Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sidik Awaludin
Abstrak :
ABSTRAK
Nyeri pascabedah jantung menjadi masalah bagi pasien, sehingga perlu intervensi dengan terapi farmakologi dan non farmakologi seperti terapi komplementer keperawatan. Terapi komplementer dari beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan perawat merupakan terapi tunggal dan kombinasi dua terapi. Bentuk kombinasi tiga terapi seperti pijat, hipnosis, dan musik (Formula PHISIK) bekerja saling menguatkan dalam menurunkan nyeri. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi pengaruh pemberian formula PHISIK terhadap intensitas nyeri pascabedah jantung di RS PJNHK Jakarta. Desain penelitian ini yaitu quasi eksperiment design dengan non equivalent control group design. Sampel dalam penelitian ini adalah 36 pasien pascabedah jantung. Pemberian formula PHISIK menurunkan intensitas nyeri secara signifikan melalui selisih skala nyeri, denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan tekanan darah pra dengan pascaperlakuan (p value < 0,05). Formula PHISIK berpengaruh secara signifikan dalam menurunkan skala nyeri, denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan tekanan darah pada pasien pascabedah jantung. Formula PHISIK dapat digunakan sebagai bagian dari intervensi keperawatan dalam upaya menurunkan nyeri pascabedah jantung.
ABSTRACT
Post-cardiac surgery pain has become a problem for patients. Therefore, it needs intervention either use pharmacological or non-pharmacological therapies. Complementary therapies from several previous studies by nurses are focused on a single or two combined therapy. No study found to combine more than two. A combination of three therapies such as massage, hypnosis, and music (PHISIK formula) each other may reduce pain.The objective to identify the effect of PHISIK formula to pain intensity of patient with post-cardiac surgery pain at national cardiac center hospital Harapan Kita Jakarta. This study used a quasi-experimental design with non-equivalent control group design. The sample in this study were 36 post-cardiac surgery patients. PHISIK formula significantly reduce pain intensity as showed in the difference of pre post-treatment on pain scale, heart rate, respiratory rate, and blood pressure (p value < 0,05). PHISIK formula is found significant reduce pain scale, heart rate, respiratory rate, and blood pressure on post-cardiac surgery. PHISIK formula can be used as part of a nursing intervention in reducing post-cardiac surgery pain.
2013
T35842
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasir Mustafa Banadji
Abstrak :
Latar Belakang: Nyeri akut pasca-bedah pada anak-anak sering tidak ditangani dengan baik karena dogma yang popular adalah anak-anak tidak merasakan nyeri. Penanganan nyeri yang tidak adekuat mencetus respon stress dan biokimia dan menyebabkan gangguan fungsi metabolisme, kardiovaskular, pulmoner, neuroendokrin, gastrointestinal, dan imunologi. Selama ini, penanganan nyeri akut pascabedah anak-anak di bawah umbilikus dilakukan dengan pendekatan multimodal dengan teknik anestesia regional dan obat analgetika sistemik. Asetaminofen merupakan obat analgetika yang paling sering digunakan untuk menangani nyeri derajat ringan-sedang. Metamizol juga telah banyak digunakan sebagai obat analgetika yang efektif untuk nyeri pasca-bedah. Meski demikian, untuk penanganan nyeri pasca-bedah, penggunaan metamizol tidak sepopuler asetaminofen di Indonesia. Di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo, penggunaan asetaminofen intravena sebagai analgetika pascabedah direstriksi berdasarkan formularium nasional. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai efektivitas metamizol 15 mg/KgBB IV dan asetaminofen 15 mg/KgBB IV untuk analgesia pascabedah di bawah umbilikus pada pasien pediatrik. Pengambilan sampel penelitian dilakukan pada bulan April 2019-Oktober 2019 secara consecutive sampling. Enam puluh empat subjek penelitian memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti penelitian, kemudian dirandomisasi menjadi dua kelompok. Subjek menjalani pembedahan dengan pembiusan umum dan injeksi bupivakain 0,25% secara kaudal. Sebelum pembedahan berakhir, subjek mendapatkan regimen analgetika asetaminofen 15 mg/KgBB IV atau metamizol 15 mg/KgBB IV sesuai kelompok randomisasi. Pemberian regimen analgetika diulang setiap 8 jam dalam 24 jam pertama pasca-bedah. Dilakukan penilaian skala FLACC saat istirahat dan bergerak pada saat pasien pulih sadar, jam ke-4, jam ke-6, jam k- 12, dan jam ke-24 pascabedah. Dilakukan pula pencatatan kebutuhan fentanil, saat pertama pasien membutuhkan fentanil, dan efek samping yang timbul selama 24 jam pertama pascabedah. Hasil: Derajat nyeri (skala FLACC) pada saat istirahat maupun bergerak tidak berbeda bermakna antar kedua kelompok pada saat pasien pulih sadar, jam ke-4, 6, 12, dan 24 pascabedah. Tidak terdapat subjek yang membutuhkan fentanil rescue selama 24 jam pertama pacabedah pada kelompok metamizol. Terdapat 4 dari 32 subjek yang membutuhkan fentanil rescue pada kelompok asetaminofen dengan saat pertama membutuhkan fentanil rescue berkisar antara 300 hingga 700 menit pascabedah. Angka kejadian mual dan muntah lebih banyak terjadi pada kelompok asetaminofen (mual: 31,3% vs 18,8%; Muntah: 25% vs 12,5%). Simpulan: Metamizol 15 mg/kgBB IV tidak lebih efektif dibandingkan dengan asetaminofen 15 mg/kgBB IV untuk analgesia pascabedah di bawah umbilikus pada pasien pediatrik.
