group. The primary outcomes were the different means of 24-hour postoperative morphine consumption, time of first postoperative morphine dose, extubation, postoperative plasma levels of IL-6 and cortisol at 24 hours and 48 hours after surgery. The secondary outcomes were intraoperative fentanil consumption, time of first intraoperative opioid rescue, complication, opioid side effects, and length of stay. Results. The 24-hour postoperative morphine consumption was significantly higher (p<0.001) in the control group than in the TTPB group. The time of first postoperative morphine dose was significantly longer (p<0.001) in the TTPB group than in the control group. Extubation time was not statistically different between the TTP block group and the control group. Plasma levels of IL-6 and cortisol were not statistically different between the TTP block group and the control group at 24 hours and 48 hours after surgery. Conclusion. The bilateral transversus thoracis muscle plane blocks were not shown to be more effective in reducing pain and stress response after open-heart surgery compared to controls."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Widiyanti Kusumaningati
"Latar Belakang: Pengukuran kualitas manajemen nyeri perlu untuk dilakukan untuk mengeksplorasi strategi pengobatan nyeri pascabedah yang efektif serta untuk meningkatkan kualitas pelayanan nyeri pascabedah. American Pain Society Patient Outcome Questionnaire Revised APS-POQ-R merupakan instrumen yang paling sering digunakan untuk menilai kualitas manajemen nyeri di berbagai Negara namun kesahihan serta keandalan kuesioner ini belum pernah dilakukan di Indonesia pada pasien pascabedah.
Metode: Penelitian ini uji psikometrik menggunakan rancangan deskriptif potong lintang. Kuesioner diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menggunakan pedoman Internasional.Hasil terjemahan akan diujikan pada 102 pasien yang menjalani bedah elektif di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Uji kesahihan isi menggunakan koefisien Aiken v, uji kesahihan konstruksi menggunakan analisis faktor dan uji korelasi corrected item total correlation. Uji keandalan menggunakan konsitensi internal Chronbach ?.
Hasil: Uji kesahihan isi formula Aiken V didapatkan bahwa APS-POQ-R versi Indonesia sahih dengan nilai 0,8-1 angka V ge; 0,5 . Analisis faktor menghasilkan 5 faktor utama dari 18 pertanyaan instrumen: aktivitas dan gangguan tidur, pengaruh nyeri terhadap emosi, efek samping, persepsi tatalaksana nyeri, dan derajat nyeri. Uji kesahihan konstruksi dengan corrected item total correlation menunjukan semua pertanyaan memiliki korelasi yang baik yakni berkisar 0,244-0,799 korelasi ge; 0,3 . Nilai korelasi antara tiap-tiap faktor dalam instrumen APS-POQ-R versi Indonesia baik yakni berkisar 0,319-0,407. Uji konsistensi internal instrumen APS-POQ-R versi Indonesia memiliki nilai yang baik yakni sebesar 0,663 ? >0,5.
Simpulan: APS-POQ-R versi Indonesia menunjukkan nilai kesahihan dan keandalan yang memuaskan. Berdasarkan hasil penelitian ini APS-POQ-R versi Indonesia dapat digunakan untuk menilai kualitas manajemen nyeri pascabedah dan sebagai alat bantu untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Namun masih dibutuhkan penelitian uji kesahihan dan keandalan instrumen APS-POQ-R versi Indonesia lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dengan berbagai latar belakang pada daerah berbeda di Indonesia untuk bisa menggambarkan karakteristik masyarakat Indonesia yang beragam.

Background: Measurement of pain management quality need to be done to explore the effective strategies for postoperative pain management and to improve the quality of postoperative pain services. The American Pain Society Patient Outcome Questionnaire Revised APS POQ R is the most commonly used instrument to assess the quality of pain management in many countries but the validity and reliability of this instrument has not been verified in Indonesia for postoperative patients.
Methods: The study was a descriptive, cross sectional psychometric study. The revised questionnaire was translated into Bahasa Indonesia according to international guidelines. The translation results will be tested in 102 patients who underwent elective surgery at Cipto Mangunkusumo General Hospital. The content validity test using coefficient Aiken v formula and then construction validity test using factor analysis and corrected item total correlation. For realibility using Internal Consistency Chronbach.
Results: The validity test of Aiken V formula showed the Indonesian version of APS POQ R instrument was valid with score of 0.8 1 scale V was ge 0.5 . Factor analysis generated five main factors out of 18 questions activity and sleep disturbances, impact of pain to emotion, side effects, pain management perception, and pain scale. Constructed validity test with corrected item total correlation showed all questions had good correlation, which ranged between 0.244 to 0.799 correlation ge 0.3 . Correlation between each factors of the Indonesian version of APS POQ R instrument ranged 0.319 0.407. Internal consistency test of the Indonesian version of APS POQ R instrument was 0.663 0.5.
Conclusion: The Indonesian version of APS POQ R instrument was valid and showed satisfying result. Based on the present study, the Indonesian version of APS POQ R instrument was able to measure the quality of postoperative pain management hence, this was able to improve the quality of health services in Cipto Mangunkusumo Hospital. However, further research with larger sample size is required to define various characteristics of Indonesian people.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library