Background: Acute post-operative pain in pediatric patients often poorly handled due to the popular paradigm that children doesnt feel pain. Inadequate pain treatment can induce stress and biochemical response and cause metabolism, cardiovascular, pulmonary, neuro-endocrine, gastrointestinal, and immunological dysfuctions. Nowadays, pediatric pain management for post-operative pain below umbilical surgery is done in multimodal fashion with combination of regional anesthesia and systemic analgesia drugs. Acetaminophen is often used for analgesia on mild-moderate pain. Metamizole also has been used and quite effective for post-operative analgesia. However, metamizole is not as popular as acetaminophen for post-operative analgesia in Indonesia. In dr.Cipto Mangunkusumo Hospital, acetaminophen for post-operative analgesia is restricted due to National Drugs Regulation. Methods: We conducted this double-blinded clinical trial to evaluate effectiveness of intravenous metamizole 15 mg/KgBW and intravenous acetaminophen 15 mg/KgBW for post-operative analgesia of below umbilical surgery in pediatric patients. A consecutive sampling was done from April 2019 to October 2019. Sixtyfour subjects that meet inclusion criteria and had consent randomized into 2 groups. The subjects had surgery with combination of general anesthesia and injection of caudal block bupivacaine 0.25%. Before surgery concluded, the subjects received analgesia regiment acetaminophen 15 mg/KgBW or metamizole 15 mg/KgBW according to their randomization group. The analgesia regiment was given again every 8 hours for 24 hours post-operative. The FLACC scale at rest and during movement were recorded at time of fully recover from anesthesia, 4-h, 6-h, 12-h, and 24-h post-operative. Fentanyl rescue requirement, moment of first time fentanyl rescue requirement, dan the drugs side effect were also recorded for 24 hours post-operative. Result: FLACC scale at rest and during movement between two groups at fully recover from anesthesia, 4-h, 6-h, 12-h, and 24-h post-operative was not significantly different. No subject needed fentanyl rescue during 24 hours postoperative in metamizole group. There was 4 of 32 subjects needed fentanyl rescue in acetaminophen group with first fentanyl rescue requirement occur between 300 to 700 minutes post-operative. The incidence of nausea and vomiting ws higher in acetaminophen group than metamizole group (nausea: 31.3% vs 18.8%; vomiting: 25% vs 12.5%) Conclusion: Metamizole 15 mg/KgBW is not more effective compared to acetaminophen 15 mg/KgBW for post-operative analgesia of below umbilical surgery in pediatric patients
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Naridipta Anindyahapsari
Abstrak :
Latar Belakang. Nyeri pascabedah adalah masalah utama pascalaparotimi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pascabedah. Derajat nyeri pascalaparotomi dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya jenis pendekatan laparotomi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menilai perbandingan derajat nyeri pascalaparotomi digestif di atas umbilikus dan ginekologi yang mendapat analgesia kombinasi intravena dan epidural. Metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap 34 pasien wanita yang menjalani laparotomi digestif atas dan 34 pasien laparotomi ginekologi yang berusia 18 hingga 65 tahun dengan klasifikasi ASA I hingga III di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2022 hingga Juli 2023. Data pasien dipilih secara konsekutif dari rekam medik rumah sakit. Pasien dengan data yang tidak lengkap dan komplikasi pascabedah yang serius dikecualikan dari penelitian. Data kemudian diolah menggunakan SPSS dan dianalisis dengan uji Mann- Whitney. Hasil. Rata-rata derajat nyeri pasca bedah sewaktu beristirahat pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus yaitu sebesar 2.09 ± 0.9 dan 2.53 ± 1.187 pada laparotomi ginekologi. Sedangkan derajat nyeri sewaktu bergerak pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus sebesar 3.82 ± 1.242 dan 3.12 ± 0.046 pada pasien yang menjalani laparatomi ginekologi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan derajat nyeri pascabedah laparatomi sewaktu bergerak ( p =0.016). Derajat nyeri sewaktu istirahat laparatomi digestif di atas umbilikus dengan pasien laparatomi ginekologi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. (p 0.098). Kesimpulan. Dengan pemberian kombinasi analgesia epidural dengan analgetik intravena, derajat nyeri pascabedah sewaktu bergerak pada laparotomi digestif di atas umbilikus lebih tinggi signifikan dibandingkan laparatomi ginekologi meskipun secara klinis tidak bermakna. Tidak terdapat perbedaan signifikan derajat nyeri pada waktu istirahat pada kedua jenis pembedahan. ......Introduction. Postoperative pain can lead to serious complications. The intensity of postoperative pain is influenced by numerous factors, such as type of laparatomy. Multimodal analgesia is recommended to manage postlaparatomy pain. This study aims to compare the intensity of post digestive and gynecology laparatomy pain in patients with intravenous and epidural analgesia. Method. This study is conducted using retrospective cohort method approach on 34 female patients underwent upper digestive laparatomy and 34 female patients underwent gynecology laparatomy, aged 18 to 65, classified as ASA I -- III in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2022 to July 2023. Patient data was consecutively selected from hospital’s medical records. Patient with incomplete data and severe postoperative complications were excluded from the study. The data was then analyzed using SPSS and the analysis were tested using the Mann-Whitney. Results. The mean of postoperative pain at rest in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 2.09 ± 0.9 , and 2.53 ± 1.187 in gynecologic laparotomy. Meanwhile, the mean of postoperative pain during movement in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 3.82 ± 1.242 and 3.12 ± 0.946 for gynecologic laparatomy. There is statistically significant difference in the comparison of postoperative pain levels during movement with a p value of 0.016. There is no significant difference in postoperative pain levels at rest between patients undergoing digestive laparotomy upper umbilicus and gynecologic laparotomy patients with p value of 0.098. Conclusion. The degree of postoperative pain during movement is statisically significant but not clinically important in digestive laparatomy upper umbilicus compared to gynecologic laparotomy when given the combination of intravenous and epidural analgetics.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.A. Gde Putra Semara Jaya
Abstrak :
Latar Belakang. Bedah jantung terbuka mengakibatkan nyeri dan respons stres pascabedah yang dapat memberikan dampak buruk bagi pasien. Blok transversus thoracis plane merupakan blok interfascial dalam di area parasternal untuk mengatasi nyeri sternotomi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas penambahan blok transversus thoracis muscle plane bilateral dalam mengurangi nyeri dan respons stres pascabedah jantung terbuka terhadap kontrol. Metode. Penelitian ini adalah uji klinis terkontrol acak tersamar ganda. Tiga puluh empat subjek yang memenuhi syarat yang menjalani operasi jantung elektif antara September 2020 dan Agustus 2001 secara acak dimasukkan ke kelompok blok TTP atau kontrol. Penelitian membandingkan beda rerata konsumsi morfin 24 jam pascabedah, waktu pertama dosis morfin pascabedah, waktu ekstubasi, konsentrasi plasma IL-6 dan kortisol pada 24 jam dan 48 jam pascabedah. Penelitian juga ingin mengetahui konsumsi fentanil intraoperatif, waktu pertama opioid rescue intraoperatif, komplikasi, efek samping opioid, dan lama rawat inap. Hasil. Konsumsi morfin 24 jam pertama pascabedah lebih tinggi secara bermakna (p<0,001) pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok blok TTP. Waktu pertama pemberian morfin pascabedah lebih lama secara bermakna (p<0,001) pada kelompok blok TTP dibandingkan kelompok kontrol. Waktu ekstubasi tidak berbeda bermakna antara kelompok blok TTP dan kelompok kontrol. Konsentrasi plasma IL-6 dan kortisol tidak berbeda bermakna antara kelompok blok TTP dan kelompok kontrol pada 24 jam dan 48 jam pascabedah. Kesimpulan. Penambahan blok transversus thoracis muscle plane bilateral tidak terbukti lebih efektif dalam mengurangi nyeri dan respons stres pascabedah jantung terbuka dibandingkan dengan kontrol. ......Background. Open-heart surgery is a major surgery that causes postoperative pain and surgical stress response, contributing further to postoperative complications and morbidity. Transversus thoracis muscle plane block is a deep interfascial block in the parasternal area to treat sternotomy pain. This study aimed to compare the effectiveness of bilateral transversus thoracis muscle plane blocks in reducing pain and stress response after open-heart surgery versus control. Methods. This is a prospective, double-blind, randomized control trial. Thirty-four eligible subjects who underwent elective cardiac surgery between September 2020 and August 2001 were randomly assigned to the TTPB or control group. The primary outcomes were the different means of 24-hour postoperative morphine consumption, time of first postoperative morphine dose, extubation, postoperative plasma levels of IL-6 and cortisol at 24 hours and 48 hours after surgery. The secondary outcomes were intraoperative fentanil consumption, time of first intraoperative opioid rescue, complication, opioid side effects, and length of stay. Results. The 24-hour postoperative morphine consumption was significantly higher (p<0.001) in the control group than in the TTPB group. The time of first postoperative morphine dose was significantly longer (p<0.001) in the TTPB group than in the control group. Extubation time was not statistically different between the TTP block group and the control group. Plasma levels of IL-6 and cortisol were not statistically different between the TTP block group and the control group at 24 hours and 48 hours after surgery. Conclusion. The bilateral transversus thoracis muscle plane blocks were not shown to be more effective in reducing pain and stress response after open-heart surgery compared to controls.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library